"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

15 Desember 2014

Media Semai Cetak (MSC): Alternatif Pembibitan Rakyat Berkarakter Indonesia

Oleh: Idi Bantara*)

Latar Belakang

Inovasi teknologi pembibitan tanaman terus berkembang dari waktu ke waktu, selaras dengan dinamika kebutuhan pengguna bibit dan variasi sasaran lokasi kegiatan penanaman.   Inovasi yang sangat berkembang tersebut diantaranya adalah teknologi perbanyakan bibit, teknologi media tanam semai dan bibit, teknologi pemupukan organik dan unorganik, teknologi sarana persemaian dan lainya.  Masing-masing teknologi berguna sesuai karakter masing-masing lokasi penanaman. Hal itu dikarenakan tidak semua teknologi tepat di semua lokasi, misalkan teknologi hidroponik akan berkembang cepat di daerah perkotaan, tetapi sulit berkembang di daerah pedesaaan dan lainnya. Maka teknologi pembibitan memiliki variasi inovasi yang sangat dinamis, ketepatan menganalisa kebutuhan sumber daya alam dan karakter sosial tenaga kerja menjadi pertimbangan dalam mengembangkanya.

13 Oktober 2014

Time for Local People’s Involvement in Managing Forests

The legacy of Guru Mahatma Gandhi for humanity are Three ”A”. Ahimsa-stop using violent to achieve our goals; Anekanta-the goodness and dynamic of dialogue should consider and respect difference interest , and Aparigraha-awareness of every participant to develop dialogue that consider universal values of humanity, human rights, goodness and badness. This 3A is still relevant for us if we intend to solve conflict in forest management. Local community, traditional community  should be put as a subject and they should involve and actively participate from the first  phase in forest management cycle. The Three ”A” is the most basic important principles to be imlemented in any dialogues facilitated by government, CSOs, or private sectors.


Result from research led by Indonesia’s geographical expert, Belinda Margono, who is at the moment pursuing her PhD at the University of Maryland USA, is quite striking for many of us. She stated that the destruction of natural forest in Indonesia throughout the period of 2000-2012 has affected 5.02 million-hectare forest areas or altogether almost in the same size of Sri Lanka. The area of degraded forest in Indonesia in 2012 reached 840,000 hectares or twice of the area of degraded natural forest in Brazil (460,000 hectares), of the same year (National Geographic Indonesia, 1 July 2014). As such, towards which direction will we bring the Forestry of Indonesia?

07 September 2014

Jatna Supariatna: The Living Legend in Nature Conservation


Suatu kehormatan bagi saya yang diminta memberikan masukan dan (barangkali) kritik terhadap sebuah buku  langka berjudul “Berwisata Alam di Taman Nasional”, diterbitkan oleh Buku Obor.

Pertama, saya ucapkan selamat kepada Dr.Jatna Supriatna, atas terbitnya buku ini. Draft buku ini sebenarnya telah disiapkan di awal tahun 2000, saat saya baru bergabung dengan Pak Jatna Supriatna di Conservation International Indonesia. Buku hasil karyanya yang terbit tahun 2007 “Biologi Konservasi” dan tahun 2010 berjudul ”Melestarikan Alam Indonesia” (terbitan Yayasan Obor), juga menjadi rujukan masyarakat luas dan telah mendorong pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya upaya-upaya konservasi alam Indonesia dengan melihat dan memahami nilai pentingnya melestarikan sumberdaya alam, baik di daratan maupun di perairan laut, untuk kepentingan lintas generasi.

02 September 2014

Pembangunan KPHK melalui Pendekatan Terpadu Lansekap dan Multipihak

Kerja konservasi adalah kerja kolektif-kolegial, lintas kementerian, lintas disiplin keilmuan. Keberhasilan kerja konservasi ditentukan oleh seberapa efektif kerja-kerja multipihak dapat dikawal, baik dengan civil society, bersama birokrat di provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, institusi keagamaan, institusi adat, kampung, dusun, desa, marga, gampong, local leader baik formal maupun informal, pelaku-pelaku usaha di berbagai bidang. Masyarakat sekitar hutan sudah selayaknya diposisikan sebagai bagian dari solusi kelola kawasan konservasi. Mereka sebaiknya dan sudah selayaknya diperlakukan sebagai subyek dengan lebih manusiawi. Mereka bagian dari anak bangsa dan berhak meraih kesejahteraan yang berkeadilan. Mereka seharusnya dilibatkan dalam setiap tahapan proses kelola kawasan hutan, kelola  kawasan konservasi. Untuk dapat melakukan ini, diperlukan “revolusi mental” di seluruh komponen bangsa, termasuk reformasi “mesin” birokrasi pemerintah.

1.       Fakta
  • Pendekatan pembangunan di Kementerian Kehutanan masih terkesan parsial-fragmented. Dalam konteks otonomi daerah, perkembangan dinamika masyarakat, masyarakat adat, dan tuntutan zaman-pasca Pilpres 2014, maka diperlukan pemikiran dan kebijakan yang  dibangun melalui berbagai dialog. Baik di internal Kemenhut,  lintas Eselon I, termasuk lintas Kementerian/KL dan dengan civil society. Kebijakan juga semestinya dibangun berdasarkan pengalaman (lesson learnt) dari lapangan, dan berbasiskan pada hasil-hasil riset (scientific based), yang disebut juga sebagai scientific based policy formulation,

25 Agustus 2014

Masa Depan TN Perairan Laut Sawu

Penetapan satu kawasan konservasi perairan, yaitu TNP Laut Sawu seluas 3,55 juta hektar di Provinsi NTT (Kompas, 30/01/14) adalah sebuah langkah besar. Kenapa merupakan berita yang cukup mencengangkan? Ini merupakan taman nasional terluas di Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Selama ini Kementerian Kehutanan cq Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), melalui 77 Unit Pelaksana Teknik-nya yang tersebar di seluruh Indonesia, mengelola 27,2 juta hektar kawasan konservasi, dimana sekitar 4,7 juta hektar diantaranya adalah kawasan konservasi perairan yang tersebar di 30 lokasi. Jadi, TNP Laut Sawu ini merupakan taman nasional laut terluas di Indonesia. Yang mencengangkan adalah bagaimana cara pengelolanya, bagaimana cara menjaganya?

Tantangan ke Depan
Salah satu tantangan yang terbesar akan dihadapi oleh pengelola TNP Laut Sawu adalah bagaimana mengatur akses para pihak untuk dapat memanfaatkan hasil lautnya secara lestari. Terutama kepentingan masyarakat nelayan. Tentu akan dibuat zonasi. Akan ada Zona Perlindungan Laut, dimana nelayan tidak boleh masuk karena untuk kepentingan konservasi terumbu karang, misalnya. Zona Pemanfaatan Tradisional, untuk masyarakat nelayan; Zona Wisata Bahari, Zona Pelayaran Internasional, dan lain sebagainya. Tantangannya adalah bagaimana melibatkan berbagai komponen masyarakat untuk menyusun zonasi. Bukan hanya terbatas pada tingkat bupati dengan SKPDnya, tetapi juga sampai ke tingkat masyarakat, sehingga sejak awal masyarakat mengetahui konsekuensi dari penetapan taman nasional ini.

20 Agustus 2014

Shock Therapy

Artikel ini merupakan sambutan Kepala Balai TN Gunung Leuser, untuk Bulletin “Jejak Leuser”, yang disiapkan 24 Maret 2007, saat itu penulis masih menjadi Kepala Balai TN Gunung Leuser. Artikel ini dimasukkan ke dalam blog, sebagai pengingat, bahkan hal-hal yang penulis ungkapkan 6,5 tahun yang lalu, ternyata masih relevan sampai dengan saat ini, Agustus 2014. Penegakan hukum untuk master mind perambahan, dan masyarakat setepat harus diajak bekerjasama mengamankan kawasan. Kasus perambahan di Besitang – Kabupaten Langkat, sampai kini belum dapat diselesaikan melalui penegakan hukum.

Pengelolaan taman-taman nasional di Indonesia menghadapi berbagai persoalan-persoalan yang mendasar dan klasik. Namun, sampai dengan saat ini belum ditemukan solusi yang tepat. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan contoh rumitnya persoalan pengelolaan kawasan. Di satu sisi manajemen yang lemah di masa lalu mengakibatkan sebagian kawasan TNGL yang berbatasan langsung dengan lahan masyarakat, dianggap sebagai ”no man land” atau lahan tidur dan lahan yang terjebak ke dalam klasifikasi ”open access”. Sumberdaya lahan yang tidak dimiliki oleh siapapun (karena di masa lalu Polhut atau ”pemilik kawasan” tidak pernah ada di tempat), tetapi sekaligus juga ”milik setiap orang” (siapa kuat ia dapat). Kondisi open access ini juga terjadi di logged-over area (LOA), bekas tebangan HPH.

22 Juli 2014

Waktunya Rakyat Terlibat Mengurus Hutan


Hasil riset yang dipimpin oleh ahli geografi Indonesia, Belinda Margono - yang sedang studi doktor di Universitas Maryland USA, cukup mengejutkan banyak pihak. Ia menyatakan bahwa kehancuran hutan alam Indonesia periode tahun 2000 sampai 2012 adalah seluas 5,02 juta hektar atau hampir seluas negara Sri Lanka. Luas kerusakan pada tahun 2012 mencapai 840.000 hektar atau dua kali lipat lebih luas daripada kerusakan hutan alam di Brasil (460.000 hektar), pada tahun yang sama (National Geografi Indonesia, 1 Juli 2014). Kemana Kehutanan Indonesia akan kita bawa?

Diskursus dan debat berkepanjangan di antara pemerintah, ahli kehutanan, praktisi, pemikir, dan LSM berkisar pada isu apakah rakyat bisa dipercaya untuk bisa mengurus hutan dengan lestari. Sejak Orba, eksploitasi komersial skala besar telah terbukti (ternyata) tidak mampu melestarikan sumberdaya hutan produksi, walaupun sempat menyumbangkan devisa terbesar setelah minyak bumi di era 1980-1990an. Di masa itu, masyarakat seperti tidak mendapatkan akses yang memadai dan terbatas hanya sebagai buruh atau pekerja di HPH. Kebijakan ini sudah dikoreksi selama lima tahun terakhir ini, termasuk pembatasan jumlah izin dan luas penguasaan lahan hutan produksi oleh HPH atau HTI.

Potret Negara Lain
Hasil kajian kerusakan tersebut merupakan potret akumulasi dari persoalan pola pengelolaan hutan skala komersial sejak 1970an. Pola yang saat ini telah dikoreksi dengan pembatasan penguasaan luas pengelolaan hutan untuk produksi kayu maupun hutan tanaman industri ini, belum mampu membuktikan suatu pengelolaan hutan lestari atau sustainable forest management (SFM). Bagaimana dengan posisi dan peranan masyarakat dalam pengelolaan hutan ini?

10 Mei 2014

Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa Sebagai Solusi Konflik Pengelolaan Hutan serta Penyelamatan Habitat dan Perlindungan Keragaman Hayati di Indonesia

Fakta
Kerusakan sumberdaya hutan di Indonesia disebabkan oleh dua hal pokok. Kemiskinan (poverty) dan keserakahan (greediness). Kemiskinan disebabkan oleh rendahnya akses masyarakat untuk mengelola lahan. Keserakahan disebabkan oleh kebijakan yang lebih pro pada pelaku ekonomi skala besar. Pengalaman selama 35 tahun lebih model pengusahaan hutan dengan sistem HPH dan HTI menunjukkan fakta tersebut. Masyarakat di sekitar hutan yang hutannya dieksploitasi (secara mekanis-komersial)  tidak pernah bertambah taraf kehidupannya secara memadai. Saat ini, kawasan lahan kritis dan  lahan eks HPH yang menjadi “tanah tak bertuan” atau open access mencapai 40 juta hektar. Penyebab kegagalan pengelolaan hutan ini menurut Handadari (2013), adalah penebangan kayu yang berlebihan, kebakaran hutan dan lahan, perambahan, konversi hutan untuk kepentingan non kehutanan, penambangan mineral, kelemahan penegakan hukum, dan budaya korupsi di semua pihak. Stok hutan alam semakin menipis. Saat ini, kayu yang dihasilkan dari hutan alam hanya mampu menyuplai 4-5 juta meter kubik per tahun. Pembangunan hutan tanaman industri atau HTI sampai tahun 2012 hanya mencapai 5,78 juta hektar. Capaian ini masih jauh dari kemampuan China yang dapat membangun hutan tanaman seluas 5,3 juta hektar per tahun, atau bahkan Vietnam yang mampu menanam 250.000 hektar setahun, sebelum tahun 1997 (Handadari, 2013).  

05 Februari 2014

Kalaidoskop Kinerja Konservasi Tahun 2013 Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur

Sepanjang tahun 2013, Balai Besar KSDA NTT telah melakukan berbagai upaya konservasi alam. Upaya-upaya yang dinilai penting untuk diketahui oleh publik, antara lain terkait dengan kawasan, penyelesaian konflik satwa liar-manusia, kebakaran di kawasan savana, inisiatif baru di TWA Ruteng membangun kerjasama Tiga Pilar, menemukan komodo di sepanjang Pantai Utara Flores dengan camera trap bersama Komodo Survival Program dan Yayasan Burung Indonesia, penetapan Ekosistem Esensial di HL Pota, riset sponge untuk anti cancer bersama Jurusan Ilmu Kelautan - Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP Semarang, peningkatan kapasitas staf untuk keberlanjutan RBM, pen..... selengkapnya......

09 Januari 2014

Mengelola TWA Ruteng dalam Perspektif Alternatif Ketiga

Selalu menarik mendalami karya-karya Sthephen R Covey. Salah satu karyanya sebelum ia meninggal adalah buku dengan judul : “The 3rd Alternatives” (2011). Yaitu alternatif Jalan Ketiga. Ia menggambarkan bahwa dimana-mana jawaban terhadap kejahatan adalah dengan melakukan penegakan hukum, menangkap penjahat setelah kejahatan terjadi. Menurutnya, membangun masyarakat beradab adalah tugas yang harus dilakukan, sebuah masyarakat yang didasarkan pada hubungan kuat dalam hal respek dan empati. Dan ini membutuhkan pemikiran Alternatif Ke-3 yang kreatif, seperti yang dilakukan oleh Ward Clapham, dari Royal Canadian Mounted Police. Satuan yang dipimpinnya merupkan satu-satunya satuan yang memiliki kata “proaktif” dalam pernyataan visi mereka. Misi utama mereka adalah “menjaga perdamaian”, yang merupakan konsep yang jauh lebih besar daripada sekedar menegakkan hukum. Clapham mendapati bahwa di departemen kepolisian, ygaya polisi yang reaktif, bertindak setelah terjadinya insiden, dst. Tugas mereka adalah menangkap penjahat dan menarik anak-anak keluar dari jalanan. Tidak ada upaya untuk membangun hubungan yang mencegah kejahatan. Clapham bertekad untuk mengubah pola pikir ini, menciptakan kultur baru, dengan bantuan rekan-rekannya: “Pencegahan memiliki reputasi buruk, Bagi kebanyakan orang ini berarti segala hal yang harus di depan untuk mencegah kejahatan. Ini membutuhkan perubahan besar dalam masyarakat, menghapuskan kemiskinan, lebih terampil membesarkan anak, sekolah-sekolah hebat. Tidak ada anak yang ditinggal. Bukankah ini semua hebat? Ini terlalu besar, jadi polisi  melakukan pekerjaan rutin, menangkap perusuh. Mencegah mereka berbuat onar bukan tugas kita. Namun, ini adalah kuncinya-yang perlu anda lakukan bukan hanya melakukan tindakan terhadap  kejahatan, meskipun ini penting. Yang kami sarankan untuk tugas polisi, pencegahan adalah tugas utamanya (halaman 382-387).