"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

22 Juli 2014

Waktunya Rakyat Terlibat Mengurus Hutan


Hasil riset yang dipimpin oleh ahli geografi Indonesia, Belinda Margono - yang sedang studi doktor di Universitas Maryland USA, cukup mengejutkan banyak pihak. Ia menyatakan bahwa kehancuran hutan alam Indonesia periode tahun 2000 sampai 2012 adalah seluas 5,02 juta hektar atau hampir seluas negara Sri Lanka. Luas kerusakan pada tahun 2012 mencapai 840.000 hektar atau dua kali lipat lebih luas daripada kerusakan hutan alam di Brasil (460.000 hektar), pada tahun yang sama (National Geografi Indonesia, 1 Juli 2014). Kemana Kehutanan Indonesia akan kita bawa?

Diskursus dan debat berkepanjangan di antara pemerintah, ahli kehutanan, praktisi, pemikir, dan LSM berkisar pada isu apakah rakyat bisa dipercaya untuk bisa mengurus hutan dengan lestari. Sejak Orba, eksploitasi komersial skala besar telah terbukti (ternyata) tidak mampu melestarikan sumberdaya hutan produksi, walaupun sempat menyumbangkan devisa terbesar setelah minyak bumi di era 1980-1990an. Di masa itu, masyarakat seperti tidak mendapatkan akses yang memadai dan terbatas hanya sebagai buruh atau pekerja di HPH. Kebijakan ini sudah dikoreksi selama lima tahun terakhir ini, termasuk pembatasan jumlah izin dan luas penguasaan lahan hutan produksi oleh HPH atau HTI.

Potret Negara Lain
Hasil kajian kerusakan tersebut merupakan potret akumulasi dari persoalan pola pengelolaan hutan skala komersial sejak 1970an. Pola yang saat ini telah dikoreksi dengan pembatasan penguasaan luas pengelolaan hutan untuk produksi kayu maupun hutan tanaman industri ini, belum mampu membuktikan suatu pengelolaan hutan lestari atau sustainable forest management (SFM). Bagaimana dengan posisi dan peranan masyarakat dalam pengelolaan hutan ini?



Pemberian hak kelola kepada masyarakat ini ternyata telah berkembang menjadi gerakan di sebagian besar negara-negara Asia dan Amerika Latin. Pada tahun 2012, Pemerintah Nepal telah memberikan lahan seluas 1,2 juta hektar atau 21 persen dari kawasan hutannya kepada 15.000 kelompok pengguna lokal dan kelompok pengguna hutan masyarakat. Pada tahun yang sama, Pemerintah Filipina mengalokasikan  6 juta hektar (38 persen dari lahan hutan) dengan pola community based forest management (CBFM) yang melibatkan 700.000 rumah tangga petani, dengan jangka waktu 25 tahun. Di India, walaupun joint forest management berusaha melibatkan masyarakat, baru pada tahun 2006 terbit UU Hak terhadap Hutan yang mengakui hak-hak bagi rakyat dan penghuni hutan tradisional terjadwal, dibentuk koperasi-koperasi pengelola dan penanaman pohon secara mandiri tanpa dukungan dari luar dan sampai 2007 telah berdiri 548 koperasi penanam pohon. Undang-undang Reforma Agraria di Bolivia pada tahun 1996 mengakui terhadap lahan-lahan kolektif dan bentuk aset properti komunal untuk penduduk pedalaman yang dikenal dengan Original Community Land (Ismatul Hakim dan Lukas R Wibowo, 2013). 

Hutan untuk Rakyat
Di Indonesia, dorongan dikeluarkannya kebijakan pembangunan kehutanan yang memberikan manfaat bagi masyarakat dicetuskan pertama kali dalam Kongres Kehutanan VIII di Yogyakarta tahun 1978 dengan mencanangkan tema besar ”Forest for People”.  Namun demikian,   kebijakan pemberian akses kelola hutan untuk masyarakat tuna lahan, kelompok miskin dengan lahan marginal, melalui gerakan sosial forestry atau perhutanan sosial baru dimulai gerakan pemikirannya pada awal 1980.

Berbagai kajian dan dukungan terus mengalir. Setelah masa reformasi, lahirlah UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (ditindaklanjuti dengan PP No.6 tahun 2007) yang mengamanatkan secara nyata pemberian akses masyarakat untuk turut serta mengelola hutan, untuk mendapatkan manfaatnya secara langsung. Akhirnya pada tahun 2007, Menteri Kehutanan menerbitkan keputusan yang sangat strategis tentang hutan kemasyarakatan dan tahun 2008 tentang hutan desa. Pemberian akses kelola hutan kemasyarakatan (Hkm) dan hutan desa (HD) ini diberikan dlam jangka waktu 25 tahun. Bahkan kebijakan pembangunan hutan tanaman rakyat (HTR), diberikan dalam jangka waktu 60 tahun. Dengan jangka waktu yang relatif panjang ini diharapkan ada jaminan kepastian bagi pemegang hak untuk dapat memanen hasil kayunya.

Target yang dicanangkan oleh Menteri Kehutanan, dari tahun 2010-2014, akan diberikan akses 2,5 juta hektar hutan produksi dan hutan lindung untuk dikelola dalam bentuk Hkm dan HD. Walaupun luasan ini baru 3 persen dari luas hutan produksi dan hutan lindung di Indonesia, ini adalah kebijakan yang berani dan merupakan terobosan kebijakan yang sangat dinantikan oleh masyarakat hukum adat dan masyarakat di pinggir-pinggir hutan yang selama ini dianggap ilegal karena menggarap lahan kawasan hutan tanpa izin dari yang berwenang.

Sampai dengan Bulan Februari 2014, para petani kopi di hutan-hutan lindung di Provinsi Lampung telah memperoleh izin Hkm dari Menteri Kehutanan pada lahan seluas 110.139 hektar. Sejak mengikuti program ini, mereka tidak dianggap sebagai penggarap liar. Potensi konflik sosial dapat diredam dengan kebijakan pemberian akses  seperti ini, sekaligus masyarakat dapat dengan tenang meneruskan pengelolaannya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Tentu program ini harus dikawal dan dipastikan bahwa pola-pola wana tani (agroforestry), kombinasi tanaman kopi dengan berbagai jenis pepohonan sebagai peneduh dan nantinya penghasil kayu, terus dikembangkan sehingga fungsi hidrologi dari hutan-hutan lindung tersebut tetap bisa berjalan.

PR ke Depan
Belajar dari berbagai perkembangan di negara-negara lain, menunjukkan suatu kecenderungan meningkatnya pemberian akses kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan negara. Luas hutan produksi di Indonesia saat ini 75,4 juta hektar dimana 36,9 juta hektar belum dibebani hak. Seluas 5,9 juta hektar dari yang belum dibebani hak tersebut diarahkan untuk pembangunan HTI dan HTR. Saat ini luas izin HTI dan HTR yang telah diterbitkan adalah seluas 10,32 juta hektar (Sinar Harapan, 10 Juli 2014). Maka, hutan produksi yang belum dibebani hak seluas 20,68 juta hektar. Kementerian kehutanan sedang melaksanakan program pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang dilaksanakan di hutan produksi dan di hutan lindung. Pada kawasan KPH-KPH ini nantinya masyarakat dapat bermitra langsung dengan pengelola KPH untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pekerjaan rumah kita bersama masih menumpuk, khususnya terkait dengan:
  1. Pengelolaan di tingkat tapak hutan-hutan produksi dalam bentuk pengelolaan KPH baik di hutan produksi maupun di hutan lindung, sekaligus mendorong peningkatan kemitraan dengan masyarakat sebagai solusi dari ketergantungan masyarakat dengan sumberdaya hutan yang telah menjadi KPH tersebut. Dari 600 unit KPH, baru dibangun 120 unit sebagai model.
  2. Memberikan akses pengelolaan kepada masyarakat melalui skema Hkm, HD, dan HTR pada hutan-hutan produksi (yang belum ada pengelolanya), hutan-hutan lindung, dan kemungkinan diperluas di kawasan konservasi. Pemberian akses pengelolaan ini merupakan solusi dari sengketa tenurial yang disebabkan oleh kemiskinan struktural masyarakat, khususnya yang tidak memiliki lahan atau yang berlahan sangat sempit.
  3. Mendorong pemerintah kabupaten dan provinsi untuk mendukung program-program hutan kemasyarakatan, dimana Kementerian Kehutanan telah mendorong pemberian akses pengelolaan kawasan hutan negara untuk peningkatan kesejahteraannya, dengan jangka waktu selama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Sampai dengan Juni 2014, dari Penetapan Areal Kerja (PAK) Hkm (323.972 Ha) dan HD (275.231 Ha) dari Menteri Kehutanan, baru 20-25% yang ditindaklanjuti penerbitan IUP Hkm oleh Bupati dan penerbitan HPHD oleh Gubernur.
  4. Pendampingan sebelum PAK, proses IUP/HD, dan pasca IPU/HD masih diperlukan oleh masyarakat, dalam rangka meningkatkan kapasitasnya untuk memperkuat “Tiga K”, yaitu Kelola Kelembagaan, Kelola Kawasan, dan Kelola Usahanya. Peranan UPT BPDAS, Pemkab, Pemprov, CSO, dan para tokoh lokal sangat menentukan apakah program yang pro-rakyat ini dapat terus didorong untuk membangkitkan kesadaran dan kemandirian masyarakat sekaligus meningkatkan kesejahteraan dan perbaikan mutu lingkungan hidup.***
** Makalah disampaikan pada Seminar-Lokakarya “Optimasi Peran Pemerintah Daerah dalam Percepatan Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat”., IPB ICC, 22-23 Juli 2014. Kerjasama Kementerian Kehutanan-Kemitraan Partnership.