"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

20 Agustus 2014

Shock Therapy

Artikel ini merupakan sambutan Kepala Balai TN Gunung Leuser, untuk Bulletin “Jejak Leuser”, yang disiapkan 24 Maret 2007, saat itu penulis masih menjadi Kepala Balai TN Gunung Leuser. Artikel ini dimasukkan ke dalam blog, sebagai pengingat, bahkan hal-hal yang penulis ungkapkan 6,5 tahun yang lalu, ternyata masih relevan sampai dengan saat ini, Agustus 2014. Penegakan hukum untuk master mind perambahan, dan masyarakat setepat harus diajak bekerjasama mengamankan kawasan. Kasus perambahan di Besitang – Kabupaten Langkat, sampai kini belum dapat diselesaikan melalui penegakan hukum.

Pengelolaan taman-taman nasional di Indonesia menghadapi berbagai persoalan-persoalan yang mendasar dan klasik. Namun, sampai dengan saat ini belum ditemukan solusi yang tepat. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan contoh rumitnya persoalan pengelolaan kawasan. Di satu sisi manajemen yang lemah di masa lalu mengakibatkan sebagian kawasan TNGL yang berbatasan langsung dengan lahan masyarakat, dianggap sebagai ”no man land” atau lahan tidur dan lahan yang terjebak ke dalam klasifikasi ”open access”. Sumberdaya lahan yang tidak dimiliki oleh siapapun (karena di masa lalu Polhut atau ”pemilik kawasan” tidak pernah ada di tempat), tetapi sekaligus juga ”milik setiap orang” (siapa kuat ia dapat). Kondisi open access ini juga terjadi di logged-over area (LOA), bekas tebangan HPH.


Apabila di suatu taman nasional, terdapat areal dalam kategori open access, maka yang seringkali terjadi adalah spekulasi. Satu atau beberapa orang mencoba untuk merambah, baik yang akhirnya bertempat tinggal ataupun yang memakai beberapa perantara untuk dapat “menguasai” lahan tersebut dengan menanam berbagai komoditi. Dalam kasus di TNGL, di Kecamatan Besitang - Kabupaten Langkat, kondisi open access ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu, sehingga pendudukan, perambahan dan spekulasi lahan menjadi suatu keniscayaan. Pada awal tahun 2000, terjadi gelombang pengungsi dari Aceh Timur, yang semula hanya 6 kepala keluarga. Ketika tidak dilakukan penyelesaian secara tuntas dan bahkan terjadi proses ”pembiaran” sekian tahun, maka jumlah pengungsi telah mencapai 600-700 KK. Hal yang sama juga terjadi pada perambah yang menguasai ribuan hektar lahan TNGL dan dijadikan perkebunan sawit.

Ketika proses penegakan hukum dilakukan terhadap 38 perambah di Resort Sekoci, pada akhir 2006 dan dilanjutkan dengan penumbangan sawit ilegal pada Januari 2007, Balai TNGL beserta Polres Langkat dituduh telah melakukan pelanggaran HAM berat oleh LBH Medan. 

Saat ini telah divonis 13 perambah dan 1 dalang  perambah oleh PN Stabat. Dengan kasus yang sama, dua mantan anggota dewan masih dalam proses pengadilan. Kerusakan yang diakibatkan oleh pola-pola perambahan terorganisir seperti ini sangat massif. Tidak kurang dari 10.000 hektar kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Resort Sekoci - Besitang, telah hancur. Pembakaran yang berulang untuk menanaman sawit telah menghentikan proses suksesi alami di wilayah ini. Berdasarkan penelitian dengan mengamati plot permanen di Besitang, diperlukan waktu lebih dari 100 tahun untuk mengembalikan hutan pada kondisi awalnya. Kerusakan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang dan Sei Lepan mencapai 37%. Selain faktor curah hujan, hancurnya DAS inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong banjir bandang di Kabupaten Langkat dan sekitarnya pada 21-22 Desember 2006 tersebut.

Penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh Balai TNGL beserta jajaran penegak hukum lainnya adalah sebagai “shock therapy” bagi siapapun yang mencoba untuk berspekulasi melakukan perambahan. Sejak dilakukannya penegakan hukum dan ujicoba pemusnahan sawit ilegal telah berdampak pada menurunnya upaya spekulasi pada cukong-cukong lahan dan atau kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab, untuk memperluas perambahannya. Kelompok-kelompok terorganisasir ini bukanlah orang miskin atau tak berlahan. Mereka memiliki lahan di tempat asalnya. Sementara, beberapa keluarga yang mencoba berspekulasi telah dimanfaatkan oleh kelompok terorganisir tersebut untuk merambah masuk ke dalam wilayah taman nasional.

Ke depan, pola pengelolaan TNGL akan melibatkan berbagai komponen masyarakat setempat. Diakui bahwa penegakan hukum saja tidaklah cukup untuk menghentikan laju kerusakan hutan tersebut. Oleh karena itu, berbagai pola kolaborasi dan kerjasama dengan masyarakat akan terus dilakukan secara intensif. Pertama, masyarakat akan mendapatkan manfaat atau lapangan pekerjaan dengan melakukan reboisasi kawasan dan atau melakukan penjagaan/patroli bersama. Kedua, pihak Balai TNGL akan sangat terbantu dalam mengemban tugasnya menyelamatkan sisa-sisa hutan hujan tropis terpenting di Propinsi Sumatera Utara tersebut. Upaya win-win solution inilah yang akan ditempuh dalam mensikapi perkembangan pengelolaan TNGL di wilayah propinsi itu.

Oleh karena itu, membangun kelembagaan kerjasama yang kuat merupakan tantangan ke depan. TNGL akan dijaga oleh masyarakatnya sendiri sebagai salah satu pilar konservasi taman nasional ke depan. Dan membangun suatu kelembagaan lokal, bukanlah tugas yang mudah, namun juga bukanlah hal yang tidak mungkin dilakukan. Francis Fukuyama dalam bukunya berjudul ”Memperkuat Negara” (2005), menyatakan bahwa: ” Suatu negara yang kuat ditandai dengan kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan berlebihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga”.

Dalam konteks pengelolaan TNGL, maka persoalan kelembagaan menjadi salah satu isu sentral yang harus dilakukan penguatan. Kolaborasi pengelolaan merupakan salah satu pilihan di mana diharapkan kebijakan konservasi di tingkat global dan nasional dapat diterjemahkan menjadi paket-paket kelembagaan pengelolaan yang tetap mempertimbangkan keseimbangan antara aspek (mikro) ekonomi-sosial/budaya-lingkungan. Tiga aspek pembangunan yang terlanjutkan ini menjadi pilar dari berbagai inisiatif kelembagaan pengelolaan TNGL ke depan. Dalam beberapa tahun, diharapkan terbentuk kelembagaan kolaborasi desa-desa mitra TNGL atau TNGL mitra desa, di sepanjang batas taman nasional.

Ketika hal ini dapat terwujud, penegakan hukum tidak lagi berwajah garang dan menimbulkan kecemasan. Ia akan diposisikan menjadi sekedar ”shock therapy” saja, dan oleh karenanya hanya ditujukan kepada master mind-nya atau aktor intelektualnya. ***