"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

06 Juni 2011

Ego, Kesadaran, dan Konservasi Alam

Mentalitas ”selalu merasa kurang dan kekurangan” adalah sikap berfikir manusia yang egois. Menurut Eckhart Tolle-guru spiritual dan penulis buku ”A New Earth” (2005), menguraikan bahwa pemenuhan atau kepusan ego hanya berumur pendek.Maka kita akan cenderung terus mencari, terus membeli, dan terus mengkonsumsi. Merasa kekurangan adalah karakter ego, disebut sebagai ”egoic mind”. Dalam kasus penderita bulimia, misalnya seringkali membuat dirinya muntah sehingga dapat melanjutkan makan. Pikiran mereka yang lapar bukan tubuhnya.

Analisis soal Ego ini rasanya tepat dikaitkan dengan sikap mental manusia yang selalu merasa kekurangan. Banyak manusia di zaman ini yang menderita bulimia
dalam konteks kerakusannya (wanting) dalam menghabiskan sumberdaya alam. Siap mental antroposentrisme, yang selalu merasa manusialah yang memiliki hak atas sumberdaya alam di muka bumi ini, adalah semacam collectic egoic mind. Sikap mental ini telah menimbulkan kebijakan eksploitatif terhadap sumberdaya alam. Kelompok minoritas 7% penduduk bumi yang mengkonsumsi lebih dari 80% energi dunia adalah fakta itu. Wanting yang bersifat ’struktural” ini adalah kebutuhan yang cenderung membuat efek candu (addictive).

Barangkali ini merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan dunia saat ini. Berapapun yang dapat dipenuhi tidak akan pernah berakhir sepanjang mental strukturnya masih sama: ”I want”, ”I need”, ”more than”. Berapapun dan apapun yang kita dapat tidak akan membuat kita bahagia.

Ego manusia terdiri dari pikiran (thought) dan emosi (emotion). Ego adalah sejumlah memori yang kita identifikasi sebagai ”saya” atau ”me” dan ”my story”, kebiasaan yang kita perankan tanpa kita mengetahuinya, identifikasi kolektif seperti kebangsaan, agama, suku, kelas sosial, atau aliansi politik. Ego manusia juga berisi identifikasi personal, bukan hanya dengan kepemilikan, tetapi juga pendapat, penampilan luar, dendam, kebencian yang lama, atau konsep tentang diri kita yang lebih baik atau sama baiknya dengan yang lain, sukses dan kegagalan. Sedangkan di dalam pikiran manusia terdapat pula suatu elemen yang kuat yang disebut sebagai kesakitan mental secara kolektif.

Echart Tolle menyatakan bahwa pikiran manusia sangat cerdas. Namun, kecedasan itu dicemari oleh kegilaan (madness). Ilmu pengetahuan dan teknologi telah memperbesar dampak kerusakan terhadap alam, bentuk kehidupan lainnya, dan terhadap manusia itu sendiri. Pada Abad 20 ini, gangguan (dysfunction), kegilaan kolektif dari manusia dapat dikenali dengan mudah.

Pada tahun 1914, kecerdasan otak manusia bukan hanya menghasilkan mesin uap, tetapi juga bom, senjata mesin, kapal selam, dan gas beracun. Kecerdasan yang melayani kegilaan (madness) pikiran manusia. Pada akhir Abad 20, jumlah manusia yang meninggal di tangan manusia lainnya meningkat lebih dari 100 juta jiwa. Mereka meninggal bukan hanya karena perang tetapi disebabkan oleh pemusnahan massal dan genosida, antara lain berjumlah 20 juta konflik kelas di Uni Soviet pada masa Stalin atau bencana horor Nazi Jerman. Juga terjadi di masa rejim Kmer Merah Cambodia dimana 1/4 penduduknya dibantai.

Gangguan kolektif pikiran manusia ini berlanjut di Abad 21, yaitu kejahatan yang belum pernah terjadi terhadap kehidupan lain di bumi-pengrusakan oxygen yang memproduksi hutan, kehidupan tanaman dan hewan; pencemaran sungai, lautan, dan air. Hal ini didorong oleh keserakahan, ketidaktahuan akan ketersalingterhubungan antar elemen kehidupan di biosfer bumi secara keseluruhan. Bila manusia tetap berperilaku seperti itu dalam waktu yang lama, maka akan menghancurkan diri sendiri.

Maka, analisis komprehensif tentang gangguan pada pikiran manusia oleh Eckhart Tolle ini cukup tepat untuk menjadi perenungan kita tentang kerusakan-kerusakan alam akibat ulah manusia yang akan diwariskan ke generasi selanjutnya pad Abad ini dan di masa depan.


Ahimsa

Prinsip Ahimsa berakar dari kata “tak melakukan tindakan yang mencederai” (Goenawan Muhamad, Tempo, Edisi 28 Feb-6 Maret 2011). Ahimsa dikembangkan dari tradisi Veda, Jaisnisme, dan Buddishme. Di sisi lain, konservasi alam, menyelamatkan lingkungan, sangat bertautan erat dengan perjuangan melawan eksploitasi sumberdaya alam yang berskala besar, dan oleh karenanya mempunyai kemampuan merusak dan mengakibatkan dampak langsung pada masyarakat yang tinggal di sekitarnya, yang pada umumnya miskin, terpencil, tidak terjangkau oleh tangan-tangan pembangunan.

Pertanyaan pentingnya adalah apakah strategi Ahimsa dapat diajukan untuk mempertahankan sumberdaya dari eksploitasi atas nama pertumbuhan ekonomi atau akibat dari kemiskinan absolut maupun struktural masyarakat di sekitarnya? Dalam kerangka membujuk orang untuk menyelematkan sepetak hutan di perbatasan dusun atau desanya, mungkin ini masuk dalam strategi Ahimsa. Konservasi memang penuh dengan himbauan dan “bujukan”, karena ia ditujukan untuk perubahan sikap mental, dan oleh karena itu hanya “kesadarannya” yang harus disentuh, agar bisa menjadi motor penggerak menuju perubahan yang lebih bernas dan bermakna, untuk kepentingan publik.

Namun dalam kasus perambahan di Besitang TNGL yang masih dan didalangi oleh kelompok terorganisir, bermodal kuat, maka Ahimsa tidak mempan. Harus ada upaya penegakan hukum terhadap aktor intelektual yang telah memperjuanbelikan lahan tam nasional beberapa tahun dan telah menjadi kaya raya karena itu, tetapi masih terus melanjutkan upaya ilegal tersebut. Demikian pula kasus perambahan di TN Tesso Nilo, yang telah mencapai ribuan hektar, dnegan tingkat kecepatan okupasi 4,5 Ha/hari, sudah tidak dapat diampuni lagi.

Ahimsa mungkin akan berlaku bagi si miskin yang tidak bertanah, yang selama ini hanya dijadikan tumbal oleh kelompok bermodal. Mereka harus dirangkul dan diajak serta mengamankan kawasna-kawasan hutan, taman nasional dengan berbagai bentuk kompensasi atau insentif yang dapat memberdayakan mereka. Kasus Tangkahan adalah bukti, apabila masyarakat diajak dengan cara yang manusiawi, mereka akan sangat berperan menjaga taman nasional sekarang dan di masa depan.

Kesadaran
“Kesadaran” diulas dengan sangat rinci dan tepat oleh Eckhart Tolle, penulis Best Seller A New Earth (2005). Tolle mengingatkan sebagai berikut : “ you do not become good by trying to be good, but by finding the goodness that already wthin you, and allowing that goodness to emerge. But it can only emerge if something fundamental changes in your state of consciousness”

Conciousness atau kesadaran atau disebut secara tradisional sebagai “spirit” tidak dapat didiskripsikan dalam kata-kata pada umumnya, dan mencari jawabannya adalah sia-sia (Tolle, 2005). Seluruh pengetahuan terbagi ke dalam dua kelompok-subyek dan obyek; yang mengetahui (knower) dan yang diketahui (known). Walaupun kita sulit mengetahui “kesadaran”, kita bisa sadar terhadapnya. Kita bisa merasakannya di sini dan sekarang kalau kita ada, suatu ruang di dalam (inner space) di mana kata-kata dirasakan dan menjadi pikiran (thought). Kata-kata seperti kamu membaca dan berfikir adalah hanya latar belakang, dan “the I am” (saya) adalah dasarnya, sebagai dasar dari setiap pengalaman, pikiran, dan perasaan.

“Awakening” (terbagun/bangun), adalah perubahan dari kesadaran dimana berfikir (thinking) dan kesadaran (awareness) berpisah atau dipisahkan. Kesadaran (awareness) mengambil alih pikiran (thinking). Pikiran tunduk atau menjadi hamba dari kesadaran. Awareness adalah hubungan secara sadar dengan universal intelligence. (penulis: universal intelligence inilah sebenarnya yang disebut sebagai Tuhan atau Allah swt., dalam Islam. Tolle tidak pernah mau menyebutkan adanya Tuhan dalam seluruh bukunya. Hanya terbatas sebagai the universal intelligent….”). Kata lain dari situasi ini adalah “presence” atau “ada” : kesadaran tanpa pikiran.

Konsep “presence”, dalam istilah Mas Janadi, guru pribadi WS Rendra, adalah : “ Manjing ing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi” atau “Masuk ke dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah”. Masuk ke dalam kontekstualitas harus selalu berusaha agar ia selalu mempunyai kepedulian terhadap lingkungan yang mengelilingi dirinya, dari saat ke saat. Bekalnya adalah rewes atau peduli dan sih katresnan atau cinta kasih. Diuraikan lebih lanjuta bahwa kita harus mampu mengolah “kesadaran pancaindera”, “kesadaran pikiran”, “kesadaran naluri” dan “kesadaran jiwa”, untuk lebih cermat dalam memedulikan lingkungan. Kepedulian tersebut lalu harus dilanjutkan dengan langkah “ngerangkul”, artinya merangkul, yaitu “keikhlasan untuk terlibat” (Try Harijono, dkk, Kompas 7 Agustus 2009 dalam “Rendra: Ia Tak Pernah Pergi”, Kompas, 2009). Konsep ini tidak beda jauh secara substansi dari pendapat Eckhart Tolle, tentang acceptance, enjoyment, dan enthusiasm, sebagai modal untuk melakukan tindakan dengan sadar, sebagai berikut:

Tiga modal yang diperlukan untuk dapat melakukan “tindakan dengan sadar”, yaitu “penerimaan” (acceptance), “senang/kesenangan/kenikmatan” (enjoyment), dan “antusias” atau bersemangat (enthusiasm). Masing-masing mewakili frekuensi vibrasi tertentu dari kesadaran. Kita harus waspada untuk menyakinkan bahwa salah satu modal tersebut berjalan kapanpun kita melakukan sesuatu, mulai dari yang sederhana sampai yang sangat kompleks. Acceptance (menerima) berarti bahwa saat ini, pada situasi ini, memerlukan kita untuk melakukan sesuatu, dan kita melakukannya dengan sukarela (dengan ikhlas); Enjoyment-kedamaian yang datang dengan berbagai tindakan berbalik ke “ perasaan hidup” sense of aliveness, ketika kita menikmati apa yang kita lakukan.

Enjoyment akan menggantikan “wanting” yang muncul dari Ego manusia. Melalui enjoyment, kita akan terhubung dengan “tenaga universal kreatif” itu sendiri. Menurut Emha Ainun Najib (1985), tenaga universal kreatif ini tidak lain adalah ketakterbatasan (baca-Tuhan). Jika manusia ajeg menyentuhkan tangannya ke ketakterbatasan, maka ia akan menjadi kabel dari ketaterbatasan, meski tak bakal pernah ia akan menjadi ketaterbatasan itu sendiri. Ketakterbatasan adalah puncak dari segala ilmu pengetahuan.

Antusiasme adalah kenikmatan yang mendalam dari apa yang kita lakukan dan ditambah dengan elemen dari tujuan atau visi dari apa yang kita lakukan. Ketika kita menambahkannya, akan bertambahlah intensitas energi di belakang apa yang kita lakukan. Inilah mungkin yang disebut oleh guru Rendra sebagai “untuk mencapai kehendak Allah”.

Pendapat guru Rendra, tentang presence, tentang sadar dan kesadaran, ketika Rendra berusia 5 tahun- yang artinya pelajaran tersebut terjadi pada tahun 1940, secara substansi dan esensinya adalah sama dengan pendapat Eckhart Tolle, guru spiritual yang dituliskan dalam bukunya pada tahun 2005. Artinya terdapat rentang waktu hampir 65 tahun antara kedua penemuan tersebut. Hal tersebut relevan untuk menjawab pertanyaan tentang peran “Ego” dan “Kesadaran” dalam mempengaruhi sikap mental dan gerakan konservasi alam di Indonesia.

Ego manusialah yang telah membawa kehancuran sumber-sumber daya alam Indonesia dan juga negara-negara bekas jajahan. Oleh karena itu, diperlukan cara pandang atau paradigma baru, yaitu bekerja dengan kesadaran. Karena hanya dengan kesadaran (awareness) saja maka akan dapat dicapai kondisi “beyond ego” atau “post human”. Kondisi dimana kita tidak sekedar mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Berhenti mengambil sebatas yang diperlukan. Melakukan sesuatu untuk kepentingan publik, kemaslahatan manusia, bahkan akan bermanfaat bagi mahluk penghuni bumi lainnya-yang memiliki hak hidup pula. Sikap yang dapat disebut sebagai “beyond human”.





Berkaca Dari “A New Earth”

Mempertimbangkan beratnya kerja di bidang konservasi, menyelamatkan hutan-hutan, lautan, danau, bukan hanya untuk kepentingan manusia, tetapi juga untuk mahluk penghuni bumi ini, maka patut kita renungkan pendapat Eckhart Tolle, tentang “Ego dan Kesadaran”.

Ego akan lebih banyak membawa kerusakan, karena ia selalu meminta, terus merasa kekurangan. Eksploitasi sumberdaya alam yang terjadi secara terus menerus dalam skala yang semakin meningkat untuk memenuhi energi, pertumbuhan ekonomi, dengan mengatasnamakan demi pembangunan, telah terbukti dapat menghabiskan sumberdaya alam kita. Cadangan batubara Indonesia akan habis dalam waktu 20 tahun ke depan; hutan hujan tropis dataran rendah Sumatera dan Kalimantan sudah menipis dan cenderung habis tidak sampai tahun 2015-2020; kini kita telah menjadi net importer minyak, adalah sebagian dari cerita-cerita nyata tentang merebaknya keyakinan akan faham antroposentrisme untuk mendukung developmentalisme-yang sudah usang dan banyak dikritik itu.

Ideologi pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dengan akibat kehancuran sumber-sumberdaya alam baik yang dapat diperbaharui (hutan) maupun yang tidak dapat diperbaharui (tambang), yang disebut sebagai “ekonomi cowboy” semestinya harus dihentikan.

Manusia-manusia yang bekerja di konservasi alam, dan para penyelamat-penyelamat lingkungan, telah lama bekerja atas dasar kesadaran. Prof Yohanes menyatakan apabila kita bekerja dnegan kesadaran maka terjadilah apa yang ia sebut sebagai “mestakung” atau “semesta mendukung”. Ide, kerja, dan niat baik kita akan mendapatkan dukungan dari semesta alam, sebagaimana diuraikan oleh Eckhart Tolle, akan connected to universal intelligent, akan mendapatkan berkah dari Tuhan, yaitu bekerja dengan modal tiga hal : acceptance, enjoyment, dan enthusiasm.


Daftar Pustaka

Emha Ainun Najib., 1985. Dari Pojok Panggung Sejarah. Renungan Perjalanan Emha Ainun Najib. Penerbit Mizan.Cetakan Pertama.1985.

Keraf, A.Sonny., 2002. Etika Lingkungan. Kompas, Jakarta Juli 2002;
Korten, D.C., 2001. Menuju Abad ke-21.Tindakan Sukarela dan Agenda Global.Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2001.

Tolle., E.,2005. A New Earth. Create A Better Life. Michael Joseph an Impreint of Penguin Books..

Wiratno, dkk., 2002. Berkaca di Cermin Retak.Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. Yayasan Gibbon, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia, FoREST Press., Jakarta, 2002.