"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

23 November 2010

Relokasi dan Rezonasi TN Gunung Merapi

Oleh :Wiratno, Petrus Gunarso, Nurman Hakim

Wilayah Indonesia memiliki 128 Gunung Api tersebar merata mengikuti garis lempeng mulai dari sisi Barat Sumatra, selatan Jawa, Bali Nusa Tenggara hingga Maluku Utara dan sulawesi utara (Smithsonian Institution-Global Volcanism Program). Oleh karena itu, Indonesia disebut juga sebagai negara dalam ring of fire, negara kepulauan yang bersabukkan gunug-gunung api aktif.

Sebanyak 46 Gunung Api (36%) berada pada 35 wilayah kawasan konservasi. Hanya di Kalimantan dan Papua yang tidak ada gunung api. Beberapa kawasan memiliki lebih dari satu gunung api seperti Taman Hutan Raya Bukit Barisan (Sibayak, Sinabung), Taman Nasional Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan (Sekincau Belirang, Suoh), CA Krakatau (Anak Gunung Krakatau), TN Gunung Halimun
Salak (Gunung Salak dan Perbakti), CA Gunung Papandayan (Gunung Papandayan), TN Bromo Tengger Semeru (Gunung Bromo dan Tengger), TWA Ruteng (Poco Leok, Ranakah). Bahkan TN Kerinci Seblat yang terletak di 4 provinsi memiliki 6 gunung api, yaitu Gunung Belirang-Beriti, Hutapanjang, Kerinci, Kunyit, Sumbing, Pendan.

Selain itu, terdapat 81 kawasan konservasi yang namanya diawali kata gunung atau pegunungan. Meski tidak selalu berarti memiliki gunung api namun fakta ini menggambarkan lansekap yang rentan terhadap ancaman longsor dan banjir bandang sebagaimana yang baru-baru ini terjadi Wasior yang berada tepat di bawah Cagar Alam Pegunungan Wondiboy.

Letusan Gunung Merapi, yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai taman nasional pada tahun 2004, melebihi letusan tahun 1872. Letusan tersebut telah menyebabkan korban jiwa, harta benda, dan kerusakan lahan pertanian serta gelombang pengungsian ratusan ribu jiwa, sedemikian menghentak kesadaran kita bersama. Radius bahaya yang mencapai 15-20 Km atau kawasan seluas 76.650 -125.600 hektar. Luas kawasan TN Gunung Merapi yang hanya 6.410 Ha tersebut ketika letusan besar terjadi ternyata tidak berarti bagi perlindungan masyarakat yang tinggal di wilayah penyangga taman nasional. Letusan kali ini ternyata berdampak terhadap kawasan penyangga di 3 kabupaten di sekitarnya yang luasnya 12-20 kali lipat dari luas TN Gunung Merapi.

Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah - apa sebenarnya peran besar penetapan Gunung Merapi sebagai sebuah taman nasional? Karena Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia, maka pertimbangan penetapan Merapi sebagai taman nasional adalah karena karena keunikan akibat gejala geologi kegunungapian tersebut. Keunikan tersebut tentu akan berdampak pada kunjungan turis dan peneliti. Namun demikian, jika terjadi letusan yang besar seperti yang terjadi saat ini, manfaat konservasi apa yang dapat kita rasakan?

Implikasi ke Depan

Pengalaman letusan Merapi ini membawa beberapa konsekuensi. Pertama, pengelolaan TN Gunung Merapi harus dilakukan secara terpadu lintas disiplin keilmuan dan kepakaran. Walaupun skala geologi antar letusan mencapai ratusan tahun, namun kasus seperti Merapi ini membuktikan bahwa para pihak dengan berbagai disiplin ilmu perlu melakukan antisipasi dini terhadap kemungkinan letusan eksplosif pada periode tertentu. Ahli Vulkanologi, Ahli Geologi, Ahli Geomorfologi, Ahli Gerakan Tanah, Ahli Ekologi Hutan, Ahli Hidrologi, Ahli Daerah Aliran Sungai, Ahli Tata Air, Ahli Klimatologi, Ahli Kesehatan Lingkungan, dan berbagai kepakaran harus dilibatkan dalam melakukan antisipasi atau lebih tepat bagaimana mempersiapkan diri ketika letusan terjadi dan pasca letusan tersebut.

Kedua, rehabilitasi kawasan Merapi, bukan hanya terbatas di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang luasnya hanya 6.410 Ha saja, tetapi juga ribuan hektar lahan-lahan masyarakat yang hancur akibat awan panas (wedus gembel), abu vulkanik, dan lahar dingin. Oleh karena itu diperlukan rencana jangka panjang rehabilitasi TN Gunung Merapi dan kawasan terkena dampak di sekitarnya yang cukup luas itu.

Ketiga, konsep penataan ruang zonasi dan rencana-rencana pengelolaan di kawasan konservasi yang memiliki gunung api aktif harus dilakukan secara terpadu lintas disiplin dan kepakaran. Penataan ruang atau zonasi kawasan konservasi tidak sekedar mempertimbangkan keragaman hayati di tingkat spesies, habitat, ekosistem, atau lansekap, namun juga mempertimbangkan zona-zona Kawasan Rawan Bencana (KRB) yang ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana.

Keempat, di kawasan-kawasan konservasi yang memiliki gunung api aktif, perlu segera dipermudah perijinan untuk pemasangan peralatan pemantau aktivitas gunung api, seperti seismograf. Pemantauan aktivitas gunung api melalui seismograf ini sangat efektif untuk memantau tingkat aktivitas gunung api serta menjadi bagian dari pengelolaan pengunjung. Apakah suatu waktu, pengelola harus menutup kawasan taman nasional dari kunjungan wisata, seperti yang terjadi saat ini di TN Bromo Tengger Semeru.

Kelima, aktivitas gunung api dapat pula menjadi obyek wisata yang sangat menarik, seperti yang terjadi Mauna Loa (4,170 m) dan Kilauea (1,250 m) di TN Gunung Berapi Hawaii. Aktivitas gunung berapi lebih dari jutaan tahun telah menciptakan lansekap yang unik. Alam dan kehidupan yang dipelihara dan dikembangkan untuk ekosistem yang luar biasa. Terdapat burung langka, spesies endemik dan/atau menjadi raksasa ferns. Sejak 1987 Taman Nasional Hawaii Gunung Berapi ini oleh UNESCO didaftar sebagai Monumen Alam.

Para peneliti gunung api juga tidak akan melewatkan kejadian letusan besar yang berskala ratusan tahun itu, sebagai bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan, yang sangat penting bagi kemanusiaan dalam arti luas. J.A. Katili (Harta Bumi Indonesia, 2007), menyatakan kebanggaannya ketika ia bersama ahli Vulkanologi mampu memprediksi adanya potensi letusan besar Galunggung pada tahun 1982-1983 dan Gunung Colo tahun 1983, dan ternyata terbukti benar, sehingga ribuan jiwa selamat karena peringatan dini yang tepat tersebut.

Keenam, banyak khalayak tidak mengetahui bahwa potensi vulkanologi, seperti magma di perut bumi itu juga bermanfaat dalam pengembangan geothermal, untuk menghasilkan energi listrik ramah lingkungan. Pengembangan ini telah berjalan seperti TN Gunung Halimun Salak oleh Chevron Indonesia dan Pertamina Panas Bumi, di CA Papandanyan, CA Kamojang, dataran Tinggi Dieng, dan masih banyak lokasi lainnya di sepanjang jalur gunung api, mulai dari Sumatera Utara (Kompleks Gunung Sinabung, Dolok Sibual-buali) sampai ke TN Gunung Rinjani di Lombok. Panas bumi ini juga dapat dikembangkan ketika hutan-hutan alam di kawasan tersebut dalam kondisi baik.


Relokasi dan Zonasi

Rencana Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melakukan relokasi penduduk perlu disinergikan dengan zonasi ulang Taman Nasional Gunung Merapi. Berdasarkan Citra SPOT 10 November 2010, pasca letusan telah menghancurkan ekosistem hutan pegunungan lebih dari 2000-2500 Ha atau 31-39% dari luas TN Gunung Merapi. Namun demikian zonasi bukan hanya terbatas pada kawasan TN Gunung Merapi seluas 6.410 Ha saja, tetapi juga menetapkan Zona Terlarang (tidak layak huni) yaitu kawasan terdampak akibat letusan 2010 sebagaimana diusulkan oleh Sudibyakto-pakar di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Kompas 12/11/10), zona ini ke depan hanya akan diperbolehkan dimasuki untuk kepentingan pemantauan dan riset kegunungapian. Zona selanjutnya adalah pada kawasan di bawah Zona Terlarang, yang dapat dimanfaatkan secara terbatas, sampai ke kawasan di bawahnya meliputi kawasan sampai radius sebagai zona aman 20 Km atau pada kawasan seluas 125.600 Ha di 3 kabupaten. Zonasi ulang ini perlu dilakukan untuk kepentingan keselamatan ratusan ribu jiwa penduduk sekitar Merapi dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan-yaitu pemantauan secara terus menerus aktivitas Merapi di masa mendatang. Zonasi ulang dilakukan untuk mengantisipasi perubahan vegetasi, satwa, dan ekosistem pasca letusan. Pemahaman mengenai perubahan ekologis pasca letusan yang berinterval puluhan atau ratusan tahun ini perlu dipelajari untuk melakukan quick response atas meningkatnya aktivitas Merapi yang membahayakan di masa mendatang. Revisi zonasi TN Gunung Merapi seluas 6.410 Ha dan kawasan di sekitarnya seluas 125.600 Ha harus dimasukkan dalam revisi tata Ruang Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Prosesnya harus melibatkan masyarakat khususnya yang tinggal di lereng Merapi dan daerah terdampak, serta melibatkan pakar dari berbagai disiplin keilmuan, sehingga hasil tata ruang yang baru tersebut dapat diataati oleh semua pihak. Kemungkinan relokasi tidak kurang dari 6.242 kepala keluarga harus menjadi pertimbangan pertama dalam proses tersebut. Yang pelru dipikirkan adalah di Sultan Ground, atau ke luar Jawa. Relokasi masyarakat korban bencana juga perlu pula memperhitungkan budaya masyarakat yang sudah terbiasa dengan perubahan ekologis akibat letusan - yang memang tidak sebesar kali ini. Jika proses relokasi ini dilakukan dengan cara terbuka dan konsultatif dengan para korban bencana, maka dapat dipastikan hasilnya akan lebih baik dibandingkan dengan relokasi secara paksa.

Relokasi dan re-zonasi harus berjalan beriringan dan melibatkan parapihak yang berada di dalam bentang alam Gunung Merapi. Semoga upaya yang akan dilakukan dapat melibatkan parapihak - terutama parapihak yang hidup dan tinggal dalam bentang alam, karena merekalah penerima manfaat langsung, sekaligus menjadi korban pertama perubahan bentang alam akibat letusan.

--------------------------------------------------------------
Ir.Wiratno, MSc dan Nurman Hakim (Staf pada Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan)
Petrus Gunarso, PhD (Programme Director); Tropen Bos Indonesia, Indonesia Programme
Jakarta, 12 November 2010

04 Agustus 2010

Deadlock Pengelolaan Kawasan Konservasi

Tipologi Kawasan
Setiap kawasan konservasi memiliki sejarah pembentukan yang berbeda-beda. Banyak kawasan konservasi di masa lalu merupakan warisan dari kawasan konservasi yang telah ditetapkan oleh Belanda, di awal Abad 19, dengan ciri-ciri umum ukuran kawasan yang hanya beberapa hektar (misalnya CA Arca Domas-2 hektar; CA Malabar-8 hektar; CA Depok-6 hektar, kini jadi taman hutan raya; (Jawa Barat); CA Getas -1 hektar (Jateng): dan beberapa CA yang melindungi Refflesia arnoldi), di Bengkulu. Beberapa kawasan cagar alam tersebut ada yang masih tetap dipertahankan statusnya sampai dengan saat ini, seperti CA Celering di Jateng, tetapi ada pula yang dirubah fungsinya dan digabung menjadi bagian dari
taman nasional, misalnya CA Cimungkat yang dan beberapa kawasan hutan lindung lainnya yang dirubah fungsi menjadi taman nasional Gunung Gede Pangrango.

Perubahan Tata Guna Lahan
Pada awal Abad 19, sebagian besar Indonesia masih ditutupi dengan hutan perawan. Keadaannya tidak demikian pada Abad 21 ini. Land use di sekitar kawasan konservasi sudah berubah menjadi berbagai tipe penggunaan lahan yang umumnya non kehutanan, seperti perkebunan, pemukiman, jairngan jalan, lahir dan berkembangnya kota-kota baru dan meningkatnya konsentrasi dan pertambahan penduduk yang memerlukan dukungan infrastruktur, dan sebagainya. Banyak kawasan konservasi menjadi terisolasi di antara land use yang telah berubah sama sekali, semakin terbukanya akses masuk ke dalam kawasan, dan bahkan akhirnya perambahan tak terkendali merubah total beberapa dan banyak kawasan konservasi. Di Jawa, beberapa kawasan cagar alam di Jawa Tengah diduga telah hilang, karena tidak ditemukan lagi tapaknya di lapangan, hanya ada di atas peta saja. CIFOR sedang melakukan penelitian status kawasan cagar alam/suaka margasatwa di Pulau Jawa, Akan menarik untuk mengetahui hasil studi ini nantinya.

Disorientasi Pengelolaan
Selama ini, pengelolaan kawasan konservasi terjebak pada sekedar membangun fisik (physical infrastructure) dan melupakan membangun system pengelolaan. Ketika saya mengajukan konsep dengan icon “resort-based management”, sejak tahun 2006 ketika saya bertugas di TN Gunung Leuser, pada Rakernis PHKA 2010 yang lalu ditanggapi dengan sekedar “membangun kantor resort”. Beberapa Balai TN di Jawa, misalnya tN Gunung Gede Pangrango yang dibangun oleh senior kita Wahjudi Wardojo, telah menerapkan kerja berbasis resort, kini malahan dibangun beberapa resort model. TN Gunung Halimun dibantu JICA selama 15 tahun dan kita bisa melihat bagaimana taman nasional dikelola di tingkat lapangan. TN Alas Purwo kini bisa jadi contoh sebagai pengelolaan taman nasional berbasis resort dan malahan dijadikan contoh untuk pengembangan konsep KPHK.
Secara umum, pengelola kawasan konservasi tidak mampu memotret perubahan-perubahan lingkungan di luar kawasan, termasuk di luar organisasi yang berdampak pada disorientasi pengelolaan. Pengelolaan yang tidak didasarkan pada upaya merespon persoalan-persoalan strategis, kekauan menterjemahkan rencana strategis Ditjen PHKA, yang semestinya diinterpretasikan dalam konteks local spesifik, ketakutan melakukan inovasi karena kekakuan sistem keproyekan. Akhirnya sampai pada tingkat kebingungan, tahun depan akan mengalokasikan anggaran untuk apa? Dimana? Berapa besar?

Keluar dari Deadlock
Mensikapi berbagai persoalan dan tipologi kawasan dan interaksi kawasan dengan perubahan pola-pola penggunaan kawasan, aksesibilitas, dampak pembangunan, dan dinamika politik otonomi daerah, maka para pengelola kawasan konservasi harus mengambil sikap, dnegan terlebih dahulu memahami prinsip-prinsip pengelolaan kawasan (periksa makalah kedua: “Sebelas Prinsip Pengelolaan Kawasan Konservasi”). Prinsip-prinsip ini sedang terus dikembangkan dan dikaji apakah memang ke sebelas prinsip tersebut tepat untuk diresapi dan dijadikan acuan pengelola kawasan mendapatkan kejelasan dalam mengelola kawasan-kawasan konservasi yang menjadi tanggungjawabnya.
Hal mendasar yang harus difahami oleh para pengelola kawasan konservasi adalah :
  1. Pengelola harus memahami dan mengetahui “isi” kawasan, kondisi kawasan, dinamika perubahan “isi” dan kawasan serta mendapatkan jawaban mengapa terjadi perubahan-perubahan, termasuk pola-pola interaksi lingkungan eksternal-dinamika perubahan penduduk, perkembangan social, ekonomi, budaya, infrastruktur, kebijakan-kebijakan local, kelembagaan masyarakat, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui dann memahami hal-hal tersebut di atas, tidak lain jawabannya adalah bahwa pengelola harus terjun ke lapangan. Pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan remote control.
  2. Untuk dapat memahami dinamika interaksi kawasan dan daerah penyangga di sekitarnya, pengelola harus memiliki sikap mental seorang leader yang memiliki prinsip-prinsip kerja dengan dukungan keilmuan multidisiplin dan mentalitas kerja berjaringan dan kolaborasi. Scientific-based decision making merupakan prasyarat mutlak bagi pengelola kawasan konservasi dalam memilih opsi-opsi pengelolaan. Tidak ada ruang pengambilan keputuan berdasarkan “feeling” atau “by accident”. Ini hal yang sangat memalukan bagi pengelola kawasan dan melanggar kode etik pengelola kawasan konservasi (catatan: kode etik ini belum ada, dan masih menjadi pemikiran penulis). Silakan bertanya pada diri sendiri, bagaimana pengambilan keputusan-keputusan selama ini kita lakukan? Bagaimana usulan kegiatan tahun yang akan dating kita susun? Dan lain sebagainya. Scientific judgment tidak selalu berasal dari pakar dan perguruan tinggi, tetapi juga harus dilandasi dengan sikap mental ilmiah, didasarkan pada fakta-fakta lapangan, dengan analisis yang secara ilmiah relatif dapat dipertanggungjawabkan. Tidak berarti pula pengelola hanya mengontrakkan berbagai pekerjaan pada konsultan (siapapun mereka). Seluruh staf kunci harus terlibat dalam proses kreatif dan proses kajian ilmiah tersebut, sehingga merasakan proses pembelajaran bersama. Sesekali meminta bantuan pakar untuk memberikan masukan apakah suatu metodologi atau teknik pengambilan data yang digunakan secara ilmiah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Kepala Balai TN/KSDA harus figure yang memiliki sikap mental selalu ingin tahu, selalu ingin menambah ilmu, selalu gelisah bila suatu masalah belum dapat dipecahkan, termasuk pertanyaan : “kok saya belum tahu persis ya apa tujuan awal penetapan suatu kawasan? Apa isi sebenarnya di dalamnya, apakah ada hal-hal yang bermanfaat bagi keilmuan dan kemanusiaan? Siapa tahu ekstrak kimiawinya mengandung unsur-unsur sebagai materi pengobatan penyakit modern yang belum ada obatnya. Mohon maaf, pertanyaan-pertanyaan seperti itu sekarang ada di kepala para peneliti asing. Seorang peniliti orangutan di Stasiun Riset Ketambe-TN Gunung Leuser, mengatakan setelah hampir 40 tahun seri penelitian orangutan di Ketambe, itu hanya 30% dari kemungkinan-kemungkinan ditemukannya fenomena ilmiah orangutan bagi kemanusiaan! Sementara Kepala Balainya hampir tidak pernah mengunjungi stasiun riset tertua dan terpenting di dunia itu. Tim Peneliti yang melibatkan Conservation International berkantor di Washington DC bekerjasama dengan LIPI menemukan banyak spesies baru di CA Foja-Mamberamo, dan diduga masih akan ditemukan spesies-spesies baru di belantara Papua tersebut (penulis bertanya-tanya, apakah staf Balai Besar KSDA Papua juga terlibat dalam penelitian tsb?). Celakanya, Pusat juga tidak emngetahui bahwa Kepala Balainya tidak pernah mengunjungi lapangan. Kondisi ini sangat membahayakan untuk hanya kita biarkan.
  3. Perubahan struktural dan “revolusi” pengelolaan kawasan konservasi harus segera dilakukan, agar pengelola tidak sekedar menjadi administrator ijin bagi peneliti asing, atau sekedar menjadi “penjaga kawasan” (kerjaan ini pun juga tidak dilakukan, kecuali patroli), tetapi menjadi garda depan penelitian “isi” kawasan konservasi, menjaga dan memanfaatkan kawasan, untuk kepentingan-kepentingan jangka panjang sesuai tujuan yang telah ditetapkan.

Untuk Kita Renungkan
Mensikapi berbagai ungkapan tersebut di atas, marilah kita diskusikan secara terbuka dan dengan hati yang jernih, apakah workshop ini bisa kita jadikan momentum untuk melakukan “perjalanan spiritual” menuju sikap mental baru, bagaimana kita akan mengelola kawasan konservasi. Kawasan 27 juta hektar yang relatif masih”utuh” dan berhutan itu, sebagai mandat dari titipan generasi mendatang yang belum lahir.
Marilah kita mulai dari diri sendiri, dan sejak hari ini! Dan terima kasih untuk Kepala KSDA Yogyakarta, yang mengundang saya-mungkin untuk mengingatkan “hutang” saya yang sebagian belum saya lunasi sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis KSDA Yogyakarta (2000-2004), yang sudah selayaknya kita evaluasi bersama : Bagaimana kelanjutan budidaya rusa-timor (Cervus timorensis) dengan inseminasi buatannya? bagaimana dengan peerbanyakan Vanda tricolor dengan kultur jaringannya? Bagaimana nasib Pak Rudjito-pelestari penyu di Bantul? Bagaimana Kompleks Bunder (Tahura) dikembangkan dengan Pemda dan para pihak? Bagaimana kawasan Karst Gunung Sewu dapat dikembangkan bersama-sama sebagai asset kebanggan Provinsi DI Yogyakarta? Dan masih banyak pertanyaan hipotesis lainnya, untuk kita sama-sama kaji dan cermati kembali.
Rencana Strategis Balai KSDA (2000-2004) yang disusun dengan semangat multipihak itu, kini telah diadopsi prosesnya, sebagaimana diatur dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 41 tahun 2008, di mana proses penyusunan suatu Rencana Pengelolaan KSA an KPA perlu dilakukan melalui proses konsultasi public dan mendapatkan dukungan dari Pemprov/Pemkab.

Kawasanku Amanahku (Sebelas Prinsip Pengelolaan)

Pengelola kawasan konservasi perlu memahami dan menghayati prinsip-prinsip minimal dalam mengemban mandat pengelolaan kawasan konservasi. Prinsip-prinsip tersebut adalah :

Prinsip Kesatu: Siapkan Prakondisi Internal
Pembenahan internal dimulai dari membangun komunikasi informal-formal dengan seluruh staf agar dapat dimulai proses pemahaman dan penyamaan persepsi tentang status : Kondisi Saat Ini, dan Arah Pengelolaan atau Kondisi Yang Diharapkan. Kesepahaman dan keterbukaan agar didorong untuk dapat dibangunnya nilai-nilai
organisasi (akuntabilitas, keterbukaan, tanggungjawab, kerja kolektif/teamwork, kebersamaan).

Prinsip Kedua: Penataan Kawasan
Kawasan harus ditata ke dalam unit-unit kelola yang lebih kecil, mulai dari Bidang/Seksi Wilayah sampai ke tingkat unit kelola terkecil yang disebut dengan resort. Penataan kawasan ini harus dikaitkan dengan zonasi, potensi, dan persoalan yang dihadapi, sehingga dapat ditetapkan tipologi Bidang/Seksi Wilayah dan tipologi resort.

Prinsip Ketiga: Menyiapkan Sistem Kerja
Dibangun sistem kerja berbasis resort, termasuk mekanisme komunikasi ke Bidang/Seksi Wilayah dan ke Balai dan dukungan pelatihannya. Kerja berbasis resort meliputi kerja internal ke dalam kawasan-patroli, monitoring habitat, survai potensi, dan sebagainya dan kerja eksternal-ke desa-desa dan daerah penyangga, agar lebih memahami tipologi desa/masyarakat terkait interaksi masyarakat-kawasan. Sistem kerja resort akan mendorong dilaksanakannya bottom-up planning secara bertahap. Yang dikoordinasikan di tingkat seksi wilayah, dan berlanjut ke Balai/Balai besar. Nanti dapat diarahkan ke ”perencanaan berbasis kinerja”.

Prinsip Keempat : Data dan Informasi yang Scientific Based
Data spasial dan non spasial yang dikumpulkan harus didasarkan pada tujuan yang spesifik. Data dianalisis harus didasarkan pada teknik atau metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (scientifically sound). Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan kualitas perencanaan, yang didukung dengan pendekatan lintas disiplin ilmu. Data dan informasi yang valid harus dijadikan dasar pembangunan baseline data dan informasi.

Prinsip Kelima: Penyiapan SDM dan Sarpras
Berdasarkan tipologi kawasan dan khususnya tipologi resort dan ”sistem kerja resort”, dapat ditetapkan jumlah, jenis keahlian, kualitas, dan atau kompetensi staf serta dukungan sarana dan prasarana minimal agar Resort dapat bekerja di lapangan, sesuai dengan tipologi setiap resort. Penyiapan SDM termasuk yang memiliki wawasan tentang bagaimana membangun network, kerja team, administrasi proyek, penyiapan tim survai, kerja kolektif, dan sebagainya.

Prinsip Keenam: Membangun Jejaring Kerja
Balai secara bertahap segera membangun komunikasi dengan para pihak luar, khususnya pemkab, pemprov, LSM, pakar, praktisi, pusat studi/kajian, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk membangun sinergitas program/kegiatan di daerah penyangga, sehingga pengelolaan kawasan konservasi dapat lebih difahami dan mendapat dukungan yang memadai dari para pihak-sektor lain, swasta, dan masyarakat di sekitar atau di dalam kawasan konservasi.

Prinsip Ketujuh: Penyelesaian Masalah secara Komprehensif
Berbagai persoalan atau masalah di kawasan konservasi harus diselesaikan berdasarkan ”kajian sejarah” kawasan dan masalah, dengan melakukan pendekatan penyelesaian yang komprehensif serta berpegang pada keseimbangan antara azas keadilan, kemanfaatan, pelestarian, sosio-kultural, dan legalitas. Prinsip ini mengutamakan kajian komprehensif masalah kawasan yang akan menjadi fondasi penyelesaiannya secara sistematis dan multiyear. Penegakan hukum diberlakukan secara selektif pada aktor intelektual penyebab utama munculnya masalah.

Prinsip Kedelapan: Penghormatan pada Hak Masyarakat Adat
Sepanjang keberadaan dan eksistensinya masih ada, maka masyarakat adat harus dilibatkan dalam seluruh proses pengelolaan kawasan secara terpadu dan bertahap, dengan berpegang pada prinsip : ”masyarakat adat sebagai bagian dari solusi” pengelolaan kawasan. Masyarakat setempat yang tinggal berbatasan dengan kawasan, walaupun bukan masyarakat hukum adat, harus diberlakukan sebagai mitra dalam pengelolaan kawasan, termasuk dalam menjaga kawasan.

Prinsip Kesembilan: Pengelolaan Kawasan Sebagai Amanah
Apabila pengelola kawasan konservasi bersikap amanah dalam mengelola kawasan, maka ia harus memegang teguh mandat pengelolaan. Mandat tersebut seharusnya dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan, dan dengan mempertimbangan ”8 prinsip good governance”, yaitu konsensus, taat hukum yang berlaku, partisipatif, transparan, akuntabel, efektivitas dan efisiensi, responsif, dan kesetaraan.

Prinsip Kesepuluh: Pemantauan dan Evaluasi
Dibangun Flying Team yang bertugas untuk memantau secara periodik terhadap kegiatan di tingkat Bidang Wilayah/Resort, sehingga perbaikan dapat terus dilakukan, termasuk evaluasi tahunannya yang melibatkan seluruh staf inti, untuk proses pembelajaran bersama. Pemantauan adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik, untuk memastikan bahwa suatu kegiatan yang dilakukan dapat mencapai output yang telah ditetapkan. Evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan pada akhir tahun untuk mengetahui seri dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan mencapai output yang telah ditetapkan.

Prinsip Kesebelas: Kebijakan yang Konsisten
Kesepuluh prinsip tersebut dapat dilaksanakan oleh UPT di seluruh Indonesia, apabila Pusat secara terus menerus mendukung dengan kebijakan yang konsisten, antara lain di bidang rasionalisasi anggaran-berbasis resort dan kondisi spesifik UPT (daerah terpencil, perairan, daerah perbatasan negara), dukungan penyediaan SDM yang memadai, evaluasi kinerja UPT, diberlakukannya mekanisme reward and punishment, dukungan peningkatan profesionalime SDM, dan melakukan pendampingan kepada UPT yang memerlukan bantuan teknis maupun non teknis secara khusus.

“Harakiri” di Bumi

“Kita sekarang tahu bahwa galaksi kita hanyalah satu dari beberapa ratus ribu juta galaksi yang dapat diamati dengan menggunakan teleskop modern…”Stephen W.Hawking- penulis Buku “Teori Segala sesuatu: Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta”

Planet bumi yang mengitari matahari itu ternyata hanya salah satu warga dari Galaksi Andromeda. Sementara di alam semesta yang membentang luas seolah tanpa ujung itu, berserakan beberapa ratus ribu juta galaksi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Stephen W.Hawking di atas, manusia di atas bumi ini hanya sekedar “zarrah”. Merenungkan hal makro seperti ini seolah
memang the sky has no limit. Namun apabila kita mencermati keseharian cara hidup manusia di bumi, ternyata, nafsu manusia juga bisa tak terbatas, dalam hubungannya dengan tingkat laku dan aliran politiknya dalam menguras isi perut bumi-hutan, tambang, pasir, air, sumberdaya laut dengan segala isinya, dan seterusnya.Dengan teknologi kita dapat dengan mudah memeriksa stok sumberdaya hutan di seluruh muka bumi ini. GoogleSat. Adalah program baru yang diluncurkan oleh Google, di mana kita dapat melihat penutupan hutan di seluruh dunia dari atas, seperti layaknya naik pesawat di atas hutan-hutan itu. Tampilan tiga dimensi juga membuat kita tercengang karena menjadi tahu akan kehancuran hutan-hutan Indonesia saat ini, termasuk kerusakan hutan tropis dataran rendah di TN.Gunung Leuser wilayah Besitang, Langkat. Citra tersebut dapat dengan mudah dilihat dengan menggunakan program GoogleSatellite (GoogleSat) ini. Kita seperti ditelanjangi saja. Dapat dikatakan :”No one can hide the depletion of our forest resources”. Tak seorangpun kini dapat menyembunyikan fakta kerusakan hutan Indonesia. Tidak juga oleh siapapun termasuk pejabat di Jakarta.

Sejauh ilmu pengetahuan dan teknologi manusia mampu mengeksplorasi alam semesta, belum terdapat satu bukti pun adanya planet-planet lain yang layak huni seperti planet bumi-yang memancarkan citra biru bila dilihat dari bulan. Satu fakta yang tidak terbantahkan. Sehingga World Conservation Congress yang diadakan di Bangkok pada 17-25 Nopember 2004 yang memilih tema: “ People and Nature: Only One World” sungguh sangat tepat menggambarkan bahwa bumi kita inilah satu-satunya “world” yang layak huni.Jangan mimpi akan ada bumi lain di belantara alam semesta yang maha luas itu, walaupun fenomena UFO dengan “manusia” kerdilnya, telah dideteksi berabad lalu, sejak jaman Mesir kuno.

Dengan latar belakang seperti itu, sebenarnya patutlah kiranya kita “menyayangi”, “merawat”, dan “memperlakukan” tempat tinggal manusia ini dengan sebaik-baiknya.Ternyata cara pandang ini hanya utopia. Realitas menunjukkan keadaan yang justru sebaliknya. Eksploitasi dan degradasi sumberdaya alam mengalami proses percepatan yang semakin meningkat, dan mengerikan dampak berantai yang ditimbulkannya. Sumberdaya alam terrestrial yang hanya 1/3 luas bumi dikuras habis-habisan. Hal ini juga disebabkan ketimpangan sebaran sumberdaya ditambah dengan gaya hidup masyarakat di negara-negara maju yang boros-lalu malahan dijiplak dan menjadi trend modernitas, menyebabkan aliran energi tersedot dari selatan ke utara, sementara limbah dibuang ke Selatan bahkan memang sengaja diimport ke Selatan. Wabah antroposentrisme menggejala di Utara dan menyebarkan virusnya ke Selatan. Dengan teknologi satelitnya yang canggih, Utara setiap saat dapat mengintip “isi perut” bumi negara-negara Selatan, hampir tanpa batas.

Neokolonialisme telah lahir dan menemukan bentuknya ketika globalisasi mengganas-menyergap bumi selatan. Saat ini bumi dikuasai oleh Trans National Corporation (TNC). Hampir 100 TNC yang tergabung dalam WTO yang didirikan pada tahun 1995, saat ini mulai memonopoli 75% dari perdagangan dunia.

Hutan merupakan salah satu sumberdaya strategis yang diperebutkan dalam setting globlalisasi yang seperti itu. Banyak Negara-negara Utara melindungi sumberdaya hutan alamnya, sementara kebutuhan akan kayu dipenuhi dari Selatan. Di tingkat regional-Asia Tenggara di mana demand akan produk kayu semaikn meningkat. Ambil contoh China, misalnya, di mana tahun 2002 telah mengimpor kayu sebanyak 95 juta m3 (lebih banyak impor kayu daripada plywood; lebih banyak impor pulp daripada kertas), untuk lebih banyak lapangan kerja di negaranya. China juga sudah stop logging, sehingga sumber kayunya dari Russia, Indonesia, Malaysia, dan Canada. Tingkat impor kayu China meningkat 75% dibandingkan dengan tahun 1997; Sepuluh tahun yang lalu merupakan importir ke tujuh terbesar di dunia, sekarang meningkat menjadi importir kedua terbesar. Hal ini tentu berdampak pada meningkatnya illegal logging dan kerusakan hutan (Kaimowitz 27 Agustus 2004-CIFOR’s Forest Policy Expert Listserver). Demand akan kayu ini nampaknya masih akan tinggi, misalnya dipertegas oleh FAO (2003) yang melaporkan bahwa manfaat ekonomi sumberdaya hutan di negara-negara Asia Tenggara ternyata masih didominasi oleh kayu (1.462 spesies), dan medicinal plants (1.135 spesies).

Negara-negara yang masuk blok G8 misalnya menyatakan perhatiannya akan pentingnya sustainable forest management, sambil meneruskan impor kayu illegal. Pada tahun 1998 menurut catatan EIA (2001), kelompok G8 ditambah dengan EU mengimpor 280 juta m3 produk kayu atau setara dengan 74% impor kayu dan produk kayu dunia. Amerika Serikat saja mengimpor kayu lebih dari $ USD 450 juta pada tahun 2002. Apabila didasarkan tingkat illegal logging sebesar 70% di Indonesia saat itu, maka Amerika Serikat mengimpor kayu curian senilai $ USD 330 juta dari Indonesia. EU mengimpor kayu tropis sebesar 10 juta m3 pada tahun 1999, di mana hampir separuh berasal dari tiga Negara pengekspor-Indoensia, Brazil, dan Cameroon. Dengan menganalisis tingkat illegal logging di ketiga Negara penekspor tersebut dapat dinilai bahwa separuh kayu yang masuk ke EU adalah dari sumber-sumber illegal, senilai $ USD 1,5 milyar per tahunnya (EIA, 2001).

Ketika stok kayu di hutan-hutan produksi mulai menipis, illegal logging mengarah pada kawasan-kawasan konservasi, antara lain taman-taman nasional dan juga mengarah ke Indonesia Bagian Timur: Papua. TN.Tanjung Puting di Kalimantan Tengah merupakan contoh paling nyata bagaimana illegal logging terhadap ramin menghancurkan taman nasional yang juga ditetapkan sebagai salah satu dari 6 Cagar Biosfer di Indonesia itu.Sehingga sempat dikeluarkan Instruksi Presiden No.5 tahun 2001 tentang pemerantasan illegal logging di TN.Leuser dan TN.Tanjung Puting. Kasus Tanjung Puting khususnya menjadi mengglobal dan akhirnya Senat US mengirimkan surat kepada Presiden Megawati pada tanggal 22 Nopember 2002, apresiasi terhadap upaya-upaya penanggulangan illegal logging oleh pemerintah Indonesia, tetapi Senat masih meminta perhatian khusus tentang penegakan hukum bagi pelaku illegal logging di TN.Tanjung Puting. Leuser malahan terkesan ditinggalkan.Ini menarik untuk ditelaah nantinya. Mengapa Inpres yang diamanatkan untuk melindungi 2 Cagar Biosfer, Leuser terkesan ditinggalkan.

Data dari Departemen Kehutanan yang dianalisis oleh Putro, HR (2004) menunjukkan bahwa kondisi hutan di Indonesia tahun 2000 adalah sebagai berikut: hutan produksi seluas 18,4 juta Ha telah mengalami kerusakan, menjadi hutan sekunder atau non hutan sebesar 55%; sedangkan 58% dari total luas kawasan konservasi atau seluas 10,8 juta Ha, mengalami kerusakan sebesar 38%. Mencari penyebab kerusakan hutan di areal hutan produksi, Greenomic dan ICW (2004) melakukan analisis terhadap kinerja 44 pemegang HPH (sekarang disebut IUPHHK). Fakta membuktikan bahwa lebih dari 80% dari 44 perusahaan berkinerja sedang (38,6%) dan buruk (51,5%) dalam pemenuhan 3 indikator tingkat pemanenan lestari. Wajar apabila sampai dengan saat ini dari sekian ratus HPH yang beroperasi di Indonesia selama 30 tahun, hanya 1 pemegang HPH yang mendapatkan sertifikat Ekolabel maupun FSC, yaitu PT. Diamond Raya Timber (Putro, H.R., 2004). Dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa Sustainable Forest Management (SFM) hanya impian belaka.Sekedar menjadi utopia. Oleh karena itu, akhir-akhir ini banyak kelompok NGO di Amerika Serikat tidak percaya terhadap SFM. Menurut mereka, satu-satunya cara untuk menyelamatkan hutan tropis adalah dengan menetapkannya sebagai kawasan konservasi. Hectare Saved atau berapa hektar hutan tropis yang masih asli yang dapat diselamatkan, merupakan salah satu strategi yang sedang dikembangkan saat ini, dan sangat mewarnai dialog-dialog pada World Park Congress ke X di Durban Afrika Selatan pada tahun 2003 lalu. Implikasi dari kutub pemikiran ini adalah bagaimana kemudian mengelola kawasan-kawasan hutan tropis yang masih tersisa itu secara lebih efektif. Muncul pemikiran membangun koridor-koridor yang menghubungkan antar kawasan konservasi, sebagai respon dari semakin terfragmentasinya kawasan-kawasan hutan habitat satwa liar. Contoh kasus ini sangat jelas terjadi di Riau, Jambi, dengan indicator semakin meningkatkan kejadian konflik gajah dan harimau dengan manusia.

Tanpa kita sadari, Indonesia tengah melakukan “harakiri” terhadap sumberdaya hutannya. Suharyanto (komunikasi pribadi, 5 Maret 2009) menyatakan kita yang dipaksa melakukan “hara-kiri”. Jadi diindikasikan terjadi proses hegemoni Utara terhadap Selatan, dan “harakiri” merupakan disain dari Utara. Hampir 30 tahun proses eksploitasi hutan nasional, yang bahkan skalasinya semakin meningkat sejak era otonomi lima tahun silam. Masihkah ada harapan?. Thanks God, ternyata kita masih memiliki kawasan-kawasan konservasi termasuk hutan-hutan lindung yang lumayan luas. Apakah ada grand design yang mengalokasikan kawasan-kawasan hutan untuk tidak dieksploitasi? Apa latar belakang ideologisnya? Bagaimana ke depan strategi save it (dalam bentuk penetapan kawasan-kawasan konservasi) itu akan mampu bertahan terhadap hantaman dari meningkatnya demand kayu global dan regional serta kebutuhan akan lahan akibat intervensi sawit dan dilanjutkan dengan tambang pada skala nasional? Adakah terobosan (breakthrough) yang dilakukan ketika era otonomi tiba? Atau malahan pengelolaan kawasan-kawasan konservasi juga mengalami kebuntuan. Mengalami deadlock? Daftar panjang pertanyaan itu dicoba untuk diurai dalam Bab-bab dalam buku ini. Semoga kita segera menghentikan kesengajaan untuk “hara-kiri” terhadap sumberdaya hutan Indonesia, yang berarti juga hara-kiri bagi masyakat khususnya yang tinggal dan hidup bergantung pada sumberdaya hutan itu. Bahkan kehancuran kebudayaan masyarakat telah mulai menjadi gejala yang semakin meluas. Bahkan dampak kerusakan hutan terbukti juga dapat terjadi jauh melewati batas-batas negara, seperti bencana banjir, tanah longsor, konflik manusia-satwa liar, kebakaran dan pembakaran lahan dan (sebagian) kawasan hutan beserta kabut asapnya. Hal ini belum terhitung dampat berantai yang menjadi ikutannya-menurunnya kesuburan tanah, hama, penyakit, bencana kekeringan, dan seterusnya. Tanpa pemerintahan yang legitimate dan kuat, proses “hara-kiri” akan terus berlangsung. Politik nasional harus berpihak pada konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan, seperti telah dicanangkan oleh Departemen Kehutanan bahwa mulai tahun 2002-2020, hutan Indonesia harus dikelola dengan nuansa investasi untuk rehabilitasi dan konservasi. Selama para pendompleng (free riders) masih bermain dan memainkan perannya dalam menentukan kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya hutan, sulit kita punya harapan, sulit kita punya mimpi, bahwa sisa hutan Indonesia mampu kita selamatkan, dan kita kelola dengan sebaik-baiknya. Kemudian, konservasi tidak pernah akan lahir menjadi gerakan nasional, menjadi gerakan sosial, atau menjadi bagian dari gaya dan pilihan hidup masyarakat Indonesia. Bila ini terjadi, maka doom- day seperti yang diramalkan Holmes (2002) terhadap nasib hutan tropis dataran rendah di Sumatra-yang akan habis pada tahun 2005 dan di Kalimantan pada tahun 2010, nampaknya bukan hanya prediksi semata, tetapi akan segera terwujud. Diskusi terhadap nasib hutan-hutan produksi tersebut akan lebih lengkap apabila kita memeriksa, bagaimana nasib kawasan-kawasan konservasi yang secara teoritis memang tidak untuk ditebang.

Catatan: Paper telah dimuat di AgroIndonesia. Paper bagian dari Sub Bab Buku : Tersesat DI Jalan Yang Benar: Refleksi 1000 Hari Mnegelola Leuser.

Kawasan Konservasi dalam Dunia yang Berubah

Konsep pembangunan di negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia) telah terjebak pada sekedar pembangunan fisik, dengan fokus utama pertumbuhan ekonomi. Strategi ini tidak dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia. Pembangunan dengan capaian utama pertumbuhan ekonomi dan asumsi trickle down effects adalah konsep pembangunan yang usang. Pembangunan yang sejati, menurut Arif Budiman adalah pembangunan manusia (Ibrahim 2004). Pembangunan bukan sekedar mengadakan proyek-proyek. Konsep pembangunan harus dicurahkan pada investasi di bidang human capital, karena manusia adalah sumber daya yang paling penting. Manusia adalah makhluk yang paling kreatif. Untuk bisa kreatif,
manusia harus merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia kreatif yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Soedjatmoko menyebut pembangunan yang baik adalah pembangunan yang mendinamisasikan kekuatan-kekuatan masyarakat tanpa rasa takut (Ibrahim 2004). Korten dan Sjahrir (1988) menyebut pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai paradigma berpusat pada rakyat (people center development).

Sebagaimana dikutip oleh Ibrahim (2004), Soedjatmoko, seorang intelektual terkemuka Indonesia, menyatakan bahwa usaha pembangunan dan modernisasi yang kita jalani sebagai sebuah bangsa telah menghadapkan kita secara langsung dengan masalah kebudayaan Indonesia. Masalah pembangunan dan kebudayaan ini memunculkan diskusi yang sangat penting mengenai perlunya mempertahankan kepribadian dalam menghadapi perubahan-perubahan sosial yang sangat luas dan mendalam. Kebudayaan juga harus menghadapi implikasi-implikasi pembangunan seperti pengaruh dari luar dalam berbagai bentuk, termasuk gaya hidup, pola konsumsi, teknologi dan ilmu pengetahuan serta dampak komunikasi massa.

Implikasi paling besar dari pembangunan yang dirasakan adalah faktor lingkungan. Dalam 4 dekade terakhir, pembangunan Indonesia ditopang oleh ekstraksi sumber daya alam yang tinggi. Ini mencerminkan persoalan yang lebih global. Indrawan dkk (2007) telah menguraikan persoalan kerusakan masal di Bumi akibat pembangunan ini dengan baik. Ia menyatakan bahwa kepunahan jenis tumbuhan dan hewan saat ini berbeda dengan kepunahan di masa-masa geologi yang lalu. Di masa lalu, kepunahan massal terjadi akibat faktor non-manusia seperti tumbukan asteroid dengan bumi, perubahan temperatur yang drastis, atau bencana besar. Saat ini, kepunahan hampir sepenuhnya dipengaruhi oleh manusia. Kerusakan lingkunan dalam beberapa abad terakhir disebabkan oleh mahluk paling pandai, memiliki akal-budipekerti, serta pemikiran bebas sebagai sifat unik dan khas manusia. Tekanan terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati dipicu juga oleh peningkatan populasi manusia.

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia berdiri di atas pengurasan sumberdaya alam (minyak bumi, batu bara, emas, nikel, tembaga, kayu, perak). Sebagian besar sumber daya tersebut merupakan sumberdaya yang tidak terbaharukan. Ekstraksi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam telah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Senge (2008) menguraikan bahwa saat ini lebih dari 50 juta manusia setiap tahun bermigrasi ke kota-kota. Sumber-sumber perekoniman tradisional di desa telah hancur. Kondisi lingkungan, khususnya lahan dan perikanan, terdegradasi. Hal ini menyebabkan ketimpangan ketimpangan dalam distribusi sumberdaya dan sekaligus dalam ”gaya hidup” antara penduduk kota dan desa. Indonesia sedang mengalami masalah ini dan akan terus berakumulasi di masa depan.

Lebih jelas mengenai ketimpangan tersebut di atas, kita menyimak bukti-bukti yang dipaparkan James Martin melalui bukunya The Meaning of the 21 Century (2007). Ia menyatakan bahwa 7% penduduk dunia mengkonsumsi 80% energi yang tersedia. Bila kita hitung, konsumsi energi, air, dan sumberdaya alam lainnya satu orang di negara maju setara dengan konsumsi 140 orang Afganistan atau Ethiopia. James Martin menguraikan ada tiga macam penyebab kehancuran sumberdaya alam: penurunan kuantitas sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan pola konsumsi. Amerika adalah negara yang memberi kontribusi tertinggi bagi pelepasan gas carbon dioksida di atmosfer. Pernyataan James Martin tersebut mungkin dapat mengkonfirmasi adanya asumsi determinan mengenai ledakan penduduk dan batas-batas pembangunan sejak tahun 1970-an.

Sebuah dokumen penting dari Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Club of Rome berjudul The Limits to Growth (1972), menyatakan bahwa menipisnya sumberdaya alam di dunia diakibatkan ledakan penduduk dunia. Bukti dari Senge (2008) dapat kita gunakan untuk mengkritik pandangan deterministik ini. Sebuah komisi minyak yang dibentuk pemerintah dan industri minyak Amerika menyatakan bahwa cadangan minyak dan gas dunia tidak akan mampu mensuplai permintaan global 25 tahun ke depan. Ini mendorong naiknya harga minyak dari $ 25/barrel menjadi $ 100/barel antara tahun 2000 sampai akhir 2007. United States mengkonsumsi 20 juta barrel minya per hari (25% dari konsumsi minyak dunia); China mengkonsumsi 6 juta; Jepang 5 juta. Diperkirakan 80% konsumsi minyak Amerika Serikat adalah impor. Ledakan penduduk yang melesat tinggi di negara-negara berkembang sering dipandang sebagai faktor tunggal bagi masalah pembangunan. Namun demikian, ini tidak bisa menjadi faktor tunggal yang menyebabkan habisnya sumberdaya alam. Gaya hidup dan pola konsumsi negara maju juga menjadi faktor utama. Sementara akibat langsung dari krisis sumber daya alam, pastilah penduduk di negara berkembang. Panel antar pemerintah untuk perubahan iklim di Kopenhagen 13 Maret 2009, memperkirakan pada akhir abad ini permukaan air laut akibat pemanasan global akan naik 18-59 sentimeter. Jutaan hektar dataran rendah akan banjir dan serta ratusan juta orang mengungsi. Pemanasan global yang disebabkan industri di negara maju akan ditanggung oleh penduduk negara-negara miskin (Sinar Harapan, 13/02/09).

Pola hidup dan konsumsi dalam pemakaian sumberdaya alam ini telah menimbulkan ”eksploitasi” dalam bentuk baru. Sementara negara-negara maju melindungi kawasan hutan dan sumber daya alamnya, mereka mengarahkan usaha eksploitasi ke negara berkembang yang berbiaya lebih murah. Contoh paling bagus tentang paradoks ini adalah mengenai hutan tropis kita. Kebutuhan kayu regional dan global telah menyebabkan hutan Indonesia rusak parah dalam tempo 35 tahun terakhir. Di Indonesia, kelangkaan sumberdaya kayu sudah sangat dirasakan lebih dari 10 tahun yang lalu. Di ujung yang lain, Swedia telah mendeklarasikan bebas dari ketergantungan energi dari fosil tahun 2020. Tren di atas menunjukkan kepada kita arah baru yang sangat mengkhawatirkan. Negara-negara maju di Utara menguras sumberdaya alam dari Selatan dan sekaligus menuntut negara-negara Selatan, termasuk Indonesia untuk melindungi sumberdaya alamnya, termasuk sumberdaya hutan.

Tantangan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Bagaimana sikap Indonesia? Kawasan hutan yang relatif tidak mengalami kerusakan menjadi pilihan politik yang kontroversial. Kawasan ini umumnya dilindungi, karena statusnya kawasan konservasi. Sampai dengan 2008, luas kawasan konservasi ini mencapai 28,2 juta hektar. Selain kawasan konservasi, terdapat kawasan yang memiliki lanskap dataran tinggi yang disebut sebagai kawasan hutan lindung—untuk kepentingan perlindungan hidrologi dan tata air seluas 20 juta hektar. Kawasan ini dianggap sebagai beban karena tidak memberikan kontribusi ekonomi secara langsung dan banyak diperebutkan karena potensi tambangnya.

Pemerintah yang mendapatkan mandat dari undang-undang untuk melakukan pengaturan, fasilitasi, dan kontrol dalam pengelolaan kawasan-kawasan konservasi menghadapi persoalan-persoalan mendasar. Baik persoalan internal maupun tekanan dari eksternal dan dinamikan sosial budaya, ekonomi, dan politik di sekitar kawasan konservasi. Masalah-masalah tersebut beragam mulai dari, misalnya: di luar Jawa, keberadaan masyarakat adat yang memiliki klaim hak ulayat di dalam kawasan konservasi terus menjadi perdebatan; pembangunan membutuhkan ruang budidaya; penyediaan sarana dan prasarana, seperti pembangunan jalan dan pemukiman baru; kebijakan desentralisasi yang memungkinkan munculnya kabupaten atau provinsi baru di dalam kawasan konservasi; semuanya menjadi tantangan bagi upaya mempertahankan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan. Belum lagi potensi tambang (minyak bumi, gas alam, berbagai bahan mineral-emas, batu bara, tembaga, perak, nikel, dan sebagainya) di dalam kawasan konservasi. Potensi tambang tersebut menjadi komoditas politik kelompok elite yang memiliki kekuasaan sangat besar. Tidak mengherankan apabila kawasan konservasi menjadi titik temu berbagai kepentingan lintas sektor sehingga memunculkan, misalnya undang-undang sektoral yang dipenuhi kontroversi.

Di Sumatra dan Kalimantan hutan-hutan alam yang berstatus hutan produksi telah mulai habis. Hutan itu berubah menjadi hutan-hutan miskin dan terbuka serta diduduki oleh masyarakat untuk kebun sawit, karet, atau digunakan untuk kepentingan spekulasi tanah. Studi yang dilakukan oleh WWF tentang kondisi hutan Riau menunjukkan data sebagai berikut : tutupan hutan alam 1988 (5,6 juta Ha), tahun 2000 (3,3 juta Ha), dan tahun 2005 (2,7 juta Ha). Hampir 50% hutan alam di Provinsi Riau lenyap dalam tempo 17 tahun, atau rata-rata kehilangan hutan alam seluas 170.590 Ha/tahun. Walaupun studi ini masih diperdebatkan keabsahannya, tetapi apabila benar, sungguh suatu keadaan yang mengerikan. Contoh lain di kawasan konservasi di Provinsi Riau, yaitu TN Tesso Nilo. Pada periode 2005-2006, di kawasan TN tesso Nilo dan areal rencana perluasannya (eks HPH PT. Nanjak Makmu), telah terjadi penambahan luas perambahan dari 18.162 Ha (2005) menjadi seluas 35.600 Ha (2006) atau terjadi penambahan seluas 17.438 Ha dalam setahun. Areal perambahan ini dikuasai oleh lebih dari 2.300 KK perambah. Menurut informasi, sebagian besar berasal dari Sumatera Utara.

Tata Kelola Pemerintahan dan Kawasan Konservasi

Perubahan pola penggunaan lahan yang sedemikian hebatnya di luar kawasan konservasi telah mengancam secara langsung eksistensi kawasan-kawasan konservasi, sehingga tekanan bagi usaha pelestarian menjadi semakin meningkat. Dalam konteks perkembangan sosial-ekonomi, pembangunan, pertambahan jumlah penduduk, dan perubahan geopolitik juga ikut andil dalam mendorong meningkatnya kompleksitas tantangan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Proses otonomi daerah yang tidak didesain secara sistematis dan tanpa masa transisi melahirkan banyak kekacauan. Seringkali dengan retorika ”kepentingan masyarakat”, elit-elit politik lokal memanfaatkan proses otonomi untuk membangun dan melanggengkan jaringan kekuasaan. Meningkatnya konflik satwa liar (gajah, harimau, orang utan) dengan masyarakat di sekitar kawasan konservasi (kasus di TN Gunung Leuser, di sebagian besar Provinsi Jambi, dan Riau) menjadi indikator putusnya ”rantai ekosistem” akibat meningkatnya kerusakan, perusakan habitat satwa liar tersebut.

Tugas pemerintah ( di pusat dan di daerah) seharusnya dapat menjaga pendulum pembangunan agar tidak terjatuh dalam kutub ekonomi (antroposentris) dan juga tidak terpuruk ke kutub ekologi (ecosentris). Pemerintah memiliki mandat untuk melakukan tiga peranan sentral yakni sebagai pengatur, fasilitator, dan kontrol. Mandat ini harus mampu menjaga keseimbangan dua kutub tersebut. Kepemimpinan (leadership) yang efektif dan konsisten dibutuhkan untuk membuat keseimbangan itu terjadi. Kepemimpinan efektif hanya dapat dibangun dari komunikasi efektif. Komunikasi ini didasari atas dasar rasa saling percaya bersama (mutual trust). Selama lebih dari 30 tahun, pemerintah lebih dominan memainkan peranan sebagai pengatur dan mengabaikan peranan pihak lainnya. Watak pengatur ini sampai sekarang masih menjadi ciri dari pemerintah. Ini menjadi kendala internal terbesar bagi organisasi pemerintah pengelola kawasan-kawasan konservasi. Hal ini diperparah dengan selalu munculnya tiga macam konflik: konflik kepentingan (ekonomi vs ekologi), konflik manajemen (tertutup-ekslusif vs terbuka-inklusif), dan konflik di tingkat legislasi nasional (UU berbasis sektor, misalnya UU Migas/Pertambangan Vs UU Kehutanan).

Tantangan pengelola kawasan konservasi saat ini dan ke depan adalah bagaimana membangun manajemen dan mekanisme keseimbangan pengelolaan. Pengelola kawasan dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan ekonomi dan kepentingan penyelamatan lingkungan. Ini sesuai dengan tuntutan bagi pemerintah yang harus menyeimbangkan 3 peranan di atas. Hal ini tercapai apabila terdapat inti sari dari manajemen yakni seni kepemimpinan, the art of leadership. Kalau diperas lagi, intisari dari leadership adalah komunikasi. Komunikasi yang efektif akan melahirkan leadership yang efektif.

Suhariyanto-mantan Inspektur Jenderal Dephut, melalui beberapa seri diskusi informal menyatakan kepada penulis bahwa pemerintah harus merubah strategi dan perannya dari layanan konvensional menuju layanan prima. Fokus layanan harus digeser dari mementingkan birokrasi ke layanan berbasis kepentingan publik; orientasinya sikap perlu digeser dari kebanggaan institusi ke fungsi dan manfaat; basisnya dari sekedar dokumen atau formalitas administrasi menuju basis informasi; dan merubah sifatnya dari ekslusif menjadi inklusif. Perubahan tersebut memerlukan komunikasi efektif baik di lingkungan internal pemerintah dan lingkungan eksternal di publik yang lebih luas. Lebih lanjut Suhariyanto menyimpulkan bahwa pemerintah sebagai unsur ”sebab” dan publik sebagai unsur ”akibat”, bukan sebaliknya. Pemerintah dengan mandat dari negara dapat menciptakan hukum dan kebijakan, yang apabila tidak dapat dilaksanakan dengan benar dapat memberi dampak yang besar. Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, yang dimandatkan oleh rakyat kepada pemerintah seringkali berakibat negatif dan berskala besar baik langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Banyak produk hukum dan kebijakan yang disusun lembaga legislatif dan dilaksanakan oleh pemerintah berbenturan dengan berbagai kepentingan publik. Oleh karena itu pemerintah harus sangat hati-hati menyusun kebijakan dan produk hukum. Produk hukum yang diciptakan seharusnya ditinjau dan disusun berdasarkan pada aspek yang lengkap baik aspek ekonomi, sosial atau budaya. Sehingganya dikemudian hari, pelaksanaannya memberi rasa keadilan bagi masyarakat.

Pengelola kawasan konservasi sudah seharusnya memperhatikan secara cermat berbagai persoalan, wacana, dan perkembangan geopolitik, sosial ekonomi, dan aspek kesejarahan yang panjang dan kompleks tersebut di atas. Para pengelola Kawasan Konservasi, sebagai perwakilan pemerintah, harus dapat mengemban minimal tiga aspek: pengaturan, fasilitasi, dan kontrol. Peran ini dimainkan dengan berusaha secara kontinyu membangun transisi dari layanan konvensional menuju layanan prima. Pembangunan karakter dan budaya berorientasi kepada rakyat ini perlu dibangun oleh pemerintah agar dapat dibangun visi dan arah yang jelas, dengan capaiannya adalah terjadinya keseimbangan antara kutub antroposentrisme dan ekosentrisme.

Jaman ”kayu” telah hampir usai. Pengelola kawasan-kawasan konservasi adalah ujung tombak dan garda depan penyelamatan sumberdaya hutan tropis Indonesia yang masih tersisa, terlepas dari apapun latar belakang sejarah, motif politik, kepentingan dan konteks sosial di balik penetapan kawasan konservasi tersebut. Kesadaran diri sebagai garda depan penyelamat hutan tropis juga harus diimbangi dengan keinginan untuk mengubah paradigma dan strategi pengelolaan. Tanpa perubahan tersebut, kehancuran kawasan konservasi Indonesia bukan hanya soal menunggu waktu.

Renungan Konservasi

Wacana dan praktek pengelolaan kawasan konservasi harus dimulai dari kesadaran aktor-aktornya (manusia) untuk memahami konservasi sebagai sebuah gerakan (movement) bersama. Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Pengelolaan kawasan konservasi harus menjadi gerakan baru lintas disiplin keilmuan dan kepentingan. Hal ini karena dimulai dari penemuan dan perjumaan diri seseorang ( on self) terhadap kesadaran konservasi. Kesadaran diri terhadap konservasi akan menghindarkan seseorang dari perasaan kewajiban atau keterpaksaan atau mentalitas birokrat yang pasif. Kesadaran diri ini menentukan arah pengelolaan menuju tujuan yang ditetapkan secara inklusif dan mengakomodasi berbagai kepentingan saat ini maupun lintas generasi.

Ini membawa kita kepada sebuah diskusi tentang pengelolaan kawasan konservasi yang bukan hanya pekerjaan belaka atau kesempatan kerja. Ini menandai bahwa konservasi jauh melampaui hal-hal teknis. Konservasi dapat digunakan sebagai sebuah jalan untuk menemukan pengabdian. Sebuah usaha pencarian identitas yang sangat menarik dan menantang. Masi adakah para pekerja konservasi, baik di jajaran pemerintah, di lingkungan lembaga swadaya masyarakat, NGO international, praktisi, dan pengamat konservasi, memiliki kesadaran akan arah baru seperti ini? Pertanyaan diskursif dan praksis yang layak kita renungkan, agar kita semua tidak terjebak hanya sekedar menjadi tukang-tukang konservasi, bahkan menjadi parasit konservasi karena menjadikan konservasi sebagai lahan untuk hidup tanpa dapat memberikan makna yang mendalam membawanya menuju kemenangan, dan sekaligus menyerahkan tongkat estafet kepada generasi mendatang, sebagian dari bumi yang masih relatif masih utuh.

Solusi Banjir Jakarta dan Peran Ciliwung

Menarik membaca seri laporan Ekspedisi Ciliwung 2009, dan pendapat Arkeolog senior UI tentang perlunya Museum Ciliwung (Kompas 24/01/09). Ekspedisi yang memotret situasi dari hulu sampai hilir Ciliwung itu seolah menyampaikan pesan kepada publik gradasi kualitas lingkungan yang nyata semakin ke hilir dan betapa dampak dari pembangunan dan pertumbuhan kota serta penduduk di Jabotabek dan sekitarnya membuat Ciliwung menjadi tempat sampah raksasa, dengan segala dampak lingkungan dan sosialnya. Namun demikian, publik perlu mendapatkan fakta-fakta kuantitatif dan bukan sekedar gambaran kualitatif tentang Ciliwung dan dalam
hubungannya dnegan banjir Jakarta. Beberapa fakta berikut akan mencoba memberikan gambaran tentang fakta-fakta sehingga publik tidak terjebak pada berita yang ternyata hanya mitos.

Mitos Banjir Jakarta

Banjir Jakarta akibat kerusakan hutan di Hulu Ciliwung. Berita-berita di koran seringkali melansir pernyataan ini. Mitos atau fakta? Penelitian Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung memberi gambaran kepada kita bahwa terdapat 8 daerah aliran sungai (DAS) yang mengalir ke Jabotabek. Luas kawasan hutan di ke delapan DAS tersebut hanya 12%. Fakta ini menunjukkan bahwa peranan hutan wilayah hulu di 8 DAS, termasuk Ciliwung yang membelah kota Jakarta, dalam pengendalian banjir memang sudah sangat terbatas. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang menyebabkan banjir Jakarta tersebut? Apakah curah hujan sebagai faktor alam bisa kita pakai sebagai kambing hitam?. Kanjian dari Balai Pengelolaan DAS Ciliwung, Dept.Kehutanan, menunjukkan bahwa pola hujan sepanjang 100 tahun (1886-2002) ternyata tidak mengalami perubahan dan relatif menunjukkan pola yang sama. Oleh sebab itu, jawaban perlu dicari dari perubahan-perubahan yang disebabkan oleh faktor manusia. Beberapa human factors tersebut adalah:

Pertama. Meningkatnya pembangunan di Jakarta, mendorong percepatan masuknya penduduk-saat ini 11 juta jiwa, yang berimplikasi pada menjamurnya ribuan perumahan baru untuk pemukiman, pembangunan gedung-gedung pencakar langit-hotel, perkantoran, perumahan mewah, jalan tol. Seluruh faktor tersebut telah mendorong eksploitasi ait tanah dalam yang berlebihan, pemadatan tanah akibat, pemukiman kelompok miskin di sepanjang bantaran sungai, pembuangan sampah dan limbah pabrik ke sungai, buruknya sistem drainase, penurunan muka air tanah di Jakarta, dan lain sebagainya. Ketika hujan lokal dengan intensitas yang tinggi, sebagian besar air menjadi aliran permukaan (run-off) dan tidak sampai 1 jam sebagian besar Jakarta akan terendam. “Penurunan permukaan tanah disebabkan terlalu agresifnya eksploitasi wilayah dan air tanah di Jakarta.Lalu banjir kiriman dari selatan serta naiknya tinggi muka air laut, tingginya curah hujan, membuat banjir menjadi langganan datang ke Jakarta setiap tahun,”papar Ketua Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung Armi Susandi. Armi menambahkan, selain itu 40% wilayah Jakarta saat ini memang berada di bawah tinggi muka air laut rata-rata (www.seputar-indonesia.com). Versi banjir yang seperti ini tentu tidak ada hubungannya dengan kondisi hutan di daerah hulu Ciliwung. Luas DAS Ciliwung 37.472 Ha, dengan luas hutannya hanya 3.709 Ha atau 9,8% dari luas DAS tersebut.

Kedua. Hujan yang besar di daerah hulu sekitar Gadog, misalnya, memang mendorong meningkatknya kubah air yang sangat besar, tenaga kinetik air ini diperbesar dengan penyempitan badan DAS di daerah Bogor, yang bisa dipantau dari debit di Pintu Air Katulampa (Bogor) dan Pintu Air Manggarai (Depok). Namun, sesampaikan di wilayah Jakarta, meluapnya air Ciliwung lebih disebabkan oleh penyempitan dan pendangkalan badan sungai yang disebabkan oleh genangan semua jenis sampah. Sekali lagi ini faktor manusia.

Ketiga. Penyelesaian bajir Jakarta seringkali dilakukan secara parsial-sektoral, dan reaktif. Mempertimbangkan persoalan banjir dengan mengetahui relasi antar banyak faktor, antara lain kondisi geografis cekungan Jakarta, pemadatan tanah akibat pembangunan infrastrukur dan pemukiman, eksploitasi berlebihan air tanah dalam, polusi air di seluruh badang Sungai Ciliwung, serta pemukiman liar di sepanjang bantaran sungai, mengharuskan kita berfikir ulang dengan pola yang lebih komprehensif. Persoalan ini tidak bisa diselesaikan oleh Pemda DKI, oleh pihak swasta apalagi oleh masyarakat, termasuk lenbaga swadaya masyarakat. Yang menarik, pemerintah-swasta-masyarakat belum pernah bertemu. Banyak publik tidak mengetahui bahwa seluruh air baku yang dikelola oleh Palyja untuk mensuplai 50% kebutuhan air minum penduduk Jakarta harus diambil dari ”tabungan” air di Waduk Jatiluhur yang bersumber dari Sungai Citarum, Jawa Barat. Seluruh sungai yang mengalir di Jakarta tidak layak baik secara kesehatan maupun ekonomi untuk diolah dan menjadi layak konsumsi.

Solusi Multipihak

Mempertimbangkan persoalan yang sangat kompleks tersebut. Banyak pihak telah melakukan berbagai kajian teknis, namun tidak pernah dikomunikasikan kepada pihak lain, sehingga terkesan parsial, seringkali tidak berkelanjutan bahkan sebelum diperoleh hasil yang memadai. Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung telah melakukan kajian dari sampai pada kesimpulan bahwa salah satu solusi adalah dibangunnya minimal 261.622 unit sumur resapan di wilayah Jabotabek. Dengan biaya Rp 2,5 juta, maka diperlukan dana Rp 654 milyar. Saat ini baru 1 % yang telah direalisasikan. Satu buah sumur resapan mampu menyerap air limpasan (run-off) sebesar 6 m3/jam atau 83,3 liter/Ha. Sementara kemampuan penyerapan dari penanaman pohon 1 Ha hanya 20 liter. Maka sumur resapan memiliki kemampuan menyerap air 4 kali lipat lebih besar. Apabila kita mempu membangun 261.852 sumur resapan di Jakarta, maka sebanyak 1,56 juta m3 air limpasan (dari hujan) dapat diserap setiap jamnya. Betapa besarnya kita dapat mengembalikan air hujan kembali ke tanah menjadi tabungan air tanah dan sekaligus mengurangi atau mencegah potensi air limpasan menjadi banjir.

Program ini sesuai untuk membantu penyerapan air tanah di perkotaan. Sedangkan penanaman pohon menjadi prioritas reboisasi di daerah hulu Ciliwung. Pembangunan sumur resapan harus menjadi gerakan bersama, dan bukan terbatas dilakukan oleh Departemen Kehutanan.

Departemen Pekerjaan Umum perlu bekerjasama dengan Pemprov DKI- dan jajaran Dinas terkaitnya, dalam program normalisasi dan revitalisasi Sungai Ciliwung, dibarengi dengan upaya hemat air. Bagaimana program gerakan kepedulian terhadap air tanah yang dicanangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan konsep 5R yakni reduce (menghemat), reuse (menggunakan kembali), recycle (mengolah kembali), recharge (mengisi kembali), dan recovery (memfungsikan kembali), dapat direalisasikan dan mendapatkan dukungan yang luas dari semua pihak, khususnya masyarakat dan pihak swasta.

Pekerjaan besar ini tentu saja harus dilakukan secara terpadu dengan pihak swasta, LSM, dan masyarakat luas. Pendekatan sektoral yang bias pemerintah harus diperbaiki dengan membangun kesepahaman bersama, agar revitalisasi Ciliwung menjadi ”Agenda Bersama” dan ”Kesepakatan Bersama” lintas batas. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu pemerintah-swasta-masyarakat harus dipraktikkan dalam proses membangun Gerakan Revitalisasi Ciliwung tersebut. Lembaga yang dapat melakukan pekerjaan lintas lembaga itu mungkin berupa Otorita. Otorita Ciliwung akan menembus sekat-sekat komunikasi dan kolaborasi sektoral yang seringkali sangat birokratis, dan mendorong melibatan sepenuhnya pihak swata dan masyarakat, termasuk pakar perguruan tinggi, dan praktisi lingkungan secara luas dan substansial.

Pertanyaan akhirnya tertuju pada bagaimana membangu kesepakatan dan menyusun skala prioritasnya. Membangun Museum Ciliwung mungkin memang diperlukan, sebagai bagian dari gerakan yang lebih besar dan komprehensif. Gerakan bersama yang terpadu dan sinergis, menyelesaikan persoalan Ciliwung secara konkrit dan komprehensif, termasuk menata pemukiman di sepanjang bantaran Ciliwung itu yang tentu akan berdampak sosial dan finansial yang tidak kecil. Revitaliasi Ciliwung dapat kita jadikan cermin seberapa efektifnya kerja bareng lintas batas itu dapat direalisasikan. Melalui proses multipihak tersebut, diharapkan dapat dibangun proses ”learning organisation”.

Peran pemerintah masih sangat diharapkan namun demikian dukungan pihak swasta dan masyarakat tidak kalah pentingnya dalam upaya kita mewujudkan mimpi bersama, menyaksikan kembali Sungai Ciliwung yang bersih, tertata, dan asri. Keberhasilan ini akan menjadikan Kota Tua Jakarta tampil lebih cantik alami, kembali seperti masa 100 tahun yang lalu. Semoga saja dapat diwujudkan.***

Ditulis oleh: Wiratno dan Emil Sumirat
Makalah telah dimuat di AgroIndonesia Vol V Nomor 235 3-9 Februari 2009.

Sindrom Antroposentrisme

Dengar pendapat Komisi III DPR dengan Menteri Kehutanan sebagaimana dimuat di Kompas 6 September 2002 semakin menegaskan masih mewabahnya sindrom antroposentrisme di kalangan Komisi III DPR. Permintaan peninjauan ulang terhadap kebijakan soft-landing Departemen Kehutanan. Kebijakan ini tentu saja akan secara bertahap mengurangi setoran sector kehutanan kepada Negara sebesar 60,94%, yaitu dari Rp.3,03 trilyun (2002) anjlok ke Rp 1,18 trilyun (2003). Sangat disesalkan bahwa ternyata wakil rakyat kita tidak memahami sepenuhnya latar belakang kebijakan soft landing process, yang dimaksudkan untuk segera “mengistirahatkan secara bertahap” sumberdaya hutan Indonesia setelah “sakit parah” diperas habis-habisan dengan sistim HPH selama 30 tahun ini


Tidak Belajar dari Sejarah

Pada awal Abad 19, Raffles memperkirakan 85% daratan pulau Jawa masih ditutupi hutan lebat. Dari 10,6 juta ha pada Abad 18 menjadi tinggal 3,3 juta pada akhir Abad 19 atau kehilangan lebih dari 70%-nya, dalam jangka waktu 100 tahun, yaitu Abad. Penyebab pokoknya adalah konversi kawasan hutan menjadi perkebunan monokultur besar tebu di dataran rendah dan kopi di dataran tinggi, yang dimotori oleh Cultuurstelsel Belanda yang menngunakan modal besar dan alat-alat modern. Hal ini diperparah dengan tekanan penduduk yang meningkat 8 kali lipat dalam periode 100 tahun tersebut., yang menyebabkan tingginya kebutuhan akan kayu bakar untuk keperluan subsisten maupun mendukung industri gula. Di masa Orde Baru, revolusi hijau telah menyebabkan pula distorsi penguasaan lahan pertanian produktif pada sekelompok petani kaya, menciutnya kepemilikan lahan pertanian akibat pertambahan penduduk yang akhirnya berakumulasi pada meningkatnya ke kawasan hutan alam dataran tinggi. Proses konversi kawasan hutan ini terus berlanjut sampai akhir dekade 1980-an.

Kecelakan sejarah ini pun nampaknya diulangi lagi di era Orde Baru terhadap hutan Sumatra dan Kalimantan. Di Sumatra yang luasnya 3 kali lebih besar dari Jawa, hutan alam dataran rendahnya menjelang punah tahun 2005 (taksiran World Bank), yakni dengan dihabiskannya sumberdaya hutan itu melalui sistim HPH penuh monopoli sekaligus tidak bertanggung jawab. Pada tahun 1990-an, 9 raksasa konsesi kayu memonopoli dan mengontrol lebih dari 14 juta ha kawasan hutan produksi (Wiratno, dkk.,2002). Kerusakan hutan tersebut juga dipicu oleh konversi lahan untuk monokultur sawit, hutan tanaman industi miskin jenis pendukung industri pulp, pertambangan terbuka,, perambahan oleh masyarakat, pertambangan, pembangunan jaringan jalan, kebakaran hutan dan kebun, dan sebagainya. Praktis, dalam tempo 30 tahun sejak tahun 1970-an,, hutan hujan tropis di Sumatra tinggal kurang dari 10% luas semula. Ini berarti, kerusakan 10 kali lebih cepat dari apa yang pernah terjadi di Jawa. Taksiran yang sama oleh Worl Bank, hutan hujan tropis di Kalimantan akan habis tahun 2010.

Kesimpulan yang bisa kita ambil untuk sementara adalah bahwa kita, khususnya pemerintah di masa Orde baru tidak pernah belajar dari sejarah kehancuran hutan di Jawa, dengan segala konsekuensinya terhadap lingkungan hidup, serta kemunduran kualitas hidup masyarakat. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pemerintahan di bawah Presiden Megawati di era reformasi ini akan dipaksa mengulangi lagi kesalahan di masa lalu itu. Tentu saja, selalu dengan kedok demi penerimaan negara , pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, atau jargon yang sekarang sedang popular, demi pendapatan asli daerah?.

Sindrom Antroposentrisme

Kondisi carut marut lingkungan hidup Indonesia, khususnya sumberdaya hutan nasional yang seperti itu memang sangat dipengaruhi oleh politik ekonomi kita yang didisain mendewakan pertumbuhan ekonomi yang akhirnya disusul dengan kegagalan tricle down effect-nya. Sebagai konsekuensinya adalah selalu mengajukan jastifikasi perlunya sumberdaya alam dieksploitasi, dikuras, dan kalau perlu dihabiskan. Keraf (2002) dalam bukunya Etika Lingkungan, secara runut memberikan jawaban atas situasi di atas, dengan menguraikan apa yang menjadi latar belakang kebijakan tersebut karena etika yang dipakai memang etika antroposentisme.

Etika antroposentrisme yang dilatarbelakangi oleh tradisi pemikiran barat yang liberal. Dalam etika ini manusia diposisikan sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar; di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia difahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Menurut Keraf (2002), cara pandang inilah yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif.

Permintaan anggota DPR, khususnya Komisi III agar Departemen Kehutanan meninjau ulang kebijakan soft landing, sangat mungkin karena disebabkan ketidaktahuan latar belakang secara menyeluruh lahirnya kebijakan tersebut. Disamping itu juga pemahaman yang keliru bahwa sumberdaya hutan sering diidentikan dengan kayu semata. Dalam kenyataannya bahwa nilai kayu hanya kurang dari 5% nilai keseluruhan sumberdaya hutan itu. Hal ini tentunya sangat disesalkan mengapa sampai terjadi. Sebagai wakil rakyat, DPR harus memiliki fungsi kontrol dan semestinya justru mendukung kebijakan untuk mengistirahatkan sumberdaya hutan nasional kita yang memang sedang “sakit” parah. Kemungkinan lain, memang sindrom antroposentrisme masih lekat, bukan saja anggota Dewan yang terhormat, tetapi juga sebagian besar komponen masyarakat Indonesia, khususnya para pengusaha perkayuan yang tidak mau tahu tentang kondisi hutan Indonesia kecuali hanya mengejar keuntungan semata.

Terhadap maraknya penebangan haram (illegal logging), Komisi III DPR juga nampaknya kurang memahami fakta lapangan bahwa : Pertama, keberhasilan penanggulangan penebangan haram juga ditentukan oleh keseriusan dan konsistensi bukan hanya Departemen Kehutanan, tetapi juga Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman. Kedua, isu penebangan haram ini juga harus dikaitkan dengan isu regional, di mana China, Malaysia, Thailand, dan Phillipina telah lama melakukan moratorium penebangan hutan alam mereka. Oleh karena itu, permintaan kayu lingkup regional menjadi meningkat pesat. Saat ini, banyak terjadi penyelundupan dimana kayu-kayu dari Papua diangkut ke Phillipina, mendapatkan surat2 sah, lalu diangkut ke China; kayu dari Kalimantan Barat mendapatkan surat dari Malaysia atau Singapura, dan banyak kasus-kasus serupa.

Oleh karena itu, akan sangat sulit mengatasi hal ini apabila diplomasi regional tidak berhasil menyakinkan Negara-negara sahabat, agar bersama-sama melakukan penegakan hukum. DPR dapat mengambil perannya yang strategis dalam meyakinkan negara-negara sahabat itu, ketika melakukan kunjungan kerjanya. Karenanya, sangat diperlukan keterbukaan antara eksekutif (Departemen Kehutanan) dengan lesgislatif (DPR), tentunya dalam menyuarakan kepentingan publik dan kelestarian lingkungan yang lebih luas bukan kepentingan jangka pendek menjelang 2004.

Ke depan, akan sangat bagus apabila Departemen Kehutanan juga secara proaktif menjelaskan kepada masyarakat luas tentang upaya penegakan hukum terhadap penebangan haram, program-program kehutanan ke depan yang saat ini lebih condong pada upaya rehabilitasi dan konservasi. Demikian juga dengan sikap Departemen Kehutanan terhadap pola-pola pengelolaan hutan di era otonomi daerah. Kesepakatan dengan pemerintah Inggris dalam bentuk MoU penanggulangan penebangan haram, dan sebentar lagi dengan ASEAN dan Cina, Operasi Wanalaga dan Wana Bahari, dan upaya-upaya penegakan hukum yang telah dilakukan sebaiknya secara regular dan terbuka disampaikan kepada masyarakat. Misalnya progres penanganan kasus penangkapan tiga kapal asal Cina di Perairan Pangkalan Bun yang mengangkut 25.000 m3 kayu, juga perlu dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat, termasuk Mabes Polri yang menangani dari segi penyidikannya.

Penutup

Pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi sudah waktunya dirubah. Paradigma pembangunan ini telah nyata-nyata menghancurkan sumberdaya alam di Indonesia selama hampir 30 tahun terakhir ini. Visi pembangunan yang berdasarkan pertumbuhan ekonomi ini digambarkan oleh Kenneth Boulding dalam Korten (2001), sebagai “ekonomi koboi”. Visi ekonomi koboi adalah dunia yang bisa dilukiskan sebagai padang terbuka tanpa batas yang menyediakan sumberdaya dan jasa pelayanan pembuangan limbah tanpa batas. Ekonomi koboi diarahkan untuk menggali sumberdaya-sumberdaya yang paling mudah tersedia dari lingkungan hidupnya dan mengubahnya menjadi produk apa saja untuk memenuhi kebutuhannya.

Model pembangunan ke depan harus dirubah dari nafsu antroposentrisme dan ekonomi koboi menuju pembangunan berkelanjutan. Keraf (2002) juga mengajukan ide tentang “keberlanjutan ekologis”. Prinsip yang diajukan dalam paradigma keberlajutan maupun keberlanjutan ekologis adalah integrasi secara proporsional ketiga aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek pelestarian social-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Etika antroposentrisme harus ditinggalkan dan diganti dengan etika lingkungan hidup yang bertumpu pada teori biosentrisme dan ekosentrisme, dengan perpegang pada sikap hormat terhadap alam,prinsip tanggung jawab, solidaritas kosmis, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, prinsip “no harm”, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip keadilan, prinsip demokrasi, dan prinsip integritas moral.

Namun harus diingat, karena etika tidak bisa dipaksakan, kita memerlukan perangkat hukum yang memungkinkan prinsip-prinsip tersebut bisa dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kita memerlukan kemauan politik pemerintah dan juga legislatif, untuk menjadikan lingkungan hidup sebagai agenda utama yang menjadi pilar pembangunan nasional. Apabila niat politik dan perangkat hukum tidak ada, kehancuran sumberdaya alam, khususnya hutan di Indonesia tinggal menunggu waktu dalam hitungan tahunan saja.


Referensi:

Keraf, A.Sonny., 2002. Etika Lingkungan. Kompas, Jakarta Juli 2002;

Korten, D.C., 2001. Menuju Abad ke-21.Tindakan Sukarela dan Agenda Global.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2001.

Wiratno, dkk., 2002. Berkaca di Cermin Retak.Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. Yayasan Gibbon, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia, FoREST Press., Jakarta, 2002.

Bencana Ekologi dan Krisis Kebudayaan

Seorang ahli fisika terkenal, Fritjof Capra, menguraikan dengan gamblang bagaimana Barat dikuasai oleh pemahaman tentang fenomena alam yang mekanistik, yang dikembangkan oleh Descartes selama 3 Abad. Pandangan filsuf ini menyatakan bahwa alam semesta adalah sebuah sistem mekanis, telah memberikan persetujuan “ilmiah” pada manipulasi dan eksploitasi terhadap alam. Tujuan ilmu adalah penguasaan dan pengendalian alam, yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk “mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam”.



Sebelum Abad 15, pandangan dunia yang dominan di Eropa dan sebagian besar peradaban lain bersifat organik. Manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil dan erat, dan menjalani kehidupan alam raya dalam pengertian hubungan organik, yang ditandai oleh saling ketergantungan antara fenomena spiritual dengan fenomena material dan prinsip kebutuhan masyarakat umum lebih utama daripada kepentingan pribadi. Model matematika yang dikembangkan Descartes lah yang kemudian memungkinkan NASA mengirim manusia ke bulan. Kerja Descartes ini dilanjutkan oleh Isaac Newton pada abad 18, yang teorinya mampu menjelaskan gerak planet, bulan, komet, aliran gelombang, dan sebagainya.


Walaupun demikian, pandangan yang menempatkan alam sebagai fenomena mekanistik itu pula yang mendorong Barat mengembangkan Etika Antroposentrisme. Etika antroposentrisme ini dilatarbelakangi oleh tradisi pemikiran barat yang liberal. Dalam etika ini manusia diposisikan sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar; di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia difahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Menurut Keraf (2002), cara pandang yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif.


Bencana Ekologi


Senge, P (2008) menguraikan bahwa saat ini lebih dari 50 juta manusia setiap tahun bermigrasi ke kota-kota, yang disebabkan oleh ekonomi tradisionil yang hancur dan kondisi lingkungan yang terdegradasi, khususnya lahan dan perikanan. Kita mengetahui secara global terjadi ketimpangan dalam distribusi sumberdaya dan sekaligus dalam “gaya hidup”. James Martin-penulis buku “The Wired Society”, menuliskan dalam buku “The Meaning of the 21 Century” (2007), menyatakan bahwa 7% penduduk dunia mengkonsumsi 80% energy yang tersedia. Pola konsumsi energi, air, dan sumberdaya alam lainnya setara dengan konsumsi 140 orang Afganistan atau Ethiopia. Dinyatakan oleh James Martin tiga macam penyebab kehancuran sumberdaya alam, yaitu: penurunan kuantitas sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan pola konsumsi. Terbukti pula Amerika adalah negara yang duduk pada peringkat teratas yang mengkontribusi gas carbon dioksida secara global. Pernyataan James Martin tersebut mungkin dapat mengkoreksi pernyataan dari Club of Rome yang menerbitkan buku The Limits to Growth pada tahun 1972, diterjemahkan ke dalam 30 bahasa dan terjual lebih dari 30 juta copy. Dinyatakan dalam buku tersebut tentang semakin menipisnya sumberdaya alam di dunia yang mereka asumsikan sebagai akibat negatif dari pesatnya pertumbuhan penduduk dunia. Tigapuluh enam tahun kemudian, asumsi itu dipatahkan: 80% sumberdaya alam dunia dihabiskan oleh 7% atau segelintir penduduk dunia-mereka yang hidup “sangat” boros di negara-negara Utara. Senge, P (2008) menambahkan bahwa Komisi yang dibentuk oleh pemerintah US, dan industri minyak US melaporkan bahwa suplai minyak dan gas dunia tidak akan mampu mensuplai permintaan global 25 tahun ke depan, yang akan mendorong naiknya harga minyak dari $ 25/barrel menjadi $ 100/barel antara tahun 2000 sampai akhir 2007.


Sikap eksploitatif negara-negara Utara inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab dan menyeret Indonesia ke dalam bencana lingkungan. Eksploitasi sumberdaya hutan, bahan tambang mineral, minyak, gas, dan air selama 30 tahun telah menghasilkan dampak nyatanya saat ini. Banjir, tanah longsor, kekeringan, pencemaran tanah, penurunan kesuburan tanah, fragmentasi habitat satwa liar, kebakaran lahan, polusi air, pendangkalan waduk, situ, pencemaran udara; konflik sosial, marginalisasi masyarakat adat, terancamnya kebudayaan mengelola hutan masyarakat adat, dan seterusnya. Telah terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup yang sangat besar. Kalau hutan alam dataran rendah di Pulau Jawa habis dalam tempo 100 tahun antara Abad 18-19, hutan alam dataran rendah Pulau Sumatera lenyap dalam hitungan 30 tahun. Proses lenyapnya hutan alam Sumatera diprediksi sepuluh kali lebih cepat daripada masa kolonial.


Capra menyatakan bahwa kesadaran ekologis akan tumbuh hanya jika kita memadukan pengetahuan rasional kita dengan intuisi untuk hakikat lingkungan kita yang nonlinear. Fakta yang kita hadapi saat ini adalah bahwa telah terjadi ketimpangan yang luar biasa antara perkembangan kekuatan intelek, pengetahuan ilmiah, dan ketrampilan teknologi di satu sisi, dengan perkembangan kebijakan, spiritualitas, dan etika di sisi yang lain, yang menyebabkan ketidakseimbangan budaya yang menjadi akar-akar dari krisis multidimensional peradaban manusia saat ini.


Krisis Kebudayaan


Oleh karena, itu patut kita renungkan pendapat Keraf (2002), yang mengajukan sebuah ide tentang “keberlanjutan ekologis”. Prinsip yang diajukan dalam paradigma keberlanjutan maupun keberlanjutan ekologis adalah integrasi secara proporsional ketiga aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek pelestarian sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup. Etika antroposentrisme harus ditinggalkan dan diganti dengan etika lingkungan hidup yang bertumpu pada teori biosentrisme dan ekosentrisme, dengan perpegang pada sikap hormat terhadap alam, prinsip tanggung jawab, solidaritas kosmis, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, prinsip “no harm”, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam, prinsip keadilan, prinsip demokrasi, dan prinsip integritas moral.


Menarik apa yang dikemukakan oleh Sonny Keraf tentang sikap eksploitatif yang menghasilkan krisis ekologis sebagai dampak negatif dari ”pembangunan” di satu sisi dan Fritjof Capra tentang persoalan ketidakseimbangan budaya sebagai akar dari krisis manusia dewasa ini, di sisi yang lain. Persoalan mendasar tersebut telah dikemukakan oleh salah satu cendekiawan terkemuka Soedjatmoko pada tahun 1976. Soedjatmoko menyatakan bahwa usaha pembangunan dan modernisasi yang kita jalani sebagai sebuah bangsa telah menghadapkan kita secara langsung dengan masalah kebudayaan Indonesia dan dengan proses kebudayaan, kita memperbarui diri dalam kita menjawab tantangan kehidupan modern. Pembangunan menurut Soedjatmoko (1984) dalam Ibrahim (2004) tidak lain daripada mendinamisasikan kekuatan-kekuatan masyarakat. Dia bukan sekedar mengadakan proyek-proyek. Inilah yang disebut oleh Korten dan Sjahrir (1988) sebagai paradigma pembangunan yang disebut sebagai people-centered development atau pembangunan yang berpusat pada rakyat. Sikap ini juga didukung oleh Arief Budiman (1985) yang menekankan tujuan pembangunan untuk membangun manusia. Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif, manusia tersebut harus merasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya.


Agenda Siapa?


Adakah pergulatan pemikiran tentang pentingnya perubahan paradigma pembangunan kental dengan nuansa eksploitatif selama ini yang telah mengakibatkan meningkatnya krisis ekologis. Bagaimana calon pemerintahan baru mensikapi hal ini? Minimal pemerintahan mendatang perlu mempertimbangkan berbagai persoalan pembangunan tersebut, secara lebih serius, komprehensif, dan mendalam. Pembangunan bukan sekedar disederhanakan menjadi angka-angka pertumbuhan ekonomi, realisasi proyek-proyek, penanaman modal asing, penciptaan lapangan kerja, kesejahteraan masyarakat, dan sebagainya. Di mana posisi aspek lingkungan, kelestarian sumberdaya alam dan faktor ekologi?


Pemerintahan baru di bawah Presiden SBY dalam bendera KIB II ini, telah memebntuk Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Di bidang lingkungan hidup, dii bawah koordinasi ttokoh lingkungan hidup Prof Emil Salim. Wantimpres ini seyogyanya merumuskan Strategi Kebudayaan dan Pembangunan Indonesia yang baru, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Termasuk dalam konteks Indonesia sebagai anggota baru kelompok G-20.


Strategi pembangunan tersebut perlu disiapkan dengan proses dialog publik yang cukup mendalam-komprehensif, yang melibatkan bukan hanya ekonom, dan teknokrat sebagaimana disain di masa lalu, tetapi juga budayawan, pakar ekonomi lingkungan, pakar biologi, sosiolog, antropolog, sejarawan, serta putra-putra terbaik dari seluruh Indonesia. Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru nantinya. Yaitu membuka ruang publik untuk dialog konstruktif tentang masa depan Indonesia, dalam konteks perubahan geopolitik di tanah air di era otonomi daerah, di tataran ASEAN, maupun internasional. Bagaimana mengurangi dominasi negara-negara Utara, dan menciptakan strategi kemandirian secara bertahap di segala bidang kehidupan dan pengelolaan sumberdaya alam strategis nasional (minyak bumi, gas alam, mineral, air), sebagaimana Malaysia, misalnya, mulai berhasil mewujudkannya. Untuk itu, diperlukan sikap mental dan sikap politik seorang negarawan bagi seluruh jajaran birokrasi pemerintahan-termasuk pemerintah daerah dan parlemen, untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, mandiri, dan mensejahterakan rakyatnya tanpa (terlalu) mengorbankan lingkungan dan sumberdaya alamnya. Suatu tantangan jangka panjang yang harus mulai disikapi dengan serius dari saat ini. Artikel "Indonesia Alignment" karangan Rheinald Khasali (Kompas 21/07/10) sangat tepat untuk menguraikan kondisi Indonesia yang cenderung jalan di tempat karena konflik atau tidak sinergisnya kerja -kerja lintas sektor, yang dicontohkan seperti "ekonomi bandara" yang carut marut itu....