"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

14 November 2011

”Zero Price” untuk Sawit Ilegal di Kawasan Konservasi : Sebuah Utopia?

Kawasan hutan lindung dan konservasi dengan luas di bawah 25.000 Ha di Sumatera bagian Utara telah banyak berubah menjadi kebun sawit. Kasus yang mencuat menjadi isu nasional adalah ditangkapnya DL Sitorus yang merambah kawasan Hutan Produksi Terbatas di Padang Lawas menjadi kebun sawit seluas 30.000 Ha. Nampaknya, kebijakan nasional mendukung perluasan usaha perkebunan kelapa sawit. Kebijakan ini mengkatalis lahirnya kelompok yang disebut sebagai the land-seeking society. Ini adalah istilah untuk menyebut kelompok-kelompok yang berhasrat melakukan penguasaan tanah seluas-luasnya. Kelompok haus tanah ini mencari lahan-lahan terlantar untuk ditanami sawit. Perkebunan sawit merupakan bisnis yang menjanjikan. Tanah yang tersedia luas dan sesuai dengan sawit, pasar masih sangat baik, dan permintaan global terus meningkat.


Kebun sawit yang terus berkembang ini menjadikan kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi, mengalami fragmentasi. Kawasan hutan yang masih utuh hanya tersisa di tempat-tempat yang sulit dijangkau transportasi, lereng-lereng curam atau jauh dari jaringan jalan, pusat-pusat pertumbuhan, dan pasar. Kawasan hutan yang masih cukup baik terpisah-pisah letaknya. Ini adalah fenomena island ecosystem di kawasan-kawasan konservasi. Kawasan-kawasan konservasi dikelilingi oleh tata guna lahan yang sudah berubah menjadi kebun-kebun monokultur baik sawit, hutan tanaman industri miskin jenis, dan karet.


Wood (2003) menyatakan bahwa 3 dari 5 pohon di hutan hujan tropis dataran rendah Sumatra telah ditebang atau dibakar dalam periode 1985-2000. Sebagian besar penebangan ini mensuplai industri pulp dan kertas. Satu kubik kertas memerlukan 5 kubik kayu. Sebagian besar kayu tersebut berasal dari hutan alam.


Tekanan utama terhadap hutan tropis dataran rendah juga disebabkan oleh konversi hutan ke perkebunan sawit. Sepertiga pasokan sawit dunia disuplai dari Indonesia. Areal sawit meningkat 36 kali lipat sejak 1960. Tidak kurang dari 4,1 juta hektar hutan tropis telah lenyap. Telapak (2000) menyebut Indonesia sebagai pengekspor sawit terbesar setelah Malaysia. Lokasi utama perkebunan sawit ini tersebar di Sumatera Utara (905.000 ha), Riau (544.700 ha), Kalimantan Barat (211.400 ha), dan Sumatra Selatan (206.000 ha). Angka ini akan terus bertambah dengan cepat setelah para pengusaha mulai mengincar hutan-hutan di Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Irian Jaya (Susila, 1998 dalam Kartodihardjo dan Supriono, 2000).


Lebih dari 70% (1,8 juta ha dari 2,6 juta ha) perkebunan sawit dikelola konglomerat. Hal ini mendorong tumbuhnya monopoli dan oligopoli di pasar. Agen di balik munculnya kebijakan nasional terhadap rusaknya hutan adalah IMF. Dalam nota persetujuannya dengan pemerintah Indonesia, IMF menuntut kebijakan kesempatan investasi di bidang agro-industri khususnya perkebunan sawit skala besar (Suara Pembaruan, 1999).


Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit skala besar menyebabkan kebakaran lahan. Deteksi satelit menemukan bahwa 90% titik api berasal dari lahan konversi hutan ke perkebunan sawit. Suara Pembaruan (1999) melaporkan bahwa 341 titik api di Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Lampung dan 100 titik api di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah berasal dari pembukaan kebun sawit. Kebakaran lahan menjadi faktor pemicu kabut asap, yang meluas sampai ke Malaysia dan Singapura.


Akan tetapi, perusahaan perkebunan tidak mau bertanggung jawab terhadap kerusakan hutan dan bencana lanjutannya. Perusahaan sawit di Riau tidak bersedia bertanggungjawab terhadap kebakaran di areal pencadangan yang belum diterbitkan Hak Guna Usaha. Pada tahun 2005, di Riau terdapat 166 perkebunan aktif. Dari ke 166 perusahaan tersebut, hanya 129 perusahaan yang luas pencadangan arealnya diketahui. Dari luasan total 1.756.524 ha, yang telah di HGU-kan seluas 878.977 ha. Terdapat 877.546 ha yang tidak jelas penanggungjawabnya. Pemerintah menuntut perusahaan untuk bertanggungj awab di areal yang telah dicadangkan. Sementara perusahaan hanya bertanggung jawab di areal yang telah mendapatkan HGU (BPK, 2007).


Kawasan hutan tropis dataran rendah Leuser di Besitang, Kabupaten Langkat menghadapi fenomena ini. Kawasan yang ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa Sekundur (sebelum dirubah fungsi menjadi bagian dari TN Gunung Leuser) mengalami kerusakan dalam tempo 30 tahun. Sekitar 4.000 ha hutan telah berubah menjadi kawasan terbuka. Ribuan hektar sawit masuk ke dalam kawasan hutan ini sejak medio 1990an. Saat ini, lebih dari 12.000 ha sudah tidak berhutan dan tinggal berupa semak belukar. Dikurungnya kawasan-kawasan konservasi oleh perkebunan monokultur ini juga meningkatkan frekuensi konflik satwa dan manusia. Satwa liar terperangkap dalam habitat yang sempit. Seperti yang terjadi di Asiatic Persada, sebuah perusahaan sawit di Jambi, di mana harimau hidup di dalam kawasan hutan di wilayah konsesinya.


Terbentuknya ekosistem pulau di kawasan konservasi dapat menimbulkan konflik agraria yang cenderung meluas. Ekosistem pulau ini umumnya berupa mozaik kawasan konservasi yang dikelilingi oleh pola penggunaan lahan monokultur sawit. Tanpa batas yang jelas, klaim terhadap kawasan akan mudah terjadi. Oleh karena itu batas-batas kawasan konservasi harus dipertegas di lapangan. Dan yang lebih penting adalah bahwa batas-batas tersebut harus disepakati dan diakui para pihak.


Di sekitar kawasan konservasi, elit-elit politik dan pemodal besar menggunakan masyarakat lokal dan masyarakat miskin lahan untuk menguasai kawasan-kawasan hutan yang tidak bertuan (eks HPH atau kawasan konservasi yang tidak dijaga dengan batas tidak jelas). Tanpa pal-pal batas, patroli dan monitoring tidak berjalan, kehadiran pengelola di lapangan tidak ada, kawasan konservasi dalam bahaya. Kawasan TN Tesso Nilo di Riau, mengalami perambahan di kawasan perluasannya yang merupakan eks HPH Nanjak Makmur. Tidak kurang dari 8.000 ha kawasan taman nasional ini dikuasai oleh perambah dengan tanaman sawit. Konflik gajah-manusia meningkat dengan drastis.


Hutan hujan dataran rendah seluruh Sumatera “tinggal menghitung hari” saja, apabila upaya-upaya penanganan perambahan sawit tidak berhasil. Harus ada upaya bersama, terpadu, dan kosisten; misalnya dalam upaya menerapkan kebijakan “Zero Price” untuk tandan buah segar (TBS) sawit yang berasal dari lahan-lahan perambahan di kawasan hutan, khususnya di kawasan konservasi. Konsep Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang mensyaratkan sawit harus dari lahan yang legal (HGU atau bersertifikat), seharusnya diimplementasikan dengan cara antara lain, tidak menerima TBS dari kawasan-kawasan perambahan. Semoga ide “Zero Price” untuk TBS dari hasil perambahan ini bukan sekedar utopia, tetapi bisa kita laksanakan secara bersama dan terpadu.

Siapa yang harus memulai inisiatif ini?



Catatan :

Artikel ini merupakan bagian dari Bagian Kelima dari buku yang sedang disiapkan penulis dengan judul : “Tersesat di Jalan Yang Benar: Seribu Hari Mengelola Leuser”, yang akan segara diterbitkan oleh UNESCO Jakarta Office.

08 November 2011

Maximus dan Puncak Carstensz

Kisah dimulai ketika Penulis sedang melakukan perjalanan ke Timika 1 September 2010 untuk menghadiri Workshop Zonasi TN Lorentz, salah satu dari enam World Heritage yang dimiliki Indonesia saat ini. Dari diskusi selama workshop, membawa penulis pada kenyataan tragis tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Informasi Otsus tersebut justru bukan dari forum Workshop Zonasi TN Lorentz, tetapi dari salah satu peserta, yaitu si Max (Maximus Tipogau) - salah satu inisiator dan pengelola Adventure Carstensz.

Carstensz adalah salah satu dari dua puncak gunung bersalju di tropis (satu puncak lagi di Gunung Kilimanjaro, Afrika). Salah satu latar belakang TN Lorentz menjadi Warisan Dunia adalah karena keunikan salju abadi di tropis tersebut. Saat itu Maximus bercerita (atau lebih tepat dikatakan secagai curhat), bahwa dana Otsus tidak sampai ke masyarakat, entah menguap kemana. Lalu dihubungkan dengan apa yang diberikan TN Lorentz kepada masyarakat? Apalagi TNL sebagai World Heritage, penyumbang kesehatan udara kepada dunia.

Ia menawarkan organisasinya yang dapat secara langsung menyentuh masyarakat, dengan membangun paket wisata naik gunung ke puncak Carstenzs, di ketinggian 4,000 m dpl kepada turis mancanegara. Paket 11 hari ke puncak yang mereka hargai 9,000 s/d 11,000 USD. Bakar batu, cara hidup masyarakat asli di Dusun Ugimba dimana ia lahir dan dibesarkan, dapat pula menjadi wahana menarik disamping pendakian tersebut. Intinya bahwa orang Papua harusnya dapat manfaat dari kegiatan wisata alam yang tidak merusak seperti itu. Menarik dapat mengetahui bagaimana (masyarakat) Papua selalu tertinggal dengan pola-pola pembangunan yang seperti itu. Sesuatu harus kita lakukan dan ia menawarkan small-scale investment namun nyata seperti itu. Max adalah contoh dari rakyat Papua yang dengan pikiran sederhana tetapi jitu, menterjemahkan apa yang diperlukan rakyat Papua di pedalaman sana.

Website Maximus dapat diakses di www.adventurecarstensz.com. Ia menyatakan “Puji Tuhan” telah dipertemukan dengan penulis, yang sejak awal workshop sudah tune-in dan mendapatkan chemistry-nya, dilanjutkan dengan tukar menukar nomor hape. Diskusi berlanjut di kamar 605, Hotel Serayu, Timika. Pertemuan-pertemuan di dunia ini sudah diatur dari atas sana dan penulis percaya itu semua. Salah satu putra Papua yang go global dengan ‘menjual’ alam Papua tanpa merusak. Sungguh menarik mendapatkan partner dalam perjalanan penulis mencoba mendiskripsikan ‘proses menjadi’ manusia-manusia ‘konservasi’ itu.

Ada satu hal menarik sekaligus mengherankan, Max dapat masuk ruang tunggu Bandara Freeport yang terkenal ketat itu, hanya untuk mengejar penulis memberikan file dia yang berisi kegiatannya selama ini di pendakian Carsentsz. Ia menyatakan bahwa sebenarnya PT Freeport, raksasa tambang yang berbatasan dengan Cartensz itu, bisa pula membantu dalam program CSR-nya, membantu lembaganya berarti juga akan membantu TN Lorentz. Apapun agenda ia ‘mengejar’ penulis - bahkan sampai ke Jakarta, yang ia merasakan mungkin adalah ditemukannya frekuensi yang sama, dalam hal bagaimana sikap kita terhadap masyarakat. Maximus mungkin salah satu putra Papua yang sadar akan pentingnya mengentaskan dan mengangkat masyarakat Papua masih masih jauh tertinggal dalam sebagian besar aspek kehidupan.

Penulis langsung mengontak Qiqi Bau - Yapeka dan Moko. Yang pertama, seorang dive master yang masih aktif menjadi pemandu lintas alam (termasuk laut), dan yang kedua mantan pendaki gunung jebolan Pecinta Alam Majestik Fakultas Hukum UGM. Mereka akan penulis minta membantu mewujudkan impian si Maximus. Tuhan menunjukkannya dengan perjalanan ke Papua kali ini, kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga, dan semoga membawa pencerahan bagi kita semua ke depan.

Sampai dengan saat ini, kami di Jakarta belum mampu secara konrkit membantu atau memfasilitasi Maximus dalam mewujudkan mimpi-mimpi besarnya: memanfaatkan sumberdaya alam Papua yang menakjubkan itu tanpa harus merusaknya. Saat ini, PT Freeport baru membantu Maximus dalam beberapa kegiatan, misalnya dalam kegiatan bersih sampah di puncak, sebagai akibat kegiatan pendakian yang tidak bertanggungjawab.

Siapa diantara ribuan pecinta lingkungan Indonesia yang tertarik membantu Maximus, putra Papua ini, yang dengan kaki tangannya sendiri mulai membangun ekowisata trekking puncak Carstensz…? Silakan menghubungi Maximus melalui website-nya.

Catatan:

Artikel ini penulis bagi ke blog, sebagai salah satu cara penulis membayar “hutang” kepada Maximus dan masyarakat di Ugimba, yang telah lama meminta dukungan penulis untuk merealisasikan mimpi-mimpi Maximus dan harapan masyarakat Ugimba….” (Juanda 15, 7 November 2011).

07 November 2011

“The Limit of Growth” tidak Berlaku di China

Di ruang tunggu A-4 Lion Air Bandara Soetta (Soekarno-Hatta), tanggal 7 September 2010, penulis menemukan koran Media Indonesia, sudah lusuh sepertinya ditinggalkan pemiliknya. Membuka-buka halaman demi halaman, dan akhirnya terpaku pada analisis seorang ekonom, Aris Ananta, yang menulis artikel dengan judul sangat menarik : “Mengapa China Mengimpor Batu Bara dari Indonesia?”. Jawabannya sungguh sangat relevan dengan apa yang sedang penulis pikirkan tentang pertumbuhan ekonomi dan pilihan-pilihan kebijakan pembangunan dikaitkan dengan kerusakan lingkungan.

Pada dua dasawarsa terakhir, China adalah negara pengekspor batu bara terbesar di dunia, namun sejak tahun 2009 kebijakan itu berbalik arah. China menjadi negara pengimpor batu bara dan kemungkinan akan menjadi negara pengimpor batu bara terbesar di dunia. Kutipan dari tulisan The Straits Times 16 Agustus 2010 itu kemudian mengulas bahwa tujuan dari perubahan strategi pembangunan bertumpu pada pertumbuhan itu adalah agar tidak merusak lingkungan. Mereka lebih baik mengimpor batu bara dari negara lain (Indonesia - Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, dan Vietnam, yang menjadi pemasok batu bara murah). Dan beban lingkungan-pun tentu saja dipikul oleh Indonesia dan Vietnam.

Menurut Aris Ananta, artikel tersebut belum tentu benar tetapi bisa kita jadikan bahan renungan untuk memilih alternatif investasi. Aris menganalisis bahwa memang produksi dan ekspor batu bara menaikkan Produk Domestik Bruto (PDB) kita. PDB adalah pengukuran pendapatan nasional yang memasukkan nilai tambah yang dimiliki oleh orang asing yang bekerja di Indonesia. Maka, kita perlu melihat berapa persen nilai tambah yang dapat masuk ke Indonesia. Selanjutnya nilai tambah yang masuk ke Indonesia itu digunakan untuk apa? Berikutnya, berapa nilai kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pertambangan tersebut. Kasus batu bara ini mungkin dapat menjadi satu contoh kasus, bahwa kita perlu mengkaji ulang kebijakan ekonomi yang mengandalkan pada ekspor (bahan mentah, sumberdaya alam, atau tenaga kerja) yang murah dan investasi asaing, tanpa melihat dampaknya bagi lingkungan yang terjadi di Indonesia. Analisis Aris Ananta di halaman 16 Koran Media Indonesia yang terserak itu, sungguh sangat layak untuk kita renungkan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di China saat ini yang dikawal dengan strategi ekspansif mencari sumber—sumber energi tidak terbarukan di Negara-negara lain mengakibatkan dampak buruk di aspek lingkungan yang ditanggung negara-negara produsen tersebut. Dampak itu bahkan telah meluas ke arah kawasan kawasan konservasi. Di TN Kutai dan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto - semuanya di Kalimantan Timur misalnya, yang memiliki kandungan batubara milyaran metrik ton, dengan nilai trilyunan rupiah: di sebelah utara mereka bertetangga dengan Kaltim Prima Coal (KPC), di perbatasan Selatan akan digali habis-habisan oleh PT Tambang Damai. Setelah 15-25 tahun ke depan, Kaltim dan Kalsel tidak akan memiliki apapun lagi (emas, mangaan, bijih besi,batu bara tidak bisa dibuat manusia - non renewable resorces). Yang tersisa, tinggal kolam raksasa dengan segala dampak ikutannya. Bahkan saat ini pun kita dengan mudah dapat menyaksikannya di wilayah bekas penambangan KPC.

Fenomena Shenzhen

Siapakah tokoh sentral dibalik reformasi ekonomi China itu? Tidak lain adalah Deng Xiaoping. Dia mampu membawa sebuah dusun nelayan sepi di Delta Sungai Mutiara pada tahun 1980-an menjadi kawasan pertama di China yang dirancang sebagai zona ekonomi khusus yang dapat menerima investasi asing: Shenzhen menjadi cetak biru kebangkitan perekonomian China. Shenzhen menciptakan keajaiban industrialisasi, urbanisasi, dan modernisasi dunia serta menyumbangkan kemajuan signifikan terhadap reformasi dan keterbukaan China. Shenzhen merupakan markas bagi sejumlah perusahaan teknologi tinggi, termasuk teknologi informasi Taiwan Foxconn yang mempekerjakan 400.000 karyawan, yang memasok komponen computer untuk Apple, Panasonic dan sebagainya. PDB nya pada tahun 2009 sebesar 120,14 milyar dollar AS (Kompas, 7 September 2010).

Tentu pertumbuhan kota seperti ini berdampak besar pada perubahan sosial dengan segala macam penyakit turunannya. Namun dalam hal energi, China lebih memilih mengimpor dari negara lain daripada menanggungkan kerusakan lingkungan di negaranya sendiri. Menarik sekali untuk mencoba memahami strategi pembangunan tanpa mengorbankan lingkungannya, walaupun tidak demikian bagi negara pengekspor, seperti Indonesia. Pertumbuhan diperlukan China untuk menghidupi 1 milyar penduduknya atau sekaligus untuk menguasai pasar regional dan menuju pasar global. Negara-negara yang masih mempertahankan strategi dan bangga akan sumberdaya alamnya, siap-siap menerima resiko dijadikan obyek perdagangan regional dengan resiko kerusakan lingkungan di tingkat lokal.

Menurut James Canton,Ph.D dalam bukunya The Extreme Future (2006), menyatakan bahwa China telah tumbuh dengan 10%, (Amerika 3% dan Eropa 4%), mampu menghidupi 400 juta rakyatnya dengan tingkat pendapatan meningkat 4 kali lipat. Inovasi adalah jantung dari perubahan besar di China ini. Tahun 2025, China akan menjadi pasar otomotif, tekstil, alat kedokteran, manufaktur, dan obat-obatan paling dominan di dunia dengan perkiraan nilainya mencapai $ 1 trilyun; pasar nanoteknologi di China senilai $ 5 milyar yang diwakili oleh lebih dari 800 perusahaan. Diramalkan pula minimal 10 kunci sukses yang menentukan China masa depan, antara lain adalah “akses energi” dan “daya tahan lingkungan hidup”. Dan seperti dijelaskan di depan, China memilih import energi murah (baca: batubara) dari luar negeri (Indonesia dan Vietnam) dengan alasan logisnya agar lingkungan hidupnya dapat tetap terjaga. Dua kunci sukses berhasil dipadukan oleh China saat ini.

Demikian dinyatakan oleh James Canton. Sayangnya, strategi ini musti mengorbankan negara lain yang harus mengalami kerusakan lingkungan yang luas akibat eksploitasi batubara tersebut. Hal penting yang tidak dibahas oleh James Canton, yang nampaknya terlalu terlena dengan ramalan atau prediksi masa China dengan pertumbuhan ekonomi sebagai dewanya. Prediksinya tentang akan lahirnya seratus kota baru di 2040 di China sungguh tidak terbayangkan dampaknya bagi negara-negara di sekitarnya, termasuk Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam. Sampai seberapa jauh pertumbuhan di China itu masih bisa kita terima? Atau malah kita mengganggapnya justru sebagai pasar potensial dan aktual di masa sekarang dan mendatang?

Bagaimana sikap ekonom Indonesia menghadapi perubahan global yang didorong oleh pertumbuhan China yang meroket seperti itu? Pertanyaan-pertanyaan kunci yang harus dijawab oleh para disainer pembangunan Indonesia untuk masa 20 - 40 tahun ke depan, termasuk pakar lingkungan, penggerak pelestarian alam, doktor-doktor ahli lingkungan lulusan universitas terbaik dunia. Siapa yang masih memiliki komitmen besar untuk Indonesia yang lebih baik? Sungguh suatu keadaan yang sangat mengkhawatirkan, apabila kita mau merenungkannya, dengan hati, dengan ketulusan, dan dengan jiwa besar.***


Catatan: artikel ini merupakan bagian dari draft buku dengan judul : “Manusia-manusia Konservasi”, yang belum diketahui kapan akan diterbitkan, dan untuk menyambut Idul Adha 1432 H: semangat berkorban, semangat peduli untuk sesama. dan semangat bersama-sama menyelematkan bumi”