"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

07 September 2011

Kolaborasi dalam Pembiayaan Kawasan Konservasi di Indonesia : Beberapa Catatan Pemikiran

Sifat Khas Kawasan Konservasi

Pengelolaan kawasan konservasi (KK) memerlukan biaya yang tidak sedikit, apabila pemerintah serius akan mengelolanya di tingkat tapak, di tingkat lapangan. Hal ini berarti pemerintah akan mengeluarkan biaya (cost) yang bisa sangat besar. Namun demikian, belum tentu hasilnya sepadan. Mengapa hal ini dapat terjadi? Problematika pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dilepaskan dari ciri khas KK. Ciri-ciri yang membedakan KK dengan sumberdaya alam lainnya adalah sebagai berikut :

(a) Irriversibel –“ non renewable resource”
Sebagian besar ahli/pakar di bidang botani dan konservasi biologi percaya bahwa sumberdaya hutan di KK, apalagi hutan hujan tropis merupakan sumberdaya
yang tidak dapat atau sulit sekali pulih ketika telah mengalami kerusakan/degradasi khususnya ketika telah melewati ambang batasnya untuk dapat merehabilitasi dirinya secara alami. Dr.Kuswata Kartawinata, pakar hutan tropis, yang telah pernah membuat plot permanen di TN Gunung Leuser, khususnya di Besitang, menyatakan bahwa diperlukan waktu tidak kurang dari 170 tahun untuk mengembalikan kerusakan hutan tropis dataran rendah di Besitang. Ini suatu contoh nyata bahwa sumberdaya hutan tropis dataran rendah sangat sulit atau diperluakan waktu yang sangat lama untuk memulihkannya (Baca: Recovery of a lowland Dipterocarp forest twenty years after selective logging at Sekundur, Gunung Leuser National Park-Reinwardtia Vo.12, Part 3, PP: 237-255). Bahkan,
beberapa pakar menyimpulkan hutan hujan tropis termasuk yang berada di dataran rendah layaknya seperti minyak bumi. Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resource). Ciri ini nantinya akan berimplikasi pada prinsip pengelolaannya yang harus memakai prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Hutan produksi (tropis) Indonesia yang diekpsloitasi untuk memenuhi kebutuhan kayu dunia sejak 1970an (UU PMA terbit 1967), saat ini kondisinya (cukup) mengenaskan.

(b) Benefit beyond boundary
Ciri khas yang kedua dari sumberdaya hutan hujan tropis ini adalah nilai manfaatnya yang mengalir jauh sampai di luar batas-batas hutan. Oleh karena itu, kita mengenal konsep hulu-hilir dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). TN Gunung Gede Pangrango yang luasnya hanya sekitar 21.000 Ha., ternyata melindungi 3 hulu DAS penting, yaitu Citarum, Ciliwung, dan Cimandiri. Tidak kurang dari 150 desa di Kab.Sukabumi, Bogor, dan Cianjur bergantung pada kawasan taman nasional ini untuk suplai air. Ada baiknya dibaca artikel terkait dengan peran TNGGP ini di AgroIndonesia Vol V Nomor 235; 3-9 Februari 2009 atau dapat diunduh di www.konservasiwiratno.blogspot.com, dengan judul yang sama. Belum termasuk penyerapan carbon, pendorong wisata Puncak, sumber air kemasan, air konsumsi, pencegahan bahaya banjir, longsor, dan kesuburan tanah pertanian, perkebunan, dan sebagainya. Lebih lanjut bisa baca hasil kajian Wiratno, dkk (2004) dengan judul : Valuation of Mt Gede Pangrango National Park. Information Book Series 2. Balai TN Gunung Gede Pangrango. Untuk mengetahui Benefit Beyond Boundary, maka dilakukan Economic Valuation. Hal ini sudah pernah dilakukan di beberapa taman nasional, seperti TN Gunung Leuser (Bekkering-DHV Belanda); TN Batang Gadis (Conservation International Indonesia); TN Bunaken (NRM Project), dan sebagainya.

(c) Common Pool Resource
Sumberdaya di KK tergolong ke dalam common pool resource. Ia seperti lautan, padang pasir, gurun, yang karena luasnya (jutaan hektar), maka manusia kesulitan dalam mengelolanya.Termasuk pemerintah yang mengemban mandat undang-udang untuk mengelolanya mengalami banyak keterbatasan dan persoalan-persoalan teknis dan finansial. Upaya privatisasi terhadapnya sangat mahal. Apakah pemerintah yang mampu memagari laut yang 2/3 luas bumi itu? Memagar kawasan hutan atau pesisir pantai yang hanya beberapa ratus kilometerpun akan sangat mahal. Mooring Buoy yang dipasang di ujung batas TN Kep.Seribu, dengan harga Rp 300 juta/buah, tidak lama kemudian lampu suarnya sudah dicuri. Lampunya yang produksi dari Jerman dengan tenaga listrik dari solar cell pun sangat mahal (setiap lampu seharga Rp.30 juta). Persoalan privatisasi atau biaya menjaganya sangat mahal dan hampir tidak mungkin dilakukan. Pencurian sumberdaya laut Indonesia oleh nelayan asing juga bukti lain yang memperkuat fakta-fakta ini. Implikasi dari ciri khas atau sifat-sifat ini adalah perlunya negosiasi, kolaborasi, atau penjagaan dan pemanfaatan bersama para pihak yang memiliki kepentingan; pemerintah mengemban mandat unadang-undang, swasta memiliki kepentingan bisnis, kehidupan masyarakat setempat umumnya sangat tergatung pada ketersediaan sumber-sumber pangan, perumahan, dan ekonominya dari kawasan hutan tersebut.

(d) Long-term perspective
Pengelolaan KK memiliki perspektif jangka panjang, lintas generasi, 100-200 tahun yang akan datang atau bahkan lebih panjang dari itu. Sementara itu, kepentingan manusia cenderung pendek. Harian, bulanan, tahunan,dan maksimal lima tahunan bagi kelompok politik. Kedua kepentingan inilah yang menyebabkan konflik dan pada umumnya kepentingan jangka panjang seringkali dikalahkan, diabaikan, atau kurang dipertimbangkan dibanding dengan kepentingan jangka pendek. Prinsip “time preference” menjadi penting untuk dipelajari dan dipertimbangkan. Manusia cenderung tidak mau mengambil resiko untuk kepentingan jangka panjang yang penuh dengan ketidakpastian, fatamorgana, dan seringkali tidak jelas target dan tujuannya, bila dibandingkan target jangka pendek, yang lebih jelas, konkrit, terukur, kasat mata, dan “doable”, dan manfaatnya jelas untuk “kita”, generasi saat ini, dan yang penting dapat dirasakan saat ini. Time preference dalam perhitungan proyek-proyek pembangunan termasuk kaitannya dengan konservasi adalah akan menentukan seberapa besar suku bunga (interest rate) ditetapkan; akan menentukan kelayakan proyek (B/C ratio) dan tingkat sensitivitas (internal rate of return/IRR). Sementara itu, dalam analisis B/C ratio, para pakar masih kesulitan dalam memasukkan B (benefit) atau manfaat. Hal ini disebabkan banyak manfaat dari suatu kawasan konservasi belum atau tidak akan pernah memiliki nilai pasar (price). Namun demikian, beberapa pendekatan dalam analisis Total Economic Value (TEV), seperti yang pernah penulis dan Tim NRM lakukan di TN Gunung Gede Pangrango, telah membuktikan bahwa manfaat kawasan konservasi selalu melebihi biaya yang dikeluarkannya. Jadi kawasan konservasi tidak dapat selalu dituduh sebagai “cost center”. Pengelolaan kawasan konservasi akan terbukti memberikan manfaat jauh lebih besar daripada biayanya, walaupun banyak faktor-faktor yang memberikan manfaat tersebut belum memiliki nilai pasar.

(e) Multipurpose Benefits
Kawasan konservasi memiliki manfaat yang sangat beragam. Sebagian kecil yang mampu diungkap oleh manusia. Sebagian besar lainnya masih menjadi rahasia, bahkan oleh ilmu pengetahuan yang ada saat ini. Kesalingterhubungan antara komponen biotik, abiotik, membentuk beragam asosiasi, pola ketergantungan, saling memberi dan menerima, dalam situasi yang sangat rumit dan dinamis, mulai dari lantai hutan sampai ke tingkatan tajuk tertingginya. Salah satu rantai keterhubungan itu putus atau diganggu, akan mengganggu pola-pola pertumbuhan, dinamika dan keseimbangan pada seluruh rangkaian baik pada tingkatan spesies sampai ke tingkat ekosistem/habitat, dan akibatnya pada manusia.

Seperti yang dicontohkan dalam Tragedi Minamata berikut: Tragedi Minamata, pada tahun 1950 di Minamata Jepang akibat pencemaran Teluk Minamata, telah membawa korban jiwa 1.629 orang. Produsen Pupuk Kimia Chisso Corporation penyebab tragedi ini. Enam puluh tahun kemudian, pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap, produksi semen, pengolahan minyak dan gas bumi, kesemuanya melepas merkuri ke atmosfir. Di udara, uap merkuri akan terbawa angin hingga ribuan kilometer dan melintasi benua. Saat meluruh, merkuri bisa memasuki rantai makanan ekosistem kelautan dan perairan, persis sebagaimana di Teluk Minamata (Kompas 25/08/10). Menurut laporan Environmental Protection Agency Amerika Serikat, merkuri mempengaruhi dan merugikan perkembangan otak dan system syaraf. Merkuri dapat mempengaruhi kemampuan berfikir, memori, perhatian,penguasaan bahasa, ketrampilan motorik, dan ketrampilan ruang visual.

Penelitian di Amerika Tengah menunjukkan bahwa beberapa penyerbuk (pollinator) hutan juga bergantung pada wilayah yang tidak berhutan di luar cagar yang ditetapkan. Hal ini mengungkapkan bahwa daerah di luar cagar tersebut perlu untuk dimasukkan ke dalam pengelolaan jangka panjang (Life After Logging-CIFOR/2006). Maka hutan tidak bisa dipisahkan dari berbagai pola tata guna lahan (land use) di sekitarnya. Ia bagian dari dinamika kesalingterhubungan yang rumit.Sayang sekali, sedikit manusia mengingat tragedi bersejarah ini, dan mungkin memang inilah sifat manusia yang mudah menjadi lupa dan melupakan sejarah, bahkan untuk sejarah yang sangat ironis sekalipun, seperti tragedi Teluk Minamata, dan berbagai tragedi yang pernah terjadi di dunia. Kehancuran sumberdaya hutan tropis Indonesia dapat digolongkan pula sebagai tragedi, mempertimbangkan dampak berantainya yang panjang dan bersifat jangka panjang, berupa penurunan kualitas lingkungan hidup secara menyeluruh, nyata dan yang cenderung mengikuti kaidah deret ukur.

(f) Nilai Intangible Benefit > Tangible
Kawasan konservasi mengandung nilai-nilai yang seringkali tidak (belum) memiliki nilai di pasar. Kayu, air, buah, getah, rotan/akar-akaran, pakis, bunga liar, memiliki nilai langsung (direct value) di pasar. Sebagian besar lainnya sedang dicoba dikembangkan saat ini. Seperti kemampuan menyimpan carbon (carbon sink), kemampuan menyerap carbon (carbon sequestration), masih sedang (akan) diupayakan. Kemampuan mencehan banjir, menjamin kesuburan tanah, mencegah longsor, menjaga stabilitas dan dinamika iklim mikro, tata air, suplai air, udara bersih, sumber obat-obatan modern, habitat satwa liar, merupakan nilai-nilai tak langsung, yang sedang dicarikan harga di pasar. Bahkan masih ditambah dengan nilai estetika, nilai eksistensi, budaya, religi, yang juga sangat siginifikan yang sulit dicarikan nilai pasarnya. Masalah seringkali muncul ketika di KK terdapat potensi bahan tambang ekstraktif di antaranya emas, perak, mangaan, tembaga, panas bumi, minyak bumi, batu bara, nikel, dan lain lain. Manfaat langsung (tangible) seperti ini akan menjadi hal yang utama untuk dipertimbangkan daripada manfaat tidak langsung (intangible) jangka panjang tersebut, sehingga diperlukan peranan pemerintah untuk mengamankan kebijakan bahwa di dalam kawasan konservasi, tidak diperbolehkan kegiatan ekstraktif yang merusak bentang alam dan berdampak besar ada lingkungan hidup di sekitarnya. Beberapa upaya ekspolitasi seperti panas bumi dan air kemungkinan masih akan dipertimbangkan untuk diijinkan mengingat dampaknya yang tidak terlalu signifikan terhadap lingkungan.


Implikasi

Dari tipologi atau karakteristik kawasan konservasi seperti diuraikan di atas, maka akan membawa implikasi-implikasi antara lain sebagai berikut :

(a) Penilaian yang cenderung Under Valued.
Banyak pihak menilai KK sebagai cost-centered. Selalu meminta biaya yang sangat besar dibandingkan dengan profit (bukan benefit) yang diperolehnya. Analisis B/C kawasan konservasi < 0.5 yang menunjukkan cost > daripada benefit. Namun demikian, penelitian yang lebih mendalam terhadap komponen benefit, dengan memasukkan intangible benefit ternyata menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai manfaat (benefit) bukan keuntungan (profit) jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Kalau membandingkan antara benefit yang disederhanakan hanya profit berupa karcis masuk atau fee lainnya, tentu saja nilainya < dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.

(b) Investasi Rendah
Investasi untuk pengelolaan KK rendah dan tidak sebanding dengan beban biaya yang harus ditanggungnya. Hal ini disebabkan pula oleh rendahnya dukungan politik anggaran pengelolaan KK, yang harus berkompetisi dengan kebutuhan anggaran untuk ongkos politik, misalnya dikaitkan dengan lapangan pekerjaan (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor), atau untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan penghasil devisa negara (national income). Penelitian TNC menunjukkan rata-rata biaya pengelolaan KK di Indonesia < 2 USD/Ha, sedangkan di negara-negara tetangga dan negara maju berkisar antara 20 USD s/d 60 USD/Ha.

(c) Politisasi Investasi Kawasan Konservasi
Dalam kondisi seperti itu, banyak lembaga-lembaga donor yang seolah-olah membantu meningkatkan pengelolaan Kawasan Konservasi (KK), namun pada kenyataannya menimbulkan banyak masalah. Penyebabnya dapat berasal dari persoalan internal Ditjen PHKA/Kementerian Kehutanan dan atau persoalan eksternal lembaga donor.

(d) Investasi Jangka Pendek
Apabila terdapat investasi, tidak akan berlangsung lama, dan tidak memiliki “exit strategy” yang baik, sehingga justru menciptakan ketergantungan masyarakat sekitar atau pengelolan kawasna konservasi akan pendanaan. Biasanya 5-10 tahun. Hal ini berdampak pada diskontinyuitas pendanaan dan biasanya berbagai persoalan mendasar belum selesai, dan meninggalkan “bom waktu” pendanaan pasca dukungan dari luar.


Pendanaan KK di Indonesia

Upaya-upaya mendorong pendanaan KK di luar investasi pemerintah sebenarnya sudah dimulai sejak dekade 1980an. FAO di bawah koordinasi John Mc Kinnon/Kathy Mc Kinnon, dan Jan Win melakukan seri kajian menyeluruh tentang usulan KK di Indonesia, yang menghasilkan 8 jilid buku. Buku ini menjadi dasar pengusulan banyak KK di Indonesia.

Pada dekade 1990an, muncul proyek besar ICDP di TN Kerinci Seblat dan IPAS di TN Siberut dan TWA Ruteng. Pada era ini bermunculan dan berkembang lembaga-lembaga baru yang besar, seperti WWF, FFI, TNC, CI, Wetland International, Birdlife International (sekarang menjadi Yayasan Burung Indonesia), dengan pendanaan sebagian besar dari LN. Disamping itu, berkembang pola pendanaan Government to Government (G2G), misalnya GTZ-Jerman, JICA, USAID/WorldBank, AUSAID, CIDA, dan sebagainya.

Pada era akhir tahun 2000an, berkembang berbagai inisiatif pendanaan dikaitkan dengan carbon (REDD Plus), dan saat ini yang besar adalah LoI dengan Norwegia, yang mencapai pendanaan sebesar 1 Milyar USD. Sebagian besar pendanaan dikaitkan dengan carbon dan penyelamatan ekosistem gambut.

Di antara yang menonjol dari pola-pola pendanaan konservasi di luar G to G adalah trust fund KEHATI, yang semula bermodalkan 25 juta USD, yang dimotori oleh Emil Salim. Dan munculnya aliansi di antara lembaga-lembaga tersebut, misalnya dalam mendukung penyelamatan Ekosistem Sumatera, dikembangkan pola pendanaan yang disebut sebagai Tropical Forest Conservation Act (TFCA). Dalam pola ini, dana disiapkan untuk mitra taman-taman nasional di seluruh Sumatera. Proposal dinilai oleh suatu Tim Terpadu, dan dikaitkan dengan seberapa besar kontribusinya pada penguatan dan dukungan kepada balai-Balai Taman Nasional.

Sebelum TFCA tersebut berjalan, di 3 taman nasional di Sumatera, yaitu TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan, yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai world heritage pada tahun 2004, mendapatkan tambahan pendanaan dari mekanisme Debt for Nature Swap (DNS), dengan pemerintah Jerman. Dalam program ini, pendanaan tambahan yang diberikan kepada ketiga taman nasional tersebut akan dinilai oleh suatu tim independen dan apabila memenuhi kriteria tertentu akan ditetapkan sebagai pembayar hutang pemerintah RI kepada pihak pemerintah Jerman. Program ini telah berjalan selama 3 tahun terakhir dan nampaknya masih akan terus berlangsung. Hal paling penting adalah seberapa efektif manfaat program DNS ini bagi pencapaian tujuan konservasi di ketiga kawasan World Heritage tersebut.

Peran Swasta ke Depan

Dari kancah perkembangan pendanaan KK tersebut, peran swasta (baca: corporate) semakin besar walaupun bentuknya masih beragam dan belum dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap efektivitasnya. Beberapa di antaranya adalah dukungan beberapa perusahaan yang berada di sekitar TN Kutai, seperti Kaltim Prima Coal dan Pertamina; Chevron Geothermal dan PT Aneka Tambang Tbk membantu TN Gunung Halimun Salak; Chevron dan Pertamina yang membantu beberapa program konservasi di CA/TWA Kamojang yang dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat; Sinar Mas Group yang membantu melahirkan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu di Riau, dan membantu kelanjutan pengelolaan Cagar Biosfer tersebut bersama-sama dnegan UNESCO dan Balai Besar KSDA Riau dan Pemerintah daerah; APP yang membantu pengembangan masyarakat di daerah penyangga TN Ujung Kulon; adalah diantara beberapa contoh kerjasama yang sedang terjadi saat ini di Indonesia.

Dengan telah diterbitkannya PP No.28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka kolaborasi atau kerjasama mendukung pengelolaan kawasan konservasi semakin mendapatkan dukungan dari aspek legalitasnya; Termasuk pengelolaan daerah penyangga di sekitar kawasan konservasi, akan ditetapkan dan disusun programnya, bersama-sama dengan pemerintah daerah dan para pihak lainnya, termasuk pihak swasta apabila lokasi kegiatan pihak swasta tersebut berada di daerah penyangga suatu kawasan konservasi.

Dengan mempertimbangkan perkembangan tersebut di atas, maka sangat penting untuk membangun mekanisme pendanaan jangka panjang. Suatu lembaga Trust Fund Konservasi berskala nasional yang didukung oleh berbagai pihak, khususnya pihak swasta yang banyak melakukan kegiatan ekstraktif. Dua langkah konkrit yang perlu segera direalisasikan adalah:

(a) Membentuk Tim Kerja yang melibatkan pihak PT, Kemenhut, KemenKeu, dan Swasta dengan tugas untuk segera merumuskan langkah-langkah konkrit sebagai tindak lanjut kesimpulan Green Partnership Workshop di Yogyakarta, menetapkan Sekretariat Bersama, dan memfasilitasi seri pertemuan teknis dengan mengundang para pengambil keputusan dari para pihak kunci yang tidak hadir dalam pertemuan Yogyakarta. Tujuan pertemuan tersebut adalah dalam rangka menyamakan persepsi, ide, gagasan, evaluasi terhadap kerjasama yang sudah berlangsung, dan menyiapkan ToR Trust Fund Konservasi Indonesia.

(b) Kementerian Kehutanan cq Ditjen PHKA segera mempercepat terbitnya beberapa Permenhut sebagai tindak lanjut PP No.28/2011 khususnya menyangkut Kerjasama dan Pengembangan Daerah Penyangga, yang dapat dipakai sebagai salah satu payung kebijakan dalam membangun kolaborasi atau kerjasama memperkuat pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena itu perlu disiapkan pendanaan yang mencukupi untuk mendukung dan memfasilitasi proses penyiapa Permenhut serta dukungan untuk Tim Kerja yang telah dibentuk tersebut.

Penutup

Prinsip-prinsip dasar yang sebaiknya dijadikan acuan dalam pengembangan kolaborasi atau kerjasama para pihak dalam mendukung peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi antara lain adalah bagaimana dapat membangun mutual respect, mutual trust dan mutual benefits di antara para pihak yang bekerjasama tersebut. Untuk itu harus dapat dibangun suatu “common platform”, atau Agenda Bersama yang akan dilaksanakan dan dievaluasi bersama, sehingga dilakukan proses pembelajaran bersama para pihak. Spirit yang dibangun adalah spirit bekerjasama saling membutuhkan untuk kepentingan bersama. Bukan spirit yang dibangun sekedar atas dasar aturan yang ditetapkan. Proses terbangunnya kesadaran bersama atau collective awareness inilah yang perlu terus ditumbuhkembangkan sebagai modal untuk mendorong suatu gelombang perubahan, suatu collective action yang dapat mendorong perubahan di tingkat kebijakan maupun di tataran praktis dan konkrit di lapangan.

Dan akhirnya dapat membangun suatu masyarakat yang sadar akan berbagai implikasi pengelolaan sumberdaya alam, baik bagi dirinya saat ini dan bagi generasi penerusnya. Masyarakat yang sadar dan cerdas dan dapat melakukan tindakan-tindakan antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya kerusakan sehingga dapat dilakukan upaya-upayan pencegahan yang tepat sasaran. Kolaborasi multipihak tersebut sebaiknya memang diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang seperti itu apabila tidak ingin terjebak pada tujuan jangka pendek keproyekan CSR atau keproyekan konservasi yang kurang dapat memberikan makna dan arah pada perubahan-perubahan substansial seperti tersebut di atas.

*disampaikan dalam Workshop Green Partnership - Grand Hyatt Hotel - Yogyakarta

1 komentar:

  1. Izin berbagi ilmu Pak Wir,,,izin share ilmunya Pak.
    Senang sekali baca tulisan bapak,
    Joko M I (TN Baluran)

    BalasHapus