"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

29 Agustus 2012

Pokok-Pokok Pikiran tentang Filosofi Kelola Kawasan Konservasi 100 Tahun ke Depan


Oleh: Wiratno & Sustyo Iriono [Diskusi Ende, 25 Juli 2012]


Nilai-nilai Strategis SDA NKRI

1.       Kementerian Kehutanan memegang mandat penguasaan sumberdaya lahan yang terluas di Indonesia.
2.       Kawasan hutan terbukti memiliki nilai strategis aktual dan potensial yang sangat besar untuk dikelola secara bertanggung jawab untuk kepentingan kemaslahatan rakyat.
3.     Selama 40 tahun eksploitasi SDA telah menurunkan nilai dan kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan dampak negatifnya di berbagai aspek kehidupan masyarakat.
4.    Masih dominannya peranan negara-negara Utara dalam pengambilan keuntungan dari eksploitasi SDA di seluruh tanah air, sehingga berdampak pada rendahnya nilai manfaat yang diperoleh negara sekaligus meningkatnya ketergantungan Indonesia kepada Utara.
5.   Diperlukan kajian komprehensif tentang resource allocation yang rasional dan berkeadilan sosial, dengan mengoptimalkan kemampuan iptek dalam memberikan interpretasi terhadap pola-pola kelola yang lebih rasional, adaptif dan memenuhi rasa keadilan masyarakat .
6.       Masih banyak potensi SDA yang belum digali dan belum diketahui manfaatnya, sementara akibat eksploitasi telah terbukti menimbulkan  kerusakan berantai pada SDA, sehingga kemungkinan nilai-nilai potensial tersebut telah hilang bersama kerusakan lingkungan dalam skala masif, dan tidak akan pernah dapat dipulihkan, khususnya kelompok yang tergolong  non renewable resources.
7.   Nilai sumberdaya alam bukan hanya pada nilai intrinsik tetapi juga nilai fenomenanya yang seharusnya dihargai secara memadai dan rasional berskala waktu lintas generasi.

09 Agustus 2012

Fukuyama


Ia seorang pakar ekonomi politik yang disegani yang sejak 2001 menjadi  pengajar di Johns Hopkins University, Baltimore, dikenal luas akan pemikirannya tentang perubahan sosial dan modal sosial, yang kemudian  menjadi salah satu diskursus global. Francis Fukuyama  membahas bagaimana guncangan besar, the great disruption, yang terjadi ketika sistem kapitalisme meluas, mengakibatkan erosi pada modal sosial. Kepercayaan, trust, manusia pada manusia lainnya menipis, kecurigaan dan ketidak-jujuran merebak, pelanggaran hukum meningkat; proses kerjasama dalam masyarakat berubah menjadi proses saling memakan dan saling merugikan.

Apa kaitan pemikiran Fukuyama ini dengan gonjang-ganjing kerusakan lingkungan dunia? Seakan-akan memang tidak berhubungan atau berkaitan. Namun apabila kita renungkan, akan semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa perubahan substansial hubungan antar manusia yang dimaksudkan oleh Fukuyama, juga akhirnya berdampak pada lingkungan hidup manusia secara luas. Sejarah kerusakan lingkungan hidup dunia tidak dapat dilepaskan dari peranan (baca: keserakahan) manusia, dalam berbagai bentuknya. Manusia yang ingin menguasai dan alam. Inilah yang dikenal dengan pandangan   yang didasari oleh Etika Antroposentrisme. Etika antroposentrisme yang dilatarbelakangi oleh tradisi pemikiran barat yang liberal. Dalam etika ini manusia diposisikan sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar; di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia difahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Menurut Keraf (2002), cara pandang inilah yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif. Sementara itu, para pakar menyatakan bahwa nilai kayu hanya kurang dari 5% nilai keseluruhan sumberdaya hutan itu. Nilai total sumberdaya hutan tidak pernah diperhitungkan dalam kalkulasi ekonomi nasional. Hutan tropis dataran rendah di Pulau Jawa habis dalam tempo 100 tahun (Abad 18-19), sementara itu hutan hujan tropis dataran rendah di Pulau Sumatera lenyap hanya dalam hitungan 30 tahun. Terbukti bukan bahwa manusia melalap alam dengan ganasnya, dengan tingkatan 10 kali lebih cepat, dengan  dampaknya sudah kita rasakan saat ini: penurunan kualitas lingkungan hidup yang luar biasa besar dan dengan demikian tentunya akan berdampak langsung pada kualitas manusianya yang harus hidup dalam kondisi lingkungan hidupnya yang rusak parah. Ekonomi yang digerakkan oleh pengurasan sumberdaya alam ini, digambarkan dengan sangat tepat oleh Kenneth Boulding dalam Korten (2001), sebagai “ekonomi koboi”. Visi ekonomi koboi adalah dunia yang bisa dilukiskan sebagai padang terbuka tanpa batas yang menyediakan sumberdaya dan jasa pelayanan pembuangan limbah tanpa batas. Ekonomi koboi diarahkan untuk menggali sumberdaya-sumberdaya yang paling mudah tersedia dari lingkungan hidupnya dan mengubahnya menjadi produk apa saja untuk memenuhi kebutuhannya.

Kembalikan Pengelolaan Taman Nasional ke Lapangan

[”Paper Park”]

”Paper Park” adalah taman nasional  yang belum atau tidak dikelola secara intensif di tingkat lapangan. Taman nasional yang hanya eksis di atas peta. Sementara itu, konsep pengelolaan taman nasional yang bersifat teritorial atau kawasan menuntut diterjemahkannya konsep pemangkuan kawasan. Di jajaran Eselon I Departemen Kehutanan, yang memiliki mandat ”pemangkuan” kawasan hanya Ditjen PHKA. Ditjen BPK tidak mengelola langsung hutan produksi. Pemegang HPH, HTI, dan IPK lah yang melakukan intervensi atau kontrol langsung terhadap sumberdaya alam di lapangan. Ditjen RLPS juga demikian, bergerak di tataran hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,  tentu tidak melakukan pemangkuan langsung. Tetapi hanya melalui mekanisme kebijakan di lahan-lahan masyarakat.

Ditjen PHKA melalui UPTnya Balai TN dan Balai KSDA wajib melakukan pengelolaan di tingkat lapangan. Ini mandat yang disebutkan dalam UU No.5 tahun 1990. Namun, sampai dengan saat ini, mandat tersebut belum diterjemahkan ke dalam bahasa teknis pengelolaan, seperti halnya sistem Resort Polisi Hutan (RPH) dalam pengelaan hutan jati di Pulau Jawa. Satuan-satuan pengelolaan pun belum jelas. Yang lebih mengerikan lagi, banyak taman nasional yang tidak memiliki peta-peta dasar yang dijadikan acuan untuk melakukan pengelolaan taman nasional berbasis kawasan. Berbasis kewilayahan, dan teritorial, dengan sistem zona-zona sebagai basis pengelolaan di wilayah tertentu sesuai dengan zonasinya.

Maka sangat wajar apabila  di lapangan banyak kawasan taman nasional dirambah, diduduki, diklaim, diserobot, ditebangi oleh berbagai pihak yang tidak bertanggungjawab. Apalagi batas-batas kawasan tidak jelas, hanya ada patok di atas peta saja. Hal-hal mendasar seperti inilah yang sebenarnya perlu segera dibenahi.  Implikasi dari tidak hadirnya petugas di lapangan, antara lain adalah :

  1. Perkembangan persoalan di tingkat lapangan tidak pernah diketahui dengan pasti. Siapa dan berapa luas kawasan yang merambah atau membalak kayu siapa saja tokoh intelektualnya, jaringan pemasarannya, dan seterusnya. Apabila kondisi akut ini terjadi untuk waktu yang lama, maka dapat dipastikan bahwa skala persoalan menjadi sedemikian besar, sehingga kawasan dikuasai kelompok-kelompok terorganisir itu., dan petugas semakin tidak berani memasuki kawasannya. Kasus kerusakan seluas 4.000 Ha (deforested) dan 17.000 Ha (degraded) di SKW IV Besitang, Kab.Langkat merupakan contoh proses ”pembiaran” yang terjadi 10-15 tahun berlalu. ”Pembiaran” ini merupakan istilah Menteri Kehutanan, terhadap sikap mental pengelola yang tidak pernah melaporkan kasus-kasus kerusakan kawasan di wilayah kelolanya. Perambahan di kawasan-kawasan konservasi yang semakin tidak terkendali merupakan buah dari proses pembiaran ini.

01 Agustus 2012

Kerangka Kerja Monitoring (Pemantauan) Kegiatan RBM

Oleh: Hendrikus Rani Siga
Kepala Seksi Pengelolaan TN Wilayah I Moni
Balai Taman Nasional Komodo 
 
Sebuah pengelolaan kawasan konservasi yang baik minimal memiliki tiga tahapan atau strategi pengelolaan yaitu : perencanaan, pelaksanaan/pengelolaan dan pemantauan. Aspek pemantauan menjadi sangat strategis karena dapat memberikan umpan balik kepada pihak manajemen untuk mengambil langkah konkrit dan strategis untuk mengatasi permasalahan ataupun dampak yang ditimbulkan.

Seringkali pula dalam suatu rencana pemantauan, indikator dan metode yang dipilih sangat kompleks sehingga menyulitkan dalam pelaksanaannya. Selain itu, pemantauan dan evaluasi dampak/permasalahan yang dihadapi oleh pengelola jarang dilakukan karena besarnya biaya yang dibutuhkan dan anggapan mengenai kecilnya manfaatnya. Padahal hasil pemantauan sangat diperlukan sebagai masukan bagi pengelola dalam menjalankan program mereka agar dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian apabila terlihat adanya penurunan kualitas dari sumber daya alam, sarana prasarana pengelolaan maupun terhadap pengalaman yang ditawarkan kepada wisatawan.

Pada umumnya kawasan konservasi terus mengalami tekanan baik yang dilakukan oleh masyarakat, wisatawan maupun oleh pengelola sendiri akibat salah dalam mengambil keputusan ataupun kebijakan. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya perhatian ataupun pemahaman pengelola bahwa sistim pemantauan yang baik sesungguhnya dapat memberikan umpan balik yang positif dalam rangka perbaikan semua aspek pengelolaan. Mempertahankan kualitas sumberdaya alam juga akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Untuk itu, manajemen kawasan konservasi yang baik sudah seharusnya dapat mengakomodir aspek-aspek pengelolaan pada tingkat yang paling operasional sekalipun.