"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

29 November 2012

Solusi Jalan Tengah Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Masukan untuk Penyusunan Zonasi TN Bantimurung Bulusaraung


Latar Belakang

Bahwa kawasan konservasi di Indonesia ditunjuk/ditetapkan pada wilayah kawasan hutan (di darat dan di perairan) yang penuh dengan klaim oleh banyak pihak. Baik dari masyarakat hukum adat, masyarakat setempat, swasta, pemerintah daerah, dan sebagainya. Kawasan konservasi tidak pernah akan dapat diletakkan pada wilayah “kertas putih”, wilayah tanpa konflik. Pemahaman ini harus  ada pada para pengambil kebijakan di Jakarta dan Kepala UPT.

Klaim negara (cq Kementerian Kehutanan) dengan ditetapkannya kawasan-kawasan hutan (masa TGHK, 1980an), dan seterusnya, sampai penunjukan kawasan-kawasan konservasi, bukan tanpa penolakan dari berbagai kalangan, termasuk LSM (baca  kasus TN Gunung Merapi, Wiratno 2012); potensi konflik di TN Lorentz yang masuk dalam 10 kabupaten; TN Kayan Mentarang, yang sebagian besar wilayahnya menjadi bagian dari Provinsi (baru) Kalimantan Utara; kasus penembakan warga Colol (6 meninggal, belasan luka-luka dan catat), di depan Polres Manggarai 10 Maret 2004, konflik hak ulayat warga Colol (yang ditanami kopi) dengan pihak BKSDA. Serangan dan demo harus dihadapi oleh  manajemen Balai TN Komodo sebagai bagian dari dampak penegakan hukum, pemberlakukan zonasi. Demo didukung oleh kelompok-kelompok yang memiliki motif politik. Masyarakat menjadi korban dari “permainan” tersebut.

Beberapa contoh tersebut, cukup bukti kepada kita untuk merubah haluan kelola kawasan konservasi Indonesia ke depan. Zonasi yang dipanyungi dengan Permenhut No.56/2006, dapat dipakai sebagai acuan untuk menetapkan zonasi, sebagai alat manajemen kelola taman nasional. Permenhut telah mengantisipasi berbagai persoalan terkait dengan keberadaan masyarakat dan mengarahkan agar zonasi disusun secara partisipatif untuk mendapatkan masukan dari bawah. Namun demikian, Permenhut tersebut tidak cukup (tepatnya tidak menetapkan) bagaimana metode penyusunan zonasi tersebut sebaiknya dilakukan.

Kebijakan (Baru) Ditjen PHKA

Walaupun kerjasama atau kemitraan/kolaborasi telah diinisiasi sejak lama, dan diberikan payung hukum P.19/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA/KPA, yang draft-nya dikawal oleh beberapa LSM besar, namun sampai dengan saat ini belum ditemukan “ramuan mujarab” yang bisa dijadikan contoh. Banyak inisiatif kolaborasi masih menghadapi banyak persoalan mendasar dan bahkan beberapa justru diselewengkan.

Pernyataan Dirjen PHKA di Harian Kompas (24 November 2012, Halaman 24) sangat menarik untuk kita simak. Pada artikel yang berjudul: ”Kemenhut Meniru Korea”, Dirjen PHKA  menyatakan :
“.....Kami mulai pendekatan baru menghadapi perambahan karena penertiban atau penggusuran tak berhasil. Caranya mengajak masyarakat sekitar hutan turut menjaga hutan” Kerjasama yang disebut sebagai “Sister Park” ini dilakukan di TN Gunung Gede Pangrango dengan TN Jirisan; TN Dadohaehaesang dengan calon mitra TN Laut, yaitu TN Karimunjawa, TN Kep.Seribu, TNBunaken, atau TN Takabonerate.

29 Agustus 2012

Pokok-Pokok Pikiran tentang Filosofi Kelola Kawasan Konservasi 100 Tahun ke Depan


Oleh: Wiratno & Sustyo Iriono [Diskusi Ende, 25 Juli 2012]


Nilai-nilai Strategis SDA NKRI

1.       Kementerian Kehutanan memegang mandat penguasaan sumberdaya lahan yang terluas di Indonesia.
2.       Kawasan hutan terbukti memiliki nilai strategis aktual dan potensial yang sangat besar untuk dikelola secara bertanggung jawab untuk kepentingan kemaslahatan rakyat.
3.     Selama 40 tahun eksploitasi SDA telah menurunkan nilai dan kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan dampak negatifnya di berbagai aspek kehidupan masyarakat.
4.    Masih dominannya peranan negara-negara Utara dalam pengambilan keuntungan dari eksploitasi SDA di seluruh tanah air, sehingga berdampak pada rendahnya nilai manfaat yang diperoleh negara sekaligus meningkatnya ketergantungan Indonesia kepada Utara.
5.   Diperlukan kajian komprehensif tentang resource allocation yang rasional dan berkeadilan sosial, dengan mengoptimalkan kemampuan iptek dalam memberikan interpretasi terhadap pola-pola kelola yang lebih rasional, adaptif dan memenuhi rasa keadilan masyarakat .
6.       Masih banyak potensi SDA yang belum digali dan belum diketahui manfaatnya, sementara akibat eksploitasi telah terbukti menimbulkan  kerusakan berantai pada SDA, sehingga kemungkinan nilai-nilai potensial tersebut telah hilang bersama kerusakan lingkungan dalam skala masif, dan tidak akan pernah dapat dipulihkan, khususnya kelompok yang tergolong  non renewable resources.
7.   Nilai sumberdaya alam bukan hanya pada nilai intrinsik tetapi juga nilai fenomenanya yang seharusnya dihargai secara memadai dan rasional berskala waktu lintas generasi.

09 Agustus 2012

Fukuyama


Ia seorang pakar ekonomi politik yang disegani yang sejak 2001 menjadi  pengajar di Johns Hopkins University, Baltimore, dikenal luas akan pemikirannya tentang perubahan sosial dan modal sosial, yang kemudian  menjadi salah satu diskursus global. Francis Fukuyama  membahas bagaimana guncangan besar, the great disruption, yang terjadi ketika sistem kapitalisme meluas, mengakibatkan erosi pada modal sosial. Kepercayaan, trust, manusia pada manusia lainnya menipis, kecurigaan dan ketidak-jujuran merebak, pelanggaran hukum meningkat; proses kerjasama dalam masyarakat berubah menjadi proses saling memakan dan saling merugikan.

Apa kaitan pemikiran Fukuyama ini dengan gonjang-ganjing kerusakan lingkungan dunia? Seakan-akan memang tidak berhubungan atau berkaitan. Namun apabila kita renungkan, akan semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa perubahan substansial hubungan antar manusia yang dimaksudkan oleh Fukuyama, juga akhirnya berdampak pada lingkungan hidup manusia secara luas. Sejarah kerusakan lingkungan hidup dunia tidak dapat dilepaskan dari peranan (baca: keserakahan) manusia, dalam berbagai bentuknya. Manusia yang ingin menguasai dan alam. Inilah yang dikenal dengan pandangan   yang didasari oleh Etika Antroposentrisme. Etika antroposentrisme yang dilatarbelakangi oleh tradisi pemikiran barat yang liberal. Dalam etika ini manusia diposisikan sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar; di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia difahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Menurut Keraf (2002), cara pandang inilah yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif. Sementara itu, para pakar menyatakan bahwa nilai kayu hanya kurang dari 5% nilai keseluruhan sumberdaya hutan itu. Nilai total sumberdaya hutan tidak pernah diperhitungkan dalam kalkulasi ekonomi nasional. Hutan tropis dataran rendah di Pulau Jawa habis dalam tempo 100 tahun (Abad 18-19), sementara itu hutan hujan tropis dataran rendah di Pulau Sumatera lenyap hanya dalam hitungan 30 tahun. Terbukti bukan bahwa manusia melalap alam dengan ganasnya, dengan tingkatan 10 kali lebih cepat, dengan  dampaknya sudah kita rasakan saat ini: penurunan kualitas lingkungan hidup yang luar biasa besar dan dengan demikian tentunya akan berdampak langsung pada kualitas manusianya yang harus hidup dalam kondisi lingkungan hidupnya yang rusak parah. Ekonomi yang digerakkan oleh pengurasan sumberdaya alam ini, digambarkan dengan sangat tepat oleh Kenneth Boulding dalam Korten (2001), sebagai “ekonomi koboi”. Visi ekonomi koboi adalah dunia yang bisa dilukiskan sebagai padang terbuka tanpa batas yang menyediakan sumberdaya dan jasa pelayanan pembuangan limbah tanpa batas. Ekonomi koboi diarahkan untuk menggali sumberdaya-sumberdaya yang paling mudah tersedia dari lingkungan hidupnya dan mengubahnya menjadi produk apa saja untuk memenuhi kebutuhannya.

Kembalikan Pengelolaan Taman Nasional ke Lapangan

[”Paper Park”]

”Paper Park” adalah taman nasional  yang belum atau tidak dikelola secara intensif di tingkat lapangan. Taman nasional yang hanya eksis di atas peta. Sementara itu, konsep pengelolaan taman nasional yang bersifat teritorial atau kawasan menuntut diterjemahkannya konsep pemangkuan kawasan. Di jajaran Eselon I Departemen Kehutanan, yang memiliki mandat ”pemangkuan” kawasan hanya Ditjen PHKA. Ditjen BPK tidak mengelola langsung hutan produksi. Pemegang HPH, HTI, dan IPK lah yang melakukan intervensi atau kontrol langsung terhadap sumberdaya alam di lapangan. Ditjen RLPS juga demikian, bergerak di tataran hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,  tentu tidak melakukan pemangkuan langsung. Tetapi hanya melalui mekanisme kebijakan di lahan-lahan masyarakat.

Ditjen PHKA melalui UPTnya Balai TN dan Balai KSDA wajib melakukan pengelolaan di tingkat lapangan. Ini mandat yang disebutkan dalam UU No.5 tahun 1990. Namun, sampai dengan saat ini, mandat tersebut belum diterjemahkan ke dalam bahasa teknis pengelolaan, seperti halnya sistem Resort Polisi Hutan (RPH) dalam pengelaan hutan jati di Pulau Jawa. Satuan-satuan pengelolaan pun belum jelas. Yang lebih mengerikan lagi, banyak taman nasional yang tidak memiliki peta-peta dasar yang dijadikan acuan untuk melakukan pengelolaan taman nasional berbasis kawasan. Berbasis kewilayahan, dan teritorial, dengan sistem zona-zona sebagai basis pengelolaan di wilayah tertentu sesuai dengan zonasinya.

Maka sangat wajar apabila  di lapangan banyak kawasan taman nasional dirambah, diduduki, diklaim, diserobot, ditebangi oleh berbagai pihak yang tidak bertanggungjawab. Apalagi batas-batas kawasan tidak jelas, hanya ada patok di atas peta saja. Hal-hal mendasar seperti inilah yang sebenarnya perlu segera dibenahi.  Implikasi dari tidak hadirnya petugas di lapangan, antara lain adalah :

  1. Perkembangan persoalan di tingkat lapangan tidak pernah diketahui dengan pasti. Siapa dan berapa luas kawasan yang merambah atau membalak kayu siapa saja tokoh intelektualnya, jaringan pemasarannya, dan seterusnya. Apabila kondisi akut ini terjadi untuk waktu yang lama, maka dapat dipastikan bahwa skala persoalan menjadi sedemikian besar, sehingga kawasan dikuasai kelompok-kelompok terorganisir itu., dan petugas semakin tidak berani memasuki kawasannya. Kasus kerusakan seluas 4.000 Ha (deforested) dan 17.000 Ha (degraded) di SKW IV Besitang, Kab.Langkat merupakan contoh proses ”pembiaran” yang terjadi 10-15 tahun berlalu. ”Pembiaran” ini merupakan istilah Menteri Kehutanan, terhadap sikap mental pengelola yang tidak pernah melaporkan kasus-kasus kerusakan kawasan di wilayah kelolanya. Perambahan di kawasan-kawasan konservasi yang semakin tidak terkendali merupakan buah dari proses pembiaran ini.

01 Agustus 2012

Kerangka Kerja Monitoring (Pemantauan) Kegiatan RBM

Oleh: Hendrikus Rani Siga
Kepala Seksi Pengelolaan TN Wilayah I Moni
Balai Taman Nasional Komodo 
 
Sebuah pengelolaan kawasan konservasi yang baik minimal memiliki tiga tahapan atau strategi pengelolaan yaitu : perencanaan, pelaksanaan/pengelolaan dan pemantauan. Aspek pemantauan menjadi sangat strategis karena dapat memberikan umpan balik kepada pihak manajemen untuk mengambil langkah konkrit dan strategis untuk mengatasi permasalahan ataupun dampak yang ditimbulkan.

Seringkali pula dalam suatu rencana pemantauan, indikator dan metode yang dipilih sangat kompleks sehingga menyulitkan dalam pelaksanaannya. Selain itu, pemantauan dan evaluasi dampak/permasalahan yang dihadapi oleh pengelola jarang dilakukan karena besarnya biaya yang dibutuhkan dan anggapan mengenai kecilnya manfaatnya. Padahal hasil pemantauan sangat diperlukan sebagai masukan bagi pengelola dalam menjalankan program mereka agar dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian apabila terlihat adanya penurunan kualitas dari sumber daya alam, sarana prasarana pengelolaan maupun terhadap pengalaman yang ditawarkan kepada wisatawan.

Pada umumnya kawasan konservasi terus mengalami tekanan baik yang dilakukan oleh masyarakat, wisatawan maupun oleh pengelola sendiri akibat salah dalam mengambil keputusan ataupun kebijakan. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya perhatian ataupun pemahaman pengelola bahwa sistim pemantauan yang baik sesungguhnya dapat memberikan umpan balik yang positif dalam rangka perbaikan semua aspek pengelolaan. Mempertahankan kualitas sumberdaya alam juga akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Untuk itu, manajemen kawasan konservasi yang baik sudah seharusnya dapat mengakomodir aspek-aspek pengelolaan pada tingkat yang paling operasional sekalipun.

30 Juli 2012

Kronologi Pengukuran Hutan Tutupan Sokoria (RTK.52) Kini Menjadi Taman Nasional Kelimutu


Oleh:  Gae Pius - Staf PPA Kelimutu, 1982

Sejarah Kawasan
Kawasan Taman nasional Kelimutu awalnya adalah Hutan Lindung/ Hutan Tutupan Sokoria (RTK.52) yang ditetapkan sejak zaman penjajahan Belanda yang diukur dan dikukuhkan lagi oleh Balai Planologi Singaraja pada tahun 1983/1984.

Kepanitiaan
Panitia tata batas adalah Bupati Kepala Daerah Tk. II Ende sebagai Ketua dan Dinas Kehutanan Kabupaten Ende sebagai Sekretaris merangkap Anggota sedangkan anggota-anggotanya adalah dinas instansi terkait di Daerah Tk. II Ende, Sub Balai PPA Nusa Tenggara Timur.

Persiapan
1.     Pengumuman Bupati Ende melalui Radio Pemerintahan Daerah ( RPD ) Ende
2.     Pembuatan/pencetakan pilar batas di Ende oleh Tim Planologi Singaraja Bali.
3.   Pengiriman pilar batas ke desa-desa yang berbatasan dengan kawasan yang akan dilakukan pengukuran sebelum pelaksanaan pengukuran.

26 Juli 2012

SituationRoom


Nilai-nilai RBM

Resort-Based Management atau RBM, suatu kebijakan Ditjen PHKA yang dimuat dalam Renstra Ditjen PHKA 2010-2014,  memerintahkan bahwa 50 taman nasional dikelola berbasiskan resort. Saat ini pedoman “Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Resort” sedang dalam proses finalisasi, dan kemungkinan akan diberi payung hukum Perdirjen atau Permenhut. Dalam perjalanannya, sejak akhir tahun 2010 sampai dengan saat ini (Juli 2012) telah diselenggarakan 21 seri workshop termasuk yang terkahir di TN Kelimutu (Nurman Hakim, 2012), maka tidak kurang dari 1.000 staf Ditjen PHKA telah berinteraksi dalam berbagai tingkatannya dengan apa yang dikanal sebagai RBM. Staf UPT, dan bukan Kepala UPT yang diundang untuk pelatihan RBM tersebut, kecuali di RBM Kupang, yang diselenggarakan pada 10-12 Mei 2012 dimana beberapa Kepala UPT hadir dan aktif sampai akhir workshop, yaitu Kepala Balai TN Bali Barat, Kabal TN Rinjani, Kabal TN Manipeu Tanah Daru,  KBTU KSDA NTB.

Pada kesempatan Rakor Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati di Bandung 26 Juni 2012, Kepala Balai Besar KSDA NTT diberi kesempatan mempresentasikan SIM-RBM BBKSDA NTT di depan seluruh Kepala Balai (Besar) TN dan KSDA. Namun demikian, sampai dengan saat ini justru belum sempat dipresentasikan di jajaran Eselon II Ditjen PHKA di Jakarta. Apalagi Balai (Besar) KSDA sebenarnya belum mendapatkan mandat untuk membangun RBM, sebagaimana taman nasional.

Dalam perjalanan waktu yang hampir 2 tahun, dimana dalam setiap proses workshop, semakin ditemukan berbagai nilai-nilai dasar yang semakin diyakini oleh beberapa pihak yang secara intens mendalaminya dan mempraktikkannya. Pada awal 2011, Muh Haryono menyelesaikan program doktornya di IPB dan gabung dengan Subdit Pemolaan dan Pengembangan, sambil menunggu penempatan. Tak terasa 1 tahun mendalami RBM bersama-sama penulis dan akhirnya mendapatkan jabatan sebagai Kepala TN Ujung Kulon pada Maret 2012.

11 Juli 2012

Nilai-Nilai RBM


Setelah hampir dua setengah tahun penuh (awal tahun 2010 - Juli 2012), setidaknya 20 kali proses fasilitasi Resort Based Management (RBM) kepada 50 Balai Taman Nasional dan beberapa Balai KSDA, sampai dengan workshop terakhir di Balai TN Ujung Kulon, Balai TN Kep Seribu dan BBKSDA Jawa Barat di Carita (tanggal 4 - 6 Juli 2012) pada level kedua/ tingkat staf, dan beberapa kepala balainya, tidak kurang 1.000 orang telah mulai memahami prinsip-prinsip dasar RBM dan nilai-nilai yang dikandungnya. Model yang dikembangkan adalah fasilitasi melalui workshop dan dilanjutkan dengan pendampingan (jarak jauh) via email, facebook, dan media komunikasi lainnya.

Yang menarik adalah pernyataan Pak Moh Haryono, Kepala Balai TN Ujung Kulon dalam workshop RBM  di Carita. Beliau menyatakan bahwa tidak pernah ada proses kebijakan baru yang dikawal dengan sangat ketat dan konsisten, dan multiyears seperti RBM ini. Pak Haryono setelah menyelesaikan program doktornya di IPB sempat diminta membantu Subdit Pemolaan dan Pengembangan - Direktorat KKBHL selama hampir 1 tahun dalam melaksanakan RBM di 2011. Beliau termasuk pelaku dalam mengawal RBM ini.

Figur lainnya yang menentukan proses RBM ada 2 orang, yaitu Nurman Hakim dan Ecky Saputra. Nurman mengawal proses komunikasi intensif dan asertif dengan figur-figur muda di UPT, dimana awal mulanya adalah sejak pembentukan Pokja Penanganan Perambahan Pusat yang meminta UPT untuk juga ‘mendirikan’ Pokja serupa dengan keputusan Kepala Balainya. Selama tahun 2009 - 2010, telah dapat diidentifikasi UPT yang memiliki staf dengan kemampuan GIS/Database yang lumayan mumpuni, namun umumnya keahlian dan skill mereka belum dimanfaatkan secara optimal dan sistematis, mereka masih bekerja rangkap sana-sini. Ecky adalah staf DIPA yang memahami persis psikologi berbagai persoalan kawasan, termasuk soal perambahan, RBM, dan lain sebagainya. Ia mampu menterjemahkan

04 Juli 2012

Tipologi Sumberdaya Manusia yang Diperlukan untuk Kerja Konservasi Alam di Indonesia *

Rationale

Kerja di bidang konservasi alam, yaitu melindungi, menyelamatkan, merehabilitasi berbagai habitat satwa liar, kondisi bentang alam yang indah, gejala geologi dengan berbagai situs-situsnya, tipe-tipe hutan dan ekosistem hutan alam, mulai dari pantai, pegunungan rendah, sampai ke puncak-puncaknya yang berkabut dan bersalju, puncak-puncak bergunung api aktif, wilayah-wilayah dengan tipe ekosistem unik, daerah payau, danau, bantaran sungai, delta, rawa gambut, ekosistem air hitam, hutan kerangas, padang savana, padang lamun, ekosistem terumbu karang, atol, pulau-pulau oceanic, kawasan karst dengan gua-gua alam dan sistem sungai bawah tanahnya, dan berbagai bentukan alam lainnya.

Kecepatan kerusakan kawasan-kawasan tersebut 50 tahun terakhir ini dan ke depan laksana mengikuti deret ukur; sedangkan upaya rehabilitasi atau kebijakan untuk mengurangi kecepatan kerusakan itu seperti deret hitung. Kehancuran hutan-hutan tropis dan kepunahan spesies menunjukkan tingkat yang sangat serius dengan kecepatan yang tidak terbayangkan pernah terjadi di masa lalu. Lifestyle negara-negara Utara yang tingkat konsumsinya 1 : 50 bila dibandingkan dengan negara-negara Selatan, serta kemiskinan dan kelaparan di negara-negara Selatan dengan tingkat pertumbuhan penduduknya yang tinggi, menjadi faktor pemicu kerusakan sumberdaya alam tersebut.

Luas daratan Indonesia 192 juta Ha, dimana 22 juta Ha adalah kawasan konservasi  (KK) yang berada di daratan, atau hampir 11,4 % dari luas daratan NKRI. Sedangkan luas kawasan konservasi di perairan (laut) adalah 5 juta Ha. Hasil analisis berdasarkan Citra Palsar 2009 oleh Dit KKBHL (cq Subdit Pemolaan dan Pengembangan) telah diidentifikasi kawasan “open area” (kawasan yang diduga mengalami kerusakan akibat perambahan, illegal logging, pertambangan) seluas 3,5 juta Ha (15,9%). Suatu angka yang mulai mengkhawatirkan.

25 Juni 2012

Dr. Agus Trianto dan Peran “Science” &“Technology” di Kawasan Konservasi Perairan NTT

Jangan pernah mengabaikan riset-riset khususnya yang dilakukan oleh pakar yang datang di wilayah kerja kita. Pertama, kita harus kritis terhadap apa yang akan mereka lakukan, dengan mencermati proposal penelitiannya. Ketika saya pertama kali bertugas di NTT, dengan segala keterbatasan dan interest saya, tidak pernah terbayangkan akan riset-riset kelautan yang sangat menarik dan menjanjikan. Yosi adalah staf dengan latar belakang perikanan yang tentu dekat sekali dengan ilmu-ilmu kelautan. Maka hobinya tak jauh dari laut. Kawasan perairan di bawah kelola BBKSDA NTT, seperti di TWA Teluk Kupang, TWA Teluk Maumere, TWA 17 Pulau Riung, merupakan hal-hal baru. Cerita tentang penyelaman, snorkeling dan keindahan bawah lautnya, baru sekedar cerita indah juga sudah puas dengan melihat foto-foto terumbu karangnya itu.

Adalah suatu siang yang terik, saya kedatangan tamu yang diantar Yosi. Ia memperkenalkan diri sebagai Dr Agus Trianto,MT,MSc,PhD. Dengan pembawaan yang bersahaja, ia sedikit menceritakan  rencana penyelaman di Teluk Kupang yang akan didampingi Yosi. Saya masih belum faham, namun insting mengatakan riset ini harus didukung. Tentang sponge, saya tidak faham sama sekali. Setelah mereka melakukan penyelaman dan hasilnya dipresentasikan di depan staf BBKSDA NTT, kebetulan saya tidak bisa hadir, dilaporkan oleh P Arief Mahmud, bahwa sangat menarik apa yang dilakukan dan ilmu yang dikuasai Pak Agus ini. Ia pakar yang berbicara soal-soal kimia molekuler sumberdaya hayati laut, nano teknologi, yang membuat semua terperangah. Tidak faham juga sekaligus sangat menarik, tentang sponge dan terumbu karang. Hanya Yosi saja yang tahu soal ilmu bawah laut ini.

15 Juni 2012

Dua Minggu yang Tak Terlupakan (Catatan Perjalanan Flying Team ke Taman Wisata Alam Laut 17 Pulau Riung)


Ditulis oleh: Aminah*


Flying team bahasa keren dari sebuah tim yang telah dibekali keahlian khusus dan diterbangkan atau didatangkan ke resort untuk melakukan transfer informasi dan melakukan pembelajaran secara bersama-sama dengan staf di lapangan dan masyarakat serta berbagai stakeholder yang terkait dalam melakukan pemotretan kondisi kawasan dengan alat berupa tally sheet. Pemotretan kondisi kawasan dilakukan secara keseluruhan dengan cara  pengamatan langsung maupun  dengan menggali informasi dari wawancara bersama dengan tokoh setempat.

Gambaran ini yang terekam di pikiran pertama kali ketika diminta untuk melaksanakan tugas sebagai flying team bersama dengan Mas Yosi (Isai Yusidarta) ke Taman Wisata Alam Laut (TWAL) 17 Pulau Riung. Selain perasaan senang karena sesuatu yang sangat jarang bisa melihat langsung lapangan. Keseharian lebih banyak berkutat dengan administrasi kantor.

Waktu persiapan sangat singkat dan terbatas sehingga tim kami berdiskusi singkat mengenai apa yang akan dilakukan di lapangan. Kami menyoroti pengamanan kawasan perairan berkaitan dengan riwayat kasus yang pernah terjadi di TWAL 17 Pulau Riung. Maka Mas Yosi menyusun Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK). Kami juga membekali diri dengan kamera, beberapa lembar tally sheet, peta kawasan dan GPS hasil pinjaman dari seorang teman di BPKH XVI (terima kasih Dede).  Tim kami sangat suka dengan keindahan bawah laut jadi tak ketinggalan membawa peralatan snorkeling.

13 Juni 2012

“Unconscious Incompetence” dan RBM++

WiratnoFoundation

Unconscious Incompetence atau “ketidaksadaran akan ketidakmampuan” adalah judul sebuah artikel pada rubrik “Wisdom in the Air”, dari majalah LionMag, Edisi Juni 2012. Sekilas, sangat menarik membaca uraiannya dan penulis langsung teringat dengan Resort-Based Management (RBM), suatu upaya untuk mengembalikan spirit kerja di lapangan dari para pekerja konservasi, staf UPT TN dan UPT Balai KSDA di seluruh Indonesia

Definisi RBM++

Pemahaman tentang RBM dan RBM++ memang masih sangat beragam dan bahkan bisa membingungkan, baik itu di tingkat staf di Resort, di Seksi Wilayah, Bidang Wilayah, tenaga fungsional  (PEH, Polhut, Penyuluh), bahkan di tingkat Kepala Balai, dan Kemungkinan besar termasuk di tingkat Jakarta. Penyebabnya memang beragam, dan definisi dan cakupan RBM/ RBM++ ini memang terus berkembang, sejak 2007 (penulis menjadi Kepala Balai TN Gunung Leuser); Pak Hartono menjadi Kepala TN Alas Purwo (2007 - 2009); sementara itu ada TN Gunung Halimun Salak, yang didampingi oleh JICA dalam membangun infrastruktur dan melakukan inventory keragaman hayati kawasan (lebih dari 15 tahun) yang menjadi cikal bakal RBM TNGHS ketika Pak Bambang Suprijanto menjadi Kepala TN nya; TN Gunung Gede Pangrango -y ang telah lama mengembangkan konsep kelola di tingkat resort; juga ada TN Komodo, yang telah lama pula melakukan model shift ke resort (20 hari dalam 1 bulan, dan kini 10 hari dalam sebulan); serta TN Ujung Kulon yang semasa Ir.Tri Wibowo, patroli tertutup, sehingga setiap periode tertentu resort digantikan oleh staff baru, dan staff di resort tersebut bergerak ke arah resort berikutnya.

11 Juni 2012

Peran Flying Team dalam RBM++ [Part-1/TWAL 17 Pulau Riung]*

Flying Team (FT) adalah suatu tim yang dibentuk oleh Balai (Besar) KSDA NTT untuk mendukung pelaksanaan Resort Based Management (RBM). FT terdiri dari tenaga fungsional, pada umumnya PEH yang berada di kantor Balai Besar. Mereka para sarjana yang kalau tidak sering diterjunkan ke lapangan, akan menghadapi banyak persoalan personal dan merugikan organisasi. Persoalan personal yang mereka hadapi adalah semakin tidak jelasnya identitas mereka karena tidak tahu ilmu dan keahlian apa yang perlu mereka tekuni. Sebagian mereka menjadi staf dari Seksi P2, P3, di Bagian Kepegawaian, Bagian Umum, dan bahkan direkrut menjadi anggota Tim Keproyekan, atau menjadi sekretarisnya Kepala Balai. Sementara itu, di Bidang Wilayah dan Seksi dan Resort kekurangan tenaga pemikir, atau sekedar tenaga yang membuat kantor bisa berjalan untuk mendukung kegiatan minimal.

FT diturunkan ke resort-resort yang saat ini sedang melakukan pengumpulan data melalui RBM, dalam jangka waktu 1 sampai 2 minggu. Sebelum ke lapangan, mereka harus menyiapkan rencana kerja detil tentang apa yang akan dilakukan selama 2 minggu di lapangan tersebut. Kepala Seksi P3 - yang bertanggungjawab mengkoordinasikan RBM di bawah pengawasan Kabid Teknis BBKSDA, memfasilitasi proses persiapan ini. Persiapan di kantor BBKSDA dilakukan melalui proses “downloading” dalam Teori U, yaitu mengumpulkan data dan informasi sekunder bersumber dari laporan-laporan, hasil survai, hasil perjalanan Ka Balai Besar ke resort-resort yang dilakukan sebelumnya (disebut sebagai window survey, survai cepat). Expert judgement dalam window survey ini memberikan clue, atau petunjuk tentang hal-hal sensitif yang perlu kehati-hatian dan short list tentang persoalan prioritas yang perlu didalami oleh Tim RBM dan FT nantinya. FT juga harus berkonsultasi dengan Tim GIS/ RBM di BBKSDA, yang akan memberikan bahan-bahan seperti peta (citra) yang telah dilengkapi dengan grid, dan bahan-bahan lainnya yang mereka perlukan di resort nantinya.


25 April 2012

Eksotisme Sumba

Hamparan lansekap perbukitan gersang berbalur mengular merona hijau di lembahnya.
Patahan meliuk mengangakan garis tajam coklat-hitam keabuan singkapan umur geologi dasar laut.

Laksana mozaik permadani savana selimuti punggung punggungmu disangga bantalan karang getas terpanggang mentari 39 derajat celcius.

Itulah citramu yang terpetakan di ruang retina mata indera dan batinku.

Di antara punggung gersang itu, meliuk sungai jernih laksana naga bersayapkan perengan dan  lembah hijau lembut menyejukkan.
Disitulah manusia dan kebudayaan Sumba mampu bertahan-memaknainya.

23 April 2012

RBM+ untuk Kawasan Konservasi Non Taman Nasional (Artikel Menyambut Hari Bumi 2012)


Rationale
Resort Based Management (RBM), seringkali disalah-artikan. Yang paling parah hanya sekedar  sebagai telah diterbitkannya keputusan Kepala Balai (SK) tentang Resort, pembagian wilayah ke dalam resort, dan (mungkin ini yang lebih baik), ia  telah membangun kantor resort. Yang terjadi adalah banyak kantor resort yang dibangun tetapi bahkan tidak sempat dihuni dan akhirnya hancur. RBM juga difahami sebagai sekedar mengumpulkan data. Ketika data lapangan sudah banyak terkumpul, kita menjadi bingung untuk apa data sebanyak itu.  RBM bukan tujuan (end).  RBM adalah kendaraan (mean), agar kita-pengelola kawasan konservasi, dapat mencapai tujuan (goal). Tujuan pengelolaan kawasan konservasi adalah agar kawasan konservasi aman (tidak rusak oleh berbagai sebab), dan berfungsi sesuai dengan tujuan penetapannya. Kalau di dalam keputusan Menteri Kehutanan, tidak disebutkan secara spesifik latar belakang penunjukan/penetapan kawasan tersebut, maka pengelola harus menetapkannya (melalui kajian ilmiah), dan menyebutkan secara eksplisit di dalam dokumen Rencana Pengelolaannya. Dengan tujuan yang jelas (spesifik dan terukur), maka seluruh upaya pengelolaan ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut. Sayang sekali, banyak kawasan belum ditetapkan tujuan penunjukannya dengan jelas.
RBM dalam praktiknya, dengan cara mengisi tallysheet, dengan sistem poin, memaksa staf (enumerator) untuk menjelajahi setiap jengkal kawasan, dan mencatat setiap kejadian di sepanjang jalur jelajahnya.Karena setiap poin yang dicatat di lapangan diambil koordinatnya dengan GPS, maka kemungkinan pemalsuan data (semoga) dapat dihindarkan. Suatu budaya baru yang memaksa setiap staf tidak boleh memalsu data lapangan, dimana di

10 April 2012

Kelola Minimal Kawasan*

Mengutip pidato Purna Tugas Prof.Hasanu Simon (Alm), pada tanggal 27 September 2010, di antaranya yang sangat relevan untuk kita renungkan adalah munculnya dua fenomena :
(1) Rimbawan Indonesia gagal mempertahankan warisan hutan tanaman jati di Jawa yang amat bagus, lengkap dengan sofware maupun hardware-nya. Warisan hasil jerih payah rimbawan Belanda selama lebih dari satu abad itu, hancur di tangan rimbawan Indonesia hanya dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun.
(2) Lebih parah lagi, rimbawan Indonesia,yang sebetulnya tidak memiliki bekal imu yang cukup itu, gagal total dalam percobaannya mengelola hutan tropika basah di luar Jawa yang luasnya lebih dari 100 juta hektar itu hanya dalam waktu 25 tahun. Prestasi buruk ini lebih hebat dibanding dengan VOC yang menghancurkan 600 ribu hektar hutan alam jati di Jawa selama 150 tahun, Romawi yangmenghancurkan hutan alam di Eropa selama 1000 tahun, dan Babylonia yang membutuhkan waktu 3000 tahun untuk merusak hutan alam Mesopotamia.

Pernyataan almarhum Prof. Hasanu Simon itu tentu bukanlah isapan jempol belaka. Saat ini,kita bisa menyaksikan kerusakan sumberdaya hutan (khususnya hutan produksi), sebagian hutan lindung, di hampir seluruh Sumatera, Kalimantan, sebagian Sulawesi, dan mulai merambah ke Papua.

20 Maret 2012

Seulas Hikmah dari Bab 8. Berkaca di Cermin Retak - Reorientasi Taman Nasional dan Strategi Rancang Tindak (Oleh: Ami Wahab*)


Konsep yang diangkat adalah sangat perlu memperhatikan peran dan kepentingan masyarakat lokal serta pihak-pihak yang memiliki akses tinggi terhadap hutan untuk keberhasilan pengelolaan taman nasional sehingga strategi bermitra dengan berbagai pihak tersebut sangat efektif dalam keberhasilan pengelolaan taman nasional. Selain pentingnya peran mitra juga merupakan sumber dana untuk membantu biaya konservasi.

Penerapan konsep menggandeng mitra ini dapat dilaksanakan di Balai Besar KSDA NTT. Selain lembaga-lembaga pemerintah yang terkait seperti Pemerintah Daerah juga ada beberapa lembaga yang berpotensi dijadikan mitra di wilayah kerja BBKSDA NTT diantaranya sebagai berikut :

Forum DAS (F-DAS) atau dikenal FORDAS : LSM Lokal

F-DAS merupakan LSM lokal yang konsen terhadap konservasi SDA terutama penyelamatan daerah aliran sungai hulu sampai hilir. Wilayah kerja konservasi Balai Besar KSDA NTT meliputi beberapa DAS di NTT. F-DAS dapat mendukung keberhasilan tujuan BBKSDA dalam keberhasilan konservasi kawasan hutan. Sesuai tujuan F-DAS yang diantaranya ada yang sejalan dengan prinsip konservasi yang diterapkan di Balai Besar KSDA NTT. F-DAS juga aktif dalam koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar berbagai pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Hal ini dapat mempermudah dan memperlancar Balai Besar KSDA dalam mencapai tujuan.

Dalam hal keterkaitan antara BBKSDA NTT dan F-DAS tergambar pada perpotongan kurva yang dapat dijabarkan dalam bentuk hubungan kerjasama yang saling menghormati kedudukan masing-masing.