"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

07 September 2014

Jatna Supariatna: The Living Legend in Nature Conservation


Suatu kehormatan bagi saya yang diminta memberikan masukan dan (barangkali) kritik terhadap sebuah buku  langka berjudul “Berwisata Alam di Taman Nasional”, diterbitkan oleh Buku Obor.

Pertama, saya ucapkan selamat kepada Dr.Jatna Supriatna, atas terbitnya buku ini. Draft buku ini sebenarnya telah disiapkan di awal tahun 2000, saat saya baru bergabung dengan Pak Jatna Supriatna di Conservation International Indonesia. Buku hasil karyanya yang terbit tahun 2007 “Biologi Konservasi” dan tahun 2010 berjudul ”Melestarikan Alam Indonesia” (terbitan Yayasan Obor), juga menjadi rujukan masyarakat luas dan telah mendorong pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya upaya-upaya konservasi alam Indonesia dengan melihat dan memahami nilai pentingnya melestarikan sumberdaya alam, baik di daratan maupun di perairan laut, untuk kepentingan lintas generasi.


Sebagaimana kita ketahui, Dr. Jatna Supriatna adalah pakar di banyak bidang lingkungan, mulai dari ahli primata, juga banyak mendalami berbagai inisiatif konservasi, seperti “konsesi konservasi”, conservation education, ecotourism, mendorong penerapan konsep bioregion, dan sebagainya dengan rentang waktu hampir 40 tahun. Bersama-sama antara lain dengan Pak Wahjudi Wardojo (saat itu Kepala TN Gunung Gede Pangrango), beliau menjadi salah satu pendiri konsorsium pertama di Indonesia, yaitu Konsorsium Gede Pahala di TN Gunung Gede Pangrango. Dr. Jatna juga aktif mendorong pendirian stasiun riset di taman-taman nasional Indonesia, sekaligus juga melakukan banyak riset  dan eksplorasi keragaman hayati flora dan fauna di dalamnya.

Selain bekerja di jurusan Biologi UI, Dr Jatna Supariatna menjadi Country Director Conservation International selama 15 tahun, yang membawanya melalang buana ke lebih dari 60 negara di dunia yang memiliki sumberdaya alam penting, untuk melakukan workshop, riset, dan sekaligus  melakukan wisata penikmati keindahan alam taman-taman nasional yang dikunjungi.

Buku ini sangat menarik dan unik, karena tiga hal. Pertama, buku tentang wisata alam atau ekowisata di taman nasional, yang ditulis oleh seorang pakar-praktisi di banyak bidang, khususnya biologi konservasi, pengelolaan taman nasional, pendidikan lingkungan, ekowisata, pakar primata, dan sebagainya. Sejak 1992 menjadi kepala editor jurnal international Tropical Biodiversity, Chief Editor Asian Primate (2008), Dewan Redaksi jurnal international Wildlife Policy and Law, Dewan Redaksi Tropical Conservation Science, konsultan editor Biosphere Conservation, Dewan Penasihat Earthwatch Institute (2002), dan Editor Asian Biodiversity Journal (2014), dan  menjadi dewan redaksi jurnal international, “Park”. Kedua, dan oleh karena itu penulis juga memberikan pemahaman tentang basic theory kelola taman nasional apabila akan dikembangkan ekowisata di dalamnya (hal 22), efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, prioritas penetapannya, melalui tiga kriteria (keunikan, kepunahan, dan kegunaan - hal 25).  Ketiga, maka penulis dengan lugasnya memberikan paparan dan saran-saran praktisnya tentang bagaimana kita melakukan perjalanan wisata diramu dengan analisisnya yang tajam tentang “perencanaan destinasi wisata”, mulai dari wildlife watching, wisata lansekap, wisata ilmiah, summer camp, penangkaran biologi, kerjasama dalam showcasing-display, wisata olahraga, kearifan lokal, wisata kuliner dan keragaman pangan, paket wisata perajinan dn produk local, paket wisata bersama petani (hal 11-19).

Dr. Jatna Supriatna juga menguraikan pengalamannya melakukan perjalanan wisata di banyak negara yang  semestinya juga bisa dilakukan di taman-taman nasional di tanah air yang jumlahnya kini mencapai 50 tersebar di seluruh biogeografi Indonesia. Bagaimana teori biogeografi pulau dipakai untuk menyediakan wisata alam hidupan liar secara lestari, pemilihan lokasi, dan pengelolaan kawasannya (hal 22; paragraf 4). Oleh karena itu, buku ini sangat penting bagi pengelola taman-taman nasional, pengambil keputusan, mahasiswa, dosen, LSM, guru, peminat dan praktisi bisnis wisata alam, serta masyarakat luas.   

Di samping banyak hal-hal yang sangat menarik yang diuraikan dalam buku ini, beberapa kesalahan ketik atau kesalahan informasi  ditemukan, yang apabila tidak dilakukan  dapat menganggu kenyamanan pembaca atau misleading information. Beberapa hal tersebut antara lain:
1.  Pengetikan nama taman nasioanal, misalnya  tertulis “Taman Nasional Hasanudin”, yang benar adalah “ TN Bantimurung Bulusaraung”, di Sulawesi Selatan (hal 16; paragraf 4).  Nama taman nasional “Lorentz”, tertulis “Lorenz” (hal 29 paragraf 2);
2. Data pengunjung di TN Komodo (kotak 1, hal 19), masih tertulis dikunjungi 32.354 wisatawan yang sebagian besar wisman (tidak disebutkan tahunnya, berdasarkan cek, angka tersebut kondisi tahun 2008). Data 2009, pengunjung TN Komoso sudah mencapai 36.534 dan pada November 2010 mencapai angka 42.574 dengan peroleh PNBP sebanyak  Rp.1.320.896.500,-
3. Melengkapi hasil-hasil riset terakhir, akan menambah lengkapnya informasi yang disajikan dalam buku ini, misalnya di TN Gunung Leuser (hal 68 tentang keragaman hayati). Berdasarkan hasil riset Dr. Agus Susatya - dosen Universitas Bengkulu, di Bukitlawang telah ditemukan jenis rafflesia baru dan telah diberi nama: Rafflesia lawangensis. Ia juga menemukan jenis baru di Talang Tais Bengkulu, Rafflesia bengkuluensis. Dari destinasi wisata alam di TN Gunung Leuser (hal 70-71), daerah tujuan ekowisata  Tangkahan di Kabupaten Langkat yang sempat diuraikan. Sejarah pengembangan konflik Tangkahan diuraikan oleh Saiful Bahri dalam Wiratno (2013) dan dinamika pengembangan ekowisata Tangkahan ditulis oleh Wiratno (2014).
4.  Pengelola TN Gunung Leuser bukan Unit Management Leuser (UML), tetapi Balai Besar TN Gunung Leuser (hal 72; paragraf 1). UML saat itu mendapatkan mandat dari Kepres 33/1998, yang saat ini sudah tidak beroperasi lagi. Demikian pula dengan pengelola TN Bukit Barisan Selatan, sudah menjadi Balai Besar (Eselon IIb) dan bukan Balai (Eselon III) lagi (hal 121). Demikian pula dengan TN Kerinci Seblat, telah menjadi Balai Besar TN Kerinci Seblat.

Dari pengalaman saya bekerja di TN Gunung Leuser (2005-2007) dan di Balai Besar KSDA NTT (2012-2013), pengembangan paket-paket wisata alam yang telah ada saat ini perlu disambungkan dengan destinasi baru yang menarik berdasarkan temuan mutakhir. Diversifikasi obyek ini juga dalam rangka menambah length of stay wisatawan manca negara. Misalnya wisman di Bukitlawang, yang selama ini hanya melihat orangutan di feeding ground dapat dibawa ke lokasi mekarnya Rafflesia lawangensis pada musim berbunganya, yang tidak jauh dari Bukitlawang. Wisman di TN Komodo, dapat  ditawari destinasi baru, di Mbeliling yang tidak jauh dari Labuan Bajo, terutama yang tertarik dengan local tradition  and wisdom dan birds watching. Wilayah ini dikembangkan oleh Yayasan Burung Indonesia dalam 7 tahun terakhir ini. Simpul destinasi baru bisa ditarik ke CA Wae Wuul, yang luasnya hanya 5.000 Ha, khususnya untuk wisata terbatas, wisata riset, dan sebagainya (Wiratno - BBKSDA NTT, 2013).

Above all, kita patut bangga memiliki seorang Jatna Supriatna yang mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk pemikiran dan tindakan nyata di bidang konservasi alam dan lingkungan di Indonesia. Pemikirannya yang cemerlang melewati batas-batas biogeografi, melintasi beberapa benua di puluhan negara. Tidak heran kalau Dr. Jatna Supriatna akhirnya menerima berbagai penghargaan, seperti Golde Ark Award dari Kerajaan Belanda di Bidang Konservasi Alam (1999), Habibie Award (2009) di Bidang Sains, Achmad Bakrie Award di bidang Sains (2010), dan Terry McMannus Award dari Conservation International  atas jasanya di Bidang  Konservasi dan Bisnis. Dan kemungkinan akan menyusul penghargaan lainnya di masa depan.
Buku adalah legasi lintas generasi : “Verba volant, scripta manent” ***

*) Bedah buku Berwisata di Taman Nasional, Balai Sidang Kampus Universitas Indonesia - 5 September 2014

Daftar Rujukan:
Anonim. 2013. Kalaidoskop BBKSDA NTT 2013. Diterbitkan oleh Balai Besar KSDA NTT.
Susatya, A. 2011. Raflesia Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Jakarta. Diterbitkan oleh Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Ditjen PHKA.
Wiratno. 2013. Tersesat di Jalan yang Benar, Seribu hari Mengelola Leuser UNESCO Jakarta Office.
Wiratno. 2014. Dari Penebang Hutan Liar ke Konservasi Leuser. Diterbitkan oleh UNESCO, OIC, GRAPS, UNEP SpainUNEP Life Web, dan BB TN Gunung Leuser.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar