"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

18 Mei 2015

Menemukan dan Menguji Strategi dan Terobosan Penyelesaian Perambahan di Kawasan Konservasi

Tidak Ada Solusi Tunggal
Tidak ada solusi tunggal untuk menyelesaikan berbagai persoalan pengelolaan kawasan konservasi. Solusi tidak terbatas persoalan teknis dan legal formal semata-mata. Solusi akan sangat bervariasi, dinamis, multidimensional, unpredictable, sangat local specificdan melampaui berbagai scientific approach. Solusi seringkali didasarkan pada asumsi, prediksi, atau perkiraan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Solusi meleset, dana terbakar habis, perambahan masih saja ada di lapangan. Di Jakarta, tidak ada tim khusus yang ditugasi hanya untuk mengawal penyelesaian perambahan. Semua sibuk dengan DIPA’-nya masing-masing. Pada tahun 2014, luas open area yang diduga kuat sebagai perambahan di kawasan konservasi terrestrial sudah mencapai besaran ± 2,7 juta hektar atau 12,2% dari total luas kawasan konservasi.

Reposisi peran Pusat adalah sangat strategis untuk memfasilitasi dialog lintas UPT (TN dan KSDA) yang telah berhasil maupun yang gagal dalam menyelesaikan persoalan kelola kawasan konservasi. Policy dialog yang berdasarkan fakta-fakta lapangan akan membantu proses saling belajar di antara UPT, sehingga formulasi new policy, atau new direction benar-benar berdasarkan pembelajaran dari lapangan, bukan atas dasar asumsi atau “pendapat” pakar yang seringkali bias teori. Keterlibatan LSM mitra UPT sangat strategis dalam membantu menjelaskan berbagai solusi dari persoalan-persoalan yang dihadapi UPT.

Temukan Core Problemnya
Solusi yang efektif sangat bergantung pada seberapa tepatnya kita menemukan core problem-nya, bukan sympton atau gejalanya. Hal ini dapat dilakukan analisis sejarah  atau time series approach, FGD dengan staf senior atau bahkan yang sudah pensiun untuk menggali tacit knowledge mereka. Sehingga dapat digambarkan hubungan dinamis-rumit antara masyarakat dengan kawasan konservasi, masyarakat dengan staf lapangan, masyarakat dengan pemodal, pengumpul, middle man, dan berbagai jaringan ke pasar lokal, regional, dan global. Untuk dapat mengidentifikasi dan menetapkan core problem, perlu dibentuk tim khusus  yang bersih dari keterlibatan-nya dengan persoalan yang sedang dihadapi.


Selanjutnya tim khusus ini lebih banyak bekerja secara intelijen’. Menjadi tim operasi senyap yang mampu memetakan sisik melik (baca: detil kesalingterhubungan antar pemain, pemodal, kordinator lapangan, pekerja, pem-back up, baik dari kalangan sipil maupun militer, dan sebagainya). Pada umumnya, mekanisme seperti ini jarang dilakukan oleh manajemen. Maka, data dan informasi tentang peta persoalan bisa sama sekali tidak ada atau ada namun dimanipulasi, sehingga operasi bisa salah sasaran dan bahkan menjaidi bumerang bagi tim penegakan hukum yang sedang bekerja.

Fenomena Fatigue
Fenomena ini sering kali menghinggapi staf dan seluruh tim penegakan hukum. Kelelahan yang berulang-ulang yang berlangsung bertahun-tahun karena persoalan perambahan yang tidak pernah selesai. Di banyak kasus di lingkup Asia, konon persoalan perambahan di kawasan konservasi bisa diselesaikan dengan tuntas 10-15 tahun dan bahkan melewati angka 15 tahun. Di Indonesia, waktu 15 tahun bisa terjadi pergantian 5 kepala balai suatu UPT. Tanpa jaminan keberlanjutan penanganan persoalan perambahan, maka akan terjadi situasi yang saya sebut sebagai reinventing the wheel’ kembali ke titik nol atau bahkan titik minus. Perambahan semakin meluas, staf tidak berani masuk ke lapangan.
Kasus Besitang di Taman Nasional Gunung Leuser menunjukkan fenomena itu. Sudah 15 tahun sejak persoalan pendudukan warga eks pengungsi Aceh di Besitang, sampai dengan saat ini belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Upaya yang penulis lakukan 2005-2007, kandas setelah 4 tahun kemudian tidak ada keberlanjutan penegakan hukum dan penjagaan day-to-day di lapangan (silahkan baca: Tersesat di Jalan yang Benar 1000 Hari Mengelola Leuser oleh Wiratno dkk - UNESCO, 2013).

Network Penegak Hukum
Di dalam jejaring ini harus dibangun dan dipelihara komunikasi yang asertif, termasuk di dalamnya adalah rencana operasi bersama, pelaksanaan operasi, tangkap tangan, pengamanan barang bukti, gelar perkara, pengawalan ketika proses persidangan, sampai putusan pengadilan. Jejaring ini harus dikawal dan disediakan pendanaannya untuk mendukung seluruh komunikasi, kerja bareng, dan hal-hal non teknis lainnya. Komunikasi informal sangat penting karena akan mampu mencairkan kebekuan komunikasi yang biasanya bersifat sangat legal-formal.

Polres dan Polda misalnya, perlu tahu apa implikasi suatu kawasan konservasi ditetapkan sebagai world heritage - bukan sekedar kawasan konservasi biasa. Hal-hal seperti ini  akan menaikkan ‘nilai kawasan konservasi tersebut yang dampak dari gagalnya penyelesaian persoalan dapat mendunia dan dibahas dalam sidang-sidang World Heritage, yang pasti cukup mempermalukan bangsa di forum global. Seperti kondisi TRHS saat ini yang masuk daftar world heritage yang  terancam (endangered list) sejak Sidang ke 35 World Heritage di Paris, 19-29 Juni 2011.  Penulis sempat menjadi delegasi di World Heritage Convention ke-33 di Sevilla Spanyol tahun 2009 dan Sidang ke-34 di Brasilia – Brazil tahun 2010, yang pada saat itu delegasi Indonesia masih mampu mempertahankan argumentasi agar TRHS tidak dimasukkan ke dalam daftar World Heritage yang terancam tersebut.
Penegakan hukum, penulis yakini, hanya kepada aktor intelektualnya saja. Mereka adalah pemodal yang biasanya memanfaatkan kelompok masyarakat miskin yang tidak punya pilihan kecuali merambah. Para aktor yang di belakang layar inilah yang sebaiknya dijadikan target penegakan hukum. Kelompok masyarakat miskin harus diposisikan sebagai mitra kunci yang akan turut menjaga kawasan konservasi, dengan  pengaturan bersama bagaimana mereka mendapatkan manfaat dari kerjasama penjagaan kawasan tersebut.  

Jaga di Lapangan
Menjaga lapangan adalah ‘obat lama yang telah dilupakan oleh banyak pihak. Yang sekarang dilakukan hanya sekedar patroli kawasan. Kalau ketemu tangkap tangan dilakukan proses hukum tanpa ada keberlanjutan analisis tentang motif dibalik pelanggaran itu. Apa artinya patroli 2-3 hari dan kembali lagi ke kantor resort atau ke kantor seksi wlayah? Pak Keleng Ukur membuktikan dengan jaga di lapangan (beliau tinggal di pondok restorasi Sei Serdang, selama 3 tahun penuh), hutan yang hancur bisa kembali menghijau dan suara satwa liarpun kembali bergema di sana.
Pak Keleng bisa sharing apa rahasianya bisa merubah Sei Serdang menjadi hutan kembali. Pak Keleng adalah staf biasa dengan kerja yang luar biasa (paling tidak di mata saya dan banyak sahabat yang mengamati proses yang berkembang di Sei Serdang, dan saat ini sedang diupayakan pendekatan yang simpatik di wilayah Pantai Buaya). Sekali lagi Pak Keleng bisa membuktikan bahwa pendekatan yang dilakukannya hampir setengah tahun dapat mulai membangun suasana yang kondusif di Pantai Buaya.
Ke depan menjaga kawasan konservasi di lapangan harus dilakukan secara bersama dengan berbagai kelompok masyarakat desa di pinggir kawasan kosnervasi tersebut, dengan berbagai bentuk kompensasi yang bisa dinegosiasikan dan disepakati bersama. 

People Center
People Center adalah cara pandang yang menempatkan  masyarakat sebagai subyek dalam kepengurusan hutan. Dalam kelola kawasan konservasi, masyarakat di sekitar kawasan hutan, atau bahkan yang tinggal di dalam hutan (misalnya: Suku Anak Dalam dan masyarakat Mentawai di TN Siberut), dan bahkan kelompok minoritas yang hidupnya masih sangat bergantung pada hutan, hasil hutan, sistem sungai sebagai alat transportasi utama, dengan segala kerumitan ekosistem di dalamnya, adalah mitra utama para pengelola hutan, apakah itu HPH, HTI, taman nasional, KSDA, dan banyak pihak lainnya. Mereka harus dilibatkan dalam seluruh proses kelola hutan itu.
Hutan bukan hanya kumpulan pohon-pohon sebagaimana scientific forestry mendefisikannya, yang (hanya berorientasi) menghasilkan kayu dan seterusnya yang telah digugat oleh banyak pakar. Hal ini dapat dibaca dalam buku :”Kembali ke Jalan Lurus, Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktik Kehutanan Indonesia” yang diterbitkan oleh FORCI Development (tahun 2012), khususnya hal.661-690. Dengan menggunakan pendekatan people center’, maka akan merubah seluruh model perencanaan, yang akan beorientasi pada pelibatan mereka (baca : masyarakat desa-desa di dekat kawasan konservasi) sejak dari awal. Arogansi kekuasaan yang seolah-olah menjadikan kepala balai TN/KSDA beserta jajarannya sampai ke tingkat seksi wilayah, dan resort adalah penguasa kawasan konservasi, harus ditinggalkan. Bangun komunikasi asertif dengan masyarakat karena mereka bagian dari solusi kelola kawasan konservasi. Mereka adalah mitra utama pengelola kawasan konservasi.

Agenda Bersama
Agenda bersama adalah strategi yang mendorong agar persoalan yang timbul di kawasan konservasi dijadikan kepentingan bersama. Pihak pemerintah daerah, baik di kabupaten dan provinsi adalah mitra utama untuk dibangun kesepahaman dan series of dialogues. Logikanya sangat sederhana; Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi yang seringkali dianggap lebih sebagai penganggu atau musuh adalah masyarakat yang secara administratif adalah warga atau penduduk kabupaten tersebut. Maka tidak ada jalan lain, apabila terjadi berbagai persoalan menyangkut masyarakat, pengelola kawasan konservasi walaupun merupakan UPT dari pusat, tetap harus duduk bersama. Mantra-nya adalah duduk bersama dengan semua SKPD untuk menggelar, bukan saja persoalan kawasan konservasi tetapi juga harus bisa menawarkan berbagai potensi yang dapat dikelola dan dikembangkan dalam rangka meningkatkan perekonomi masyarakat desa-desa di pinggir hutan tersebut. Masukkan berbagai persoalan dan potensi ke agenda Rakorbangda, mulai dari desa, kecamatan, kabupaten, provinsi.
Pengelola kawasan konservasi harusnya  meleburkan  diri ke dalam skema perencanaan pembangunan yang sudah ada. Mewarnai dan memberikan masukan, sehingga secara bertahap ‘agenda bersama dapat dibangun, dan solusi akan menemukan momentumnya tanpa harus memunculkan konflik sosial yang tidak perlu. Spirit konservasi adalah mengajak, membujuk, dan merayu agar secara bertahap para pihak menyadari pentingnya menjaga hutan untuk kepentingan jangka panjang mereka sendiri, kebutuhan akan air bersih, air pengairan untuk sawah, udara bersih, keseimbangan hulu-hilir, iklim mikro yang sangat penting untuk keseimbangan siklus panen, tata air, kesuburan tanah pertanian, kebun, fungsinya sebagai habitat berbagai satwa liar, dan lain sebagainya. 

Dialog Multipihak
Dialog yang seperti ini adalah upaya untuk keluar dari kebuntuan solusi perambahan. Identifikasi problem, dan solusi yang disusun berdasarkan persepsi sepihak oleh balai (besar) TN/KSDA tidaklah mencukupi. Banyak hal harus dikonfirmasi ke beberapa pihak, sehingga peta lengkap tentang sejarah perambahan, perubahan peta pemain, trend ke depan, dapat digambarkan secara lengkap berdasarkan data dan informasi yang cukup valid. Dalam kondisi tertentu, dialog bahkan dikembangkan dengan melibatkan para parambah, tokoh-tokoh di balik layar, dan sebagainya. Namun hal ini hanya bisa dilakukan apabila sudah dapat dibangun suasana yang kondusif dan rasa saling percaya (mutual trust) di antara pengelola dengan para perambah. Pendekatan ini juga hanya bisa dilakukan bila penegakan hukum dihentikan terlebih dulu, mulai pembicaraan dengan semua perambah, jangan ada satupun yang ketinggalan. Biaya untuk proses dialog yang mungkin memerlukan waktu yang lama harus disiapkan dalam DIPA pengelola. Biasanya diperlukan seorang atau beberapa fasilitator yang mengawal proses dan dibangunnya suasana yang kondusif agar mulai tumbuh rasa percaya bahwa persoalan mereka akan diselesaikan dengan cara-cara yang baik, yang tidak melukai perasaan, dan menghargai mereka sebagai manusia, bukan sekedar dicap sebagai perambah sebagai kelompok pelanggar hukum. Mereka perlu diposisikan sebagai manusia yang bisa diajak berunding.
Kesepakatan-kesepakatan tertulis tentang tahapan solusi harus difahami dan ditaati secara bersama serta menjadi modal untuk melakukan langkah-langkah konkrit ke depan, secara bersama-sama, dan tidak ada satu pihakpun yang berkhianat.
Pada tahap ini diperlukan kelonggaran, keterbukaan hati semua pihak, membangun komunikasi asertif dan kesefahaman tentang solusi yang baik dan damai. Tidak terjebak pada pendekatan legal formal dan penegakan hukum yang terbukti tidak pernah memberikan solusi tuntas terhadap core problem-nya. Kelola kawasan konservasi masuk wilayah-wilayah yang lebih luas terkait isu-isu pembangunan pedesaan dalam arti luas, seperti persoalan keterpencilan, minimnya infrastruktur dasar pedesaan, kemiskinan, keberpihakan, kemanusiaan, hak azasi manusia, dan bukan hanya berputar-putar pada isu-isu keragaman hayati, perlindungan satwa, habitat, dan lain sebagainya.  

Peran Pemerintah Daerah
Pemda mempunyai peranan yang sangat penting dalam kelola kawasan konservasi. Apapun kondisi birokrasi dan leadership di suatu kabupaten, membangun komunikasi dan kerjasama dengan pemerintah daerah adalah menjadi kewajiban pengelola kawasan konservasi. Pengelola kawasan harus proaktif datang dan beranjangsana, duduk bersama, dan bahkan aktif mengikuti irama kerja pemerintah daerah.
Menyampaikan persoalan-persoalan kelola kawasan konservasi di depan SKPD dan DPRD suatu kabupaten  adalah langkah awal yang sangat simpatik. Mendengarkan pendapat mereka, dan mengintegrasikan sebagian dari perencanaan kelola kawasan dengan rencana kegiatan di SKPD adalah sangat penting agar ada kebersamaan langkah dalam menyelesaikan berbagai persoalan atau dalam mengembangkan banyak potensi kawasan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat desa-desa di tinggir kawasan konservasi tersebut. Termasuk dalam program kerjasama ini adalah pembangunan daerah penyangga kawasan konservasi, yaitu desa-desa yang berbatasan dengan kawasan konservasi, sehingga program-program bersama dapat dilakukan secara terpadu dan sinergis. Bahkan, banyak persoalan yang terjadi dapat dibicarakan dan diprogramkan dalam Program Daerah Penyangga’ tersebut. Solusi persoalan konservasi ditanggung bersama dengan pemerintah daerah, yang memiliki rakyat di sana.

Smart Breakthrough
Smart Breakthrough dapat dilakukan dan harus dapat dilakukan  dengan membangun keterpaduan program lintas Eselon 1 di KemenLHK. Misalnya, apabila di dekat kawasan konservasi  yang dirambah tersebut terdapat kawasan hutan produksi dan atau hutan lindung, maka Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dapat diminta oleh Ditjen Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, agar mengalihkan perambahan yang terjadi dan diberikan hak kelola dalam skema Hutan Kemasyarakatan atau Hutan Desa, dengan jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang. Dengan skema Hutan Kemasyarakatn atau Hutan Desa, mereka legal mengelola suatu kawasan hutan negera, sambil dibebani kewajiban turut serta menjaga kawasan konservasi tersebut dari perambahan pihak lain. Kolaborasi yang saling menguntungkan seperti ini adalah salah satu bentuk smart breakthrough yang secara aturan dimungkinkan.
Berbagai persoalan perambahan yang sangat khusus yang disebabkan oleh konflik politik harus ditangani secara khusus yang melibatkan Menko Kesra dan Menko Polhutkam. Misalnya kasus perambahan di SM Kateri di Kabupaten Malaka - NTT adalah kasus-kasus perambahan kawasan konservasi yang disebabkan oleh persoalan politik di Timor Timur, pada tahun 1999. Solusinya akan sangat berbeda dengan perambahan biasa yang disebabkan faktor kemiskinan. Perambahan di Besitang, TN Gunung Leuser di wilayah kabupaten Langkat, sejak 1999 sebenarnya adalah hasil dari konflik bersenjata di Aceh Timur. Perambah di Besitang adalah warga Aceh Timur (transmigran yang berasal dari Jawa) yang terpaksa melarikan diri dan masuk ke wilayah Besitang di TNGL Kabupaten Langkat  karena terusir dari tempat tinggalnya karena konflik bersenjata di sana. Kasus perambahan ini juga tergolong kasus khusus yang harus ditangani secara khusus pula. Pendekatan melalui Smart Breakthrough’ adalah lebih tepat untuk kasus-kasus khusus seperti ini, bukan dengan penegakan hukum.

-------------------------------------------------------------
*) Bahan akan disampaikan pada Pelatihan Penyelesaian Perambahan di Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan), Hotel Grand Kemang – Jakarta,, 21 Mei 2015.

1 komentar:

  1. Keren Pak! Setiap kata/kalimat yang Pak Wir tulis selalu bermakna dalam dan sarat akan ilmu

    Salam - Rina

    BalasHapus