"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

02 September 2014

Pembangunan KPHK melalui Pendekatan Terpadu Lansekap dan Multipihak

Kerja konservasi adalah kerja kolektif-kolegial, lintas kementerian, lintas disiplin keilmuan. Keberhasilan kerja konservasi ditentukan oleh seberapa efektif kerja-kerja multipihak dapat dikawal, baik dengan civil society, bersama birokrat di provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, institusi keagamaan, institusi adat, kampung, dusun, desa, marga, gampong, local leader baik formal maupun informal, pelaku-pelaku usaha di berbagai bidang. Masyarakat sekitar hutan sudah selayaknya diposisikan sebagai bagian dari solusi kelola kawasan konservasi. Mereka sebaiknya dan sudah selayaknya diperlakukan sebagai subyek dengan lebih manusiawi. Mereka bagian dari anak bangsa dan berhak meraih kesejahteraan yang berkeadilan. Mereka seharusnya dilibatkan dalam setiap tahapan proses kelola kawasan hutan, kelola  kawasan konservasi. Untuk dapat melakukan ini, diperlukan “revolusi mental” di seluruh komponen bangsa, termasuk reformasi “mesin” birokrasi pemerintah.

1.       Fakta
  • Pendekatan pembangunan di Kementerian Kehutanan masih terkesan parsial-fragmented. Dalam konteks otonomi daerah, perkembangan dinamika masyarakat, masyarakat adat, dan tuntutan zaman-pasca Pilpres 2014, maka diperlukan pemikiran dan kebijakan yang  dibangun melalui berbagai dialog. Baik di internal Kemenhut,  lintas Eselon I, termasuk lintas Kementerian/KL dan dengan civil society. Kebijakan juga semestinya dibangun berdasarkan pengalaman (lesson learnt) dari lapangan, dan berbasiskan pada hasil-hasil riset (scientific based), yang disebut juga sebagai scientific based policy formulation, policy review. Hal ini penting, agar kita tidak membuat policy yang tidak (kurang) tepat sasaran, timpang, atau sulit dilaksanakan di tingkat lapangan karena tidak realistis.
  • Kawasan hutan kita bukan “kertas putih”. Kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari persoalan “tenurial”, antara lain keberadaan masyarakat, perubahan-perubahan akibat pembangunan di berbagai bidang, kepentingan politik, dan sebagainya. Minimal terdapat  lima tipologi, yaitu : (1) masyarakat yang telah lama bermukim secara turun temurun, di dalam kawasan hutan, (2) masyarakat pendatang yang bermotifkan ekonomi, lapar lahan, (3) masyarakat (miskin) yang sengaja merambah yang didukung oleh cukong atau pemodal, (4) pendudukan kawasan oleh pihak swasta yang bermotifkan semata-mata kepentingan ekonomi, dan (5) merebaknya kelahiran desa-desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi baru yang memerlukan ruang untuk membangun sarana dan prasarana untuk fasisiltas umum, fasilitas sosial, dan sebagainya.
  • Merujuk berbagai persoalan tenurial terkait dengan kawasan hutan, termasuk di kawasan konservasi dan lahan di luar kawasan hutan, Media Indonesia (26 Desember 2011) menguraikan berbagai persoalan konflik agraria antara masyarakat dan pengusaha, yang cenderung direspon represif oleh aparat negara dan perusahaan. Penulis artikel mengungkap bukti-bukti bahwa selama 10 tahun terakhir terjadi 108 konflik agraria di 10 provinsi yang didominasi konflik tenurial di kawasan hutan (69 kasus), dan konflik perkebunan (23 kasus); BPN mencatat 8.000 konflik agraria. Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, taman nasional, dan Perhutani.
  • Sampai dengan saat ini, belum ditemukan formula atau hasil kerja yang bisa dijadikan contoh (lesson learnt) dalam penyelesaian masalah tenurial termasuk upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar atau di dalam kawasan hutan dan di hutan konservasi. Menurut Santoso (2012), yang mengutip data dari Kementerian Kehutanan dan BPS (2007), jumlah keluarga miskin di sekitar atau di dalam kawasan hutan sebanyak 1.720.384 keluarga atau 6.881.539 jiwa. Tidak kurang dari 25.863 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan atau 26,6% dari jumlah desa di seluruh Indonesia, yang didiami oleh 37.197.508 jiwa atau 17,2% dari total jumlah penduduk Indonesia.

2.       Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
Berdasarkan IKK Dit KKBHL 2015-2019, telah ditetapkan KPHK non TN sebanyak 50, dengan target 2015 sebanyak 12 unit, yaitu : SM Rawa Singkil, SM Kerumutan, HSA Arau Hilir,  SM Dangku Bentayan,  CA/TWA Guntur-Papandayan, CA/TWA/SM Tambora, TWA Ruteng, TWA Gunung Melintang, SM Morowali, TWA Towuti, SM Nantu, dan SM Jayawijaya.  Tentu ada kriteria tertentu, namun saya belum mengetahuinya. Beberapa pemikiran yang saya ajukan, atas dasar diskusi dengan para pihak, dirumuskan dalam makalah sederhana ini.

3.       Strategi Pembangunan KPHK
Untuk wilayah regional Sumatera, apabila kita menggunakan Tiger Conservation Landscape sebagai salah satu kriteria, maka beberapa kawasan konservasi layak dipertimbangkan untuk dijadikan KPHK. Kawasan-kawasan tersebut adalah :

No
Tiger Conservation Landscape
Kawasan Konservasi sebagai KPHK
1.
Bukit Barisan Selatan
TN Bukit Barisan Selatan
2.
Bukit Balai Rejang Selatan
Berbatasan dengan TN Bukit Barisan Selatan
3.
Kerinci Seblat
TN Kerinci Seblat
4
Bukit Rimbang Baling
SM Rimbang Baling
5.
Bukit Tiga Puluh
TN Bukit Tiga Puluh
6.
Tesso Nilo
TN Tesso Nilo
7.
Kuala Kampar-Kerumutan
SM Kerumutan,
8.
Berbak
TN Berbak
9.
Rimbo Panti Batang Gadis Barat
SM Rimbo Panti, TN Batang Gadis
10.
Rimbo Panti Batang Gadis Timur
SM Dolok Surungan, SM Barumun
11.
Leuser
TN Leuser dan KEL
12.
Sibolga
HL Batang Toru
Sumber : Strategi Konservasi Harimau (2007).

Berdasarkan TCL tersebut, dikembangkan kriteria lainnya, antara lain  (1) pendekatan lansekap, (2) nilai konservasi, (3) potensial mitra yang akan dan telah bekerja, (4) tingkat kerusakan. Dua contoh yang saya ajukan lebih detil, misalnya di SM Barumun dan SM Rimbang Baling.

a.       SM Barumun-BBKSDA Sumatera Utara
  1. Pendekatan Lansekap. Memposisikan kawasan yang ditetapkan sebagai KPHK sebagai “core”, dengan mempertimbangkan pola penggunaan lahan di daerah penyangga dan lansekap yang lebih luas. Misalnya, SM Barumun seluas 40.330 Ha di Kab.Tapsel, Kota Sidempuan, Kab. Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara. SM Barumun ditambah dengan kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas seluas 309.000 Ha,  berbatasan dengan Lansekap Rimbo Panti-Batang Gadis. Lansekap Rimbo Panti-Batang  Gadis dengan luas 437.600 Ha, merupakan hamparan lansekap yang dinilai penting sebagai “Lansekap Konservasi Harimau” (Rencana Strategi dan Konservasi Harimau 2007-2017, Ditjen PHKA dan Mitra).
  2. Nilai Konservasi Species dan Daerah Aliran Sungai. SM Barumun merupakan salah satu dari habitat harimau sumatera, tapir, dan berbagai jenis burung. Masih diperlukan eksplorasi detil untuk menemukan berbagai jenis satwa liar yang disebutkan dalam keutusan Menteri Kehutanan No 70 tahun 1989. Berdasarkan daerah aliran sungai, SM Barumun masuk DAS Asahan Barumun (4,1 juta Ha), Sub DAS Batang Sihapas, yang merupakan daerah tangkapan air sangat penting dan penyangga kehidupan bagi jutaan masyarakat yang tinggal di beberapa kabupaten di bawahnya. Saat ini termasuk DAS Kritis yang harus direhabilitasi.  Terdapat kawasan “terbuka” seluas 4.000 Ha atau 10% dari luas SM Barumun (catatan: keterangan Kepala BPDAS Asahan Barumun, cek lapangan 28-29 Agustus 2014).
  3. Daerah Penyangga. Dalam konteks pengembangan daerah penyangga, dan dengan menggunakan pendekatan lansekap, di sekitar SM Barumun, maka dapat diidentifikasi berbagai pola penggunaan lahan, antara lain hutan produksi, hutan lindung, areal penggunaan lain yang dapat berupa kebun campur, ladang, berbagai sistem agroforestry, dan sebagainya. Sebanyak 54 desa yang berada di daerah penyangga suaka ini, yang terdiri dari 4 desa (Kabupaten Tapsel), 12 desa (Kab. Padang Lawas), 27 desa (Kab. Padang Lawas Utara), dan 11 desa (Kota Sidempuan). Skema Hkm, HD. HTR sementara ini baru dapat diterapkan di kawasan HP dan HL. Dalam kasus khusus, dapat diterapkan di Hutan Produksi Konversi (catatan: kasus Hutan Desa di Sorong Selatan).
  4. Kolaborasi Multipihak. Berdasarkan pendekatan lansekap, kita juga bisa mengidentifikasi para mitra yang berpotensi diajak kerjasama, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, LSM, pihak swasta, dan sebagainya. Misalnya, di sekitar SM Barumun telah aktif sebuah lembaga Perkumpulan Biksu Budha, dengan nama Yayasan Bodhicita Mandala Medan, yang mengembangkan ekowisata. Kawasan ini juga berpotensi untuk didukung berbagai lembaga donor atau skema pendanaan, seperti TFCA, atas dasar nilai konservasi dan dukungan para pihak yang sudah ada saat ini. Yang telah aktif selama ini terkait dengan konservasi harimau adalah Forum Harimaukita, yang anggotanya terdiri dari individu-individu yang aktif bekerja untuk konservasi harimau.

b.   SM Rimbang Baling-BBKSDA Riau
  1. Pendekatan Lansekap. SM Rimbang Baling seluas 136.000 Ha, merupakan inti dari Lansekap Konservasi Harimau Bukit Rimbang Baling. Sedangkan total  luas lansekapnya sekitar 439.500 Ha. Berdasarkan survai WWF, terdapat 25 individu harimau. Suaka ini menarik karena bentuknya yang kompak membulat dan sampai dengan saat ini dalam kondisi relatif tidak mengalami kerusakan. 
  2. Nilai Konservasi dan Daerah Aliran Sungai. Merupakan salah satu kantung habitat harimau terpenting di Sumatera bagian tengah. Berdasarkan survai WWF, terdapat 25 individu harimau. WWF juga baru membangun Stasiun Lapangan Sungai Sebayang, di Desa Tanjung Belit, Kec.Kampar Kiri Hulu. Selain habitat harimau Sumatera, SM Rimbang Baling penting secara tata air karena merupakan hulu Sub DAS Kampar Kiri, DAS Kampar. DAS Kampar juga termasuk klasifikasi DAS Kritis, antara lain dengan menjaga wilayah hulunya di kawasan suaka ini.
  3. Daerah Penyangga. Daerah penyangga di sekitar SM Rimbang Baling adalah kompleks Hutan Produksi, Hutan Lindung Terbatas,  Hutan Lindung (termasuk yang berada di wilayah  Sumatera Barat). Apabila kawasan HP belum ada izin dari pihak lain, dan apabila masyarakat memerlukan lahan, dapat megajukan skema hutan kemasyarakatan (Hkm) atau Hutan Desa kepada Menteri Kehutanan, melalui Dit Bina Perhutanan Sosial. Pengembangan daerah penyangga di kawasan ini perlu dilakukan melalui mekanisme pelibatan masyarakat adat di sekitarya. Pembelajaran dari pola “Tiga Pilar” di TWA Ruteng, mungkin dapat diujicobakan di SM Rimbang Baling (catatan : baca konsep Tiga Pilar di www.konservasiwiratno.blogspot.com).
  4. Kolaborasi Multipihak. WWF Riau Program merupakan salah satu mitra kunci, di samping Forum Harimaukita. Sedangkan masyarakat yang potensial menjadi mitra adalah desa-desa adat di sekitar kawasan ini. Sekitar empat komunitas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Riau berada dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, yaitu ; Kekhalifahan Batu Sanggan (terdiri 8 desa ), Kekhalifahan Ludai (terdiri 13 desa), Kekhalifahan Ujung Bukit ( terdiri 4 desa) dan Kekhalifahan Kuntu (terdiri 4 desa) secara administratif berada di Kabupaten Kampar (WWF, 2012). Masyarakat ini merupakan mitra utama dalam konsep KPHK yang dikelola multipihak, maka mereka perlu dilibatkan dalam setiap tahapan kelola suaka alam ini. Salah satu aktivitas kunci adalah bagaimana memastikan tata batas kawasan dilakukan secara benar dan partisipatif melibatkan tokoh-tokoh adat setempat. Termasuk juga bagaimana menjaga kawasan ini tetap lestari, sekaligus dapat memberikan manfaat nyata bagi dan bersama masyarakat.

4.       Visi Pemberdayaan
Mempertimbangkan berbagai persoalan di kawasan hutan, termasuk di wilayah KPH baik di KPH Produksi, KPH Lindung, dan KPH Konservasi, maka sangat penting untuk menetapkan visi pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan KPH. Visi untuk pemberdayaan masyarakat sebaiknya memposisikan masyarakat sebagai bagian dari solusi kelola KPH. Sebaiknya Visi dibangun berdasarkan suatu kesadaran dan pemahaman bersama bahwa masyarakat diposisikan sebagai “subyek” bukan “obyek”. Sebagai “subyek”. Maka masyarakat harus dilibatan sejak dari perencanaan. Bahkan dimulai dari identifikasi masalah-masalah, sebagai bahan dari perencanaan.

Sebagai subyek, masyarakat menjadi bagian dari solusi persoalan-persoalan di KPH. Masyarakat menjadi bagian dari pihak yang aktif (sejak awal) menyelesaikan persoalan yang berkembang di tingkat masyarakat. Persoalan yang kemiskinan, konflik satwa liar-masyarakat, perambahan-dengan berbagai motifnya, illegal logging, perburuan satwa, tanah longsor, dan sebagainya.

Masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar KPHK, dengan berbagai aktivitas produksinya, bukan kita anggap sebagai masalah. Mereka justru sebagai “asset” dan mitra Kepala KPH untuk menyelesaikan “core problem”nya. Maka, identifikasi “core problem” di KPH menjadi salah satu elemen kunci dan titik awal. Kalau “core problem”nya adalah kemiskinan yang disebabkan banyak faktor, antara lain sempitnya penguasaan lahan atau bahkan tuna lahan, maka solusinya juga akan berbeda bila penyebabnya faktor lain. Misalnya masyarakat yang masuk dan melakukan pengelolaan lahan karena didukung pemodal.  Maka, diusulkan visi pemberdayaan masyarakat di KPH, termasuk KPHK : “Masyarakat sebagai Bagian dari Solusi” kelola KPHK.

5.       Opsi Solusi
Pemberdayaan masyarakat di KPH (K) tidak dapat dilepaskan dari tipologi masyarakat tersebut. Di bawah ini, upaya mengelompokkan atau membuat tipologi masyarakat di dalam KPH dan tawaran opsi solusinya.

Tipologi
Opsi Solusi dan Model Pemberdayaan
1.    Masyarakat yang telah lama bermukim secara turun temurun, di dalam kawasan hutan

Ditetapkan dalam RPHJP sebagai enclave, ditetapkan sebagai zona pemukiman dan pemanfaatan tradisional; pemberdayaan berbasis potensi lokal, termasuk model pemasaran dan sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai tambahnya, menjaga kontinyuitas produksi
2.    Masyarakat pendatang yang bermotif ekonomi, lapar lahan

Diusulkan skema Hkm, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat di daerah penyangga (HL/HP), dan dilakukan pendampingan dalam pengusulan izin di tingkat Menhut dan bupati/gubernur, serta pengembangan HHBK dan Jasling
3.    Masyarakat pendatang, miskin, yang sengaja merambah yang didukung oleh cukong atau pemodal

Masyarakat pendatang miskin diberdayakan melalui berbagai skema yang tepat (Hkm,HD, HTR Kemitraan di daerah penyangga HL/HP); penegakan hukum harus konsisten dilakukan terhadap cukong atau pemodal; kawasan disita, tanaman perambahan dimusnahkan,  dan restorasi dilakukan
4. Pendudukan kawasan oleh individu dan atau pihak swasta yang bermotifkan semata-mata kepentingan ekonomi komersial
Penegakan hukum sebagai “shock terapy” setelah dilakukan peringatan dan pembinaan; tanaman di areal perambahan dimusnahkan, dilanjutkan dengan pemulihan ekosistem dengan pola penjagaan partisipatif
5. Tumbuhnya desa-desa atau kecamatan baru yang membangun sarana dan prasarana, fasos, dan fasum berskala cukup besar dan telah merubah bentang alam
Diusulkan dienclave melalui Zona Khusus, revisi tata ruang kabupaten; masyarakat ditawarkan skema kemitraan untuk pemberdayaan; kerjasama dengan dana Pemkab dengan memadukan kegiatan di SKPD, penjajagan kerjasama dengan dana dari CSR dan sebagainya

6.       KPHL sebagai Tempat Pembelajaran
Dalam lima tahun ke depan, Ditjen BPDASPS mendapatkan mandat untuk fokus pada KPHL. Pengembangan Hkm, HD diprioritaskan dilakukan di kabupaten atau provinsi yang memiliki KPHL. Dari 26 KPHP Model di lingkup Regional I Sumatera, dengan total luas 2.755.391 hektar,  yang dievaluasi oleh Direktorat WP3H, KPHP Register 47 Way Terusan, Kabupaten Lampung Tengah, dinilai “sangat baik”. Sementara itu, dari 15 KPHL Model di lingkup Regional I  Sumatera, dengan total luas 1.536.493 hektar,  yang dievaluasi oleh Direktorat WP3H, KPHP Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumbar, dinilai “sangat baik”.

Walaupun masih dalam proses pembangunan,   KPHL Sijunjung ini dapat mulai dipertimbangkan untuk dijadikan “learning center” atau tempat pembelajaran bagi pengelola KPHL atau KPHK lainnya di regional Sumatera atau bahkan dari pulau-pulau lainnya. Pengelola KPHL ini menetapkan visinya yang jelas dan tegas tentang posisi masyarakat, perencanaan model pemberdayaan, sosialiasi dan komunikasi intensif lintas SKPD. Di kedua KPHL ini, masyarakat diposisikan sebagai bagian dari solusi persoalan di dalam areal KPHL. Hampir di seluruh Sumatera Barat, visi pembangunan kehutanan didorong ke fokus pemberdayaan masyarakat, ke Community Based Forest Management (CBFM).

Strategi tersebut akhirnya dapat diterima semua pihak dan mendapatkan dukungan konkrit dari Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten. Dukungan dan kerjasama dengan universitas lokal, dan lain sebagainya. Termasuk alokasi APBD Kabupaten Sijunjung untuk 2015 yang dialokasikan untuk mendukung KPHL Sinjunjung, merupakan bukti dari menguatnya leadership dan tepatnya pola-pola yang dikembangkan yang diwujudkan dalam dokumen RPHJP. Leadership menjadi faktor kunci, sebagaimana ditunjukkan performanya oleh Kepala KPHL Rinjani Barat, dalam melakukan koordinasi, kerjasama dan komunikasi lintas sektor. ***

*) Disampaikan pada Rakornis PHKA, Cisarua 2 September 2014
-----------------------------------------------------
Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan.
Terima kasih dan penghargaan kepada Bpk Ir. Sonny Partono, MM., Dirjen PHKA, Ir. Hartono, MSc-Direktur KKBHL,  Dr.Bambang Novianto W, Sekditjen PHKA,  Ir.Bambang Dahono, MM, Dir.KKH. yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk berbagi dan mendiskusikan berbagai persoalan kawasan konservasi pada Rakernis Ditjen PHKA 2014.  Makalah ini tidak dapat selesai tanpa dukungan pemikiran, komunikasi, dan kerjasama dari banyak pihak, antara lain: Hariyawan Agung Wahyudi dan Munawar Kholis-dari Forum Harimaukita, Dr.Sunarto (pakar harimau, WWF), Subhan dan Fitri, Staf BBKSDA Sumatera Utara, Ir. John Kennedy-Kepala Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Ir.Kemal Amas MSc., Kepala Balai Besar KSDA Riau,  Sdr.Nurman Hakim-GIS Subdit Pemolaan yang menyiapkan data spasial lansekap (saat ini sebagai karyasiswa S2 Perencanaan  Wilayah IPB, staf Subdit Pemolaan dan Pengembangan, Dit KKBHL), Suer Suryadi-aktivis konservas dan hukum lingkungan; Sapoan, SP.M.MA-Kepala BPDAS Asahan Barumun; Ahmad Syofyan, SE.M.Si-Kepala BPDAS Wampu Sei Ular,  Dr. Hotmauli Sianturi, MSc For.-Kepala BPDAS Indragiri Rokan. Ratna Hendratmoko dan Tim di Bagian Perencanaan dan Evaluasi, Sekditjen. “Verba Volant Scripta Manent”. Allah S.W.T yang akan membalas budi baik dan keikhlasan tokoh-tokoh dan pekerja konservasi yang dengan suka rela berbagi pengetahuan dan pengalamannya yang berharga ini.