"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

04 November 2015

Co management and Livelihood: Challenges and Opportunities


“Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only insofar as trees can serve the needs of people”
(Westoby, 1967).

Overview
It is important to have common understanding that forest is not only trees or habitat of wildlife. In Indonesia, or mostly in Asia, Africa, and Latin America, if we talk about forest as an ecosystem or landscape, we have to include  communities living inside or nearby forest area or event for those who live far away but their livelihood, their food, health, and quality of life depend upon forest resources and its environmental services. Timber, water supply for consumption, agriculture, and estate, water balance, micro climate; prevention from erosion, landslide, the role of pollination processes, non timber forest products such as rattan, honey, medicinal plants, materials for roof, clothing, housing, canoes, ropes; river system in the forest are part of important transportation system, and so on. More than 2.4 billion people or 40 percent of people live in less developed countries still used firewood for cooking (State of the World’s Forest 2014).

04 September 2015

Putting 'Spirit' into Your Work

Apakah kita mampu menanamkan “spirit” pada setiap pekerjaan kita? Mengapa penting kita memberikan “spirit” pada pekerjaan kita? Kita seringkali merasakan bedanya pekerjaan yang dilakukan oleh staf dengan serius, penuh semangat, atau dikerjakan hanya untuk memenuhi tugas atau perintah atasan. Dikerjakan sesuai dengan “arahan” dari atasannya - tidak kurang dan tidak lebih.

Demikian pula ketika harus melakukan pekerjaan yang langsung di lapangan. Apakah itu ke hutan, menemui masyarakat, melakukan kegiatan di lapangan bersama dengan masyarakat, menghadapi masalah yang terjadi, menyiapkan laporan hasil kerjanya. Semua itu sebenarnya memerlukan proses pengamatan langsung, pemahaman, pemaknaan, interpretasi. Mencari tahu, “pesan” apa kira-kira yang disampaikan oleh “Yang Punya Kehidupan” kepada kita dengan hasil temuan atau dengan semua hal yang muncul ketika berkunjung dan mendalami persoalan tersebut. Banyak hal ternyata tidak cukup dijelaskan melalui laporan tertulis, kalau kita hanya menuliskan apa yang nampak atau seolah-olah muncul  yang tertangkap oleh panca indera kita. Mungkin juga karena di lapangan, banyak sekali “frekuensi” yang tidak bisa atau tidak mampu kita tangkap. “Frekuensi” kebenaran, “frekuensi” penanda penyebab terjadinya sesuatu, “frekuensi” yang menjadi jawaban dari persoalan yang mengemuka, dan masih banyak “frekuensi” lainnya, bertebaran yang juga akan membuat kita kebingunan atau terjebak pada interpretasi yang salah tentang apa yang sebenarnya terjadi.

25 Agustus 2015

Smart Invesment for Protected Areas Management in Indonesia

Judul artikel kali ini memang dibuat dalam bahasa inggris, dengan tujuan agar lebih menggigit, lebih menimbulkan banyak tanda tanya. Misalnya, soal ‘Smart Investment’. Memangnya selama ini bagaimana investasi dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia? Tidak ‘smart’? Tidak fokus? Selalu terjebak atau dijebak sesuatu yang menimbulkan opini publik bahwa mengelola kawasan konservasi hanya mengurusi masalah illegal logging, perambahan, kebakaran, perburuan liar, perdagangan satwa, dan semua hal yang menimbulkan kesan negatif? Media masih lebih menyukai mempublikasikan hal-hal yang berbau negatif: bad news is good news. Kepala Balai (Besar) Taman Nasional dan Konservasi Sumberdaya Alam seringkali menjadi bulan-bulanan pemberitaan yang berkisar dari isu-isu negatif tersebut, yang belum tentu disebabkan oleh faktor internal organisasi pengelola kawasan konservasi.
Situasi di atas justru menjadi tantangan yang harus mampu dijawab, disikapi dengan positif, disertai dengan inovasi dan terobosan. Namun demikian, untuk dapat melakukan inovasi dan terobosan yang belum tentu ada payung regulasinya, diperlukan keberanian pengelola di lapangan, yang juga didukung leadership yang juga memiliki kemampuan dan kemauan melakukan berbagai bentuk inovasi di tingkat pusat. Pusat memfasilitasi berbagai bentuk pembelajaran dan inovasi dari lapangan tersebut, untuk disebarluaskan dan kalau memang diperlukan, didukung dengan anggaran atau regulasi yang memadai.

18 Mei 2015

Menemukan dan Menguji Strategi dan Terobosan Penyelesaian Perambahan di Kawasan Konservasi

Tidak Ada Solusi Tunggal
Tidak ada solusi tunggal untuk menyelesaikan berbagai persoalan pengelolaan kawasan konservasi. Solusi tidak terbatas persoalan teknis dan legal formal semata-mata. Solusi akan sangat bervariasi, dinamis, multidimensional, unpredictable, sangat local specificdan melampaui berbagai scientific approach. Solusi seringkali didasarkan pada asumsi, prediksi, atau perkiraan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Solusi meleset, dana terbakar habis, perambahan masih saja ada di lapangan. Di Jakarta, tidak ada tim khusus yang ditugasi hanya untuk mengawal penyelesaian perambahan. Semua sibuk dengan DIPA’-nya masing-masing. Pada tahun 2014, luas open area yang diduga kuat sebagai perambahan di kawasan konservasi terrestrial sudah mencapai besaran ± 2,7 juta hektar atau 12,2% dari total luas kawasan konservasi.

Reposisi peran Pusat adalah sangat strategis untuk memfasilitasi dialog lintas UPT (TN dan KSDA) yang telah berhasil maupun yang gagal dalam menyelesaikan persoalan kelola kawasan konservasi. Policy dialog yang berdasarkan fakta-fakta lapangan akan membantu proses saling belajar di antara UPT, sehingga formulasi new policy, atau new direction benar-benar berdasarkan pembelajaran dari lapangan, bukan atas dasar asumsi atau “pendapat” pakar yang seringkali bias teori. Keterlibatan LSM mitra UPT sangat strategis dalam membantu menjelaskan berbagai solusi dari persoalan-persoalan yang dihadapi UPT.

24 Maret 2015

Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

Oleh: M. Saparis Soedarjanto*) dan Yumi Lestari **)

Bentanglahan Karst
Mengelola bentanglahan karst tidak bisa menggunakan pendekatan konvensional seperti halnya daerah vulkan kwarter dan gambut yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia. Menurut Adji, dkk (1999), karst merupakan bentanglahan yang unik dan dicirikan oleh topografi eksokarst seperti lembah karst, doline (telaga/danau), uvala (gabungan beberapa doline namun tertutup), polje (seperti uvala, namun ukurannya sangat besar), kerucut karst dan berkembangnya sistem drainase bawah permukaan yang jauh
lebih dominan dibandingkan sistem aliran permukaan. Bentanglahan karst terbentuk pada daerah dengan batuan penyusun mudah larut yaitu Kalsit (CaCO3) dan Dolomit (CaMgCO3(2)), memiliki relief yang khas, alur sungai tidak teratur, aliran sungai secara tiba-tiba masuk ke dalam tanah dan meninggalkan lembah kering dan muncul di tempat lain sebagai mata air yang besar. 

Selengkapnya, silahkan klik pada tautan berikut: https://id.scribd.com/doc/259781061/Pengelolaan-Bentang-Alam-Karst-dari-Perpektif-Kehutanan

-----
*) Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango, Gorontalo
**) Balai Pengelolaan DAS Ketahun, Bengkulu

16 Maret 2015

Mengurus Hutan dengan Jalan Damai dan Beradab: Masukan untuk Membangun KPH Konservasi

 “Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs of the people”
(Jack Westoby, 1987)

Fakta
a.  Kawasan hutan, kawasan konservasi (KK) bukan “kertas putih”. Interaksi masyarakat setempat ke dalam kawasan hutan dan KK, pada berbagai tingkatan dan dampaknya harus dipertimbangkan dalam pengelolaan.
b.  Banyak KK yang tidak dikelola di tingkat tapak dalam waktu yang lama, kecuali hanya patroli rutin dan apabila ketemu masalah dilakukan tindakan sepihak (menangkap, menyita, memusnahkan barang bukti). Hal ini menimbulkan citra bahwa pengelola KK cenderung “melarang” yang menimbulkan ketakutan. Semua serba dilarang, namun di sisi lain terjadi “transaksi” yang dilakukan oleh “oknum” pengelola KK.
c.  Akibat tidak dikelolanya KK dalam waktu yang lama, maka perambahan, pendudukan, klaim lahan, dan illegal logging menjadi semakin tidak dapat diselesaikan karena skalanya yang membesar dan masif (sebagai contoh: di TWA Holiday Resort, SM Karang Gading-Sumut; SM Balai Raja-Riau; dan perambahan kopi di TNBBS-Lampung).