"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

15 September 2016

Keberpihakan, Kepedulian, Kepeloporan, Konsistensi, Kepemimpinan Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia

Prolog
Tanpa sikap “Keberpihakan”, sulit kita bisa membayangkan terjadinya “change”. Suatu perubahan nyata dan bukan hanya wacana. Perubahan dalam cara berfikir, cara bertindak, dan cara kita bersikap dalam mengurus, mengelola sumberdaya hutan di Indonesia.  Tanpa kerja nyata “Kepeloporan” untuk menjadi yang terdepan berani melakukan berbagai inisiatif, inovasi,  ujicoba, “trial and error” di lapangan,  di tingkat tapak, kita akan terjebak dalam pusaran wacana, atau terbatas hanya pada ranah kebijakan, rencana, regulasi, kegenitan intelektual-keilmuan atau hanya mampu memproduksi kebijakan-kebijakan yang tidak membumi, yang “tasteless”. Kebijakan yang menjadi “macan kertas” belaka yang jauh dari apa yang menjadi harapan masyarakat di lapangan. Tanpa “Kepemimpinan”, perahu kebijakan berputar tanpa arah yang jelas dan tidak kemana-mana, karena tidak jelas mau kemana perahu akan dibawa oleh seorang nakhoda.


Perhutanan Sosial = “Bayar Hutang”
Kebijakan satu-satunya sejak 71 tahun Indonesia merdeka, yaitu dialokasikannya ruang kelola masyarakat seluas 12,7 juta hektar atau 10% dari luas kawasan hutan negara, hanya akan menjadi “macan kertas” apabila semua pihak tidak memiliki sikap atau spirit “5K” tersebut.  Betapa besar skala program PS ini, hampir seluas negara Inggris di Eropa (luas Inggris: 13,04 juta hektar), atau sepertiga luas Malaysia (luas Malaysia: 33,08 juta hektar), atau lima kali lipat luas negara Singapura (luas Singapura: 0,719 juta hektar). Dengan kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, merujuk pengalaman 2010-2014 dan berlanjut pada 2015 - Juli 2016, yang hanya mampu menyerahkan hak kelola kepada masyarakat desa pinggir hutan negara seluas 200.000-300.000 hektar, maka target 12,7 juta hektar tersebut atau rata-rata 2,5 juta hektar per tahun pada periode 2015-2019 sudah pasti tidak akan tercapai. Target yang sepuluh kali lipat lebih besar daripada kemampuan pemerintah, dengan struktur kelembagaan, regulasi, dana, dan kekuatan jaringan kerja multipihak yang telah dimiliki saat ini.



Namun demikian, masuknya angka “sakti” 12,7 juta hektar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, sebagai alokasi wilayah kelola masyarakat untuk masyarakat menjadi minimal pernyataan politik. Politik Ruang Kelola, yang sudah dideklarasikan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang sangat penting dan mungkin akan dicatat dalam sejarah kelola hutan di tanah air. Semoga akan terus dilanjutkan pasca 2019, apabila target tersebut tidak tercapai pada akhir tahun 2019.

Pelaksanaan program Perhutanan Sosial (PS) ini seolah-olah kebijakan “bayar hutang”. Kepada siapa? Kepada masyarakat desa-desa pinggir kawasan hutan negara atau bahkan di dalam kawasan hutan negara, yang jumlahnya 25.800 desa dari 72.000 desa di seluruh tanah air saat ini atau 35,8%. Hasil identifikasi sementara, luas pencadangan 12,7 juta hektar tersebut diidentifikasi akan meliputi 9.800 desa atau hanya 37,9% dari total desa-desa di pinggir/di dalam kawasan hutan negara. Hasil cek pada citra resolusi tinggi, dari 12,7 juta hektar tersebut yang masih berhutan alam hanya 10 %. Sedangkan yang berhutan sekunder 28%. Pertanian lahan kering (di Sumatera sudah dapat dipastikan didominasi oleh sawit illegal) lebih dari 11%. Artinya alokasi ruang kelola untuk masyarakat ini memang tinggal ruang yang tersisa saja. Boleh dikatakan, program ini hampir saja terlambat dimulai. Secara nasional memang baru dimulai tahun 2010, dengan target 2,5 juta hektar.  Apabila program ini dimulai setelah Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII di Jakarta pada tahun 1978, maka keterlambatan itu telah mencapai 32 tahun. Kita faham apa artinya rentang waktu 32 tahun tersebut dikaitkan dengan perubahan-perubahan tutupan hutan.

Banyak sekali sinisme tentang keberhasilan program ini. “Benarkah masyarakat mampu mengurus hutan secara lestari? Apakah pemberian akses kelola yang sampai 35 tahun itu mampu meningkatkan pendapatan masyarakat penerima izin/hak? Bagaimana memastikan bahwa yang menerima izin/hak adalah mereka yang memang berhak mendapatkannya (kelompok masyarakat yang sebagian besar hidupnya tergantung pada hutan, kelompok masyarakat yang hanya memiliki lahan sangat sempit atau bahkan tidak memiliki lahan garapan sama sekali)?

Nilai strategis yang pertama dan utama dari program PS adalah “sikap politik” pemerintah yang memandang masyarakat desa pinggir hutan sebagai bagian dari unsur utama atau subyek dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Mereka harus “diwongke” (bahasa Jawa: dimanusiakan). Diposisikan sebagai salah satu subyek dalam pembangunan hutan dan kehutanan di Indonesia.  Sikap politik pemerintah ini sebenarnya merupakan akumulasi dari perjuangan tokoh-tokoh PS Indonesia sejak periode 1980 yang salah satu pelopornya adalah Alm. Prof Hasanu Simon Ketua FKKM pertama, Prof San Afri Awang, dan terus diperjuangkan oleh banyak tokoh pemikir, pejuang, praktisi, yang memiliki sikap “5K” tersebut di atas.  Tanpa kelima sikap tersebut rasanya sulit program PS ini akan berhasil, walaupun telah didukung oleh struktur kelembagaan di Kementerian LHK setingkat Eselon I dengan nama Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Namun demikian hanya didukung oleh Unit pelaksana Teknis (UPT) Balai PSKL yang berskala regional di Sumatera, Kalimantan, Bali-Jawa Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku-Papua.

Kita sedang membayar “hutang” kepada masyarakat desa hutan yang selama tiga dekade ini seolah dipandang sebelah mata. Mereka seringkali memiliki stigma “ilegal” karena menggarap kawasan hutan negara tanpa izin. Seringkali mereka berhadapan dengan aparat penegak hukum. Konflik horizontal pun seringkali tidak dapat dielakkan. Jumlah dan skala konflik tenurial menjadi semakin besar dan kompleks. Hal ini juga dihadapi oleh masyarakat hukum adat di banyak tempat di seluruh tanah air.

Di berbagai kesempatan, kelompok masyarakat yang telah menerima izin Hutan Kemasyarakatan atau Hak Pengelolaan Hutan Desa, menyatakan kegembiraannya. Mereka merasa dihargai oleh pemerintah. Merasa “diwongke”, dianggap bagian dari unsur masyarakat yang diperbolehkan secara legal mengelola sebagian kawasan hutan negara, yang selama ini tabu dan dianggap daerah terlarang.  

Mungkin situasi psikologis seperti inilah yang terutama harus menjadi perhatian atau tolok ukur keberhasilan PS oleh para pemikir, akademisi, penggerak, pelopor, dan pengkritik program perhutanan sosial. Kita tidak boleh melupakan sejarah bahwa hampir 90% izin kelola kawasan hutan di tanah air jatuh pada kelompok menengah ke atas. Ini bagian dari sejarah pengelolaan hutan Indonesia yang saat ini sedang dikoreksi melalui program PS. Dalam perspektif inilah, PS dapat dikatakan sebagai politik “bayar hutang” kepada masyarakat desa hutan di seluruh Tanah Air. Ada ruang kelola untuk masyarakat yang disediakan secara sah oleh negara. Ini merupakan langkah strategis dan menorehkan sejarah baru, Berbagai sinisme pasca pemberian izin harus dijawab dengan kerja-kerja nyata di lapangan.

Dari Kesadaran Kolektif  menuju  Aksi Kolektif
Walaupun masuk ke dalam RPJMN, perhutanan sosial sebenarnya tidak diberlakukan hanya sebagai program pemerintah.  Penggodokan program ini sebenarnya telah dilakukan di “Rumah Transisi” yang melibatkan banyak pihak, termasuk CSO, akademisi, praktisi dan pemerintah. Oleh karena itu, PS seharusnya bisa menjadi suatu program yang dibangun atas kesadaran kolektif para pihak tersebut (collective awareness). Dari munculnya kesadaran kritis secara kolektif tersebut, maka pelaksanaan program PS ini tentunya harus dikawal secara bersama dan secara bertahap menjadi aksi bersama secara kolektif (collective action).

Gotong royong dan bahu membahu antara pemerintah, CSO, dan bahkan pihak swasta. Untuk mampu mentransformasikan dari kesadaran kolektif menuju aktif nyata secara kolektif, diperlukan sikap mental “5K”, Keberpihakan, Kepeloporan, Kepedulian, Kepemimpinan yang istiqomah, yang Konsisten. Memperkuat dan mendampingi kelompok pinggiran, terpinggirkan, dan dipinggirkan,  dengan variasi sosial ekonomi dan budaya yang beragam terpecar di berbagai daerah terpencil, bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan suatu proses panjang. Maka, konsistensi merupakan syarat penting. Konsistensi dalam mengawal proses perubahan atau transformasi dari ketidakberdayaan ke situasi kesadaran akan ketidakberdayaannya dan mulai bangkit bersama, mengembalikan kepercayaan dirinya. People center development yang sudah dicetuskan oleh  Soedjatmoko (Alhm) dan Arief Budiman di awal dekade 1980  tetap dan semakin sangat relevan saat ini.

Kisah kebangkitan masyarakat Kampung Merabu di Berau, Kalimantan Timur, yang mendapatkan hak kelola Hutan Desa seluas 8.000 Ha di kawasan ekosistem karst bagian dari Karst Sangkulirang-Mangkulihat; kisah ribuan petani di Hutan Lindung  Lampung yang telah mendapatkan izin hutan kemasyarakatan seluas 110.000 Ha dari 300.000 Ha hutan lindung, yang saat ini telah dengan tenang bekerja mengelola kopi hutannya; ribuan hektar kawasan hutan lindung di Sumatera Barat yang saat ini dikelola sebagai Hutan Nagari.

Kultur (Baru) Kerja Multipihak
Aksi kolektif bukan saja perlu dilakukan di jajaran pemeirntah, tetapi justru yang perlu dikembangkan adalah aksi kolektif multipihak. Kerjasama pemerintah dengan LSM, swasta, perguruan tinggi, aktivis lingkungan, praksisi perhutanan sosial menjadi sangat penting. Namun hal ini tentu tidak mudah. Kerja-kerja multipihak merupakan kultur baru, walaupun cikal bakalnya sudah cukup lama diinisiasi oleh banyak figur, baik di birokrasi maupun di luar lingkungan  masyarakat sipil. Berbagai kelompok kerja multipihak telah tumbuh subur dan menginspirasi tumbuhnya kelompok-kelompok sejenis di berbagai provinsi. Pokja Community Based Forest Management (CBFM) di Sumatera Barat tumbuh dengan cepat dalam waktu dua tahun terakhir ini. Pokja Hutan Kemasyarakatan di Provinsi Lampung merupakan Pokja yang pertama dan yang semakin mengakar mulai dari provinsi ke banyak kabupaten. Menyusul di kemudian hari Pokja Perhutanan Sosial di Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, NTT, dan akan masih terus bermunculan ke depan adalah Aceh, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan seterusnya.  Bahkan Pokja di Lampung dan Sumatera Barat telah diinisiasi oleh kekuatan collective awareness di daerah, jauh sebelum Jakarta mendorong kebijakan kelahiran Pokja Percepatan Perhutanan Sosial pada awal 2015.  Pokja di kedua provinsi ini telah berjalan efektif.



Kultur kerja multipihak di Pokja Lampung dan Sumatera Barat merupakan bukti keberhasilan  memecah “kebekuan” komunikasi, koordinasi, dan kerjasama pemerintah-civil society. Di dalam Pokja terjadi komunikasi yang cair  dan saling memberikan data informasi.  Yang lebih penting dari proses di dalam Pokja adalah tumbuh suburnya kesalingpahaman tentang banyak hal termasuk berkembangnya model “pertemanan” baru dari banyak figur pemerintah-civil society, termasuk di dalamnya tokoh/penggerak/aktivis LSM, dosen perguruan tinggi, pihak swasta, asosiasi.  Kultur baru hubungan pemerintah-civil society dimulai dari program Perhutanan Sosial. Hubungan yang bukan saling berhadap-hadapan atau saling menyerang tetapi sudah mulai dibangun komunikasi dan kerjasama.

Keberhasilan Kolektif
Perhutanan Sosial adalah kerja kolektif. Kolektif antar sektor pembangunan di tingkat pusat. Kerja kolektif antar SKPD di provinsi, kabupaten, kecamatan, desa. Oleh karena itu, keberhasilannya juga merupakan keberhasilan kolektif. Keberhasilan bersama. Situasi inilah yang disebut sebagai “sinergi”. Situasi “menang-menang” atau  “everybody happy”. Tidak ada salah satu lembaga yang bisa mengklaim sebagai pihak yang paling berjasa dalam pengembangan suatu kerja Perhutanan Sosial. Tantangan kerja lintas kelembagaan inilah yang paling dirasakan sebagai yang paling berat. Dengan basis atau titik temu “desa pinggir hutan”,  sebagai program nasional, semoga kerja-kerja lintas kementerian, lintas program, lintas disiplin keilmuan, dan lintas pendanaan dapat mulai diwujudkan di bumi Indonesia. Keberhasilan awal telah mulai ditunai :
  • ·      Hutan Kemasyarakatan Kulonprogo, yang lebih dikenal dengan icon Wisata Alam Kalibiru, telah menghasilkan pendapatan bersih Rp 100-200 juta/bulan dengan jumlah kunjungan 25.000 orang per tahun. Geliat semangat masyarakat Kampung Merabu, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur yang mengelola Hutan Desa di kawasan Karst Sangkulirang-Mangkulihat, potensi Hutan-hutan Nagari di Sumatera Barat di kawasan Hutan Tropis Pegunungan yang menghasilkan air melimpah untuk irigasi persawahan, air konsumsi, dan puluhan potensi wisata alam serta hasil hutan bukan kayu .  
  • ·      Berdasarkan penelitian LIPI pada Hkm di Kabupaten Lampung Barat tahun 2009, membuktikan bahwa HKm mampu mengurangi tingkat kemiskinan rumah tangga petani antara 10%-90%, antara lain tergantung dari teknik agroforestry yang diterapkan oleh kelompok petani,  kelembagaan HKm di setiap lokasi. Disarankan agar model Perhutanan Sosial dalam mengurangi kemiskinan dilakukan melalui sinergi dengan  kebijakan nasional penanggulangan kemiskinan. Kopi menyumbangkan 44% dari total pendapatan rumah tangga  (Aji, G.B. dkk, 2014).
  • ·      Di lokasi HKm Sesaot, rata-rata sumbangan dari pengelolaan lahan HKm untuk rumah tangga berkisar antara Rp 500.000 - 1,5 juta per bulan.  Petani HKm di Aik Berik berkisar antara Rp 0,5 – 1 juta per bulan.  Sedangkan untuk petani HKm Santong berkisar antara Rp 1,5 – 3 juta perbulan.  Pendapatan utama petani HKm Santong bersumber dari panen kakao, kopi dan pisang. Dari hasil survai di tiga lokasi studi terlihat bahwa sistem penanaman dengan beragam jenis karakteristik tanaman ternyata mampu mendukung dan menciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan tanaman lainnya. Salah satu keberhasilan kelompok tani HKm Sesaot, Santong dan Aik Berik dalam mempertahankan fungsi kawasan adalah dengan tetap menjaga kerapatan tanaman, dengan jumlah diatas 900 pohon tiap ha. Hasil-hasil penelitian sebelumnya (Markum et al., 2012; SCFBWM, 2011), juga menunjukkan bahwa limpasan permukaan pada berbagai pola agroforestri di Sesaot menunjukkan limpasan permukaan yang kecil yaitu di bawah 5 %.
  • ·      Berdasarkan penelitian hutan rakyat di Wonogiri, Gunung Kidul, Kebumen, Lumajang, Konawe Selatan, telah bersertifikat ekolabel. Hal ini membuktikan bahwa hutan rakyat dikelola secara lestari. Pengetahuan dan pengalaman masyarakat tersebut dapat menjadi landasan dalam pengembangan kapasitas amsyarakat desa hutan dalam pengelolaan hutan lestari dalam situasi sosial, ekonomi, dan politik yang dinamis. Peran pemerintah sebagai pendukung, fasilitator sangat penting dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat desa, daripada melakukan tindakan-tindakan dominasi. Pemerintah-Dinas Kehutanan Provinsi, Kabupaten, penyuluh kehutanan lapangan, harus siap melayani dan memfasilitasi masyarakat (Suharjito, 2014).


Epilog
Perhutanan Sosial adalah kebijakan nasional  sebagai upaya menguji haluan baru model pengelolan hutan di Indonesia. Yang menempatkan masyarakat pinggir hutan sebagai salah satu pelaku utama. Berbagai contoh keberhasilan tersebut di atas mulai memberikan kita harapan dan sekaligus keyakinan. Inilah jalan yang benar. Menempatkan masyarakat desa pinggir hutan sebagai subyek kelola hutan.
Pengelolaan oleh masyarakat (hukum) adat, seperti yang telah ditunjukkan oleh MHA Ammatoa Kajang, membuktikan kepada kita bahwa masih ada kelompok masyarakat yang mempertahankan hutannya dalam perspektif yang bukan hanya sekedar nilai sosial, budaya, dan ekonominya saja, tetapi lebih dalam dari aspek-aspek tersebut. Masyarakat Adat Kajang memiliki sikap hutan adat sebagai warisan yang harus dijaga sebagaimana adanya. Tidak boleh ada gangguan sehingga hutan tetap utuh. Walaupun hanya 313 hektar luasnya, hutan mereka terbukti utuh dan dapat memberikan penghidupan secara tidak langsung bagi masyarakatnya. Hutan membentuk struktur dan relasi sosial masyarakatnya. Kebijakan perhutana sosial juga menjangkau kelompok-kelompok masyarakat seperti Ammatoa Kajang ini, yang ada tersebar di seluruh tanah air. Sekarang atau tidak sama sekali.***

Bahan Rujukan:
Awang., S.A.,  2013. Deforestasi dan Konstruksi Pengetahuan Pembanguan Hutan Berbasis Masyarakat. Artikel Utama. Jurnal Rimba Indonesia Volume 51, Mei 2013.
Aji, Gutomo Bayu., 2014. The Policy Paper. Poverty Reduction in Villages around the Forest. The Development of Social Forestry Model and Poverty Reduction Policies in Indonesia.  Research Center of Population. Indonesian Institute of Sciences.
Capra, F.,  2001. “Jaring-jaring Kehidupan” Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan.
De Santo., J., 2015. Sekolah Perdamaian. Kompas, tanggal 2 Januari 2015.
Suharjito, D., 2014. Devolusi Pengelolaan Hutan dan Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB, IPB. Auditorium Rektorat, 03 Mei 2014.
Hardjosoekarto, S., 2014. Memahami Revolusi Mental. Kompas, 20 Juni 2014.
Otto Scharmer., 2007. Addressing the Blind Spot of Our Time. An Executive Summary of the New Book by Otto Scharmer.Theory U : Leading from the Future as It Emerges. The Social Technology of Presencing. The Presencing Institute. Cambride MA. Society for Organizational Learning, 2007.
Verbist., B.dkk., 2004.  Penyebab alih guna lahan dan akibatnya terhadap fungsi Daerah Aliran Sungai pada lansekap agroforestry berbasis kopi di Sumatera. ICRAF SE Asia. Agrivita Volume 26 No.1, 1 Maret 2004.

*)Makalah disampaikan pada Semiloka  Nasional Hutan Indonesia, Reposisi Tata Kelola Hutan Indonesia untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kelestarian Lingkungan, dan Kesejahteraan Rakyat, Hotel Sahid, Jakarta,  1-2 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar