"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

25 Agustus 2015

Smart Invesment for Protected Areas Management in Indonesia

Judul artikel kali ini memang dibuat dalam bahasa inggris, dengan tujuan agar lebih menggigit, lebih menimbulkan banyak tanda tanya. Misalnya, soal ‘Smart Investment’. Memangnya selama ini bagaimana investasi dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia? Tidak ‘smart’? Tidak fokus? Selalu terjebak atau dijebak sesuatu yang menimbulkan opini publik bahwa mengelola kawasan konservasi hanya mengurusi masalah illegal logging, perambahan, kebakaran, perburuan liar, perdagangan satwa, dan semua hal yang menimbulkan kesan negatif? Media masih lebih menyukai mempublikasikan hal-hal yang berbau negatif: bad news is good news. Kepala Balai (Besar) Taman Nasional dan Konservasi Sumberdaya Alam seringkali menjadi bulan-bulanan pemberitaan yang berkisar dari isu-isu negatif tersebut, yang belum tentu disebabkan oleh faktor internal organisasi pengelola kawasan konservasi.
Situasi di atas justru menjadi tantangan yang harus mampu dijawab, disikapi dengan positif, disertai dengan inovasi dan terobosan. Namun demikian, untuk dapat melakukan inovasi dan terobosan yang belum tentu ada payung regulasinya, diperlukan keberanian pengelola di lapangan, yang juga didukung leadership yang juga memiliki kemampuan dan kemauan melakukan berbagai bentuk inovasi di tingkat pusat. Pusat memfasilitasi berbagai bentuk pembelajaran dan inovasi dari lapangan tersebut, untuk disebarluaskan dan kalau memang diperlukan, didukung dengan anggaran atau regulasi yang memadai.

Tiga contoh inovasi di bawah ini yang penulis sebut sebagai  ‘smart investment’ - investasi yang dilakukan bertujuan untuk menggali potensi terpendam di kawasan konservasi atau mencari solusi dari persoalan ancaman kepunahan.  Smart investment ini mensyarakatkan digunakannya IPTEK. Diterapkannya science and high technology tentu saja tidak dapat dilakukan oleh pengelola kawasan konservasi. Maka dari itu, smart investment mensyaratkan kerjasama dan kolaborasi dengan lembaga penelitian dan pakar di bidangnya. Dan memang itulah yang semestinya dilakukan, kalau kita tidak mau terjebak hanya mengurusi ‘kulit luar’ kawasan konservasi, seperti pembangunan gedung untuk kantor, mobil, dan segala macam sarana prasarana penunjang pengelolaan kawasan konservasi. Atau sebut saja, masalah perambahan yang tidak pernah diselesaikan secara ‘smart’.
Berikut ini adalah pengalaman mengungkap potensi kawasan konservasi di bidang yang terkait dengan penyakit dan obat-obatan modern. Pertama, pengalaman penulis pada tahun 1999-2000, ketika menjadi Kepala Unit KSDA DI Yogyakarta. Bersama dengan enam kelompok tani di penyangga Merapi - saat itu belum menjadi taman nasioanal, kami berusaha melestarikan Vanda tricolor - anggrek pandan endemik Merapi, dari kepunahan akibat perburuan massif di habitatny, serta karena erupsi Merapia. Bahkan pada tahun 2000, sempat dilakukan pembiakan melalui kultur jaringan dengan Litbang Kehutanan di Purwobinangun. Setelah 14 tahun inisiatif tersebut dimulai, sampai dengan saat ini beberapa kelompok pelestari anggrek masih bertahan.

Kedua, pengalaman penulis meneruskan dan mempertajam pelaksanaan program riset anti cancer di TWA Teluk Kupang pada periode 2012-2013 yang upaya awalnya telah dimulai 2009. Program ini dilakukan bekerjasama dengan Dr Agus Triyanto - pakar marine biology dari UNDIP yang didukung seorang staf PEH Balai Besar KSDA NTT yang handal bernama Isai Yusidarta. Ketiga, kajian fitokimia lebih dari 60 jenis tumbuhan berpotensi sebagai obat yang telah diidentifikasi oleh masyarakat lokal di TWA Ruteng pada tahun 2013.  Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Tim dari Bioteknologi-LIPI yang didukung oleh Conservation International Indonesia di TN Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal - Sumatera Utara, tentang pencarian sumber obat baru dapat dilakukan dengan menskiring secara umum mikroba endofitik di TN Batang Gadis terhadap kemampuannya menghasilkan senyawa antibakteri yang diperuntukkan melawan serangan infeksi bakteri Salmonella thypi dan Staphylococcus aureus. Mikroba tersebut ditemukan pada pohon medang, family Lauraceae.

1.    Vanda tricolor vs Kepenuhan Species
Pada tahun 2000, penulis sebagai Kepala Unit KSDA DI Yogyakarta mengembangkan model perencanaan yang berbeda dari arahan ‘Pusat’. Penulis sebut hal ini sebagai Perencanaan Strategis, sebuah perencanaan yang dikonsultasikan kepada publik secara luas untuk mendapatkan masukan. Sebelum ide besar tersebut dilaksanakan, dilakukan dialog intensif antara penulis dengan Kabid Kantor Wilayah Kehutanan Yogyakarta, Ir. R.B.Wiyono dan Ir. Gunawan. Dan akhirnya lahirlah Rencana Strategis Unit KSDA DI Yogyakarta. Sebagian besar bekerja dengan petani, dengan kelompok tani. Seperti breeding rusa timor di Bunder dengan kelompok tani rusa, penyelamatan anggrek Merapi yang dinilai sudah hampir lenyap karena perburuan, serta penyelamatan penyu di Pantai Pandan Simo - Bantul dengan Kelompok Nelayan pimpinan Pak Rudjito.
Bertahun kemudian, sampai dengan saat ini berarti sudah 14 tahun. Berbagai kegiatan konservasi yang melibatkan masyarakat tersebut masih eksis. Salah satunya adalah pelestarian anggrek Merapi, Vanda tricolor, sp. Anggrek pandan yang warnanya kuning sudah punah (komunikasi pribadi dengan Sulistyono, S.Si, M.Si[MS1] [B2]  - aktivis Matalabiogama saat itu, yang penulis jumpai, 23 Juli 2015 di rumah Pak Musimin, Turgo).
 
Koleksi anggrek spesies lereng Merapi sejumlah 70 jenis yang dikumpulkan oleh P Musimin dibantu Sulistyono, S.Si, M.Si  (Foto: Wiratno, 2015)

Bunga Vanda tricolor warna putih, ungu dan hitam, mampu bertahan 1 bulan (Foto: Dini - Kepala SPTN2 Boyolali, 2015)

Penulis dan Sulistyono, S.Si, M.Si, pendamping setia kelompok lebih dari 12 tahun


Persoalan ancaman kepunahan suatu spesies harus dijawab dengan breeding, sekaligus proses penyadaran kepada masyarakat luas oleh masyarakat di sekitar habitat spesies tersebut. Apabila kultur jaringan yang diinisiasi tahun 2000 tersebut dilanjutkan, maka akan lahir ribuan tangkai Vanda tricolor, dan sekaligus menjawab persoalan kepunahan karena over exploitation di habitatnya untuk kepentingan pasar, seperti yang terjadi pada Vanda tricolor yang berwarna kuning tersebut. Yang diperlukan dalah konsistensi kebijakan, dukungan, dan pendampingan kepada kelompok-kelompok pelestari tersebut. Seperti dilakukan terhadap Kelompok Pelestari Anggrek ALAMI di Dusun Turgo. Kelompok dengan ketua Pak Musimin ini didampingi oleh sarjana Biologi UGM sekaligus aktifis lingkungan yang menjadikan kelompok pelestari anggrek ALAMI itu sebagai rumah keduanya, Sulistyono. Memang akan selalu ada local champion yang menentukan keberlanjutan suatu program pelestarian berjangka panjang, apabila pola perencanaannya tepat.

Sulistyono  (2015) menyatakan bahwa permasalahan utama anggrek alam di Merapi adalah status Gunung Merapi yang selalu aktif. Beberapa kali erupsi telah menghancurkan habitat dan mengurangi populasi anggrek di alam. Perbanyakan melalui kultur in-vitro di awal tahun 2000 gagal pada saat aklimatisasi. Kultur ­in-vitro dilakukan lagi pada tahun 2011 dengan bekerja sama dengan anggota Perhimpunan Anggrek Indonesia Yogyakarta dan dihasilkan ‘bayi-bayi’ anggrek yang berjumlah ratusan yang sudah diaklimatisasi di greenhouse di Turgo.

Koleksi anggrek di greenhouse membawa manfaat lain yaitu sebagai tempat studi keragaman anggrek di Merapi. Beberapa mahasiswa dari UGM, UNY, UIN dan INSTIPER Yogyakarta melakuan penelitian anggrek dan magang budidaya anggrek di Kelompok Pelestari Anggrek ALAMI. Sudah dilakukan inisiasi untuk kegiatan ekowisata berbasis anggrek alam di Merapi oleh LSM lokal Yogya yang melibatkan Kelompok Pelestari Anggrek ALAMI dan juga anggota masyarakat sekitar Turgo.

Kerja sama lebih luas dilakukan antara Kelompok Pelestari Anggrek ALAMI, Balai TNGM dan Yayasan Kanopi Indonesia untuk kegiatan Adopsi Anggrek yang telah dimulai pada bulan Maret 2015. Upaya konservasi tidak hanya berbasis konservasi jenis saja namun juga berbasis kawasan dan disinergikan dengan masyarakat di sekitar kawasan. Diperlukan riset-riset dasar yang kolaboratif dengan lembaga penelitian ataupun perguruan tinggi untuk menghimpun data dasar. Data inilah yang menjadi basis untuk menentukan kebijakan dan juga basis untuk menentukan pola kegiatan yang sebaiknya dilakukan oleh pemangku wilayah atau pengelola kawasan konservasi bekerjasama dengan para pihak kunci.

2.    TWA Teluk Kupang : Sponge sebagai Materi Anti Cancer  
Pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya mengatasi masalah. Kelola kawasan konservasi harus mampu mengungkap rahasia di balik keindahan kawasan-kawasan konservasi tersebut. Hanya dengan penguasan IPTEK atau science, dan membangun jejaring kerja kepakaran, maka rahasia yang terpendam di dalam kawasan konservasi itu dapat diungkap secara bertahap. Satu bukti adalah riset sponge sebagai bahan anti kanker yang dimulai pada tahun 2009 - 2010, dimana Tim Peneliti dari Universitas Diponegoro (Ir. Agus Trianto, M.Sc., Ph.D), Universitas Lampung (Prof. Andi Setiawan, Ph.D dan Idam Setiawan, ST.,M.Sc.) dan Universitas Ryusyhu, Jepang (Prof. Kobayashi – Dekan Kimia Bahan Hayati Laut, Prof. Junichi Tanaka dan DR. Arai) bekerjasama dengan BBKSDA NTT.

Tujuan kerjasama adalah mengeksplorasi jenis sponge di TWL Teluk Kupang. Dalam riset ini berhasil dikumpulkan 80 sampel sponge dengan satu jenis di antaranya belum dapat diidentifikasi, yang kemungkinan adalah spesies baru.
Candidaspongia, sp 

Sponge yang kemungkinan merupakan spesies baru

Tahun 2011, menggunakan  sampel sponge dengan tagging K09-02 yang diidentifikasi sebagai Candidaspongia sp yang merupakan endemik perairan Teluk Kupang hasil koleksi tahun 2009 yang dibekukan, mendapatkan ekstrak kasar senyawa yang mampu menghambat sel NBT-T2 (sel kanker kandung kemih tikus putih) dengan lC50 sebesar 0,1m/mL. Pemurnian ekstrak tersebut menghasilkan senyawa Candidaspongiolide beserta dua derivat baru yang sangat kuat menghambat sel kanker dengan IC50 sebesar 37,0; 4,7 dan 19,0 ng/mL (nanogram/mililiter). Keunikan dan potensi Candidaspongiolide tersebut membuat group NCl (National Cancer Institute, AS) terus menerus mengembangkan senyawa tersebut.

Tahun 2012 dilakukan marine culture secara in-situ dan ex-situ untuk memperbanyak sampel stok dari senyawa Candidaspongiolide. Diperoleh kesimpulan bahwa hasil budidaya di Teluk Kupang (in-situ) lebih banyak daripada yang non budidaya (langsung diambil dari alam). Secara ex-situ, di perairan Pulau Panjang Jepara, budidaya tidak berhasil. Hal ini menunjukkan Candidaspongia sp adalah diduga kuat tergolong endemik di TWL Teluk Kupang.

Tahun 2013, dilakukan tiga kegiatan, yaitu : (1) koleksi sampel mikroba simbion di TWA 17 Pulau (11-15 Oktober 2013), dan telah diperoleh 19 sampel sponge yang berbeda jenis pada kedalaman 10-20 meter. Koleksi sampel tersebut digunakan untuk bahan inokulasi mikroba simbion yang bertujuan untuk mendapatkan isolat murni mikroba yang bersimbiose pada sponge. Isolat murni tersebut nantinya akan dikembangkan sebagai bibit kultur massal mikrosimbion dan akan digunakan untuk bahan analisis kandungan  senyawa anti kanker, (2) penyerahan bahan dan peralatan laboratorium dari BBKSDA NTT kepada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP dalam rangka kerjasama eksplorasi sponge di TWL Teluk Kupang sebagai bahan anti kanker, yaitu Malt Extract  Agar (MEA), Malt Extract Broth (MEB), Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Bacto Agar (BA), Peptone, Yeast Extract, Aceton Hexane, Methanol, Ethylacetate, Asam sulfat sebagai bahan laboratorium untuk kultur simbion sponge. Untuk peralatan berupa petri disk, magneting stiring rod, pasteur pipet, filter paper watham, vanilin, rak kultur yang mendukung ekstraksi sponge hasil eksplorasi  di TWL Teluk Kupang, dan (3)  kegiatan lapangan eksplorasi sponge di TWL Teluk Kupang berupa monitoring kultur sponge Candidaspongia sp yang telah dilakukan tahun 2012 di sekitar Dermaga Polair NTT di dalam TWL Teluk Kupang, dengan didukung monitoring parameter perairan berupa suhu, pH, salinitas, nitrat, fosfat, silikat, densitas, dan kenaekaragaman bakteri dan plankton.

Smart Staff-Smart Investment
Menurut Isai Yusidarta (komunikasi pribadi, 23 Juli 2015), dinyatakan bahwa investasi selanjutnya adalah "produksi massal" untuk uji Efikasi in vivo dan uji Pra-klinis sebelum bermuara pada hak paten dan produksi obat. Secara teori produksi massal dilakukan dengan : kultur, rekayasa genetik, semi sintetis dan sintetis total. Kita telah melakukan kultur dengan teknis marikultur secara eksitu di perairan P. Panjang, Jepara (hasilnya mati). Upaya  in-situ (hasilnya tumbuh optimal pada kedalaman 20 m ke bawah dan berarus deras; Marikultur kedalaman 5 m, 10 m dan 15 meter hasilnya kerdil). Sedangkan kultur dengan teknis semi-enclosed system, close system/bioreactor dan jariangan/primmorph belum pernah dilakukan.
Saya sampaikan, kegiatan akhir Mei – awal Juni 2014 dengan biaya BBKSDA NTT, saya dan Dr. Agus telah melakukan penyelaman pada areal marikultur untuk mendapatkan mikrosimbion pada Candidaspongia sp. Mikrosimbion adalah mikroba yang bersimbiosis pada sponge Candidaspongia sp sebagai hostnya, yang mampu menghasilkan senyawa candidaspongiolide dan turunannya. Sewaktu dilakukan kultur potongan Candidaspongia sp pada media tanam yang sudah diberi antibiotik di hotel tempat menginap, hasilnya tumbuh cendawan.
Isai menegaskan bahwa Ekstrak kasarnya mampu menghambat sel NBT-T2 (sel kanker kandung kemih tikus) dengan IC50 sebesar 0.1 μg/mL. Pemurnian ekstrak sponge tersebut menghasilkan senyawa candidaspongiolide beserta dua derivat baru yang sangat kuat menghambat sel kanker dengan IC50 sebesar 37.0, 4.7 dan 19.0 ng/mL (nanogram/mililiter).


Sumber : Isai Yusidarta, 23 Juli 2015.

3.    TWA Ruteng : Uji Fitokimiawi Tumbuhan Obat
Riset S2 dengan tema tumbuhan yang memiliki potensi obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat, telah dilakukan oleh Elisa Iswandono pada tahun 2007. Terdapat minimal 60 jenis tumbuhan yang berkasiat untuk berbagai jenis penyakit. Pada tahun 2013, BBKSDA telah mengirimkan sampel sebanyak 40 jenis tumbuhan dari TWA Ruteng dan 26 jenis tumbuhan dari TWA Camplong ke Laboratorium Farmaka IPB, untuk dilakukan uji fitokimia. Fitokimia merupakan studi mengenai tumbuhan yang berkaitan dengan kandungan senyawa kimia aktif farmakologis. Penelitian dasar ini penting untuk mengetahui khasiat dan kegunaan tumbuhan yang meliputi ekstraksi, isolasi dan skrining fitokimia. Tujuannya untuk mengetahui senyawa kelompok obatnya.

Hasil uji fitokimia tersebut diharapkan dapat dijadikan dasar untuk pengembangan lebih lanjut penangkaran di tingkat masyarakat, sebagai bagian dari pengembangan daerah penyangga dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat sekitar TWA Ruteng. Upaya-upaya pengembangan daerah penyangga ini akan ditempuh melalui pendekatan Tiga Pilar, sehingga peran gereja, dan pemerintah kabupaten dengan SKPD-nya akan semakin jelas dan dapat dipadukan dengan program-program yang dikerjakan oleh BBKSDA NTT.

Secara kimia, tumbuhan mengandung berbagai bahan kimia aktif yang berkhasiat obat. Komponen-komponen tersebut berupa senyawa-senyawa golongan alkaloid, steroid dan triterpenoid, flavonoid dan saponin. Hasil kajian dari Lab Biofarmaka IPB terhadap tumbuhan obat di TWA Ruteng adalah sebagai berikut :

·         Alkaloid pada kegiatan Biofarmaka di TWA Ruteng ditemukan dalam: (1) Kulit kayu dan akar boto (Tabernaemontana sphaerocarpa) yang dalam pengobatan tradisional Manggarai digunakan dalam pengobatan malaria dan juga demam, (2).  Kulit kayu wuhar (Cryptocarya densiflora) yang dalam pengobatan tradisional Manggarai digunakan dalam pengobatan TBC, disentri dan sakit pinggang. Suatu kebetulan yang menakjubkan bahwa orang Manggarai seakan mengerti ada kesamaan manfaat untuk pengobatannya.
·         Steroid pada kegiatan Biofarmaka di TWA Ruteng ditemukan pada 36 sampel atau 90% dari sampel tumbuhan obat kecuali pada kulit kayu redong (Trema orientalis), rebak (Macaranga tanarius), ajang (Toona sureni), garit (Canarium sp).  Banyaknya sampel yang mengandung steroid ini mungkin dalam pengobatan tradisional berdampak pada pereda nyeri atau sakit sehingga memberikan efek perasaan cepat sembuh.
·         Flavonoid merupakan senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Flavonoid pada manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid adalah melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik. Sebanyak 23 dari 40 sampel atau lebih dari 50% sampel mengandung flavonoid.  Beberapa sampel yang mengandung flavomoid adalah kulit kayu puser, waek, kenda lagkok, redong, ndingar, ara, garit, sita; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, mulu, nangker, renggong, ngelong, sandal urat, cangkar, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit; dan akar boto.
·         Kegunaan tanin dalam pengobatan modern adalah sebagai anti septik pada jaringan luka, misalnya luka bakar yaitu dengan cara mengendapkan protein, campuran obat cacing dan anti kanker. Sebanyak 31 dari 40 sampel biofarmaka TWA Ruteng mengandung tanin, yaitu: kulit kayu puser, waek, kenda langkok, redong, ndingar, ara, mulu, garit; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, renggong, ngelong, sandal urat, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit, tepotai, laso ular, ta’i ntala, dan legi.
·         Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luas diantaranya meliputi: immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi, antivirus, anti jamur, dapat membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik, dan efek hypokholesterol. Saponin juga mempunyai sifat bermacam-macam, misalnya: terasa manis, ada yang pahit, dapat berbentuk buih, dapat menstabilkan emulsi, dapat menyebabkan hemolisis. Dalam pemakaiannya saponin bisa dipakai untuk banyak keperluan, misalnya dipakai untuk membuat minuman beralkohol, dalam industri pakaian, kosmetik, membuat obat-obatan, dan dipakai sebagai obat tradisional1. Dalam kegiatan biofarmaka di Ruteng, sebanyak 36 dari 40 sampel atau sebanyak 90% mengandung tanin yang ditemukan dalam kulit kayu puser, lui, waek, redong, ndingar, boto, teno, rebak, wuhar, ara, mulu, ajang, garit, sita; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, cangkar, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit, tepotai, laso ular, ta’i ntala, legi, dan akar boto.

 Potensi Tanaman Obat di TWA Ruteng, Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur
Temuan beragam tumbuhan obat di lantai hutan TWA Ruteng yang lembab,  juga membuktikan bahwa kawasan taman wisata alam ini bukan saja indah, merupakan sumber air bagi kehidupan masyarakat di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur. Ia menjadi bagian dari landscape budaya Manggarai, dan landscape alam, termasuk keragaman hayati, yang sangat penting dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan ummat manusia, bukan saja di NTT tetapi juga bagi kemaslahatan masyarakat Indonesia. 
4.         Manfaat Mikroba dari TN Batang Gadis, Sumatera Utara
TN Batang Gadis, di Kabupaten mandailing Natal, semula hutan lindung yang memiliki potensi tambah emas yang besar. Namun demikian, Bupati Mandailing Natal dan Kepala Dinas Kehutanannya sangat antusias menjadikannya sebagai taman nasional, dan didukung oleh Conservation International Indonesia. Pada masa itu, belum diketahui kandungan mikrobanya, dan akhirnya dilakukan riset oleh LIPI,  Sdri Harmastini I. Sukiman menyampaikan hasilnya dalam uraian berikut ini.


 (Harmastini I. Sukiman, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Jl. Raya Bogor KM 46 Cibinong, Bogor)

Keanekaragaman mikroba endofitik asal Taman Nasional Batang  Gadis, Sumatera Utara sudah berhasil dikumpulkan dan  menghasilkan sejumlah besar koleksi mikroba  diantaranya berkhasiat sebagai anti bakteri.

Koleksi mikroba yang dikumpulkan dari TN Batang Gadis tersebut adalah terdiri dari kapang dan bakteri endofitik .  Mikroba endofitik adalah mikroba yang hidupnya didalam jaringan tanaman, khususnya xylem dan phloem, dan mempunyai hubungan khusus yang dapat bersifat saling menguntungkan dan pathogenesis dengan tanaman induknya. Biodiversitas mikroba tersebut dikumpulkan dari sejumlah tanaman hutan yang dinilai mempunyai peran dalam keseimbangan ekosistem hutan.

Koleksi mikroba endofitik dengan kode MSCI ( Micro Save Conservation Indonesia) ini disimpan dengan baik di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI dan secara bertahap dilakukan skrining terhadap berbagai potensi yang dimilikinya. Salah satu yang menarik adalah kemampuannya dalam menghasilkan senyawa antibakteri. Mengantisipasi perkembangan kualitas obat di Indonesia sejalan dengan berkembangnya resistensi bakteri pathogen terhadap sejumlah obat antibiotika mendorong kita untuk menggali berbagai macam sumber penghasil senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai antibakteri.

Bakteri patogen Salmonella thypi  dan Staphylococcus aureus  merupakan bakteri penyebab penyakit yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Salmonella thypi menyebabkan penyakit thypus yakni demam tifoid yang dapat menyerang semua organ tubuh manusia secara sistemik. Deman tifoid dapat menyebabkan perdarahan intestinal, komplikasi jantung, paru, dll. Penanganan penyakit thypus dilakukan dengan cara memberikan antibiotika yang dapat membunuh bakteri tersebut secara khusus maupun antibiotika dengan spektrum luas. Demikian pula halnya dengan Staphylococcus aures yang menyebabkan penyakit infeksi pada manusia seperti pneumonia, meningitis, osteomyelitis, endocarditis ,infeksi saluran kemih, dll.

Pencarian sumber obat baru dapat dilakukan dengan menskiring secara umum mikroba endofitik asal TN Batang Gadis terhadap kemampuannya menghasilkan senyawa antibakteri yang diperuntukkan melawan serangan infeksi bakteri Salmonella thypi dan Staphylococcus aureus. Skrining dilakukan terhadap sepuluh jenis bakteri endofitik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hasil skrining menunjukkan bahwa beberapa isolat yang diuji menunjukkan adanya produksi senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pathogen. Dari 10 isolat yang diuji, 5 di antaranya menunjukkan hasil positif yang dapat menghasilkan senyawa bioaktif terhadap Staphylococcus aureus. Satu diantaranya yakni MSCI 87.4 menunjukkan hasil yang superior dibandingkan dengan keempat isolate lainnya MSCI 53.1, MSCI 16.1, MSCI, 37.3, MSCI 46.5.

Sementara itu tidak satupun dari kesepuluh isolate yang diuji menunjukkan kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella thypii. MSCI 87.4 adalah bakteri yang diambil dari tanaman Beilschemeidia sp Ness , famili Lauraceae yang tumbuh di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama ‘huru” sedangkan di Filipina dikenal dengan nama “bagaoring”. Beilschemedia  terdiri dari 200 species yang tersebar di Negara subtropical seperti China Taiwan Afrika dan Amerika. Tanaman ini dikenal sebagai tanaman obat yang kayunya apabila direbus dapat digunakan sebagai obat antimalaria selain obat sakit perut. Beranjak dari kegunaannya sebagai obat tradisional maka sangat memungkinkan bahwa  senyawa antibakteri yang berperan menangkal bakteri pathogen itu dihasilkan oleh bakteri endofitik yang berasosiasi dengan tanaman di dalam jaringan batang. Tanaman ini dikenal dengan nama Medang karena kayunya ringan dan atau kayu keras medium.Kayunya cukup baik untuk digunakan sebagai furniture, ukiran, atau bahan kayu kontruksi ringan. MSCI 87.4 adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang .mempunyai bentuk koloni putih bening dan apabila ditumbuhkan di media Nutrient Agar, warna media akan berubah dari kuning menjadi ungu muda.Perubahan warna media tersebut diduga disebabkan karena adanya sekresi senyawa bioaktif. 

Hasil pengujian kualitatif terhadap kemampuannya menghasilkan senyawa bioaktif pada media agar menunjukkan bahwa bakteri MSCI 87.4 mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambat disekitar koloni bakteri MSCI 87.4 yang cukup besar ( 24 -32 mm). Senyawa bioaktif tersebut mulai diproduksi pada jam ke 23 yakni pada awal fase pertumbuhan stasionari dimana sel bakteri tidak lagi membelah dan tetap stabil hingga masa kematian. Hasil penelitian  ini menunjukkan bahwa ekstraksi senyawa bioaktif sebaiknya  dilakukan pada saat bakteri sudah berumur 23 jam.

Ekstraksi senyawa bioaktif dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut organik chloroform karena chloroform dapat menyerap senyawa bioaktif  secara optimal. Hasil pengujian Khromatografi Lapis Tipis ( KLT ) menunjukkan bahwa ekstrak senyawa bioaktif yang dihasilkan dengan pelarut chloroform dapat melakukan penghambatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara optimal. Hal ini ditunjukkan  dengan terbentuknya luas zona hambat 13.66 cm2 sementara ekstrak yang dilarutkan dengan air menunjukkan luas zona hambat 4.83 cm2.

Kegiatan skrining ini menghasilkan informasi adalah bahwa bakteri MSCI 87.4 mampu menghasilkan senyawa bioaktif yang berpotensi membunuh bakteri pathogen Staphylococcus aureus. Senyawa tersebut dapat diekstrak dengan cara memperbanyak biomasa bakteri MSCI 87.4 dan selanjutnya mengekstraknya dengan pelarut organik, chloroform. Data ini ditunjang dengan batasan daya hambat bakteri terhadap senyawa bioaktif yang dilarutkan dalam air adalah 6.25 % sementara senyawa bioaktif yang dilarutkan dengan chloroform adalah 1.56 %. Skrining terhadap kemampuan mikroba endofitik dapat pula dilakukan dengan tujuan yang berbeda untuk menghasilkan suatu target tertentu. Dalam hal ini keberadaan koleksi mikroba endofitik menjadi sangat penting.

Koleksi mikroba endofitik asal Taman Nasional Batang Gadis hasil program Rapid Assesment Program yang dilaksanakan oleh Conservation International Indonesia beberapa waktu silam membuka tabir kekayaan alam Indonesia akan penemuan sumber obat baru yang sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia. Harapannya adalah bahwa kelestarian hutan TN Batang Gadis akan terus terjaga sehingga sumber obat dari mikroba alam juga akan tetap lestari.

Bahan Diskusi
Keempat contoh yang dapat penulis kategorikan sebagai ‘smart invensment’ di atas, memberikan pembelajaran kepada kita semua, khususnya para perencana kawasan konservasi dan pengambil kebijakan di Jakarta tentang hal-hal sebagai berikut :
1.    Potensi yang dikandung di dalam hutan kawasan konservasi dan perairan laut kawasan konservasi di Indonesia dapat diungkap hanya dengan pendekatan keilmuan dan kerjasama dengan peneliti, lembaga penelitian, dan keberanian para pengelola kawasan konservasi untuk mengambil inisiatif baru, mencoba inovasi, mendorong ‘proyek’ perubahan dan tidak mau terjebak pada sekedar mengusulkan suatu kegiatan yang tidak berbasiskan fakta dan kajian ilmiah dari awal. Diperlukan modal dasar seorang birokrat pengelola kawasan konservasi (yang di lapangan dan di Jakarta) yang open mind dan open heart, yang sejak awal tidak bekerja sendiri namun sudah mulai membuka kerjasama multipihak.
2.    Diperlukan waktu yang panjang untuk dapat membuktikan hasil kajian ilmiah. Jawaban untuk ancaman kepunahan Vanda tricolor perlu waktu 14 tahun (dan saat ini masih terus diupayakan). Riset soft coral untuk anti kanker sudah berjalan 6 tahun (2009-2004), dan seharusnya terus didukung dengan konsistensi kebijakan dan pendanaannya. Riset tumbuhan obat-obatan dari TWA Ruteng telah dimulai sejak 2006 dan terkahir diuji di Laboratorium Farmaka IPB 2013, dan masih diperlukan upaya untuk membangun penangkarannya di daerah penyangga TWA Ruteng serta strategi pemasarannya ke depan, seperti yang telah dilakukan dengan kelompok pelestari Anggrek Merapi tersebut.
3.    Perencana Kawasan Konservasi segera membangun kerjasama multipihak berjangka panjang dengan lembaga penelitian di dalam negeri yang lebih diutamakan, serta LSM terkait,  untuk melanjutkan riset-riset terapan fokus pada upaya menemukan berbagai manfaat obat-obatan modern, mendapatkan patent, dan manfaat ekonomi dari kawasan konservasi. Maka perlu disiapkan skala prioritas bagi kawasan konservasi yang telah memulai inisiatif tersebut. Costa Rica mungkin bisa jadi tempat pembelajaran tentang inisiatif ini. Namun patut disayangkan, strategi “smart”  seperti ini belum masuk dalam RPJMN maupun Nawacita.
4.    Kawasan konservasi seluas 27,2 juta Ha dimana 5 juta Ha di antaranya adalah perairan laut adalah aset nasional yang harus dapat dilestarikan untuk jangka sangat panjang, lintas generasi, 100-200 tahun ke depan. Penemuan-penemuan awal saat ini harus dapat menambah keyakinan perencana pembangun nasional bahwa pembangunan tidak boleh tidak harus menghiraukan dan mempertimbangkan kelestarian kawasan konservasi. Jika tidak, kita akan kehilangan nilai potensialnya tanpa mampu lebih dahulu mengetahui manfaatnya untuk kemanusiaan dalam spektrum yang luas dan mendalam. Hutan hujan tropika Indonesia telah mengalami kerusakan dalam tempo yang sangat cepat dan masif 35 tahun terakhir ini. Materi genetik dari hutan hujan tropis da perairan laut harus segera diteliti dan diselamatkan. Harus disusun strategi nasional yang konsisten. Riset bioteknologi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari strategi kelola kawasan konservasi saat ini dan ke depan.
5.    Riset-riset terkait dengan potensi obat-obatan di kawasan TN Batang Gadis, TWA Ruteng, TWA Teluk Kupang yang belum selesai, namun menunjukkan indikasi hasil yang sangat menjanjikan, seharusnya terus didukung dengan pendanaan dan program jangka panjang  yang disiapkan oleh Kementerian LHK. Program kerjasama di daerah penyangga dengan masyarakat, seperti inisiatif penyelamatan Vanda tricolor, sebaiknya dilanjutkan dengan menjadikannya Sekolah Lapangan bagi Kepala Balai (Besar) TN/KSDA di seluruh Indonesia, sebagai bentuk “Learning Organization” yang semakin sehat dan cepat dalam merespon perubahan dan persoalan di lapangan. Cara ini satu-satunya upaya agar birokrasi dan organisasi tidak terjebak pada fenomena “reinventing the wheel”, atau business as usual (BAU), yang jelas nyata tidak responsif terhadap perubahan zaman dan tuntutan publik. Masyarakat bagian dari solusi dan diposisikan sebagai subyek dalam penyelesaian dan pengelolaan di kawasan konservasi dan di kawasan hutan dalam arti luas. Kelompok Tani Anggrek Merapi mampu membuktikan mereka menjadi penjaga hutan, bahkan menjadi explorer yang handal dan patut dibanggakan. Banyak inisiatif seperti ini di tempat lain (misalnya Tangkahan, TN Gunung Leuser,  community based ecotorism), dan harus menjadi modal dasar dan input review kebijakan di KementeriaLHK. Perambah hutan harus dirubah menjadi penjaga hutan yang handal melalui program-program di Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, kerjasama dengan Kementerian Desa, Kemendagri, dan banyak LSM lainnya.
6.    Penghargaan seharusnya diberikan kepada staf lapangan, yang bekerja sangat luar biasa. Penghargaan juga perlu diberikan kepada para peneliti yang nyata-nyata mendukung riset terapan yang akan bermanfaat bagi kemanusiaan secara luas. Penghargaan perlu juga diberikan kepada pendamping kelompok masyarakat, LSM, local champion yang secara terus menerus mendukung dan memberikan semangat kepada para pelestari lingkungan tersebut. Penghargaan yang dimaksudkan juga dalam bentuk dukungan kebijakan dan konsistensi dukungan anggaran atau membantu membangun kolaborasi dengan banyak pihak, termasuk pelaku usaha, perguruan tinggi, lembaga riset, dan penggerak pelestarian lingkungan.***


Ucapan Terima Kasih  dan Penghargaan:
Artikel bahan diskusi dengan pakar ini tidak dapat selesai tanpa dukungan dari sejawat, Sdr.Sulistyono, M.Si, pendamping kelompok tani anggrek Merapi yang konsisten selama 12 tahun lebih; Ir.Edy Setyarso,M.Si, Kepala TN Gunung Merapi, Ir.Kuspriyadi, M.Si, mantan Kepala TN Gunung Merapi,  yang melanjutkan program breeding Vanda dan mengembangkannya; sampai dengan saat ini;  Nurpana S,Hut, MT- Kepala SPTN1 TN Gunung Merapi; Dr. Tri Atmojo-KBTU Balai TN Gunung Merapi, Sdr Isai Yusidarta, koordinator PEH BBKSDA NTT (2012-2013),  Agus Trianto, PhD- Dosen dan Peneliti pada Fakultas Biologi dan Perikanan, UNDIP yang telah memulai riset anti cancer sejak 2009; Suer Surjadi-praktisi konservasi, praktisi hukum lingkungan, dan pemikir kritis; Nurman Hakim-pekerja dan pemikir handal di bidang landscape management;   Dr.Jatna Supriatna, Executive Director Conservation International Indonesia, ketika penulis membantu menjadi Policy Analyst  (2001-2004). Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc, pelaku sejarah dan birokrat pada Kementerian Kehutanan lebih dari 35 tahun, yang menemukan konsep kelola kawasan konservasi ketika menjadi Kepala TN Gunung Gede Pangrango dan TN Halimun; Dr.Ir.Tachrir Fathoni, M.Sc yang memiliki tanggungjawab mengembangkan 27,2 juta Ha kawasan konservasi untuk pengembangan IPTEK yang bermanfaat bagi kemanusiaan, kesejahteraan, dan peradaban manusia Indonesia; Dr.Hadi Daryanto DEA-Dirjen PSKL-yang mendorong proses review kebijakan perhutanan sosial melalui dialog multipihak penuh semangat; Prof Dr.Ir. San Afri Awang, M.Sc, dan generasi selanjutnya-Heri Santoso, Irfan Bachtiar, Rahmat_WARSI, Dr.Ir. Hariyadi Himawan-peletak dasar kebjakan Perhutanan Sosial 5 tahun terakhir; para penggerak-inisiator Perhutanan Sosial di Indonesia; Ir. Suhariyanto-tokoh yang dikenal tegas-pemberani dan penggerak banyak insiatif ketika menjadi birokrat Kementerian Kehutanan puluhan tahun dan Ketua RJR yang membangun tradisi dialog dan perdebatan konstruktif berbagai kebijakan kehutanan dan lingkungan hidup, melalui Forum Reboan selama 1,5 tahun terakhir ini. Pak Suhariyanto memberikan kontribusi yang besar pada proses penullisan  Buku berjudul : “ Tersesat di Jalan yang Benar, Seribu Hari Mengelola Leuser”, buku yang penulis siapkan dengan banyak kolega di 2013, diterbitkan oleh UNESCO Jakarta Office; Prof Dr.Djoko Marsono-senior penjaga spirit deep ecology di Fahutan UGM, yang sedang mengembangkan “self healing”, suatu  alternatif penyembuhan dan utamanya pencegahan berbagai gangguan-ketidakseimbangan pada tubuh, pikiran, jiwa  manusia,  melalui pemahaman, pendalaman, dan laku selaras dengan mekanisme alam; Dr. Satyawan P-Dekan Fahutan UGM dan Mas Dr. Ir. Teguh Yuwono-Waka Dekan, untuk dukungan kepada penulis agar terus berkarya;   Dr. Siti Nurbaya-Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Era Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo-yang telah membuka ruang seluas-luasnya bagi birokrat Kementerian LHK untuk berinteraksi dengan semua pihak dalam proses review kebijakan, membangun integrated quick respond team, dan kerjasama multipihak. Kepada mereka, penulis berhutang budi, pengalaman, spirit, inspirasi, sharing, dukungan, dorongan, pendampingan, contoh nyata, dan  semangat untuk bangga terlahir sebagai “orang Indonesia” dan mendapatkan kesempatan untuk ambil bagian dari perubahan di Indonesia. Working Document atau Working Paper ini bisa dibongkar pasang. Working Document ini disusun dengan maksud untuk “menantang” para pakar, pemikir, pelaku, birokrat, perencana, LSM, dan  penggerak konservasi alam di seluruh Indonesia, untuk mau mengkaji ulang model investasi di kawasan konservasi saat ini dan menata kembali model-model investasi yang “smart” dan menguntungkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan bermanfaat bagi kemanusiaan dalam arti luas..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar