"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

25 Agustus 2014

Masa Depan TN Perairan Laut Sawu

Penetapan satu kawasan konservasi perairan, yaitu TNP Laut Sawu seluas 3,55 juta hektar di Provinsi NTT (Kompas, 30/01/14) adalah sebuah langkah besar. Kenapa merupakan berita yang cukup mencengangkan? Ini merupakan taman nasional terluas di Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Selama ini Kementerian Kehutanan cq Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), melalui 77 Unit Pelaksana Teknik-nya yang tersebar di seluruh Indonesia, mengelola 27,2 juta hektar kawasan konservasi, dimana sekitar 4,7 juta hektar diantaranya adalah kawasan konservasi perairan yang tersebar di 30 lokasi. Jadi, TNP Laut Sawu ini merupakan taman nasional laut terluas di Indonesia. Yang mencengangkan adalah bagaimana cara pengelolanya, bagaimana cara menjaganya?

Tantangan ke Depan
Salah satu tantangan yang terbesar akan dihadapi oleh pengelola TNP Laut Sawu adalah bagaimana mengatur akses para pihak untuk dapat memanfaatkan hasil lautnya secara lestari. Terutama kepentingan masyarakat nelayan. Tentu akan dibuat zonasi. Akan ada Zona Perlindungan Laut, dimana nelayan tidak boleh masuk karena untuk kepentingan konservasi terumbu karang, misalnya. Zona Pemanfaatan Tradisional, untuk masyarakat nelayan; Zona Wisata Bahari, Zona Pelayaran Internasional, dan lain sebagainya. Tantangannya adalah bagaimana melibatkan berbagai komponen masyarakat untuk menyusun zonasi. Bukan hanya terbatas pada tingkat bupati dengan SKPDnya, tetapi juga sampai ke tingkat masyarakat, sehingga sejak awal masyarakat mengetahui konsekuensi dari penetapan taman nasional ini.


Penulis memprediksi, apabila kawasan ini akan dikelola dengan serius, akan diperlukan pendanaan yang sangat besar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan akan menyedot APBD Kabupaten Sumba Timur, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Rote Ndao, Sabu Raijua, dan sebagainya. Tantangannya adalah bagaimana menyediakan pendanaan yang cukup untuk mengelola kawasan yang sangat penting ini. Apabila satu hektar diperlukan 5 USD/tahun, maka setiap tahun diperlukan dana sebesar 17,75 juta USD atau Rp. 39,050 Milyar (dengan asumsi 1 USD = Rp.11.000,-). Sebagai perbandingan, TN Komodo yang sudah sangat terkenal sebagai Cagar Biosfer (1977), World Heritage atau Warisan Dunia UNESCO (1991), The Real Wonders of teh World (2011), dan The New 17 Wonders of Nature (2012),  dengan luas 173.300 Hektar, dan jumlah pengunjung di 2012 sebanyak 41.972 orang per tahun, baru bisa menghasilkan PNBP sebanyak Rp 3.319.860,-.

Tantangan untuk TNP Laut Sawu adalah bagaimana mencari dana untuk pengelolaannya dan bagaimana cara menghasilkan uang melalui pengembangan wisata baharinya. Maka sangat penting menetapkan visi, misi, dan strategi pengelolannya, secara terbuka dan partisipatif, sehingga dapat dihindarkan dari pencitraan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan (baca: menerbitkan) suatu surat keputusan khusus tentang tentang kawasan konservasi perairan (terluas) baru di Indonesia. Hal ini juga tentu berimplikasi pada revisi tata ruang provinsi NTT ke depan.

Peluang ke  Depan
Terlepas dari latar belakang penetapan TNP Laut Sawu ini, kawasan ini berada pada Segi Tiga Karang Dunia (Coral Triangle), wilayah yang konon kabarnya memiliki sumberdaya laut, sumberdaya ikan dan perikanan,  padang lamun, terumbu karang, dan pantai yang sangat subur dan paling tidak terkena polusi, dan oleh karena itu menjadi “rebutan” berbagai kepentingan negara-negara di dunia, termasuk kepentingan ilmu pengetahuan, ekonomi dan politik. Maka, TNP Laut Sawu semestinya juga dapat diproyeksikan sebagai Pusat Kajian Sumberdaya Kelautan di Wilayah Selatan Segitiga Karang Dunia. Kepakaran pada ilmu kelautan dan pendanaan untuk research and development di bidang kelautan seharusnya menjadi prioritas, selain untuk pengamanannya. Kerjasama dengan beberapa fakultas dan pakar biologi kelautan sebaiknya menjadi pemikiran yang serius dan menjadi agenda prioritas. Balai Besar KSDA NTT telah memulai kerjasama riset untuk mendapatkan senyawa anti kanker dari  sponge di Taman Wisata Laut Teluk Kupang, bekerjasama dengan pakar dari Fakutas Kelautan dan Perikanan UNDIP Semarang. Tidak tertutup kemungkinan, TNP Laut Sawu menyimpan rahasia bawah lautnya yang luar biasa, disamping sebagai daerah jelajah whales. Utamakan kerjasama dengan pakar dari dalam negeri dan jangan menggantungkan dari bantuan internasional, apalagi berupa loan.

Dewan Maritim (Kelautan) Daerah
Provinsi NTT yang telah memiliki Dewan Maritim (Kelautan) Daerah yang beranggotakan multipihak, tentu berarti memiliki keunggulan komparatif dibandingkan provinsi lainnya. Maka, diperlukan juga upaya menggandeng Bappenas, Lembaga Oceanografi (LON)-LIPI, dan berbagai universitas di tanah air, serta seluruh kabupaten di sekitar TNP Laut Sawu, untuk membangun strategic plan Pengelolaan TNP Laut Sawu, yang disusun secara partisipatif, termasuk agenda risetnya. Jangan lupakan, nilai-nilai budaya dan kearifan tradisional NTT yang terkenal dijadikan bagian dari proses untuk menyusun dan memberikan spirit yang positif dalam membangun TNP Laut Sawu ke depan.

Dewan Kelautan Daerah memegang peranan yang besar dan penting, dalam mengawal proses dialog muntipihak penyusunan Strategic Plan tersebut. Apabila sudah disusun, maka proses sosialisasinya juga merupakan bagian yang sangat penting dalam membangun kesadaran bersama, sebagai modal dasar untuk aksi bersama, mengamanankan TNP Laut Sawu ini, untuk masa depan pengelolaan sumberdaya kelautan yang lebih baik, lebih bertanggungjawab, dan memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat NTT.

Masyarakat NTT sejak dari awal harus diposisikan sebagai subyek (pelaku) dalam pembangunan TNP Laut Sawu ini, tidak (hanya) dijadikan obyek semata-mata, karena hal ini menyinggung harga diri masyarakt NTT yang kaya akan nilai-nilai kearifan tradisional tersebut. Pemerintahan Jokowi-JK nampaknya akan mendorong proses-proses partisipatif di semua lini. Lebih mengedepankan dialog multipihak daripada proses yang top-down otoriter. Partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan memastikan bahwa apa yang direncanakan kena ke sasaran. Fungsi kontrol menjadi salah satu elemen yang diutamakan dalam proses menajemen JKW-JK. Semoga proses yang dibangun  di TN Laut Sawu ini juga diinspirasi dan disemangati dengan dialog yang mencerahkan dan membuat dorongan kesadaran para pihak untuk menjaga sumberdaya alamnya, dan memanfaatkannya dengan lebih bertanggungjawab.***