"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

04 September 2015

Putting 'Spirit' into Your Work

Apakah kita mampu menanamkan “spirit” pada setiap pekerjaan kita? Mengapa penting kita memberikan “spirit” pada pekerjaan kita? Kita seringkali merasakan bedanya pekerjaan yang dilakukan oleh staf dengan serius, penuh semangat, atau dikerjakan hanya untuk memenuhi tugas atau perintah atasan. Dikerjakan sesuai dengan “arahan” dari atasannya - tidak kurang dan tidak lebih.

Demikian pula ketika harus melakukan pekerjaan yang langsung di lapangan. Apakah itu ke hutan, menemui masyarakat, melakukan kegiatan di lapangan bersama dengan masyarakat, menghadapi masalah yang terjadi, menyiapkan laporan hasil kerjanya. Semua itu sebenarnya memerlukan proses pengamatan langsung, pemahaman, pemaknaan, interpretasi. Mencari tahu, “pesan” apa kira-kira yang disampaikan oleh “Yang Punya Kehidupan” kepada kita dengan hasil temuan atau dengan semua hal yang muncul ketika berkunjung dan mendalami persoalan tersebut. Banyak hal ternyata tidak cukup dijelaskan melalui laporan tertulis, kalau kita hanya menuliskan apa yang nampak atau seolah-olah muncul  yang tertangkap oleh panca indera kita. Mungkin juga karena di lapangan, banyak sekali “frekuensi” yang tidak bisa atau tidak mampu kita tangkap. “Frekuensi” kebenaran, “frekuensi” penanda penyebab terjadinya sesuatu, “frekuensi” yang menjadi jawaban dari persoalan yang mengemuka, dan masih banyak “frekuensi” lainnya, bertebaran yang juga akan membuat kita kebingunan atau terjebak pada interpretasi yang salah tentang apa yang sebenarnya terjadi.


Yang kita tangkap ternyata hanya gejala-gejala (symptom) dari inti persoalan yang sebenarnya terjadi (core problem). Memang, karena tali temalinya yang rumit sulit untuk langsung dikenali dan difahami. Dalam banyak kejadian dari banyak pengalaman, ternyata yang nampak bukanlah apa yang sebenarnya terjadi. Yang nampak hanya “pesan-pesan” pendek berkelindan, timbul tenggelam, seolah-olah ingin menyampaikan kepada kita atau bermain teka teki. Karenanya interpretasi kita menjadi sangat temporal. Memang apa yang kita yakini sebagai kebenaran menjadi sangat relatif. Hari ini benar besuk bisa saja dijungkirbalikkan sebagai bukan satu-satunya yang diyakini lagi dan bahkan ditolak sama sekali. Yang kita yakini sebagai jawaban atas persoalan, ternyata justru kebalikannya. Jawaban kita dapat menimbulkan persoalan yang lebih besar dan selanjutnya semakin menjauhkan kita dari “apa yang sebenarnya terjadi”.

Potret kebenaran atau mozaiknya tidak dapat kita afdruk, kita cetak, untuk dipelajari secara utuh. Di kemudian hari, kita tidak menemukan catatan (baca: dokumentasi) atas kejadian-kejadian di masa lalu. Kalau hal ini terjadi terus-menerus, maka kita tidak akan pernah belajar dari masa lalu. Kebijakan atau praktik dari suatu kebijakan tidak pernah kita ketahui perkembangannya. Sementara, persoalan lingkungan hidup berskala “generasi”, berdurasi “lintas generasi”. Walaupun dalam buku Jared Diamond, yang berjudul “The World Until Yesterday” (2015),  dinyatakan bahwa bila diukur dengan skala waktu 6.000.000 tahun evolusi manusia, ciri-ciri modern itu baru muncul 11.000 tahun terakhir di beberapa daerah saja di dunia, dari berburu-mengumpul menjadi pertanian. Pada dasarnya masyarakat-masyarakat manusia mengalami perubahan-perubahan besar baru-baru ini saja secara cepat. Alat-alat logam pertama dan tulisan pertama baru muncul sekitar 5.400 tahun lalu (Halaman: 8-9).

Catatan atau dokumentasi, dalam hal ini tentang lingkungan hidup,  menjadi sangat relevan untuk dilakukan. Dokumentasi ini juga tidak lepas dari pentingnya “putting the spirit into your documentation” , “putting spirit into your work”. Sehingga mempelajari dokumentasi atau buku tersebut dapat menginspirasi dan menumbuhkan semangat untuk melanjutkan pekerjaan yan belum selesai, mungkin dengan berbagai solusi baru, pendekatan inovasi dan teknologi yang lebih canggih. Spirit menjadi media penghubung lintas generasi. Hal ini sangat penting agar dapat dikelola proses diskoneksitas antar simpul antar generasi (long-term goals). Tujuan jangka panjang yang bersifat visioner itu selalu tidak popular atau kalah pamor dan pasti kalah bersaing dengan tujuan  berjangka pendek (short-term goals).

Why?
Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan istilah yang penulis ajukan sebagai “putting spirit into your work?”. Intisarinya adalah setiap akan melakukan suatu pekerjaan, harusnya dibekali dengan niat yang jelas, fokus, dan tulus/ ikhlas. Niat tersebut didasari pada suatu kesadaran bahwa manusia tidak akan pernah mampu menyelesaikan paket pekerjaannya itu tanpa bantuan atau selalu ada campur tangan dan peranan dari “the universal intelligent”.

Tahap selanjutnya adalah bagaimana cara melakukan pekerjaan itu.  Merujuk  pengalaman penulis sendiri, selama kerja mengurus Mentawai (2003-2004), di Leuser (2005-2007), di NTT (2012-2013), di seluruh “pixel” pekerjaan dan tugas-tugas itu, selalu ada  campur tangan Tuhan, baik yang langsung dan (kebanyakan) tidak langsung, yang tersembunyi maupun yang terang benderang, melalui rangkaian kejadian-kejadian, tali temali antar kejadian atau peristiwa.

Dalam seluruh fragmen kejadian itu, muncul banyak figur-figur yang berperan dalam menggoreskan “penanda”, sekuel “sejarah” dan “arah” dari plot peristiwa.  Mereka melalui berbagai level “frekuensi”nya, sebenarnya memberikan bisikan “wisik” kepada penulis, tentang kemungkinan solusi dari persoalan, jawaban dari banyak pertanyaan, dan sebagainya. Mereka, secara acak atau dengan pola tertentu, memberikan tambahan “makna” dari kejadian-kejadian. Memberikan “spirit” pada peristiwa atau bagian dari peristiwa-peristiwa.  Kita bisa saja salah mengerti, bercuriga, tidak faham, atau bahkan menolak,  terhadap “wisik” yang disampaikan, karena”wisik” tersebut tidak saja berwujud kita lakukan. Bahkan sikap antipasti itu juga berasal dari internal staf. Setelah bertahun, penulis merefleksikan dan memutar ulang “pixel” dan “pita” perjalanan kerja dan kejadian-kejadian di Leuser (kasus Aceh Tenggara, keberhasilan Tangkahan), dan juga di NTT, memahami kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masyarakat adat di Colol, “pesan-pesan” itu begitu nyata dan riil serta terangkai dengan logic dalam ukuran  kesadaran penulis. Pada masa-masa itu, dengan kesadaran yang terbatas, atau by insting, penulis selalu bersikap yang mungkin dapat digolongkan sebagai sikap yang naïf. Sikap yang apa adanya, tidak ada kepentingan lain kecuali untuk menyelesaikan masalah.  Berbagai pesan itu “ditangkap”  oleh matabatin, matahati, hatinurani.

How to Do It?
Sebelum melakukan tugas atau pekerjaan, sebaiknya, disarankan agar niatnya ditetapkan dahulu karena mencari keridhaan-Nya, sekecil apapun jenis pekerjaan itu. “Innamal A’ malu Binniyat” (HR Bukhari, Muslim dan Empat Imam Ahli Hadits). Apalagi suatu pekerjaan besar yang dapat dikategorikan sebagai “mission impossible”, istilah yang seringkali disampaikan oleh mas Wahjudi Wardojo untuk kerja-kerja di bidang kehutanan dan lingkungan, termasuk di bidang kehutanan. Bagaimana misalnya mengurus kawasan konservasi seluas 27,2 juta hektar, dimana 5 juta hektar di antaranya adalah kawasan perairan?

Setiap pekerjaan ada peranan Tuhan di dalamnya, ada bagian atau porsi-Nya. Ini yang harus selalu kita sadari dan camkan dalam hati. Maka, suatu saat apabila kita berhasil menyelesaikan pekerjaan itu, sesungguhnya ada banyak bagian yang bukan bagian dari urusan manusia atau manusia tidak akan mampu memikul dan menyelesaikannya. Dengan tingkat kesadaran seperti itu, maka tidak aka nada ruang klaim pribadi atas suatu keberhasilan, sekecil apapun pekerjaan itu. Karena di banyak bagian suatu pekerjaan atau tugas, terdapat muatan yang tak kasat mata. Ada “hidden agenda”. Porsi itulah sebenarnya merupakan hak prerogratif Tuhan. Porsi tersebut akan diambil-Nya, hanya ketika  manusia menetapkan niat dan sikap ikhlas (kerja ikhlas), atas tanggungjawab yang sedang diembannya. Selanjutnya diupayakan tanggungjawab suatu pekerjaan itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya, dengan segala kemampuan yang dimilikinya (kerja cerdas), dan dilakukan dengan (kerja keras).

Setelah ketiga tahapan tersebut dilalui masih belum tercapai target, maka pada tahap akhir adalah apa yang disebut dengan (kerja pasrah). Yaitu memasrahkan kerja kita kepada Tuhan, untuk menuntaskan. Pasrah adalah suatu sikap manusia dimana atas kesadarannya ia memohon pertolongan Allah SWT, untuk membantunya, setelah ia berusaha sekuat tenaga atas suatu perkara atau tugas yang ditanggungnya. Pada umumnya, sebelum pada batas akhir kekuatannya, ia sudah menyerah. Pasrah “bongkokan”, pasrah total kepada Tuhan. Ini, menurut penulis yang tidak benar, tidak tepat bersikap seperti itu. Biasanya, banyak kepentingan yang hadir dan membuat masalah semakin rumit dan pada tingkatan tertentu, atau sudah tidak ada titik balik lagi. Masalah sudah sedemikian besar dan tidak bisa diselesaikan. Masalah seperti ini diwariskan dari satu regim ke regim, bahkan dari satu generasi kepemimpinan ke pemimpin berikutnya, berlanjut bertahun-tahun kemudian. Kawasan hutan yang seperi ini disebut sebagai “open access” . Sumberdaya yang dikategorikan sebagai : “no body property-everybody access”. Suatu sumberdaya yang tidak dimiliki oleh siapapun tetapi bisa dikuasai siapa saja. Tentu, siapa saja yang kuat yang akan menguasai. Hukum yang berlaku adalah hukum yang ditentukan oleh pihak yang kuat. Bukan hukum Negara. Inilah yang disebut sebagai “negara tidak hadir”.




Network sebagai Means
Tidak boleh bekerja sendiri. Kerja berjaringan (network) menjadi kunci keberhasilan kerja-kerja mengelola hutan dan lingkungan. Kekuatan network ada pada ketepatan memilih simpul (node), kekompokan kerjasama lintas simpul network, baik horizontal maupun vertikal, yang menghasilkan trust yang tersebar merata di seluruh simpul jaringan. Membangun network bukanlah perkara yang mudah, karena beragamnya ruang kerja, mandat, tujuan, visi, ditambah lagi dengan keterbatasan dana, tata waktu kerja, sistem kerja, dan sebagainya. Maka, network hanya mungkin dibangun berbasiskan kesamaan cara pandang, visi, tujuan, atau skala prioritas. Sementara pada skala landscape yang sangat luas, hulu-hilir, diperlukan keterpaduan perencanaan yang meliputi seluruh bentang alam tersebut. Wilayah atas berhutan yang mengalami kerusakan akan memotong umur hydropower sampai 50% dari yang ditargetkan. Banyak waduk yang sudah tidak berfungsi lagi karena persoalan sedimentasi yang tidak terkendalikan dari daerah aliran sungai di atasnya yang bertugas mensuplai air untuk waduk tersebut.  Maka, ego sektor harus bisa ditembus dan dilubangi sehingga kerjasama hulu-hilir dapat mulai dikerjakan dengan semangat kebersamaan, sinergitas, dan keterpaduan lintas simpul dalam jaringan tersebut. Network, akhirnya, hanya means atau tool collaborative management suatu landscape, untuk mencapai tujuan yang telah kita tetapkan.

Pada skala individu, kesadaran diperlukan. Pada skala landscape, perlu dibangun collective awareness  di seluruh simpul jaringan. Keberhasilan membangun collective awareness dapat dijadikan modal dasar terbangunnya suatu gerakan bersama, yang disebut sebagai collective action. Dalam jangka panjang, aksi kolektif ini akan menumbuhkembangkan layer baru di tingkat masyarakat, yang disebut sebagai “social buffer”. Untuk membangun kerja cerdas yang seperti ini, diperlukan kepemimpinan (leadership) yang kuat dan konsisten.



Bahan Diskusi
  1. Sangat penting untuk memastikan bahwa kita melakukan tugas atau pekerjaan kita dengan “sadar”.  Yang dimaksudkan dengan “Putting Spirit into Your Work” adalah melakukan bekerjaan dengan sepenuh kesadaran (awareness). Echart Toolle, dalam bukunya : “A New Earth”, menyatakan tiga syarat agar kita dapat melakukan tindakan dengan sadar : acceptance-menerima atau ikhlas;  enjoyment - menikmati dengan apa yang kita lakukan, yang akan berbalik menjadi sense of aliveness, dan enthusiasm - yaitu kita bekerja dengan penuh semangat. 
  2. Tantangan dari kerja secara individu ke tingkat kerja berjaringan pada skala yang lebih luas (landscape) adalah bagaimana membangun kesadaran kolektif itu, mengembangkan mutual trust antar simpul dari jairngan, dan sebagainya. Prof Yohanes menyatakan apabila kita bekerja dengan “kesadaran” maka terjadilah apa yang ia sebut sebagai  “mestakung” atau “semesta mendukung”. Ide, kerja, dan niat baik kita akan mendapatkan dukungan dari semesta alam, sebagaimana diuraikan oleh Eckhart Tolle, akan connected to universal intelligent,  akan mendapatkan berkah dari Tuhan, yaitu  bekerja dengan modal tiga hal : acceptance, enjoyment, dan enthusiasm.
  3. Bagaimanakah kerja-kerja yang kita lakukan selama ini. Apakah hanya sekedar menyelesaikan tugas? Apakah kita mengerjakannya dengan “sadar?” Bagaimanakah pernyataan Prof Yohanes Surya bisa kita praktikkan? Bagaimana kita mengetahui bahwa “semesta” mendukung kerja besar kita. Masih banyak pertanyaan yang jawabannya hanya melalui laku, dengan praktik langsung menegrjakan pekerjaan
  4. Menurut Emha Ainun Najib (1985), universal intelligent atau tenaga universal kreatif ini tidak lain adalah ketakterbatasan (baca-Tuhan). Jika manusia ajeg menyentuhkan tangannya ke ketakterbatasan, maka ia akan menjadi kabel dari ketakterbatasan, meski tak bakal pernah ia akan menjadi ketakterbatasan itu sendiri. Ketakterbatasan adalah puncak dari segala ilmu pengetahuan.
  5. Mari kita coba melakukan kerja-kerja dengan “sadar”, untuk mendapatkan frekuensi “ketakterbatasan” yang sebenarnya “ia” tidak jauh dan ada di sekitar kita, dan keseharian hidup kita. Kerja menyelamatkan lingkungan, merawat hutan adalah kerja-kerja yang harusnya dikerjakan dengan kesadaran. Diawali dengan niat ikhlas, dilakukan dengan cara yang cerdas, yang selanjutnya diserahkan kepada universal intelligent, kepada “ketakterbatasan” untuk merampungkannya. Selamat mencoba dan menemukan banyak hal yang terjadi dan tak terduga : kehadiran “invisible hands”.***

Bahan Bacaan :
Diamond, J., 2015. The World Until Yesterday. Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Masyarakat Tradisional.PT Gramedia.
Emha Ainun Najib., 1985. Dari Pojok Panggung Sejarah. Renungan Perjalanan Emha Ainun Najib. Penerbit Mizan.Cetakan Pertama.1985.
Tolle., E.,2005. A New Earth. Create A Better Life. Michael Joseph an  Impreint of Penguin Books..
Wiratno., 2011. Solusi Jalan Tengah. Esai-esai Konservasi Alam. Direktorat Konservasi Kawasan. Ditjen PHKA. Kementerian Kehutanan.    

5 komentar:

  1. Smart think dan Art Think.. bagai 2 sisi mata uang... bagai mana kita memengang dari salah satu sisinya.. sisi lain akan tersentuh juga...

    Terima kasih senang sharing dengan Bapak.. saya mendapat bahan bakar terbarukan yang tak pernah Habis yaitu SPIRIT

    BalasHapus
  2. sangat inspiratif dan menarik pak. Banyak siratan makna yang dalam. Tulisan yang seharusnya dibaca seluruh mahasiswa. Saya mendapat tugas untuk meresume salah satu artikel bapak. Sepertinya saya beruntung karena memilih artikel ini. Semoga bapak mendapat keberkahan.

    Best Regards
    Mahasiswa semester 6

    BalasHapus
  3. sangat inspiratif dan menarik pak. Banyak siratan makna yang dalam. Tulisan yang seharusnya dibaca seluruh mahasiswa. Saya mendapat tugas untuk meresume salah satu artikel bapak. Sepertinya saya beruntung karena memilih artikel ini. Semoga bapak mendapat keberkahan.

    Best Regards
    Mahasiswa semester 6

    BalasHapus
  4. Insyaallah pak ... btw referensi penulis2nya mirip2 pak :) kecuali Tolle, belum pernah baca. Nanti akan cari, ngikut Bapak ... hehe

    BalasHapus