"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

29 November 2012

Solusi Jalan Tengah Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Masukan untuk Penyusunan Zonasi TN Bantimurung Bulusaraung


Latar Belakang

Bahwa kawasan konservasi di Indonesia ditunjuk/ditetapkan pada wilayah kawasan hutan (di darat dan di perairan) yang penuh dengan klaim oleh banyak pihak. Baik dari masyarakat hukum adat, masyarakat setempat, swasta, pemerintah daerah, dan sebagainya. Kawasan konservasi tidak pernah akan dapat diletakkan pada wilayah “kertas putih”, wilayah tanpa konflik. Pemahaman ini harus  ada pada para pengambil kebijakan di Jakarta dan Kepala UPT.

Klaim negara (cq Kementerian Kehutanan) dengan ditetapkannya kawasan-kawasan hutan (masa TGHK, 1980an), dan seterusnya, sampai penunjukan kawasan-kawasan konservasi, bukan tanpa penolakan dari berbagai kalangan, termasuk LSM (baca  kasus TN Gunung Merapi, Wiratno 2012); potensi konflik di TN Lorentz yang masuk dalam 10 kabupaten; TN Kayan Mentarang, yang sebagian besar wilayahnya menjadi bagian dari Provinsi (baru) Kalimantan Utara; kasus penembakan warga Colol (6 meninggal, belasan luka-luka dan catat), di depan Polres Manggarai 10 Maret 2004, konflik hak ulayat warga Colol (yang ditanami kopi) dengan pihak BKSDA. Serangan dan demo harus dihadapi oleh  manajemen Balai TN Komodo sebagai bagian dari dampak penegakan hukum, pemberlakukan zonasi. Demo didukung oleh kelompok-kelompok yang memiliki motif politik. Masyarakat menjadi korban dari “permainan” tersebut.

Beberapa contoh tersebut, cukup bukti kepada kita untuk merubah haluan kelola kawasan konservasi Indonesia ke depan. Zonasi yang dipanyungi dengan Permenhut No.56/2006, dapat dipakai sebagai acuan untuk menetapkan zonasi, sebagai alat manajemen kelola taman nasional. Permenhut telah mengantisipasi berbagai persoalan terkait dengan keberadaan masyarakat dan mengarahkan agar zonasi disusun secara partisipatif untuk mendapatkan masukan dari bawah. Namun demikian, Permenhut tersebut tidak cukup (tepatnya tidak menetapkan) bagaimana metode penyusunan zonasi tersebut sebaiknya dilakukan.

Kebijakan (Baru) Ditjen PHKA

Walaupun kerjasama atau kemitraan/kolaborasi telah diinisiasi sejak lama, dan diberikan payung hukum P.19/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA/KPA, yang draft-nya dikawal oleh beberapa LSM besar, namun sampai dengan saat ini belum ditemukan “ramuan mujarab” yang bisa dijadikan contoh. Banyak inisiatif kolaborasi masih menghadapi banyak persoalan mendasar dan bahkan beberapa justru diselewengkan.

Pernyataan Dirjen PHKA di Harian Kompas (24 November 2012, Halaman 24) sangat menarik untuk kita simak. Pada artikel yang berjudul: ”Kemenhut Meniru Korea”, Dirjen PHKA  menyatakan :
“.....Kami mulai pendekatan baru menghadapi perambahan karena penertiban atau penggusuran tak berhasil. Caranya mengajak masyarakat sekitar hutan turut menjaga hutan” Kerjasama yang disebut sebagai “Sister Park” ini dilakukan di TN Gunung Gede Pangrango dengan TN Jirisan; TN Dadohaehaesang dengan calon mitra TN Laut, yaitu TN Karimunjawa, TN Kep.Seribu, TNBunaken, atau TN Takabonerate.