"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

20 Maret 2012

Seulas Hikmah dari Bab 8. Berkaca di Cermin Retak - Reorientasi Taman Nasional dan Strategi Rancang Tindak (Oleh: Ami Wahab*)


Konsep yang diangkat adalah sangat perlu memperhatikan peran dan kepentingan masyarakat lokal serta pihak-pihak yang memiliki akses tinggi terhadap hutan untuk keberhasilan pengelolaan taman nasional sehingga strategi bermitra dengan berbagai pihak tersebut sangat efektif dalam keberhasilan pengelolaan taman nasional. Selain pentingnya peran mitra juga merupakan sumber dana untuk membantu biaya konservasi.

Penerapan konsep menggandeng mitra ini dapat dilaksanakan di Balai Besar KSDA NTT. Selain lembaga-lembaga pemerintah yang terkait seperti Pemerintah Daerah juga ada beberapa lembaga yang berpotensi dijadikan mitra di wilayah kerja BBKSDA NTT diantaranya sebagai berikut :

Forum DAS (F-DAS) atau dikenal FORDAS : LSM Lokal

F-DAS merupakan LSM lokal yang konsen terhadap konservasi SDA terutama penyelamatan daerah aliran sungai hulu sampai hilir. Wilayah kerja konservasi Balai Besar KSDA NTT meliputi beberapa DAS di NTT. F-DAS dapat mendukung keberhasilan tujuan BBKSDA dalam keberhasilan konservasi kawasan hutan. Sesuai tujuan F-DAS yang diantaranya ada yang sejalan dengan prinsip konservasi yang diterapkan di Balai Besar KSDA NTT. F-DAS juga aktif dalam koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar berbagai pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Hal ini dapat mempermudah dan memperlancar Balai Besar KSDA dalam mencapai tujuan.

Dalam hal keterkaitan antara BBKSDA NTT dan F-DAS tergambar pada perpotongan kurva yang dapat dijabarkan dalam bentuk hubungan kerjasama yang saling menghormati kedudukan masing-masing.

Opportuniy Cost of Capital Kawasan Konservasi - Bab VI Buku Berkaca di Cermin Retak (Disarikan oleh: Isai Yusidarta*)

Nilai/harga 1 m3 kayu sebesar Rp 5.000.000,00. Benarkah Rp 5.000.000,00? Atau kurang bahkan lebih dari Rp 5.000.000,00. Jadi sebenarnya berapa nilai yang pasti untuk harga 1 m3 kayu? Inilah pertanyaan mendasar berapa sebenarnya yang pantas untuk menghargai kawasan hutan konservasi? Kayu merupakan salah satu produk hasil hutan, selain produk-produk hasil hutan non kayu dan jasa-jasa lingkungan.


Berdasarkan definisi hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No : 41 Tentang Kehutanan), secara mudah bolehkah orang memberikan nilai kawasan hutan konservasi sebesar Rp 5.000.000,00 dikalikan volume kayu yang dapat diproduksi (m3) di masing-masing kawasan konservasi tersebut? Apakah setiap orang sepakat dengan analog ini?

05 Maret 2012

Pemanfaatan Tradisional Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat Sekitar Kawasan Taman Wisata Alam Ruteng (ditulis oleh: Elisa Iswandono*)

Gambaran Umum Kawasan TWA Ruteng


Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng secara administratif berada di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur yang luasnya 32.245,6 hektar. Kawasan ini membujur dari arah timur ke barat yang berjarak sekitar 15 km dari pantai selatan dan 35 km dari pantai utara. Kawasan TWA Ruteng merupakan daerah jajaran pegunungan yang umumnya dikenal sebagai jajaran pegunungan Ruteng. Jajaran pegunungan Ruteng terdiri dari tujuh puncak gunung, yaitu: Ranamese dengan ketinggian 1.790 m dpl, Poco Nembu 2.030 m dpl, Poco Mandosawu 2.350 m dpl, Poco Ranaka 2.140 m dpl, Poco Leda 1.990 m dpl, Ponte Nao 1.920 m dpl, Golocurunumbeng 1.800 m dpl. Sebagian besar kawasan TWA Ruteng merupakan daerah dengan ketinggian di atas 1.000 m dpl dengan keadaan topografi bergelombang, terjal dan tidak rata, dan memiliki kecuraman lebih dari 40%.

Koleksi tumbuhan di wilayah pegunungan Ruteng telah dilakukan selama periode 25 tahun sejak tahun 1967-1992 oleh Verheijen. Semua spesimen dikoleksi dan disimpan di Museum Leiden Belanda. Sebanyak 252 spesies tumbuh-tumbuhan berbunga dan tidak berbunga ditemukan yang meliputi 94 famili dan 119 genera. Tanaman yang umum dijumpai adalah dari famili Euphorbiaceae dan Lauraceae.

Tipe habitat utama hutan yang ada adalah hutan campuran sub tropis dengan ketinggian antara 500 – 2.350 m dpl. Tipe hutan tersebut dapat dibedakan ke dalam empat kelompok utama, yang pertama adalah hutan sekunder ditumbuhi oleh tanaman reboisasi yaitu Eucalyptus urophylla dan Calliandra calothyrsus. Kedua adalah hutan alam dataran rendah di wilayah selatan TWA Ruteng yang secara umum didominasi oleh Artocarpus sp. Ketiga adalah hutan alam sub pegunungan merupakan sebagian besar wilayah TWA Ruteng yang dapat ditemui pada ketinggian diatas 1.800 m dpl. Vegetasi primer pada hutan ini didominasi oleh Eugenia, Prunus dan Elaeocarpus. Dan yang terakhir adalah hutan alam pegunungan yang berada pada ketinggian 1.900 sampai 2.100 m dpl yang didominasi oleh spesies Podocarpus imbricatus dan Prunus arborea.

Pemanfaatan Tradisional Tumbuhan

Masyarakat sekitar hutan TWA Ruteng memiliki suatu cara tertentu dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Hampir seluruh kebutuhan hidupnya tergantung pada hasil hutan yang terlihat dari beragamnya jenis tumbuhan liar yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini telah diterapkan secara turun temurun dan menjadi karakteristik dalam berinteraksi dengan kawasan hutan.

Pengelompokan kegunaan jenis tumbuhan oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng didasarkan pada cara penggunaannya. Suatu jenis tumbuhan dianggap sebagai bumbu bila digunakan untuk penyedap masakan. Jenis yang sama dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit tertentu dengan proses pengolahan tertentu atau dicampur dengan bahan-bahan lainnya. Sebagai contoh kulit batang ndingar (Cinnamomum burmanii), yang selain berfungsi sebagai bumbu masakan juga dapat digunakan sebagai obat asma. Masyarakat sekitar TWA Ruteng memanfaatkan sejumlah 133 spesies dalam 67 famili tumbuhan hutan. Sebagian besar dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat, yaitu sebanyak 69 spesies (42,07%) dalam 44 famili (43,14%) dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat, kemudian sebagai pangan sebanyak 38 spesies (23,17%0 dalam 17 famili (16,67%) dan bahan bangunan sebanyak 28 spesies (17,07%) dalam 16 famili (15,69%) (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah spesies dan famili tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng

Kegunaan Tumbuhan

Jmlh Spesies

%

Jmlh Famili

%

Tumbuhan Obat

69

42.07

44

43.14

Pangan

38

23.17

17

16.67

Bahan Bangunan

28

17.07

16

15.69

Pakan Ternak

8

4.88

4

3.92

Pestisida Nabati

4

2.44

4

3.92

Tumbuhan Hias

4

2.44

4

3.92

Bahan Tali dan Kerajinan

3

1.83

3

2.94

Adat/Budaya

3

1.83

3

2.94

Pewarna

2

1.22

2

1.96

Kayu Bakar

2

1.22

2

1.96

Minuman

1

0.61

1

0.98

Lainnya

4

1.22

4

1.96

Jumlah Keseluruhan

133

100

67

100

Sumber: Iswandono, 2007

Pemanfaatan hasil hutan secara menyeluruh memberikan potensi pendapatan yang bersifat lestari dan merupakan suatu cara untuk mengkonservasi dengan perhatian yang terarah pada kearifan lokal. Keanekaan budaya lokal berkaitan dengan sistem pengetahuan dalam pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati. Pengakuan akan adanya pengetahuan tradisional berdampak pada penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya yang sangat berperan dalam pemanfaatan lestari sumberdaya hutan (Evans 1993).

Kesadaran akan fungsi ekologi suatu tegakan memungkinkan penilaian satu pohon tidak hanya didasarkan pada nilai kayunya tetapi juga nilai-nilai lain yang apabila ditambahkan akan mempunyai nilai tambah yang besar. Hasil hutan memberikan kontribusi pada berbagai bidang kehidupan dan kesejahteraan, menyediakan makanan, obat-obatan dan lainnya serta sebagai suatu sumber penghidupan, memberikan keuntungan ekonomi pada tingkatan masyarakat bawah (lokal) sehingga memberikan dampak tidak langsung pada ketahanan konservasi.

Pemanfaatan Tumbuhan Obat

Tumbuhan obat didefinisikan sebagai jenis tumbuhan yang sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat (sel) tersebut digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan (Zuhud 1994). Obat-obatan tradisional biasanya dibuat dari daun, kulit kayu dan akar-akaran tumbuhan hutan. Di kebanyakan tempat di wilayah sekitar TWA Ruteng penggunaan obat tradisional merupakan pengetahuan yang sudah umum diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Pemanfaatannya dibedakan atas penyakit luar, penyakit ringan dan penyakit dalam yang cukup berat. Terdapat 69 spesies dari 43 famili tumbuhan di dalam hutan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Spesies tumbuhan obat yang digunakan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Bagian tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat sebagian besar adalah dari daunnya yaitu sejumlah 31 spesies (41%), kulit batang 25 (33%), akar 9 (12%), selebihnya sebanyak 13% adalah pengambilan getah umbi dan herba yang dimanfaatkan seluruh bagiannya sekaligus.

Pemanfaatan yang kurang lestari adalah pengambilan seluruh bagian herba untuk obat. Sebanyak 4 spesies herba yang dimanfaatkan seluruhnya atau yang pengambilannya dengan cara dicabut adalah liti (Drymaria cordata), ta’i ntala (Viscum ovalifolium), kolong jarang (Plectranthus teysmanni) dan legi (Paspalum conjugatum).

Dosis atau ukuran bagian tumbuhan obat yang digunakan untuk pengobatan biasanya menggunakan ukuran kepalan tangan atau jari tangan orang yang sakit. Untuk jenis obat yang diminum biasanya direbus terlebih dahulu dengan air sebanyak 5 gelas untuk dijadikan 3 gelas dan diminum tiga kali sehari. Jenis-jenis penyakit yang umumnya dikeluhkan oleh masyarakat adalah malaria, flu dan sakit kepala, juga penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan seperti disentri.

Dari 69 spesies tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tmbuhan obat terdapat 10 spesies tumbuhan obat yang sering digunakan (Tabel 2). Tumbuhan yang paling sering digunakan dan paling mudah ditemukan adalah sensus (Eupatorium inulifolium). Tumbuhan ini biasa hidup di tempat terbuka sebagai tumbuhan pioner. Spesies lainnya yang mudah ditemui adalah wuhar (Cryptocarya densiflora) yang juga digunakan sebagai kayu bangunan. Spesies ini memiliki penyebaran yang merata pada semua ketinggian. Spesies yang paling sulit ditemukan adalah sandal urat (Drymis piperita). Tumbuhan perdu ini hanya dapat ditemukan pada ketinggian di atas 2.000 m dpl. Selain digunakan untuk berbagai keperluan penyakit dalam daun tumbuhan ini juga dipercaya sebagai penolak bala atau penangkal penyakit non medis.


Tabel 2. Spesies tumbuhan obat yang paling sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng

No.

Nama Spesies/ Family/ Lokal

Bagian Digunakan

Penggunaan

1

Alstonia spectabilis/ Apocynaceae/Loi

Akar, kulit batang

Malaria

2

Eupatorium inulifolium/ Asteraceae/ Sensus

Daun

Luka baru

3

Caesalpinia sappan/ Caesalpiniaceae/ Cepang

Kulit batang

Cuci buah Pinggang

4

Drymis piperita/ Winteraceae/Sandal

Daun

Luka dalam

5

Cinnamomum burmanii/ Lauraceae/ Ndingar

Kulit batang

Bersih darah, Asma

6

Tinospora crispa/ Menispermaceae/ Tambar

Batang liana

Malaria

7

Myrica esculenta/ Myricaceae/ Lasang

Kulit batang

Flu/Pilek

8

Fraxinus griffithii/ Oleaceae/ Lui

Kulit batang, Getah

Malaria

9

Geniostoma rupestre/ Loganiaceae/ Tepotai

Daun

Kepala Pusing

10

Cryptocarya densiflora/ Lauraceae/ Wuhar

Kulit batang

Disentri, TBC, sakit pinggang

Sumber: Iswandono, 2007

Dalam memanfaatkan tumbuhan obat dicatat sebanyak 40 jenis penyakit dikenal oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng. Jenis penyakit dengan jumlah spesies terbanyak yang dapat digunakan untuk pengobatan adalah lever dan sakit perut masing-masing sebanyak 7 spesies. Untuk penyakit lever tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan, yaitu: sensus (Eupatorium inulifolium), renggong (Emilia sonchifolia), cawat (Bidens sp), garit (Canarium sp), kadung (Jastropha curcas), ta’i ntala (Viscum ovalifolium), narong (Zingiber sp) dan untuk sakit perut spesies yang digunakan untuk pengobatan, yaitu: mene (Vernonia cinerea), kadung (Jastropha curcas), wase nol (Anamirta cocculus), raci (Leucosyke capitellata), pandu kadul (Ricinus communis), wuhar (Cryptocarya densiflora) dan waso (Hibiscus tiliaceus) (tabel di bawah).

Tabel 3. Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng

Jenis penyakit yang diobati

Jumlah Spesies Tumbuhan Obat

Batuk

2

Malaria

5

Demam

2

Kanker payudara

2

Usus buntu

2

Luka baru

4

Luka dalam

3

Lever

7

Sakit perut

7

Cuci buah pinggang

3

Cuci perut

1

Cuci darah

4

Kencing manis

3

Mata

1

Ginjal

2

Biri-biri

3

Kejang/ayan

1

Sariawan

4

TBC

3

Mandi segar

1

Lancar BAB

2

Sakit pinggang

2

Asma

4

Masuk angin

4

Maag

3

Pusing

3

Kanker

1

Tumor

1

Patah tulang

1

Bisul

2

Cacingan

1

Nafsu makan

1

Obat kuat

2

Sakit gigi

3

Ketombe

1

Flu/pilek

1

Nafas sesak anak-anak

1

Migran

2

Muntaber

1

Rematik

1

Sumber: Iswandono, 2007

-----------------------------------------------------
* Koordinator PEH pada Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur