"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

25 Januari 2016

Perhutanan Sosial dan Politik Keberpihakan : Kebijakan Provinsi Sumatera Barat Bisa Menjadi Contoh


Latar Belakang
Definisi tentang “hutan” sudah seharusnya dirubah total. Definisi  “hutan” sebagaimana tercantum dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan dan dalam berbagai literatur, yang menyatakan “hutan” hanya sekumpulan pohon-pohon, menjadikan banyak kebijakan nasional yang misleading. Ini pandangan konvensional yang akhirnya memang hutan dieksploitasi kayunya. 35 tahun kemudian, hutan-hutan produksi di Indonesia lenyap dan hanya menyisakan 30-40 juta hektar kawasan open access. Sesungguhnya hutan di Indonesia dan bahkan di berbagai negara lainnya, bukan hanya sekedar “kertas putih”.

Prof San Afri Awang, dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Perhutanan Sosial (Social Forestry)-UGM  ternyata sejalan dengan pandangan bahwa hutan bukan “kertas putih”. Hutan bukan sekedar kumpulan flora dan fauna. Ontologi (hakekat ilmu hutan/ kehutanan) atau OH konvensional sebagai fungsi flora, fauna dan ekosistem atau OH = f (flora, fauna, ekosistem). Ontologi pengetahuan kehutanan ini dibentuk dan dikonstruksikan oleh asupan substansi yang terkait dengan flora, fauna, dan ekosistemnya saja. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengertian hutan (forest) sebagai satu ekosistem yang ditandai oleh tutupan pohon padat atau kurang padat dan menempati areal yang luas, sering terdiri dari tegakan yang variatif di dalam karakternya seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur, dan secara bersama-sama berasosiasi dengan padang rumput, sungai, ikan, dan hewan-hewan liar (Helms, 1998 dalam Awang, 2013). 


Pengertian seperti itu juga dikembangkan di perguruan tinggi kehutanan di Indonesia, dan menghasilkan lulusan yang bekerja di instansi pemerintah.  Akibat dari ontologi tersebut, maka epistemologi (proses pembentukan pengetahuannya) dan metodologi yang terbangun memposisikan manusia (masyarakat) berada di luar konstruksi pengetahuan/ilmu pengetahuan kehutanan dan kebijakan kehutanan. Semua ini menghasilkan model pembanguann dan tindakan manajemen hutan dalam semua fungsinya yang tidak pro rakyat dan tidak pro-poor. Prof San Afri Awang mengajukan konsep Eco-Friendly Forest Management (EFFM).  EFFM adalah pengetahuan hutan yang menjadi alternatif, yang didasarkan pada perubahan ontologi baru hutannya menjadi OH = (flora, fauna, manusia, ekologi). Ontologi hutan seperti ini sangat realistik dan dapat lebih diterima oleh pengetahuan lokal masyarakat Indonesia. Konstruksi pembangunan hutan seperti ini secara pasti dapat menjamin eksistensi manusia, rakyat, dan masyarakat yang bergantung pada sumberdaya hutan yang didasarkan atas pengetahuan ekologi bersahabat antar subsistemnya, sebagai proses kebudayaan masyarakat. Prinsip-prinsip bio etik, bio ekonomi, dan bio ekosistem, merupakan sumber pengetahuan sosial yang layak dan wajib diadopsi oleh  pemerintah/ Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan dan institusi pendidikan yang menyelenggarakan pembangunan hutan dan pengembangan ilmu kehutanan (Awang, 2013). Aliran pemikiran Prof San Afri Awang ini sebenarnya sama dengan pemikiran dan konsep Arne Naess tentang Deep Ecology atau “Ekologi Dalam”.

Pandangan baru tentang ekologi yang digagas oleh Arne Naess, yaitu Deep Ecology atau “Ekologi Dalam”, yang berseberangan dengan pandangan Swallow Ecology atau Ekologi Dangkal. Ekologi Dangkal bersifat antroposentris, atau berpusat pada manusia. Memandang manusia berada di atas atau di luar alam, sebagai sumber nilai, dan alam dianggap bersifat instrumental atau hanya memiliki nilai “guna”.

Ekologi Dalam tidak memisahkan manusia atau apapun dari lingkungan alamiah.  Benar-benar melihat  dunia bukan sebagai obyek-obyek yang terpisah tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Sedangkan ekologi sosial membahas tentang ciri-ciri kultural dan pola-pola organisasi sosial yang telah mengakibatkan krisis ekologi dewasa ini (Capra, 2001).

Dalam konteks Ekologi Dalam inilah program perhutanan sosial menemukan landasan teoritiknya yang sahih. Dan memang demikian adanya kondisi di Indonesia. Ruang kelola masyarakat yang sangat sedikit dari kebijakan nasional pengelolaan hutan di Indoensia menjadi faktor penyebab meningkatnya konflik-konflik lahan sepanjang sejarah pengelolaan hutan di Indonesia. Apabila 93% perizinan pengelolaan hutan ternyata dialokasikan untuk pengusaha menengah-besar, maka masyarakat sekitar hutan atau yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya hutan dan lahan, semakin dimiskinkan secara struktural.

Latar belakang inilah yang melahirkan program perhutanan sosial 12,7 juta hektar atau 10% dari seluruh luas kawasan hutan di Indonesia. Termasuk lahirnya Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, pada tahun 2015 dalam struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Politik Alokasi Ruang
a.  Kebijakan alokasi 12,7 juta hektar perhutanan sosial atau 10% dari total luas kawasan hutan di Indonesia, memiliki nilai strategis yaitu terjaminnya alokasi ruang kelola untuk masyarakat pinggir hutan di seluruh tanah air. Alokasi ruang yang tidak pernah terjadi sejak kemerdekaan RI. Kebijakan ini merupakan “Politik Keberpihakan” satu-satunya, dan mendapatkan apresiasi dari berbagai Negara.
b.   Pada periode 2010-2014, telah diterbitkan SK Menteri untuk Hkm (328.452 Ha) dan HD (318.024 Ha), atau dengan total seluas 646.476 Ha yang dikelola oleh 212.684 kepala keluarga petani pinggir hutan atau sebanyak 1.063.430 jiwa.
c.  Ke depan, pencapaiannya melalui proses “percepatan dan tepat sasaran”, untuk memastikan sebagian besar yang menerima manfaat adalah petani miskin, petani berlahan sempit, dan keluarga tani yang karena lokasi desanya berbatasan atau berada di dalam kawasan hutan negara, baik mereka termasuk masyarakat (hukum) adat atau masyarakat setempat atau pendatang.
d.  Instrumen untuk alokasi ruang tersebut adalah Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), yang disiapkan secara partisipatif dan dievaluasi secara berkala setiap enam bulan.

Politik Pemberdayaan
a.  Kebijakan alokasi 12,7 juta hektar, ke depan diperluas sebagai “Politik Pemberdayaan Masyarakat”. Hal ini sesuai dengan Nawacita ke-3, yaitu membangun dari pinggiran, membangun kemandirian masyarakat melalui berbagai skema dukungan dan pendampingan berbasis kelompok, dalam rangka :

  • penguatan kelembagaan dan tata kelola dan perencanaan kawasan dan potensinya.
  • penguatan kelembagaan keuangan mikro berbasis koperasi.
  • penguatan kemampuan kewirausahaan sosial.
b.  Strategi yang perlu dilakukan adalah dengan model perencanaan partisipatif dari bawah, dengan sasaran :

  • memulai terbangunnya komunikasi yang lebih intens dan substansial dengan SKPD di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten, KPH, melalui revitaliasi Rakorbang.
  • penguatan kemitraan dengan berbagai pihak di sekitar lokasi perhutanan sosial, dengan uji coba skala kecil yang “doable” dan “manageable” oleh kelompok.
  • pembelajaran yang didokumentasi sebagai dasar dibangunnya shared learning antar kelompok, kelompok  dengan pihak SKPD, LSM, penyuluh, KPH,  dan pegiat perhutanan sosial.
  • keterpaduan program perhutanan sosial di tingkat Kementerian LHK (lintas Eselon I), dan lintas Kementerian, misalnya dengan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan  Kemendagri.
  • dukungan kebijakan pendanaan melalui skema Dekon Perhutanan Sosial, APBD, DAD.
  • dukungan dan sinergitas program dan pemerataan dukungan mitra LSM, dukungan kerjasama baik bilateral maupun multilateral.

Resolusi Konflik secara Damai
Kebijakan perhutanan sosial ini, apabila dilaksanakan tepat sasaran, tepat pendampingan, dan dapat dijadikan sebagai agenda bersama pemerintah dan pemerintah provinsi dan kabupaten, merupakan upaya untuk :
a. menyelesaikan berbagai konflik sosial yang berkepanjangan yang tidak dapat diselesaikan melalui proses penegakan hukum karena inti masalahnya adalah kemiskinan dan minimnya penguasaan lahan untuk dikelola.
b. penyelesian konflik secara damai tidak menghapuskan upaya penegakan hukum, khususnya terhadap aktor intelektual akibat tingginya permintaan pasar dunia akan komoditi tertentu, khususnya sawit untuk di Sumatera dan Kalimantan, yang telah masuk ke dalam hutan produksi, hutan lindung atau hutan konservasi.
c.  Selain pemberian kases kelola perhutanan sosial, skema kemitraan antara masyarakat dengan pemegang izin (HPH, HTI, RE) merupakan upaya konkrit untuk resolusi konflik dan pengelolaan hutan secara damai dan lebih beradab, sekaligus meningkatkan ragam pendapatan masyarakat dan masyarakat merasa “dimanusiakan” atau diwongke dalam bahasa jawa, dengan berpegang pada prinsip 3 M, menurut pak Wahjudi Wardojo, yaitu Mutual Respect, Mutual Trust, dan Mutual Benefit.

Politik Keberpihakan
Tanpa sikap mental yang berpihak pada masyarakat pinggir hutan, program nasional yang telah dicanangkan dalam RPJMN ini tidak akan berhasil. Hal ini sesuai dengan Nawacita ketiga, yaitu Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”. Suatu pemerintahan Presiden Jokowi yang jelas sikapnya  berpihak pada mereka yang berada di pinggiran kawasan hutan yang selama ini hampir belum tersentuh pembangunan. Komitmen Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk mengalokasikan kawasan hutannya seluas 500.000 Ha selama lima tahun ke depan dan 200.000 Ha untuk tahun 2016, merupakan wujud  “Politik Keberpihakan” yang nyata. Sikap ini diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, dan diharapkan diikuti oleh Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan sebagainya.

Masyarakat Mampu Menjaga Hutan
Banyak bukti telah dikumpulkan yang menunjukkan bahwa masyakat pinggir hutan termasuk masyarakat hukum adat, mampu mengelola hutan dengan berbagai macam teknologi tepat guna, teknologi sederhana, teknologi wanatani atau agroforestry, pengelolaan mikrohidro, pengembangan wisata alam, yang dapat meningkatkan ragam pendapatan rumah tangganya sekaligus meningkatkan kebanggaan mereka bahwa mereka diberikan kepercayaan oleh pemerintah.

Beberapa contoh, misalnya kelompok Hutan Kemasyarakan di Kali Biru, Kulonprogo, Yogyakarta dengan pengembangan wisata alam, hutan kemasyarakatan di Beganak, Kab. Sekadau dengan mikrohidronya; hutan kemasyarakan di Provinsi lLmpung dengan agroforestry kopi; kelompok masyarakat di Kecamatan Cidaun - Kabupaten Cianjur yang menjaga Cagar Alam Gunung Simpang dengan “pasukan” Raksa Bumi-nya yang didukung oleh YPAL; masyarkat adat Kajang di Kabupaten Bantaeng yang juga terbukti menjaga kawasan hutan adatnya secara turun temurun; serta Masyarakat Adat Daya’ Wehea di Berau yang menjaga Hutan Lindung Wehea secara adat dan mendapatkan dukungan dari TNC.

Sumatera Barat sebagai Role Model
Kunci keberhasilan program perhutanan posial antara lain kemampuan leadership, keterpaduan program pembangunan pusat-daerah dan lintas provinsi-kabupaten, pendampingan yang konsisten, dan peranan local champion atau tokoh lokal. Konsistensi dalam membangun komitmen pendampingan para pihak untuk mendukung pencapaian target 500.000 Ha dalam empat tahun ke depan, di Provinsi Sumatera Barat menjadi sangat strategis dan dapat dijadikan contoh untuk seluruh Indonesia. Diyakini para pihak bahwa Provinsi Sumatera Barat akan menjadi  salah satu Role Model Pembelajaran Perhutanan Sosial di Indonesia.***

Daftar Rujukan
Awang., S.A., 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. BIGRAF-Ford Fundation, Yogyakarta.
Awang., S.A.,  2013. Deforestasi dan Konstruksi Pengetahuan Pembanguan Hutan Berbasis Masyarakat. Artikel Utama. Jurnal Rimba Indonesia Volume 51, Mei 2013.
Capra, F.,  2001. “Jaring-jaring Kehidupan” Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan.
Santoso, H. dkk., 2015. Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Presepatan Proses Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Kemitraan. Partnership for Governance Reform in Indonesia.
The Natue Conservancy., 2014. How the Wehea People Protect and Secure Their Rights to Communal Lands, Territories and Natural Resources.

4 komentar:

  1. Artikel yg sangat menarik. program PS banyak yg berhasil, tidak sedikit yg gagal. Kedua duanya bisa jadi pelajaran untuk perbaikan.
    Ada sedikit koreksi Pak Dir. MHA Wehea bukan di Berau tapi di Kutim, MHA Kajang juga bukan di Bantaeng tapi di Bulukumba.
    Hutan Adat Wehea tidak mungkin bisa ditetapkan sebagai hak adat MHA Wehea selama DPRD yg sebagian besar bukan suku Dayak tidak mengakui keberadaan MHA Wehea melalui Perda. Padahal faktanya MHA Wehea adalah pengampu hutan adat Wehea. Kasus seperti ini masih buntu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tks atas koreksinya, mohon maaf baru bisa membalas. Benar sekali, pengakuan MHA akan dilakukan oleh Menteri LHK, melalui beberapa tahapan verifikasi. Tantangannya memang pada keberpihakan bupati maupun DPRD untuk proses penerbitan Perdanya. Jalan panjang menuju pengakuan MHA. Yg terpenting sambil menunggu proses pengakuannya, tidk boleh ada kriminalisasi mereka.. Banyak lahan2 perladangan dan hutan adatnya diambil oleh pihak lain karena perizinan untuk HTI, HPH, tambang yang akhirnya menimbulkan onflik sosial, bisa dan dalam beberapa kasus telah membawa korban jiwa. Ini yang harus dihindarkan dan utamakan dialog.

      Makasih atas koreksi dan responnya yang kritis tersebut.

      Hapus
  2. selamat pagi pak,

    mungkin ada pertanyaan di benak saya yang sampai sekarang masih mengganjal terkait implemntasi terhadap kehutanan, dimana para pakar baik itu dari konservasi yang lebih berorietasi dengan pemikiran yang lebih menonjolkan petahanan dan perlindunga, meskipun kehutanan sudah dibagi berdasarkan fungsinya. justru menurut saya yang saat ini terjadi kerusakan yang perlu penangan lebih kearah hutan konservasi. yang menurut saya belum ada titik temu seperti apa upaya yang harus di lakukan agar masyarakat bisa menjadi aktor bukan sekedar objek yang selalu diprsalahkan. bagaiman mensinkronisasikan antara praktek konsep perhutanan sosial yang berlandaskan konservasi?
    mohon pencerahannya

    terima kasih pak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru sekarang bisa merespon pertanyaan mas. Yang diperlukan adalag perubahan cara pandang, paradigma pengelola kawasan konservasi, yang menempatkan masyarakat sebagai bagian dari solusi pengelolaan KK. Coba baca artikal saya tentang Pengelolaan KK secara Damai dan Beradab, kasus TWA Ruteng, Kab. Manggarai-NTT. Melalui forum dialog multipihak, antara pengelola dengan msy sekitar KK tsb termausk dengan Pemkab, Lembaga Keagamaan (dalam hal ini dengan pihak Gereja Katholik), dan Msy Hukum Adat, saya telah membuktikan hasilnya yang luar biasa. Tempatkanlah msy sekitar hutan sebagai mitra utama, untk bersama2 menjaga hutan dan memanfaatkan secara terbatas dengan pengaturan untuk menjaga kelestariannya dalam jangka panjang. Selamat mencoba...

      Hapus