"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

23 Mei 2013

Sepuluh Etika dalam Mengurus Hutan Indonesia

Pembangunan  hutan dan kehutanan yang beretika adalah upaya-upaya  membangun hutan atau mengelola hutan Indonesia dengan sejauh mungkin memberikan kemanfaatan secara luas kepada masyarakat umum, dengan tetap memperhatikan prinsip-prisip kelestarian. Ciri-ciri penerapan etika dalam pembangunan kehutanan atau dalam pengelolaan hutan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, adalah apabila rimbawan dan pelaku-pelaku lainnya mempertimbangkan sepuluh nilai-nilai atau etika yang penulis ajukan ini. Dalam setiap langkah dan geraknya untuk mengelola hutan dan mengembangkan berbagai kebijakan pembangunan kehutanan di tanah air. Kesepuluh etika tersebut diuraikan dalam ringkasan berikut:

Pertama: Kerisalahan, Kekhalifaan, dan Rahmatan

Adalah modal dasar bagi seluruh pelaku-pengurus hutan di Indonesia. Seorang rimbawan juga sebagai pembawa risalah, pendakwah untuk pelestarian lingkungan. Sebagai khalifah, ia menjadi seorang pemimpin dalam mendorong pembangunan hutan, pengelolaan hutan, melestarikan alam ciptaan-Nya. Seorang pemimpin yang memiliki integritas, satunya kata dengan perbuatan. Sebagai pembawa rahmat, ia seharusnya bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Program-program pembangunan hutan harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan, memajukan masyarakat, dan memandirikan masyarakat tersebut. Masyarakat memiliki harga diri ketika menjaga hutan, dan mendapatkan manfaatnya bagi mereka dan anak cucunya. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, di dalam hutan yang kehidupannya bergantung baik sebagian maupun seluruhnya pada sumberdaya di dalam hutan itu. Rimbawan adalah seorang manusia dengan Tri Tugas seperti tersebut di atas. Tugas yang berat namun mulia dan ditunggu-tunggu oleh masyarakatnya, di pinggir-pinggir hutan.


Panggilan tugas ini tentu perlu difahami bersama, didukung, dan dirumuskan dalam berbagai lini kebijakan nasional. Hal tersebut sangat penitng guna mendorong terus  kemajuan dan penyelamatan hutan Indonesia yang sebagian telah mengalami kerusakan, dengan dampaknya yang telah kita rasakan saat ini.

Kedua: “Memanusiakan Manusia“,

Etika ini menempatkan “masyarakat sebagai subyek”, dan mengupayakan melibatkannya dalam seluruh siklus manajemen pengelolaan hutan.  Apabila kita memiliki cara pandang masyarakat di sekitar hutan itu sebagai subyek, maka kita akan memiliki empati yang kuat. Kita akan “memanusiakan” mereka dan memandang mereka sebagai bagian dari solusi dari persoalan-persoalan yang dihadapi dalam membangun hutan, menjaga hutan, atau memanfaatkan potensi hutan dengan penuh rasa tanggung jawab. Masyarakat sebagai subyek juga berimplikasi bahwa manfaat hutan diupayakan sebesar-besarnya untuk masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan itu. Apabila benar bahwa 48 juta masyarakat tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan, maka itu berarti suatu jumlah yang sangat besar hampir 25% dari penduduk Indonesia. Menempatkan masyarakat sebagai subyek juga mendorong kita untuk melibatkan mereka sejak awal dari siklus manajemen. Mulai dari identifikasi masalah, merumuskan tujuan, merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, dan merevisi kembali (apabila memang diperlukan) tentang pernyataan masalah, dan tujuan-tujuan selanjutnya.


Misalnya telah terjadi perambahan di suatu kawasan hutan yang dikelola pemerintah. Penyelesaian masalah ini, adalah dengan mengajak para perambah itu untuk duduk dan melakukan dialog secara inklusif, untuk mendapatkan kesepahaman bagaimana menyelesaikan persoalan itu, apa motif masyarakat melakukan perambahan, bagaimana solusi terbaik menurut masyarakat. Apakah motifnya karena kebutuhan subsisten, bukan untuk motif memperkaya. Kalau para perambah  itu memang kelompok miskin tak bertanah, karena tanahnya sudah dijual kepada pihak lain baik secara suka rela atau terpaksa, maka persoalan-persoalan penyelesaian perambahannya menjadi tidak sesederhana  hanya dengan cara mengusir atau mengeluarkan mereka dengan paksa atas nama penegakan hukum. Maka, perlu solusi terpadu dengan melibatkan pemerintah daerah, pihak swasta, LSM, tokoh masyarakat, pemuka agama, lembaga-lembaga keagamaan, dan lain sebagainya.

Untuk itu diperlukan satu “Lembaga Dialog”, yaitu suatu forum yang dibangun untuk mewadahi berbagai persoalan atau konflik-konflik tenurial di kawasan hutan. Lembaga ini bisa berjalan apabila pemerintah juga bersikap netral, tidak berpihak pada yang kuat, dan fokus memperhatikan secara seksama persoalan yang dihadapi masyarakat sekitar hutan. Justru dengan etika santun  seperti ini, Kementerian Kehutanan dan seluruh jajarannya di bawah, akan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Proses perencanaan dari bawah (bottom-up planning), dengan sebenar-benarnya melibatkan masyarakat akan berdampak pada menguatnya kesadaran individu dan kesadaran kolektif masyarakat. Kesadaran kolektif ini menjadi modal dasar untuk gerakan bersama menyelamatkan hutan dan lingkungan.

Mengawal proses ini memerlukan komitmen bagi pengawalnya. Para rimbawan, sarjana kehutanan yang bertugas di lapangan dan yang berkedudukan di Jakarta. Tiga tugas utama manusia rimbawan, sebagai pembawa risalah, sebagai khalifah, dan pembawa rahmat bagi seru sekalian alam adalah tepat. Tri Tugas itulah yang dijadikan bekal bagi rimbawan dalam mendorong terlaksannya pembangunan dan pengelolaan hutan yang semakin bertanggungjawab. Yang memberikan kemanfaatan nyata baik sekarang sambil menjamin kelestariannya dalam jangka panjang, sesuai dengan tujuannya.

Ketiga: No Harm, “Tidak Melukai, “Ahimsa”.

Berbagai persoalan kehutanan, konflik lahan, perambahan, illegal logging, yang ternyata terbukti dilakukan atas motif-motif untuk memenuhi kebutuhan dasar, karena mereka miskin, maka upaya penyelesainnya haruslah tidak dengan kekerasan, tidak dengan pemaksaan, tidak dengan senapan, tetapi dengan solusi kesejahteraan. Hukum harus tegak bagi cukong, pemodal, oknum-oknum yang dengan sengaja memanfaatkan masyaraka miskin tak bertanah di sekitar hutan, untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi hukum. Sekali lagi, Forum Dialog itulah kendaraan yang seharusnya dibangun dan dipakai untuk mencari solusi bersama, dengan mempertimbangkan berbagai masukan, pendapat, dan aspirasi dari masyarakat.

Masyarakat harus bisa merasakan kehadiran “pemerintah” di halaman rumah mereka, di kehidupan keseharian mereka, ketika mereka menghadapi persoalan-persoalan konkrit, seperti masalah kayu bakar, makanan ternak,  layanan kesehatan, sekolah bagi anak-anaknya, akses jalan, pemiskinan oleh rentenir, dan banyak persoalan riil lainnya. Maka, penyelesaian masalah mereka juga memerlukan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dalam arti luas. Kehadiran pemerintah yang tidak “sangar”, tidak menakutkan. Pemerintah yang mau duduk dengan mereka dan mendengarkan berbagai kesulitan dan harapan mereka.  Reformasi Birokrasi harus menyentuh sampai ke wilayah-wilayah seperti ini. Sikap mental aparat pemerintah yang santun dan lebih banyak turun ke bawah menyerap persolaan nyata. Masyarakat yang hidupnya serba sulit, tinggal di daerah terpencil di tepi-tepi  hutan, adalah kekuatan nyata bagi pembangunan hutan dan kehutanan masa depan, apabila pemerintah melakukan tindakan yang tepat. Pemerintah seharusnya berpihak pada yang lemah, bukan kepada yang kuat, kaum pemodal dan sebagainya.

Keempat: Penghargaan terhadap Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan Budaya.

Ialah upaya kita untuk mempertimbangkan dan lebih menguatkan nilai-nilai adat dan budaya yang masih hidup dan nyata memiliki unsur-unsur penghargaan terhadap alam, spirit menjaga dan melestarikan alam, ke dalam berbagai aspek pembangunan kehutanan. Banyak kawasan hutan yang secara adat masih dikuasai dan dijaga untuk kepentingan kehidupan kelompok-kelompok masyarakat adat. Manajemen kelola hutan kita harus menggali dan mendorong nilai-nilai ini masuk ke dalam bagian dari spirit kelola hutan bersama masyarakat. Di TN Kayan Mentarang, Provinsi Kalimantan Utara, dimana secara adat, kawasan taman nasional itu dimiliki oleh 11 Suku Dayak Besar, dikelola dengan konsep yang melibatkan lembaga-lembaga adat setempat. Dibentuk Dewan Pertimbangan Pengelolaan, di mana berbagai persoalan dan perencanaan kelola taman nasional didiskusikan dan disepakati. Ini suatu contoh, bagaimana etika mengelola hutan kita saat ini dan menjadi harapan ke depan. Model ini bisa dicontoh di banyak kelola hutan produksi baik di HPT, HTI, Restorasi Ekosistem, Hutan Tanaman Rakyat, dan kawasan hutan lainnya. Menuju pengelolaan hutan yang lebih manusiawi dan aspiratif.

Keragaman budaya dari masyarakat di seluruh Indonesia, semestinya menjadi pertimbangan penting dalam kita merumuskan langkah-langkah dalam mengelola hutan di tingkat tapak, di lapangan. Kita perlu mengkoreksi pandangan bahwa kawasan hutan adalah laksana “kertas putih” tidak ada pemiliknya dan tidak ada sejarah penguasaannya. Mungkin dari pola pendekatan etika seperti ini ada harapan kita bersama mewujudkan motto Kementerian Kehutanan : “Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera”.

Pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat, diwujudkan dalam Pasal 18 B  Ayat (2) dan Pasal 28 Ayat (3) UUD 1945; Ketika era reformasi, dukungan legalitas muncul dalam : (1) UU No 22 tahun 1999 dan penggantinya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang memulihkan hak Masyarakat Adat untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri dalam bentuk otonomi asli “desa” atau yang disebut dengan nama lain sesuai dengan adat budaya setempat; (2) UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia yang menegaskan keberadaan hak-hak Masyarakat Adat sebagai hak azasi manusia yang harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah (Pasal 6); (3)  UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai bentuk kebijakan khusus untuk melindungi hak-hak dasar penudduk asli dan masyarakat adat di Papua; (4) UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang telah menegaskan adanya pengakuan dan perlindungan tanpa syarat kepada Masyarakat Adat, kearifan tradisional dan masyarakat tradisional; (5) UU No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang mengakui peran penting Masyarakat Adat sehingga diamanatkan untuk membuat kebijakan nasional dan daerah untuk pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan kearifan lokal terkait dengan pengelolaan dan  pengendalian lingkungan hidup. Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Mei 2013, yang menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara, menguatkan posisi masyarakat (hukum) adat, walaupun keputusan ini mengundang kontroversi di tingkat nasional.

Kelima: Memadukan Tradisional Wisdom dengan Scientific Knowledge.

Etika menghormati kearifan tradisional dari masyarakat-masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan tinggal di dalam hutan, adalah modal utama. Memadukannya dengan scientific knowledge,  ilmu dan teknologi adalah kekuatan yang besar. Pada kondisi tertentu, kearifan tradisional mampu menjawab berbagai persoalan pelestarian hutan, pengelolaan lahan pertanian tradisional, dan sebagainya. Pada kondisi yang lain, masukan dari IPTEK diperlukan untuk menggali lebih jauh  nilai-nilai kemanfaatan plasma nutfah untuk obat-obatan modern, sebagaimana yang dicontohkan dari TWA Teluk Kupang, yang ternyata potensi sponge-nya, memiliki prospek untuk materi penyembuhan kanker. Jamur tertentu dari hutan tropis yang telah diteliti oleh calon doktor dari Pusat Konsrvasi dan Rehabilitasi, Litbang Kehutanan, mampu menguraikan dampak lingkungan pencemaran minyak. Pembangunan hutan dengan menggunakan teknologi Silvikultur Intensif (SILIN) yang dikembangkan oleh Prof Soekotjo dan Prof Na’iem dari Fahutan UGM, juga membuktikan bahwa percepatan pembangunan hutan-hutan baru (tanpa mengganggu keragaman hayati) nyata bisa dilaksanakan. IPTEK yang mendapatkan dukungan kebijakan Direktur Jendral BPK Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tangal 1 September 2005 tentang TPTI Intensif,  perlu terus diupayakan untuk dilaksanakan dalam skala yang lebih luas.

Hal-hal  tersebut di atas membuktikan bahwa IPTEK harus dimanfaatkan untuk membangun hutan Indonesia. Bukan hanya untuk hutan Indonesia. Hasil-hasil riset di kawasan hutan akan berguna untuk kepentingan kemanusiaan dalam arti  luas. Upaya-upaya itu masih harus terus ditingkatkan dan didukung oleh kebijakan nasional yang komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan.  

Keenam: Jejaring Kerja Multipihak

Etika ini mencul dari kesadaran bahwa untuk mengelola hutan dengan segala karakteristinya itu, tidak akan pernah mampu dikelola oleh hanya kelompok rimbawan. Mengurus hutan  (di Indonesia) tidak cukup hanya oleh rimbawan saja. Ciptaan Tuhan ini, sangat luar biasanya karena ia tumbuh  di muka bumi sebagai hasil dari proses asosiasi yang panjang dari aspek geologi, gerakan lempeng, kegunungapian,  pembentukan dan pergerakan tanah, iklim, kelerengan, posisinya di permukaan bumi, yang berakibat pada pembentukan pola sebaran flora dan fauna yang beragam. Kondisi ini masih ditambah dengan pola-pola ketergantungan manusia pada awal kehidupannya kepada sumberdaya hutan beserta seluruh isinya, yang membentuk kebudayaan manusia dan pola-pola pembentukan hutan, ragam dan sebaran flora dan faunanya. Maka, dalam mengurus hutan, kawasan hutan, kita perlu mendapatkan dukungan dari berbagai disiplin keilmuan, berbagai pengalaman empiris pakar, praktisi, pengamat, pemerhati, pejuang, perencana pembangunan, dan lain sebagainya.  Rimbawan dengan ilmu kehutanan tidak akan cukup mampu dalam merspon berbagai persoalan hutan dan kehutanan yang bukan sekedar persoalan silvikultur, teknologi kayu, tetapi juga masalah sosial, budaya, antropologi, pengembangan masyarakat, dan lain sebagainya.

Jejaring multipihak, multidisiplin Ilmu merupakan suatu keharusan, apabila kita ingin mendapatkan manfaat dari banyaknya “rahasia” yang masih terkandung di dalam perut hutan belantara tropis dan kawasan konservasi di bawah lautan di satu sisi,  dan upaya meningkatkan kecerdasan keberdayaan dan kemandirian masyarakat di sisi lainnya. Masyarakat seharusnya menjadi bagian dari jejaring ini dan mendapatkan manfaatnya baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Ketujuh: Prinsip Kehati-hatian

Kecerobohan adalah sikap yang sejauh mungkin kita hindarkan. Kebijakan seharusnya disiapkan dengan matang didasarkan pada data dan infomasi yang valid. Pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan berbagai kebijakan, yang dilakukan dengan benar dan jujur menjadi modal dasar dalam memperbaiki kebijakan ke depan. Pengalaman kerusakan hutan-hutan produksi dengan skema HPH dengan pola monopoli dan dampak negatifnya di masa lalu menjadi bahan koreksi kita bersama. Konsistensi dan pengawasan yang ketat tanpa negosiasi, semestinya dapat menyelamatkan hutan-hutan tersebut. Apabila sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) dilaksanakan dengan konsekuen, maka masih ada harapan akan tumbuhnya hutan untuk siklus tebangan berikutnya. Pengalaman itu, kini menjadi pelajaran berharga agar dalam mengusahakan hutan, dilakukan dengan prinsip-prinsip kelestarian dan dengan pengawasan yang ketat.

Kebijakan Presiden RI melakukan Moratorium Hutan (INPRES No.10 tahun 2011. Penundaan izin baru di hutan primer dan gambut yang berada di hutan konversi, hutan lindung, dan hutan produksi, adalah langkah-langkah kehati-hatian tersebut. Moratorium ini diperpanjang lagi dengan terbitnya INPRES No 6/2013  tentang  Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.  Mengapa perlu menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian? Selain aspek kerusakan hutan di masa lalu, tekanan dunia internasional untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), juga karena kita dengan IPTEK yang ada belum mampu mengungkap “manfaat” dari isi hutan-hutan alam tersebut bagi kepentingan kemanusiaan. Apabila tidak dicegah, maka tingkat kerusakan hutan-hutan alam akan terus meninggi, karena kemampuan kita untuk melakukan pemantauan dan cek lapangan akan ketaatan pengusaha masih sangat rendah. Prinsip kehati-hatian ini bukan hanya berlaku di hutan-hutan produksi, tetapi juga dalam pengelolaan seluruh fungsi hutan, termasuk di kawasan konservasi. Pemerintah yang telah mengalokasikan dan menetapkan 27,2 juta hektar kawasan hutan sebagai kawasan konservasi, juga dalam rangka mengemban etika kehati-hatian tersebut. Kawasan konservasi tersebut adalah bagian dari 64 juta hektar hutan yang masih utuh atau 42,5 persen. Porsi yang cukup besar dari kawasan konservasi ini perlu dukungan kebijakan terpadu untuk mendorong peningkatan efektivitas pengelolaanya dengan berpegang pada etika-etika yang diusulkan tersebut di atas.

Kedelapan: “Gerakan”

Kesadaran bersama (collective awareness) sebagai hasil kerja dari Tri Tugas Rimbawan bersama para pihak sebagai mitranya, dan dengan dukungan kebijakan Kementerian Kehutanan, maka didorong suatu gerakan bersama, suatu aksi bersama. Penanaman satu miliar pohon adalah salah satu contoh upaya membangun suatu Gerakan Kesadaran Bersama Multipihak.  Kini bukan saja Kementerian kehutanan saja, banyak pihak yang mendukung program satu miliar pohon tersebut.  From collective awareness to collective action. Dari gerakan di Indonesia akan berkontribusi pada tataran global. Sehingga, menanam pohon menjadi kesadaran kita bersama. Gerakan ini masih didukung dengan Moratorium Izin Baru, sehingga peran Indonesia akan sangat diperhitungkan di tingkat global. Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada pertemuan G-20, September 2009 di Pittsburgh Amerika Serikat dan pertemuan PBB mengenai Perubahan Iklim, UNFCC COP-15 di Kopenhagen, Desember 2009 : “In the spirit of thingking outside the box,  in September this year Indonesia declared emision reduction target of 26% from business as usual by 2020, and this can be increased to 41% with enchanced international assistance. As a non-Annex 1 country, we did not have to do this. But we read the stark scientific warning of the IPPC. So we set our new reduction target, because we wanted to part of global solution” (Purnomo, 2012). Dengan kebijakan nasional seperti itu, diharapkan hutan cukup waktu untuk bernafas kembali dan merehabilitasi dirinya, setelah sekian lama dieksploitasi.  Walaupun Indonesia tidak wajib menurunkan emisi GRK, namun Presiden SBY bersama tim nya sepakat untuk berkontribusi pada menurunan GRK dunia. Suatu politik etis yang sudah selayaknya diapresiasi oleh negara-negara Utara penghasil pencemaran dunia, seperti Amerika Serikat, China, dan sebagainya. Suatu etika global terkait dengan kepentingan masyarakat lintas negara. Untuk kepentingan menyelamatkan bumi-satu-satunya planet layak huni manusia.

Kesembilan: Pelibatan Perempuan.

Ialah sikap mental kita untuk mempertimbangkan dan memperluas peran-peran kaum perempuan dalam  setiap langkah atau siklus manajemen kawasan hutan. Kerusakan lingkungan berdampak langsung pada kaum perempuan di pedesaan. Berbagai upaya konstruktif menyelamatkan hutan, inovasi baru memperbaiki lingkungan, dilakukan oleh perempuan. Pendidikan anak-anak agar cinta pada lingkungan diemban kaum perempuan.  Banyak di antara perempuan tangguh tersebut telah menerima Kalpataru, karena pengabdiannya yang luar biasa pada penyelamatan lingkungan dan menginspirasi masyakarat luas.

Seorang perempuan bernama Tri Mumpuni-Pendekar Lingkungan Hidup 2008 adalah contohnya. ,Ia mampu menggerakkan masyarakat dan menjadi  motor pembangunan mikro (mini) hidro yang menghasilkan listrik di 60 lokasi tersebar di seluruh Indonesia. Usahanya membentang   dalam tempo tidak kurang dari 17 tahun (Berita TransTV 17 Agustus 2010; jam 21:48). Puluhan penghargaan diterimanya dari berbagai kalangan, antara lain sebagai Climate Hero dari WWF. 

Pada tanggal 20 Agustus 2010, harian Kompas memuat berita tentang orasi  Eny Sudarmonowati, sebelum dikukuhkan sebagai Prof Riset. Ia sejak 1992 melakukan penelitian intensif pemuliaan pohon hutan. Salah satu yang dipilih adalah sengon-salah satu jenis pohon cepat tumbuh (fast growing spesies) yang penting untuk rehabilitasi hutan atau dikembangkan sebagai penghasil kayu perkakas ringan. Hasil rekayasa genetik yang dilakukannya telah membuat pertumbuhan sengon 1,5 kali lebih cepat dari sengon bukan hasil rekayasa. Diprediksi, panen yang semula menunggu 15 tahun bisa diperpendek menjadi 7 tahun saja. Yang bersangkutan juga mengungkapkan bahwa ia melakukan penelitian juga tentang Acacia mangium transgenik. Ada sengon mutan hasil radiasi sinar gamma, yang tahan  hidup di lahan ex tailing, jadi kemungkinan besar bisa untuk bioremediasi. Ribuan hektar lahan eks pertambangan dapat segera dihijaukan dengan hasil riset ini.

Aleta Baun  aktivis perempuan dari Timor Tengah Selatan, mendapatkan penghargaan dari Goldman Environmental Prize 2013 di San Fransisco, Amerika Serikat, pada 15 April 2013, atas upayanya yang gigih mempertahankan hutan dan Gunung Batu di lereng Gunung Mutis, Provinsi NTT (Kompas, 20 April 2013). Ketiga contoh tersebut membuktikan peranan perempuan dalam perbaikan lingkungan hidup. Kebijakan pemerintah ke depan harus mempertimbangkan keterlibatan kaum perempuan yang lebih besar dan dengan niat yang baik untuk mendorong peran mereka semakin besar dan menentukan.

Kholifah, wanita penerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan tahun 2010
Perempuan dari desa Kedungringin, Beji, Pasuruan, Jawa Timur ini layak jadi pahlawan lingkungan. Sejak tahun 1999 Kholifah merintis pembuatan trichogramma, pupuk organik cair, pupuk organik padat, pengembangan tanaman hias, dan pengembangan jamur antagonis  dengan peralatan sederhana. Program ini dapat membantu meningkatkan produksi petani dan berhasil menurunkan penggunaan pupuk buatan dan pestisida kimia.

Dra. Endang Sulistyowati, wanita penerima Kalpataru Kategori Pembina Lingkungan tahun 2010. Perempuan yang juga guru biologi dan pendidikan lingkungan hidup SMAN 2 Kota Probolinggo, Jawa Timur ini juga pahlawan lingkungan. Aktif dalam berbagai organisasi masyarakat, Endang mengajak penduduk setempat menanam 23.000  pohon bakau di lahan  seluas lima hektar di pesisir utara Kota Probolinggo. Ia juga menggagas penanaman pohon SAJISAPO (Satu Jiwa Satu Pohon) di lingkungan sekolahnya.

Sriyatun Djupri, wanita penerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan 2008. Wanita sahabat sampah yang tinggal Jl. Jambangan Rt 004/003 Kel/Kec Jambangan Kota Surabaya, Jatim ini layak disebut sebagai pahlawan lingkungan. Mulai tahun 1986, Sriyatun mulai menggerakkan warga sekitar untuk melakukan pemilahan sampah, penghijauan pekarangan dan jalan warga di sepanjang Kali Surabaya serta membuat saluran toilet di sekitar rumah. Kegiatan ini dilakukan melalui Kelompok Dasa Wisma yang memanfaatkan anggota kelompok PKK, Karang Taruna dan para kepala keluarga sebagai kader lingkungan. Di tahun 2004 Sriyatun mendirikan Kelompok Kader Lingkungan Sri Rejeki, aksinya berupa pelatihan bagi warga sekitar untuk memilah dan mengolah sampah, pembibitan tanaman, penghijauan pekarangan, jalan dan pinggir sungai, serta membuat dan menggunakan jamban umum. Pengeloaan sampah dilakukannya dengan metode 3R.

Theresia Mia Tobi, perempuan penerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan 2008. Perempuan yang tinggal di RT 13 RW 06, Dusun Bawalatang, Desa Nawokote, Wulanggitang, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur juga layak menyandang gelar pahlawan lingkungan. Ibu Theresia tanpa kenal lelah memberdayakan masyarakat melalui penanaman pohon dengan semboyan “bila satu pohon ditebang, akan diganti dengan penanaman seribu pohon”. Kepercayaan masyarakat kepada Ibu Theresia dapat diukur dari keikutsertaan seluruh warga Desa Nawakote kemudian melakukan pembitan, penangkaran dan penanaman gaharu di pekarangan rumah maupun areal hutan.

Wayan Sutiari Mastoer, perempuan penerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan 2006. Wanita satu ini juga layak jadi pahlawan lingkungan. Dengan dibantu pegawai dan anggota keluarganya ia mengumpul sisa-sisa tumbuhan dan sampah anorganik untuk didaur ulang menjadi hiasan berupa bunga kering, hiasan dinding, bros, giwang dan sebagainya. Wanita yang juga bendahara POPRI (Perkumpulan Olahraga Pernapasan Indonesia) ini tidak henti-hentinya mendemonstrasikan dan melatih masyarakat sekitar. Hasil karyanya diminati oleh banyak kalangan hingga Bali dan mancanegara.

Kesepuluh: Pelibatan Kaum Muda

Mempertimbangkan tujuan jangka panjang dari pengelolan hutan dan lingkungan secara luas, maka isu kunci yang harus dipertimbangkan dalam kebijakan nasional adalah tentang pendidikan lingkungan dan peran kamu muda. Mereka kelompok potensial untuk terlibat dalam berbagai upaya dan gerakan penyelamatan lingkungan. Sudah sewajarnya dibangun strategi pengelolaan hutan dan penyelamatan lingkungan dengan melibatkan kaum muda.  Mereka yang akan mengambil tongkat estafet dari generasi tua saat ini, untuk dilanjutkan ke depan. Skala waktu yang dipakai dalam pengelolaan hutan dan isu-isu lingkungan bukan hanya lima tahun, atau 10 tahun, tetapi 50-100 tahun ke depan. Skala generasi, antar generasi, dan lintas generasi. Investasi pendidikan lingkungan saat ini akan menentukan hasilnya 20-30 tahun ke depan.

Penutup

Kesepuluh etika, atau pesan moral tersebut tentu perlu kita renungkan dan diuji apakah dapat atau perlu dilaksanakan di tingkat lapangan. Disebarluaskan dengan contoh-contoh nyata. Deklarasi Rimbawan yang pertama, yaitu Deklarasi Kaliurang, 29 Oktober 1966 dan Deklarasi Cangkuan-Sukabumi, 4 November 1999, mungkin sudah dilupakan kamu rimbawan. Padahal, dalam kedua deklarasi itu terkandung nilai-nilai dan etika profesi rimbawan yang sangat relevan bahkan sampai dengan saat ini. Pengelolaan hutan yang menjamin kelestarian dikaitkan dengan persoalan martabat bangsa di mata masyarakat dunia, sudah digemakan dalam Deklarasi Kaliurang. Semoga, sumbangan pemikiran yang sedikit ini, dapat menggugah kesadaran kita bersama, untuk membuka lembaran-lembaran deklarasi tersebut, sebagai bagian dari kesejarahan pemikiran dan arah pengelolaan suberdaya hutan Indonesia. Juga kala kita mengkiatkan Tri Tugas Manusia sebagai pembawa risalah, khalifah, dan menjadi rahmat bagi alam. Kita kembalikan semuanya kepada diri pribadi kaum rimbawan Indonesia. Apa yang telah kita mampu perbuat untuk hutan Indonesia.***