"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

23 Mei 2013

Sepuluh Etika dalam Mengurus Hutan Indonesia

Pembangunan  hutan dan kehutanan yang beretika adalah upaya-upaya  membangun hutan atau mengelola hutan Indonesia dengan sejauh mungkin memberikan kemanfaatan secara luas kepada masyarakat umum, dengan tetap memperhatikan prinsip-prisip kelestarian. Ciri-ciri penerapan etika dalam pembangunan kehutanan atau dalam pengelolaan hutan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, adalah apabila rimbawan dan pelaku-pelaku lainnya mempertimbangkan sepuluh nilai-nilai atau etika yang penulis ajukan ini. Dalam setiap langkah dan geraknya untuk mengelola hutan dan mengembangkan berbagai kebijakan pembangunan kehutanan di tanah air. Kesepuluh etika tersebut diuraikan dalam ringkasan berikut:

Pertama: Kerisalahan, Kekhalifaan, dan Rahmatan

Adalah modal dasar bagi seluruh pelaku-pengurus hutan di Indonesia. Seorang rimbawan juga sebagai pembawa risalah, pendakwah untuk pelestarian lingkungan. Sebagai khalifah, ia menjadi seorang pemimpin dalam mendorong pembangunan hutan, pengelolaan hutan, melestarikan alam ciptaan-Nya. Seorang pemimpin yang memiliki integritas, satunya kata dengan perbuatan. Sebagai pembawa rahmat, ia seharusnya bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Program-program pembangunan hutan harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan, memajukan masyarakat, dan memandirikan masyarakat tersebut. Masyarakat memiliki harga diri ketika menjaga hutan, dan mendapatkan manfaatnya bagi mereka dan anak cucunya. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, di dalam hutan yang kehidupannya bergantung baik sebagian maupun seluruhnya pada sumberdaya di dalam hutan itu. Rimbawan adalah seorang manusia dengan Tri Tugas seperti tersebut di atas. Tugas yang berat namun mulia dan ditunggu-tunggu oleh masyarakatnya, di pinggir-pinggir hutan.

12 Mei 2013

Rahasia bawah Laut TWA Teluk Kupang: Sponge dan Masa Depan Penyembuhan Kanker

Oleh : Wiratno dan Isai Yusidarta

Apa hubungannya antara kawasan konservasi perairan (laut) dengan penyembuhan penyakit kanker. Penulis yakin, sebagian besar staf PHKA, mulai dari yang bekerja di lapangan sampai di tingkat tertinggi di Jakarta, belum tahu. Mungkin tidak sempat untuk tau atau tidak mau tahu. Penulis maklum dengan kesibukan yang luar biasa di tingkat Jakarta. Kesibukan tentang “administrasi” konservasi.  Sampai dengan saat ini, belum pernah ada pernyataan pejabat tinggi Kemenhut, tentang peran besar dan strategis kawasan perairan ini, dalam kaitannya dengan peluangnya sebagai sumber pengobatan berbagai macam penyakit. Dalam kasus ini, tentang penyakit kanker. Sementara itu, kita memiliki 5 juta Hektar kawasan konservasi laut. Sebagian masuk wilayah perairan laut subur dan kaya, yaitu kawasan yang disebut sebagai Segi Tiga Karang Dunia, atau disebut sebagai Coral Triangle Area.

Adalah seorang yang berpenampilan sederhana, tetapi ternyata seorang PhD lulusan Jepang, dosen Fisheries and Marince Science, Universitas Diponegoro, di Semarang. Ia-Agus Trianto yang memulai riset tentang sponge. Risetnya bersama-sama dengan Ambariyanto Ambariyanto, dan Retno Murwani, dengan judul   “Skrining Bahan Anti Kanker pada Berbagai Jenis Sponge dan Gorgonian Terhadap L1210 Cell Line”, dipublikasikan dalam Indonesian Journal of Marine Sciences, Vol 9 No.3 (2004), disarikan sebagai berikut :

11 Mei 2013

Proposal 3 Pilar Gerakan Bersama Selamatkan TWA Ruteng

Proposal lengkap kegiatan 3 Pilar Gerakan Bersama Selamatkan TWA Ruteng, silakan klik di: 

http://www.scribd.com/doc/140671694/Proposal-3-Pilar-Gerakan-Bersama-Selamatkan-TWA-Ruteng


Terimakasih...