"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

24 Maret 2015

Pengelolaan Bentang Alam Karst dari Perpektif Kehutanan

Oleh: M. Saparis Soedarjanto*) dan Yumi Lestari **)

Bentanglahan Karst
Mengelola bentanglahan karst tidak bisa menggunakan pendekatan konvensional seperti halnya daerah vulkan kwarter dan gambut yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia. Menurut Adji, dkk (1999), karst merupakan bentanglahan yang unik dan dicirikan oleh topografi eksokarst seperti lembah karst, doline (telaga/danau), uvala (gabungan beberapa doline namun tertutup), polje (seperti uvala, namun ukurannya sangat besar), kerucut karst dan berkembangnya sistem drainase bawah permukaan yang jauh
lebih dominan dibandingkan sistem aliran permukaan. Bentanglahan karst terbentuk pada daerah dengan batuan penyusun mudah larut yaitu Kalsit (CaCO3) dan Dolomit (CaMgCO3(2)), memiliki relief yang khas, alur sungai tidak teratur, aliran sungai secara tiba-tiba masuk ke dalam tanah dan meninggalkan lembah kering dan muncul di tempat lain sebagai mata air yang besar. 

Selengkapnya, silahkan klik pada tautan berikut: https://id.scribd.com/doc/259781061/Pengelolaan-Bentang-Alam-Karst-dari-Perpektif-Kehutanan

-----
*) Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango, Gorontalo
**) Balai Pengelolaan DAS Ketahun, Bengkulu

16 Maret 2015

Mengurus Hutan dengan Jalan Damai dan Beradab: Masukan untuk Membangun KPH Konservasi

 “Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs of the people”
(Jack Westoby, 1987)

Fakta
a.  Kawasan hutan, kawasan konservasi (KK) bukan “kertas putih”. Interaksi masyarakat setempat ke dalam kawasan hutan dan KK, pada berbagai tingkatan dan dampaknya harus dipertimbangkan dalam pengelolaan.
b.  Banyak KK yang tidak dikelola di tingkat tapak dalam waktu yang lama, kecuali hanya patroli rutin dan apabila ketemu masalah dilakukan tindakan sepihak (menangkap, menyita, memusnahkan barang bukti). Hal ini menimbulkan citra bahwa pengelola KK cenderung “melarang” yang menimbulkan ketakutan. Semua serba dilarang, namun di sisi lain terjadi “transaksi” yang dilakukan oleh “oknum” pengelola KK.
c.  Akibat tidak dikelolanya KK dalam waktu yang lama, maka perambahan, pendudukan, klaim lahan, dan illegal logging menjadi semakin tidak dapat diselesaikan karena skalanya yang membesar dan masif (sebagai contoh: di TWA Holiday Resort, SM Karang Gading-Sumut; SM Balai Raja-Riau; dan perambahan kopi di TNBBS-Lampung).