"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

23 November 2010

Relokasi dan Rezonasi TN Gunung Merapi

Oleh :Wiratno, Petrus Gunarso, Nurman Hakim

Wilayah Indonesia memiliki 128 Gunung Api tersebar merata mengikuti garis lempeng mulai dari sisi Barat Sumatra, selatan Jawa, Bali Nusa Tenggara hingga Maluku Utara dan sulawesi utara (Smithsonian Institution-Global Volcanism Program). Oleh karena itu, Indonesia disebut juga sebagai negara dalam ring of fire, negara kepulauan yang bersabukkan gunug-gunung api aktif.

Sebanyak 46 Gunung Api (36%) berada pada 35 wilayah kawasan konservasi. Hanya di Kalimantan dan Papua yang tidak ada gunung api. Beberapa kawasan memiliki lebih dari satu gunung api seperti Taman Hutan Raya Bukit Barisan (Sibayak, Sinabung), Taman Nasional Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan (Sekincau Belirang, Suoh), CA Krakatau (Anak Gunung Krakatau), TN Gunung Halimun
Salak (Gunung Salak dan Perbakti), CA Gunung Papandayan (Gunung Papandayan), TN Bromo Tengger Semeru (Gunung Bromo dan Tengger), TWA Ruteng (Poco Leok, Ranakah). Bahkan TN Kerinci Seblat yang terletak di 4 provinsi memiliki 6 gunung api, yaitu Gunung Belirang-Beriti, Hutapanjang, Kerinci, Kunyit, Sumbing, Pendan.

Selain itu, terdapat 81 kawasan konservasi yang namanya diawali kata gunung atau pegunungan. Meski tidak selalu berarti memiliki gunung api namun fakta ini menggambarkan lansekap yang rentan terhadap ancaman longsor dan banjir bandang sebagaimana yang baru-baru ini terjadi Wasior yang berada tepat di bawah Cagar Alam Pegunungan Wondiboy.

Letusan Gunung Merapi, yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai taman nasional pada tahun 2004, melebihi letusan tahun 1872. Letusan tersebut telah menyebabkan korban jiwa, harta benda, dan kerusakan lahan pertanian serta gelombang pengungsian ratusan ribu jiwa, sedemikian menghentak kesadaran kita bersama. Radius bahaya yang mencapai 15-20 Km atau kawasan seluas 76.650 -125.600 hektar. Luas kawasan TN Gunung Merapi yang hanya 6.410 Ha tersebut ketika letusan besar terjadi ternyata tidak berarti bagi perlindungan masyarakat yang tinggal di wilayah penyangga taman nasional. Letusan kali ini ternyata berdampak terhadap kawasan penyangga di 3 kabupaten di sekitarnya yang luasnya 12-20 kali lipat dari luas TN Gunung Merapi.

Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah - apa sebenarnya peran besar penetapan Gunung Merapi sebagai sebuah taman nasional? Karena Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia, maka pertimbangan penetapan Merapi sebagai taman nasional adalah karena karena keunikan akibat gejala geologi kegunungapian tersebut. Keunikan tersebut tentu akan berdampak pada kunjungan turis dan peneliti. Namun demikian, jika terjadi letusan yang besar seperti yang terjadi saat ini, manfaat konservasi apa yang dapat kita rasakan?

Implikasi ke Depan

Pengalaman letusan Merapi ini membawa beberapa konsekuensi. Pertama, pengelolaan TN Gunung Merapi harus dilakukan secara terpadu lintas disiplin keilmuan dan kepakaran. Walaupun skala geologi antar letusan mencapai ratusan tahun, namun kasus seperti Merapi ini membuktikan bahwa para pihak dengan berbagai disiplin ilmu perlu melakukan antisipasi dini terhadap kemungkinan letusan eksplosif pada periode tertentu. Ahli Vulkanologi, Ahli Geologi, Ahli Geomorfologi, Ahli Gerakan Tanah, Ahli Ekologi Hutan, Ahli Hidrologi, Ahli Daerah Aliran Sungai, Ahli Tata Air, Ahli Klimatologi, Ahli Kesehatan Lingkungan, dan berbagai kepakaran harus dilibatkan dalam melakukan antisipasi atau lebih tepat bagaimana mempersiapkan diri ketika letusan terjadi dan pasca letusan tersebut.

Kedua, rehabilitasi kawasan Merapi, bukan hanya terbatas di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang luasnya hanya 6.410 Ha saja, tetapi juga ribuan hektar lahan-lahan masyarakat yang hancur akibat awan panas (wedus gembel), abu vulkanik, dan lahar dingin. Oleh karena itu diperlukan rencana jangka panjang rehabilitasi TN Gunung Merapi dan kawasan terkena dampak di sekitarnya yang cukup luas itu.

Ketiga, konsep penataan ruang zonasi dan rencana-rencana pengelolaan di kawasan konservasi yang memiliki gunung api aktif harus dilakukan secara terpadu lintas disiplin dan kepakaran. Penataan ruang atau zonasi kawasan konservasi tidak sekedar mempertimbangkan keragaman hayati di tingkat spesies, habitat, ekosistem, atau lansekap, namun juga mempertimbangkan zona-zona Kawasan Rawan Bencana (KRB) yang ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana.

Keempat, di kawasan-kawasan konservasi yang memiliki gunung api aktif, perlu segera dipermudah perijinan untuk pemasangan peralatan pemantau aktivitas gunung api, seperti seismograf. Pemantauan aktivitas gunung api melalui seismograf ini sangat efektif untuk memantau tingkat aktivitas gunung api serta menjadi bagian dari pengelolaan pengunjung. Apakah suatu waktu, pengelola harus menutup kawasan taman nasional dari kunjungan wisata, seperti yang terjadi saat ini di TN Bromo Tengger Semeru.

Kelima, aktivitas gunung api dapat pula menjadi obyek wisata yang sangat menarik, seperti yang terjadi Mauna Loa (4,170 m) dan Kilauea (1,250 m) di TN Gunung Berapi Hawaii. Aktivitas gunung berapi lebih dari jutaan tahun telah menciptakan lansekap yang unik. Alam dan kehidupan yang dipelihara dan dikembangkan untuk ekosistem yang luar biasa. Terdapat burung langka, spesies endemik dan/atau menjadi raksasa ferns. Sejak 1987 Taman Nasional Hawaii Gunung Berapi ini oleh UNESCO didaftar sebagai Monumen Alam.

Para peneliti gunung api juga tidak akan melewatkan kejadian letusan besar yang berskala ratusan tahun itu, sebagai bagian dari pengembangan ilmu pengetahuan, yang sangat penting bagi kemanusiaan dalam arti luas. J.A. Katili (Harta Bumi Indonesia, 2007), menyatakan kebanggaannya ketika ia bersama ahli Vulkanologi mampu memprediksi adanya potensi letusan besar Galunggung pada tahun 1982-1983 dan Gunung Colo tahun 1983, dan ternyata terbukti benar, sehingga ribuan jiwa selamat karena peringatan dini yang tepat tersebut.

Keenam, banyak khalayak tidak mengetahui bahwa potensi vulkanologi, seperti magma di perut bumi itu juga bermanfaat dalam pengembangan geothermal, untuk menghasilkan energi listrik ramah lingkungan. Pengembangan ini telah berjalan seperti TN Gunung Halimun Salak oleh Chevron Indonesia dan Pertamina Panas Bumi, di CA Papandanyan, CA Kamojang, dataran Tinggi Dieng, dan masih banyak lokasi lainnya di sepanjang jalur gunung api, mulai dari Sumatera Utara (Kompleks Gunung Sinabung, Dolok Sibual-buali) sampai ke TN Gunung Rinjani di Lombok. Panas bumi ini juga dapat dikembangkan ketika hutan-hutan alam di kawasan tersebut dalam kondisi baik.


Relokasi dan Zonasi

Rencana Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melakukan relokasi penduduk perlu disinergikan dengan zonasi ulang Taman Nasional Gunung Merapi. Berdasarkan Citra SPOT 10 November 2010, pasca letusan telah menghancurkan ekosistem hutan pegunungan lebih dari 2000-2500 Ha atau 31-39% dari luas TN Gunung Merapi. Namun demikian zonasi bukan hanya terbatas pada kawasan TN Gunung Merapi seluas 6.410 Ha saja, tetapi juga menetapkan Zona Terlarang (tidak layak huni) yaitu kawasan terdampak akibat letusan 2010 sebagaimana diusulkan oleh Sudibyakto-pakar di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Kompas 12/11/10), zona ini ke depan hanya akan diperbolehkan dimasuki untuk kepentingan pemantauan dan riset kegunungapian. Zona selanjutnya adalah pada kawasan di bawah Zona Terlarang, yang dapat dimanfaatkan secara terbatas, sampai ke kawasan di bawahnya meliputi kawasan sampai radius sebagai zona aman 20 Km atau pada kawasan seluas 125.600 Ha di 3 kabupaten. Zonasi ulang ini perlu dilakukan untuk kepentingan keselamatan ratusan ribu jiwa penduduk sekitar Merapi dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan-yaitu pemantauan secara terus menerus aktivitas Merapi di masa mendatang. Zonasi ulang dilakukan untuk mengantisipasi perubahan vegetasi, satwa, dan ekosistem pasca letusan. Pemahaman mengenai perubahan ekologis pasca letusan yang berinterval puluhan atau ratusan tahun ini perlu dipelajari untuk melakukan quick response atas meningkatnya aktivitas Merapi yang membahayakan di masa mendatang. Revisi zonasi TN Gunung Merapi seluas 6.410 Ha dan kawasan di sekitarnya seluas 125.600 Ha harus dimasukkan dalam revisi tata Ruang Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Prosesnya harus melibatkan masyarakat khususnya yang tinggal di lereng Merapi dan daerah terdampak, serta melibatkan pakar dari berbagai disiplin keilmuan, sehingga hasil tata ruang yang baru tersebut dapat diataati oleh semua pihak. Kemungkinan relokasi tidak kurang dari 6.242 kepala keluarga harus menjadi pertimbangan pertama dalam proses tersebut. Yang pelru dipikirkan adalah di Sultan Ground, atau ke luar Jawa. Relokasi masyarakat korban bencana juga perlu pula memperhitungkan budaya masyarakat yang sudah terbiasa dengan perubahan ekologis akibat letusan - yang memang tidak sebesar kali ini. Jika proses relokasi ini dilakukan dengan cara terbuka dan konsultatif dengan para korban bencana, maka dapat dipastikan hasilnya akan lebih baik dibandingkan dengan relokasi secara paksa.

Relokasi dan re-zonasi harus berjalan beriringan dan melibatkan parapihak yang berada di dalam bentang alam Gunung Merapi. Semoga upaya yang akan dilakukan dapat melibatkan parapihak - terutama parapihak yang hidup dan tinggal dalam bentang alam, karena merekalah penerima manfaat langsung, sekaligus menjadi korban pertama perubahan bentang alam akibat letusan.

--------------------------------------------------------------
Ir.Wiratno, MSc dan Nurman Hakim (Staf pada Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan)
Petrus Gunarso, PhD (Programme Director); Tropen Bos Indonesia, Indonesia Programme
Jakarta, 12 November 2010