"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

24 Mei 2011

Apa Hubungannya Resort-Based Management dengan Revolusi Cina

Resort-Based Management (RBM), “jargon” atau “icon” baru dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional di Indonesia. Jargon yang pernah saya tulis dalam suatu artikel (tahun 2007) ketika bekerja di TN Gunung Leuser pada periode 2005-2007. Setelah 2 tahun, pada tahun 2009, RBM diusulkan masuk ke dalam program prioritas di Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Ditjen PHKA, smenjadi program nasional. Pada tahun 2010, mulai digarap RBM dan dilanjutkan di 2011 sampai dengan 2014.


Mengapa RBM?


RBM hanya sekedar menjadi jargon apabila tidak segera dilaksanakan. RBM adalah konsep lama yang ditinggalkan oleh kita semua, para pekerja konservasi. Di masa lalu, orang konservsi dikenal sebagai “orang PPA” yang bekerja menjaga “hutan PPA”. Mengapa mereka demikian dikenal sebagai “orang PPA?”. Jawabannya hanya satu.

Mereka secara rutin ada di lapangan, bekerja di lapangan. Dalam perkembangannya, semakin sedikit staf yang bekerja di lapangan. Ke lapangan ketika ada kegiatan patroli. Maka, hutan-hutan menjadi semakin tidak terjaga, batasnya tidak jelas. Mulailah terjadi bibrikan, perambahan sedikit demi sedikit, dan seiring dengan perkembangan waktu, kawasan konservasi yang mengalami kerusakan menjadi semakin meluas, dan sulit untuk diselesaikan. “Paper park” sindiran yang ditujukan pada taman nasional yang hanya ada di peta, tetapi di lapangan tidak eksis, menjadi semakin terungkap. Banyak pedoman, arahan, petunjuk teknis, petunjuk pelaksanaan yang tidak nyambung dengan fakta di lapangan. Separuh dari 523 kawasan konservasi (luas 27,23 juta Ha atau 6,8 kali luas negeri Belanda) yang telah dicek kondisi tutupan lahannya, diperkirakan seluas 500.000 Ha telah mengalami berbagai tingkat kerusakan. Dengan pengalaman selama 30 tahun terakhir, maka ke depan, tidak ada pilihan lain kecuali kembalikan sarjana untuk bekerja di lapangan, bekerja di hutan, menjaga hutan, dan sekaligus menemukenali berbagai persoalan dan potensi-potensi yang dapat dikembangkan dari pengelolaan kawasan konservasi di satu sisi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sisi yang lainnya.


Belajar dari Cina?


Menurut E.F. Schumacher, penulis buku terkenal “Small is Beautiful” (1980), menguraikan tentang sejarah kebangkitan China sejak tahun 1920-1930, apabila dibandingkan dengan saat ini merupakan keajaiban Abad 20. Masa ini melahirkan tokoh perubahan besar seperti Mao dan Chou En-lai.


Salah satu ide Mao yang dikembangkan adalah mengambil tiga puluh petani bekerja bertahun-tahun untuk membiayai seorang pemuda di universitas selama 1satu tahun. Ketika ia lulus dalam waktu lima tahun, ia telah menghabiskan tahun kerja 150 petani. Mao tua yang kejam mengatakan : “baiklah orang muda, apa yang akan diterima petani. Anda telah dididik ast biaya petani. Sebagai ganti pergi ke distrik modern di Shanghai, anda akan pergi ke desa yang jauh dan mengembalikan sesatu kepada petani dari apa yang telah anda pelajari. Mereka pergi ke sana, dan mendapati apa yang telah mereka pelajari sama sekali tidak relevan. Mereka bahkan tidak dapat menimbang bayi tanpa timbangan bayi yang biayanya jauh lebih besar daripada seluruh pendapatan desa itu. Mereka kembali dan berkata, kami tidak mempelajari apapun yang berguna di universitas. Hal ini mempunyai efek magis dalam kurikulum. Mereka sampai langkah berikutnya dan berkata, Kami harus bekerja dan sekaligus belajar. Berjalan di atas dua kaki: suatu konsep yang khas Cina. Suatu periode kecil belajar, kemudian periode kecil kerja. Jika mereka tidak bekerja, mereka tidak tahu apapun tentang kenyataan; mereka hanya tahu apa yang ditulis dalam buku-buku. Transformasi Cina ini didasarkan pada ide mempelajari dengan praktik. Menurut Mao, manajer dan intelektual harus pergi dan belajar dari para pekerja. Kemudian dia harus membawa kembali ke dalam studinya apa yang telah dia pelajari, membuat teori tentangnya, lalu pergi dan mengajarkannya kepada para pekerja.Itulah proses yang tepat. Jika prosesnya hanya separuh darinya, baik belajar hanya dari pekerja atau belajar hanya dari manajer, teori itu mungkin tidak berguna.


Yang menarik, analisis dalam buku E.F. Shcumacher pada tahun 1980 ini, dalam 30 tahun kemudian ditemukan dan diungkap kembali oleh futurist John Naisbitt dalam bukunya Mega Trend China (2010). Ajaran Mao itu diterjemahkan menjadi 2 pilar dari 8 pilar keberhasilan Cina, yaitu “Emansipasi Pikiran” dan Kombinasi “Top-down dengan Bottom-up”. Dua pilar di antara delapan pilar inilah yang mendasari dan menentukan keberhasilan Cina saat ini.


Refleksi RBM


Belajar sedikit saja dari uraian tentang keberhasilan Cina itu, sungguh mencerahkan, minimal apabila dikaitkan dengan penyusunan pedoman RBM, yaitu :

  1. Proses dalam penyusunan pedoman dimulai dari dialog yang meilbatkan para pihak, termasuk para pihak yang bekerja di lapangan, beberapa dosen muda, LSM. Suatu model baru yang dikembangkan untuk membangun suasana yang kondusif bagi suburnya proses “intellectual exercise”, debat yang konstruktif, adu argumentasi yang bukan pokrol bambu. Dalam konteks Cina, ini disebut sebagai “emansipasi pikiran”. Yang menarik, diwadahinya berbagai pengalaman lapangan untuk diadu dengan teori-teori dari menara gading universitas. Hal ini diperkaya dengan kedatangan Tim penyusun RBM pusat untuk melakukan “sensing” di beberapa taman nasional untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, di hutan sana. Mirip dengan model pengiriman sarjana Cina ke pelosok pedesaan….
  2. Proses tersebut di atas, juga secara tidak langsung mengadopsi kombinasi proses top-down (Renstra Ditjen PHKA 2010-2014) yang memerintahkan kepada 50 UPT taman nasional untuk menerapkan RBM), dengan proses-proses dari bawah (bottom-up), yang diwadahi dalam ruang-ruang dialog selama proses penyusunan RBM tersebut.

Kedua proses tersebut diharapkan dapat memberikan dampak psikologis untuk tumbuh suburnya rasa memiliki (sense of ownership) dari semua pihak yang terlibat dalam seluruh proses penyusunan pedoman RBM tersebut. Apabila hal ini dapat terjadi, maka kita sudah mulai membangun tradisi baru untuk menjembatai gap yang terlalu lebar dan semakin melebar antara kebijakan (policy) dengan fakta-fata atau kebutuhan di tingkat lapangan.


Suatu cultural leap, lompatan budaya yang harus kita kawal bersama, terkait dengan reformasi dan sikap mental birokrat dan birokrasi di bidang pengelolaan kawasan-kawasan konservasi. Sumberdaya alam yang termasuk dalam kategori common pool resources. Dari collective awareness menuju collective action. RBM diharapkan menjadi kendaraan untuk mewujudkan impian yang mulia tersebut.


Maka, sudah waktunya sarjana-sarjana khususnya kehutanan, untuk kembali ke hutan. Turun di desa-desa sekitar hutan, jaga kawasan-kawasan konservasi. Dan tidak terjebak sekedar menjadi administrator konservasi duduk manis di belakang meja-meja birokrasi. Dalam konteks RBM, sarjana-sarjana harus bekerja mulai dari resort, mejadi staf atau kepala resort. Agar bisa mengetahui dengan pasti persoalan-persoalan dan fakta-fakta konkrit di lapangan. Sebuah revolusi pengelolaan kawasan hutan dan kawasan-kawasan konservasi dapat dimulai apabila sikap mental kita minimal dapat bercermin dan belajar dari pengalaman Cina. Tidak perlu malu.


Sumber Inspirasi :

E.F.Shcumacher., 1980. Kerja Bermartabat.Kreasi Wacana. Yogyakarta.

John Naisbitt., 2010. Mega Trend China.