"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

13 Januari 2013

Tiga Prinsip Rekonsiliasi Konflik-Konflik di Kawasan Konservasi - Refleksi Akhir Tahun 2012

-->
WS Rendra dalam pidato kebudayaan pasca reformasi, yang dikumpulkan dalam buku kecil berjudul “Megatruh” (2001), menyatakan bahwa kita semestinya menkaji kembali warisan leluhur tentang penyelesaian konflik-konflik kepentingan dalam masyarakat. Yaitu pada masa Mataram Medang dan Sriwijaya.  Prinsip-prinsip rekonsiliasi yang dipraktikkan adalah :

Pertama, AHIMSA. Ialah menghentikan semua cara-cara kekerasan, sehingga tidak berlanjut-lanjut ada orang yang kehilangan rummah, nyawa, atau anggota badan yang tak akan mungkin bisa dikembalikan sebagaimana adanya semula. Baru sesudah itu langkah selanjutnya bisa dilakukan.

Kedua, ANEKANTA. Ialah melakukan perundingan dan perujukan tanpa  menyeragamkan sifat keanekaan yang ada dalam masyarakat manusia. Kerukunan dan persatuan dalam masyarakat harus tetap menghormati keanekaan kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya. Dalam perundingan yang menghormati keanekaan apa yang diciptakan bersama adalah aturan main yang menguntungkan semua pihak. Inilah dinamika dari maksud baik dalam perundingan yang menjaga dan menghormati aneka kepentingan.

Ketiga, APARIGRAHA. Ialah kesadaran semua pihak untuk datang berunding sebagai seakan-akan tak punya rumah, tak punya atribut. Artinya dengan kemurnian kalbu, secara bersama-sama, merenungkan nilai-nilai universal yang membedakan mana yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk, yang berfaedah dan tidak berfaidah, serta yang haram dan yang halal.