"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

03 Januari 2012

Tipologi Konflik-Konflik Sosial di Kawasan Konservasi dan Upaya Solusinya


Memperhatikan perkembang konflik-konflik pertanahan di Mesuji, Pulau Padang, Bima, dan masih banyak lagi di berbagai tempat lainnya, maka sangat layak para pengelola konservasi yang mengelola 27,2 juta Ha kawasan konservasi, tersebar di lebih ari 521 lokasi di seluruh Indonesia, untuk terus waspada dan berhati-hati dalam menangani berbagai potensi konflik maupun konflik riil antara pengelola dengan masyarakat.

S Rahma Mary H (Huma) dan Noer Fauzi Rachman (Fak.Ekologi Manusia-IPB) dalam artikelnya berjudul: “Mesuji, Cermin Konflik agraria yang Kronis” (Media Indonesia, 26 Desember 2011) menguraikan berbagai persoalan konflik agraria antara masyarakat dan pengusaha, yang cenderung direspon represif oleh aparat negara da perusahaan. Kedua penulis mengungkap bukti-bukti bahwa selama 10 tahun terkahir terjadi 108 konflik agraria di 10 provinsi yang didominasi konflik tenurial di kawasan hutan (69 kasus), dan konflik perkebunan (23 kasus); BPN mencatat 8.000 konflik agraria. Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, taman nasional, dan Perhutani.

Tipologi Konflik di Kawasan Konservasi

Menarik untuk mengungkap berbagai konflik khususnya yang terjadi di kawasan konservasi, mengingat anatomi persoalannya sangat beragam dan kemungkinan besar tidak diungkap oleh kedua penulis tersebut. Selama 2 tahun penuh, Pokja Penanganan Perambahan di Kawasan Konservasi telah bekerja. Berdasarkan keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Pokja ini mencoba mendalami berbagai persolan di kawasan Besitang, di TN Gunung Leuser, wilayah Kab.Langkat (pendudukan kawasan oleh eks pengungsi Aceh sejak 1999 yang memicu perambahan sawit), Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut (ekosistem bakau yang dirambah untuk tambak, perkebunan sawit, dan pendudukan oleh masyarakat dan pihak lain), areal perluasan TN tesso Nilo –Riau, yang diduduki perambah sawit dari wilayah perbatasan Sumut-Riau, perambahan kopi di TN Bukit Barisan Selatan, eks peserta program PHBM di TN Gunung Ciremai-Jawa Barat, pendudukan masyarakat dalam jangka waktu yang lama di pemukiman yang telah menjadi desa-desa di TN Kutai, Kalimantan Timur, perambahan coklat di TN Rawa Aopa Watumohai-Sulawesi Tenggara, dan sebagainya. Selama 2 tahun penuh persoalan masyarakat di dalam kawasan konservasi ini didalami dan dicoba untuk ditelaah dan dicari upaya solusinya.

Penyusunan tipologi adalah upaya untuk mengelompokkan suatu persoalan berdasarkan analisis terhadap aspek-aspek sejarah pembentukan kawasan konservasi, sejarah pemukiman/pendudukan, hak-hak ulayat masyarakat setempat, kesalinterhubung intensitasdan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, an dan talitemali antara masyarakat tidak bertanah, kordinator lapangan, pemodal, faktor-faktor pendorong-pemicu dari luar, seperti trend pasar global (baca: sawit), pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh migrasi sebagai konsekuensi dari pertumbuhan kota-kota dan lapangan pekerjaan di sekitar kawasan konservasi, meningkatnya akses akibat pembangunan jalan, dan sarana prasarana pendukungnya, dominannya alokasi lahan-lahan produktif untuk kepentingan pemiliki modal besar, lemahnya pendampingan kepada masyarakat yang biasanya tidak memiliki akses kepada pasar, modal, dan sarana prasarana pendukung kegiatan produktinya. Maka, dapat dikatakan bahwa persoalan-persoalan konflik masyarakat di kawasan konservasi tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor internal dan eksternal sebagaimana diuraikan di atas.

Tipologi 1 : Kasus Perambahan di Besitang, TNGL

Kasus ini dipicu oleh kesalahan kebijakan di masa lalu, dimana diijinkan pembinaan habitat dengan menebang pohon, yang diberikan kepada PT Raja Garuda Mas selama 7 tahun yang akhirnya dihentikan. Namun dampaknya sangat luar biasa. Kawasan eks SM Sekundur yang akhirnya menjadi bagian dari TNGL menjadi wilayah yang terbuka dan karean kondisinya yang berdekatan dengan desa-desa dan jalan lintas Medan-Aceh, maka tidak pelak lagi, secara bergelombang, masyarakat mulai menggarap kawasan ini, dengan tanaman karet. Gelombang pendudukan semakin membesar sejak 1990an dan 1999 terjaid pendudukan kawasan oleh beberapa keluarga pengungsi asal Aceh Timur. Lemahnya pengelolaan, menyebabkan semakin bertambahnya jumlah pengungsi yang berbaur dengan perambahan oleh masyarakat di sekitar kawasan, khususnya untuk penanaman sawit. Jumlah pengungsi yang sempat sampai 500 KK pada tahun 2005, dijadikan semacam tameng oleh perambah lokal yang didukung oleh pemodal kuat untuk terus melakukan aksinya. Konflik dipicu lagi adanya perusahaan yang batas HGU-nya masuk ke dalam kawasan TNGL (PT Putri Hijau), yang akhirnya diputus PN Stabat dan sawitnya ditumbang pada akhir 2006.

Dapat disimpulkan bahwa kasus perambahan TNGL murni akibat dari kelemahan pengelolaan secara internal. Secara eksternal dipicu dengan merebak dan meningkatnya permintaan tandan buah segar (TBS) sawit sejak era 1990 sampai dengan saat ini. Eks pengungsi dari Aceh Timur hanya dijadikan tameng oleh para perambah kaya untuk menguasai dan memperjualbelikan tanah dan sawit. Penegakan hukum sejak 1990 dan 2006-2007 telah berhasil memenjarakan 17 orang termasuk 1 tokoh perambah, termasuk menumbangkan 1000 Ha sawit, namun sayangnya tidak diikuti dengan pendekatan partisipatif dan penggalangan masyarakat setempat (yang tidak turut merambah) untuk turut menjaga kawasan. Penegakan hukum. Sebanyak 30 kepala keluarga eks pengungsi tekah berhasil dipindahkan ke Kab Muba, dan berhasil meningkatkan taraf hidupnya. Terdapat kekosongan penegakan hukum sejak akhir 2007 sampai 2010 dan baru pada akhir tahun 2011 dilakukan lagi, namun belum mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas, walaupun telah didukung oleh TNI, Polri, dengan penumbangan sawit dan penanaman kembali.

Tipologi 2 : Pendudukan Kawasan di TN Tesso Nilo

Terdapat dua kasus, yaitu pada kawasan TNTN sebelah timur, yang semula eks PT Inhutani dan dirubah fungsi menjadi taman nasional. Sebelum dirubah fungsi telah terdapat kegiatan penanaman sawit oleh suatu koperasi, dan ketika menjadi taman nasional, mereka menuntut areal kerjanya dikeluarkan dari batas TNTN. Solusi yang diajukan adalah ditetapkannya kawasan tersebut sebagai Zona Khusus seluas 1500 Ha dari tuntutan masyarakat seluas hampir 12.000 Ha. Namun muncul lagi tuntutan dari Desa Air Hitam, untuk tetap meminta pelepasan dari TNTN, dengan alasan mereka memiliki bukti-bukti peta sejak zaman Belanda bahwa mereka telah tinggal dan diberi hak hidup di kawasan tersebut. Bahkan kepala Desa Air Hitam telah mengirimkan surat kepada Gubernur Riau tentang usulan revisi tata batas kawasan HPT Tesso Nilo (surat No.03/PEM/AH/01/2011, tanggal 9 Januari 2011.

Kasus besar lainnya adalah pendudukan areal eks HPH Nanjak Makmur yang ditetapkan sebagai areal perluasan TNTN. Pada areal ini, sebagian besar dari perambah berasal dari Medan yang terdiri dari 7 kelompok perambah/pemukim. Data sampai dengan 2007, luas kawasan yang dirambah mencapai ± 8.768 Ha.

Berdasarkan kajian WWF tersebut, menunjukkan fakta yang sangat mengkhawatirkan. Dari tahun 2002 sampai dengan 2007 atau selama 5 tahun, telah terjadi kenaikan luas perambahan seluas 7.791 ha dari 977 ha menjadi 8.768 ha. Maka rata-rata luas perambahan per tahun 1.558 ha, atau per bulan 129,8 ha, yang berarti dalam sehari terjadi perambahan rata-rata seluas 4,3 ha.

Kasus ini menunjukkan anatomi kawasan-kawasan eks HPH di Sumatera yang tidak dikelola dan sekaligus sama sekali tidak ada upaya penegakan hukum dalam waktu yang lama. Ketika kawasan ini ditunjuk sebagai bagian dari perluasan TNTN, persoalan perambahan menjadi bagian dari tanggungjawab Balai TNTN, dengan tambahan beban yang semakin berat. Fenomena eksudos masyarakat lapar lahan yang penulis sebut sebagai fenomena “land seeking society”, kelompok haus lahan untuk penanaman sawit yang tentu saja didukung oleh kelompok pemodal di belakangnya. Di beberapa desa di sekitar TNTN, terjadi fenomena meningkatnya pertambahan penduduk yang sangat tinggi. Hal ini berkorelasi langsung dengan adanya kawasan eks HPH yang seolah-olah lahan terlantar, sehingga kesempatan untuk menduduki dan menggarap lahan tersebut sangat terbuka. Dinamika sosial ini harus menjadi bagian dari analisis perambahan di kawasan TNTN dan di banyak kawasan konservasi lainnya.

Tipologi TN Bukit Duabelas

Taman nasional ini dibentuk pada tahun 2000, seluas 60.500 Ha merupakan perubahan fungsi dari hutan-hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas eks HPHTI PT Sumber Hutani Lestari, kawasan suaka alam (cagar biosfer) Bukit Duabelas, dan Areal Penggunaan Lain, dengan tujuan utama untuk melindungi hak-hak suku Anak Dalam. Pernyataan untuk kepentingan Suku Anak Dalam ini secara eksplisit disebutkan dalam keputusan Menteri Kehutanan. Dalam perkembangannya, memang terdapat beberapa, tepatnya 6 desa yang dihuni oleh masyarakat dari suku Melayu, di bagian selatan, yang telah lama pula berada di sekitar TNBD dan beraktivitas di dalam kawasan taman nasional, yang pada umumnya berkebun karet. Yang menarik, tokoh-tokoh di 6 desa tersebut meminta kawasannya dijadikan Zona Khusus, mereka tidak meminta pelepasan. Pemahaman tentang zona khusus ini, nampaknya dibantu oleh KKI-WARSI Jambi yang terlibat dalam proses inventarisasi kebun-kebun karetnya. Dalam proses sialog publik penyusunan zonasi TNBD, diperoleh kesepakatan sebagai berikut :

1. Terhadap usulan Zona Khusus seluas 2.777 Ha di 6 Desa (Desa Bukit Suban, Desa Pematang Kabau, Desa Lubuk Jering, Desa Jernih, Desa Semurung, dan Desa Baru), Kec.Air Hitam, Kab.Sarolangun, yang telah melakukan kegiatan perladangan/perkebunan di dalam kawasan TN Bukit Dua Belas, perlu dibentuk Tim yang dibentuk oleh Balai TN Bukit Dua Belas, dengan melibatkan KKI-WARSI, perwakilan 6 desa di Kecamatan Air Hitam, Persatuan Desa Penyangga (PDP), Kecamatan dan Kabupaten.

2. Perlu dipertimbangkan penetapan Daerah penyangga TN Bukit Dua Belas. Di Kab.Sarolangun, di Kecamatan Air Hitam. Terdapat 6 dari 9 desa yang layak ditunjuk sebagai Desa Penyangga TN Bukit Dua Belas. Untuk itu, perlu dipertimbangkan Kecamatan Air Hitam sebagai Kecamatan Konservasi Daerah Penyangga, sehingga jasa lingkungan dan wisata alam dapat dikembangkan di ke 6 desa penyangga tersebut.

3. Dalam rangka meningkatkan pengelolaan di tingkat lapangan, petugas-petugas TN Bukit Dua Belas perlu lebih banyak ditugaskan ke lapangan, sehingga pendekatan kepada masyarakat baik Suku Anak Dalam maupun masyarakat desa-desa penyangga, dapat dilakukan lebih intensif dan komprehensif.

4. Pemerintah perlu memikirkan suatu kebijakan terpadu lintas sektor di pusat dan daerah, dalam pengembangan masyarakat Suku Anak Dalam, yang berada di dalam kawasan TN Bukit Dua Belas, dengan mempertimbangkan tujuan pengelolaan taman nasional, tujuan-tujuan konservasi, dan program pengembangan kesejahteraan Suku Anak Dalam dan Masyarakat Desa-desa Daerah Penyangga, dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat.

Kasus masyarakat di TNBD menunjukkan pelajaran yang menarik, bahwa masyarakat setempat tidak selalu menuntut hak atas tanahnya. Mereka cukup memohon kepada pemerintah diberikan hak untuk mendapatkan akses mengelola lahan-lahan yang telah lama mereka tanami karet. Selanjutnya mereka bermaksud turut mengamankan kawasan TNBD. Dalam konteks suku Anak Dalam, maka penyusunan zonasinya telah melibatkan seluruh tokoh-tokoh Suku Anak Dalam. Keberpihakan kepada hak-hak suku Anak Dalam tersebut diwujudkan dalam besarnya porsi zonasinya yang diusulkan sbb: Zona Inti (16%), Zona Rimba (1,3%), Zona Pemanfaatan Tradisional (68,3%), dan Zona Pemanfaatan Umum (0,9%). Usulan Zona Khusus tentu akan merubah proporsi zonasi kawasan ini, dan akan ditindaklanjuti dengan detil kajian lapangannya, dengan melibatkan suku Anak Dalam dan masyarakat melayu di ke 6 desa tersebut.

Zonasi yang disusun dan ditetapkan secara partisipatif, dalam beberapa kasus, mungkin akan menjadi salah satu “Katup Pengamanan Sosial” di kawasan konservasi di Indonesia. Hal ini juga dibuktikan adanya dominasi Zona Pemanfaatan Tradisional, seperti di TN Kayan Mentarang (67,8%), TN Wakatobi (57,2%), TN Karimunjawa (93%), dan TN Taka Bone Rate (54%). Zona pemanfaatan tradisional tersebut memang ditujukan untuk mengatur akses masyarakat di dalam kawasan.

Tipologi TN Kutai

Penunjukan kawasan ini telah melalui sejarah panjang. Pada tahun 1936, Pemerintah Kerajaan Kutai menetapkan kawasan ini sebagai Suaka Margasatwa melalui Keputusan Zelf Bestuur No. 80-22/1936 dengan luas 306.000 hektar. Selanjutnya, Menteri Pertanian menetapkan sebagai Suaka Margasatwa Kutai dengan SK No. 110/UN/1957 tanggal 14 juni 1957. Pada tahun 1971, Menteri Pertanian melalui SK Nomor 280/Kpts/Um/VI/1971, mencabut sebagian areal Suaka Margasatwa Kutai seluas 106.000 hektar, sehingga luas Suaka Margasatwa Kutai berkurang menjadi 200.000 hektar. Pada tahun 1982, Menteri Pertanian kemudian mendeklarasikan kawasan Suaka Margasatwa Kutai seluas 200.000 hektar sebagai taman nasional, dalam Kongres Taman nasional Se-Dunia di Bali melalui SK Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982.

TN Kutai yang saat ini berada di wilayah administratif Kab.Kutai Timur, Provinsi Kaltim, merupakan contoh yang sangat tepat untuk menggambarkan dampak dari pertumbuhan kota-kota (Balikpapan-Bontang-Sangatta-Samarinda), yang menjadi kota industri, terhadap eksistensi dan meningkatnya ancaman bagi kelestarian taman nasional. TN Kutai juga satu-satunya taman nasional yang dikelilingi oleh raksasa pertambangan yaitu, Kaltim Prima Coal di Utara, sebelah timur oleh poros jalan Bontang-Sangatta, PT Tambang Damai di sebelah Selatan. Saat ini, tutupan hutan alamhya tinggal 30%. Walaupun demikian, survai terakhir yang dilakukan oleh Tim TN Kutai, dipimpin Dr Yaya dari Fahutan Unmul, didukung pendanaan dari OCSP-USAID, pada tahun 2010, masih ditemukan tidak kurang dari 2000 individu orangutan.

Kasus yang mencuat adalah permintaan pelepasan kawasan di 7 Desa (2 Kecamatan) dari kawasan TN Kutai. Usulan dari Pemkab Kutai Timur ini memohon 23.000 Ha kawasan di 7 desa tersebut untuk dilepaskan. Kajian Tim Terpadu 2007, menemukan fakta bahwa sebagian besar dari ke 7 Desa di 2 Kecamatan, dengan penduduk pada tahun 2008 sejumlah 6.037 KK (25.791 jiwa) tersebut menyatakan pada prinsipnya menerima opsi Zona Khusus. Namun demikian, masih ada sekelompok masyarakat yang meragukan dapat diterapkannya konsep ZK tersebut, khususnya masyarakat di desa Teluk Pandan. Tim juga menemukan bahwa yang bermukim di 7 Desa tersebut bukan hanya penduduk dari sekitar kawasan, namun telah bercampur dengan pendatang bahkan dari Jawa.

Grafik ini menunjukkan titik-titik puncak masuknya pemukim dari luar, seperti yang terjadi pada tahun 1980, 1990, 1999/2000, 2003, dan mencapai puncaknya pada tahun 2004. Balai TN Kutai sebenarnya dapat mengantisipasi ancaman eksodus pemukim ini hanya apabila Balai TNK aktif melakukan pendataan di lapangan. Grafik ini berhasil dibuat ketika Tim Terpadu melakukan kajian lapangan pada tahun 2007, dan melakukan analisis terhadap lebih dari 3000 kartu keluarga.

Di Desa Sangatta Selatan, didominasi oleh pemukim dari Sulawesi Selatan,Sulawesi Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Barat, Kalimantan Tengah, dan Jawa Tengah. Tim Terpadu juga menemukan motif upaya pelepasan 7 Desa tersebut sebenarnya untuk kepentingan eksploitasi tambang batubara. Tim Terpadu menemukan potensi batubara di areal seluas 23.000 Ha tersebut tidak kurang dari 2,1 milyar metrik ton. Memang sebagian besar dari TN Kutai memiliki potensi batubara yang sangat besar. Dalam kondisi seperti ini, maka Zona Khusus tidak akan pernah laku dan diterima. Dalam konsep Zoan Khusus, maka mereka hanya memiliki hak untuk bertani dan berkebun, dan bukan untuk mengeksploitasi batubaranya.

Analisis

Mempertimbangkan keragaman sejarah pembentukan taman nasional, letaknya yang akan berimplikasi pada tipe dan dinamika perubahan tata guna lahan di daerah penyangganya, aksesibilitas, pertumbuhan kota-kota baru, pusat-pusat industri yang akan berhubungan dengan gelombang migrasi penduduk, dampak otonomi daerah-lahirnya desa-desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi baru. Secara keseluruhan, berbagai faktor eksternal tersebut berdampak baik langsung maupun tidak langsung pada kelestarian kawasan taman nasional.

Dalam hubungannya dengan potensi konflik-konflik sosial di kawasan taman nasional, maka sangat penting untuk dilakukan analisis terhadap :

1. Aspek sejarah pembentukan kawasan, konflik tata batas, tingkat efektivitas dan pola-pola pengelolaan kawasan taman nasional, termasuk upaya membangun transparansi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pengelolaan, dan sebagainya;

2. Aspek sejarah pemukiman, hak-hak ulayat, ada tidaknya masyarakat hukum adat, masyarakat pemukim lama, musiman, pendatang baru; motif penggarapan lahan (subsisten vs komersial vs komersial terorganisir), dan sebagainya;

3. Untuk melakukan kajian tersebut, diperlukan dukungan Tim Terpadu (lintas disiplin keilmuan, lintas birokrat-LSM/masyarakat sipil) dengan menggunakan berbagai metoda analisis baik spasial (time series), maupun non spasial, dengan pendekatan partisipatif dan dialogis.

4. Potret yang dihasilkan oleh Tim Terpadu selanjutnya dijadikan bahan masukan untuk pegambilan keputusan di tingkat UPT maupun Ditjen PHKA, apakah solusinya dilakukan melalui pendekatan litigasi, non litigasi, atau kombinasi dari keduanya, penetapan zona pemanfaatan tradisional, atua zona khusus, dan sebagainya. Penegakan hukum sebaiknya diprioritaskan pada aktor intelektualnya.

5. Pola penyelesaian dengan penetapan zonasi (zona pemanfaatan tradisional atau zona khusus) harus diikuti dengan proses pendampingan penguatan kelembagaannya. Hal ini sangat penitng untuk dapat menjadi bahwa prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya, prinsip kehati-hatian tetap diterapkan dan dihormati oleh semua pihak.

6. Pola-pola kolaborasi dalam pengelolaan taman nasional, sebagaimana yang dikembangkan dan difasilitasi oleh WWF di TN Kayan Mentarang dalam 10 tahun terakhir, termasuk dalam proses penyusunan zonasinya, menunjukkan arah yang positif, sehingga banyak kesalahfahaman tentang kebijakan penetapan taman nasional, dapat dijelaskan dengan sangat bijak dan guinine. Bahkan dengan ditetapkannya Dewan Penentu Kebijakan Pengelolaan TNKM (yang salah satu anggotanya adalah perwakilan dari 11 suku besar), menunjukkan upaya pemerintah untuk legowo membagi otoritas kewenangannya dalam pengambilan setiap keputusan terkait dengan pengelolaan TNKM, mempertimbangkan sejarah kawasannya yang secara faktual masih hidupnya masyarkat hukum adat di sana.

7. Pola-pola penyelesaian konflik sosial sebaiknya melibatkan Pemkab/Pemprov, serta para pihak lainnya, termasuk LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat, sejak dari perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Hal ini sangat penting dalam membangun proses pemahaman bersama tentang kompleksitas persoalan, ragam kebijakan pusat, pusat-daerah dan faktor lintas sektor yang seringkali dapat menjadi faktor penghambat.

8. Bagi UPT Taman Nasional, menjadi syarat mutlak untuk membangun sistem kerja di tingkat lapangan (resort-based management/RBM). Hal ini penitng agar perkembangan persoalan dalam diketahui dengan lebih dini, dan potensi konflik dapat diredam melalui berbagai pendekatan dialogis. Kasus TN Gunung Leuser, TN Kutai menunjukkan absennya pengelola di tingkat lapangan dalam waktu yang lama, sehingga persoalan baru diketahui setelah skala nya menjadi sangat besar, kompleks, dan bernuansa politis. RBM juga menjadi sangat penting pada fase pasca operasi penegakan hukum. Siapa yang akan menjaga kawasan tersebut. Maka pola-pola kerjasama dengan masyarakat menjaid sangat penting untuk diterapkan.

9. Mempertimbangkan berbagai persoalan sosial memerlukan waktu penyelesaian yang relatif lama, maka pergantian pimpinan puncak di UPT akan sangat berpengaruh pada keberlanjutan penyelesaian kasus-kasus. Diperlukan mekanisme transfer of knowledge and experiences dari Kepala yang lama kepada Kepala yang baru, sehingga masa transisi dapat dikawal, dan Kepala yang baru tidak perlu memulai dari nol dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang rumit tersebut. Direktorat KK dan BHL dan khususnya Pokja Penanganan Perambahan di Pusat adalah memastikan bahwa proses penyelesaian perambahan dan konflik-konflik sosial tersebut dapat perjalan lancar ketika terjadi pergantian kepemimpinan di UPT.

10. Konsistensi kebijakan dari Pusat (Ditjen PHKA) dalam mendukung penyelesaian persoalan-persoalan konflik sosial di taman nasional menjadi sangat strategis, baik dalam bentuk program dan pendanaannya, juga yang menyangkut koordinasi dan sinkronisasi lintas Kementerian atau Menko di pusat. Sedangkan Pusdal dapat diperankan untuk memfasilitasi proses-proses dialog dan atau pendampingan di tingkat Pemkab dan Pemprov, misalnya dalam pembentukan Pokja Penyelesaian Perambahan di Daerah, seperti yang dibentuk oleh Balai Besar TN Bukit Barisan Selatan, termasuk pelibatan jajaran penegak hukumnya.***

*) working document ini disiapkan untuk merespon berbagai letupan atau konlik sosial di kawasan hutan yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Semoga hal tersebut tidak terjadi di kawasan konservasi, dimana jutaan masyarakat baik masyarakat (hukum) adat, masyarakt setempat, masyarakat pemukim lama, dan masyarakat lainnya sangat bergantung pada akses sumberdaya maupun akses lahan di kawasan konservasi.Pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan solusi berbagai persoalan riil masyarakat.Masyarakat harus diposisikan sebagai subyek dan menjadi bagian dari solusi persoalan dan pengembangan potensi di kawasan konservasi.

4 komentar:

  1. Assalamu'alaikum..
    Pak mohon maaf apakah ada informasi tentang tipologi perambahan kawasan hutan terutama hutan konservasi?

    BalasHapus
  2. Ada beberapa tipologi : (1) perambahnya kelompok msy setempat yang miskin, tuna lahan, atau berlahan sempit, sehingga merambah karena terpaksa, (2) dilakukan oleh msy setempat yg miskin dengan modal dari kelompok kaya yang berada di luar atau jauh dari kws hutan dengan motif penguasaan lahan untuk ditanami komoditi komersial spt sawit yang marak saat ini, (3) kelompok msy hukum adat yang sebenarnya punya hak kelola secara turun temurun yang dianggap perambah oleh pemerintah, (4) kelompok msy yang berasal dari luar, menduduki kawasan hutan, tinggal di sana dan menggarap lahan secara bertahap dengan mendapatkan surat seperti SKT secara tidak sah dari aparat desa setempat.

    Makasih atas pertanyaannya yang sangat kritis..

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum Bapak, mohon pencerahannya terkait dengan masih belum ada dukungan dari Pemda setempat (sebut saja-Kutim), adakah upaya smart selain pendekatan personal untuk mensosialisasikan pentingnya sebuah kawasan konservasi/TN.Karena dasar permintaan pemda adalah pelepasan kawasan menjadi APL...nuwun

    BalasHapus
  4. Assalamu'alaikum Bapak, mohon pencerahannya terkait dengan masih belum ada dukungan dari Pemda setempat (sebut saja-Kutim), adakah upaya smart selain pendekatan personal untuk mensosialisasikan pentingnya sebuah kawasan konservasi/TN.Karena dasar permintaan pemda adalah pelepasan kawasan menjadi APL...nuwun

    BalasHapus