"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

26 September 2016

Pengelolaan Bentang Alam Kolaboratif: Perspektif Perhutanan Sosial

Pengelolaan “Bentang Alam” menjadi wacana yang semakin mendapatkan respon  menarik beragam. Mungkinkah birokrasi pemerintah mampu melakukan model pengelolaan  lintas batas-multistakeholder? Pada umumnya pemerintah bekerja berdasarkan sistem penganggaran yang sektoral. Di Kementerian LHK, masing-masing Eselon 1 telah merencanakan kegiatan tahunannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, yang kemungkinan besar tidak (sempat) secara intensif saling dikomunikasikan. Direktur Kawasan Konservasi - Ditjen  KSDAE  di satu sisi, yang mengelola kawasan konservasi dan Ditjen PSKL, dimana terdapat Direktorat  Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS), yang mendapatkan tugas memberikan akses kelola hutan lindung dan hutan produksi untuk masyarakat setempat, bisa bekerja sendiri dan terpisah. Sementara kondisi di lapangan, sangat dimungkinkan dan menuntut kerja-kerja terpadu dan saling bersinergi. Berbagai persoalan yang dihadapi pengelola kawasan konservasi dapat dibantu dicarikan solusinya dengan penerapan perhutanan sosial di daerah penyangganya.

Pendekatan keterpaduan ini juga dapat diperkuat dengan kehadiran para mitra yang bekerja di tingkat lokal, baik swasta, LSM, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah daerah dan masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan konservasi, dan bahkan di dalam kawasan hutan negara. Para mitra itu dapat berupa individu, para local champion, penggerak lingkungan, perkumpulan di kampung dan desa-desa, tokoh adat, tokoh informal, maupun lembaga-lembaga keagamaan dan lembaga informal lainnya. Semua pemain lokal sangat penting dan merupakan stakeholders kunci dalam kerja-kerja kolaboratif berskala bentang alam.

Salah satu kunci keberhasilan awal dari inisiatif kerja multipihak ini adalah adanya pihak yang menjadi “motor penggerak” yang mampu mendorong para pihak lainnya untuk “duduk bersama”, membangun komunikasi lintas batas. Mereka ini disebut sebagai local champion. Bisa berasal dari kalangan pemerintah (birokrasi), LSM, masyarakat, dan pihak lainnya.



1.        Pembelajaran dari TWA Ruteng
Pengalaman penulis ketika memulai kerja seperti ini di TWA Ruteng, Kabupaten Manggarai pada periode pertengahan 2012  sampai dengan akhir 2013 membuktikan pentingnya peran “motor penggerak” yang memungkinan semua pihak untuk “duduk bersama”. Motor Penggerak ini sebaiknya menempatkan diri sebagai pihak yang tidak memiliki kepentingan atau agenda tersembunyi. Kepentingan yang harus diutamakan adalah kepentingan bersama. Prinsip yang penulis kembangkan adalah “3A” (Ahimsa, Anekanta, Aparigraha), yang dipelopori oleh Gandhi (baca: TWA Ruteng Menuju Penerapan Kerjasama Berbasis TIga Pilar; www.konservasiwiratno.blogspot.com). Dalam kasus di Ruteng tersebut, yang dimaksud dengan “Tiga Pilar” adalah “Gereja”, “Masyarakat (Hukum) Adat”, dan “Pemerintah Kabupaten”. Model pendekatan yang penulis kembangkan adalah yang disebut sebagai “psyco-socio culture”. Model komunikasi asertif face-to face dengan para tokoh kunci, dengan melakukan penelusuran sejarah masyarakat dalam hubungannya dengan TWA Ruteng.  Termasuk di dalamnya adalah “sejarah pengelolaan”.  Model pendekatan ini langsung penulis pimpin dan diikuti oleh sebagian besar staf di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Pendekatan “psyco-socio culture” ini akan menghasilkan “personal trust” yang selanjutnya  harus didukung dengan proses pelembagaannya di tingkat paling bawah. Kalau di Manggarai, di  rumah gendang - di rumah adat, dimana  masyarakat berkumpul untuk memutuskan berbagai persoalan kemasyarakatan, termasuk dalam hubungannya dengan hutan. Secara adat,  model duduk bersama ini disebut sebagai “lontoleuk”. Menggali atribut dan praktik-praktik budaya yang masih hidup menjadi unsur utama dalam proses komunikasi selanjutnya dalam skala yang lebih luas dan semakin kompleks, namun justru tambah menarik.

2.        Masa Depan Rimbang Baling
Kita beruntung bahwa di Sumatera, khususnya di Riau masih terdapat suatu kompleks hutan alam yang sangat luas untuk ukuran saat ini, lebih dari 130.000 Ha atau bahkan bentang alam di sekitarnya sampai 200.000 Ha. Pembelajaran dari data yang ada, tingkat okupasi atau perubahan tutupan vegetasi alami kawasan hutan di Sumatera yang tidak dikelola dengan intensif adalah 4-5 Ha per hari. SM Balai Raja, TN Tesso Nilo (kajian WWF Riau), TN Gunung Leuser wilayah Besitang (Kajian UNESCO), TWA Holiday Resort, dan lain sebagainya. Munculnya pulau-pulau ekosistem yang terfragmentasi dengan akibat lanjutannya pada hancur dan “koyaknya” habitat satwa liar yang diprediksi oleh penulis sejak tahun 2001 sudah terbukti sekarang (baca Wiratno, dkk : “Berkaca di Cermin Retak”, Refleksi Konservasi dan Implikasinya bagi Pengelolaan Taman Nasional, Gibbon Foundation, 2001). Kondisi ini diperkuat dengan kehancuran lowland tropical rainforest akibat meluasnya small holders perambahan sawit sejak 1990 (baca Wiratno, dkk 2013 “Tersesat di Jalan yang Benar”, Seribu Hari Mengelola Leuser, UNESCO, Jakarta Office 2013).

Tanpa keterlibatan masyarakat, swasta, LSM, pemerintah kabupaten dan provinsi, penyelamatan kawasan konservasi hanya omong kosong belaka. Kawasan konservasi dengan luasan yang sempit (< 5.000-10.000 Ha) di Sumatera, tidak akan pernah mampu bertahan, terutama di kawasan dataran rendah, mangrove di pantai atau wetland yang telah terbuka akses jalan dan dikelilingi oleh pusat-pusat pertumbuhan. Apalagi bila pengelolaanya tidak pernah sampai di tingkat tapak. Pengelolaan kawasan konservasi hanya menjadi pembicaraan dan perbincangan para pakar saja dan menjadi bahan kajian yang menghasilkan banyak “orang pintar”.

Maka pengelolaan kolaboratif SM Rimbang Baling akan berkejaran dengan waktu yang melezat cepat, dengan perubahan-perubahan socio-kultur dan perkembangan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa besarnya. Masa depan SM Rimbang Baling sangat ditentukan oleh hasil workshop saat ini dan pengawalan tindak lanjutnya 5-10 tahun ke depan.

3.        Peran Perhutanan Sosial
Perpres No 16 tahun 2015 yang disusun lebih dari tiga bulan proses dialog multipihak, telah berhasil mengangkat “perhutanan sosial”  ke tingkatan Eselon 1 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Struktur Organisasi Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan ini adalah sebagai berikut :




Dengan struktur baru tersebut, seluruh urusan yang menyangkut masyarakat dalam hubungannya dengan hutan, akan menjadi tanggung jawab Ditjen PSKL ini untuk mengkoordinasikannya. Kasus-kasus tenurial, konflik lahan, klaim wilayah adat, akan diselesaikan oleh Direktorat Penanganan Konflik, Tenurial, dan Hutan Adat. Pemberian akses kelola hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan ada pada Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial. Pengembangan, penguatan kelambagaan, peluang usaha pada Hkm, HD, HTR, dan Hutan Adat menjadi tanggungjawab Direktorat Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat. Direktorat Kemitraan Lingkungan akan membantu mendukung kolaborasi multipihak, dukungan komunikasi lintas batas, dan pemberian penghargaan atas berbagai inisiatif lokal pro lingkungan.

Program “Hutan Kemasyarakatan” atau “Perhutanan Sosial” ini merupakan program yang secara resmi dimulai pada tahun 2010, sebagai respon terhadap masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar hutan menggarap di dalam kawasan hutan tanpa izin, yang didorong oleh faktor kemiskinan, kepemilikan lahan di desa yang sangat sempit dan bahkan tidak memiliki lahan garapan. Jumlah desa-desa di sekitar hutan di seluruh Indonesia pada tahun 2007-2008, sekitar 25.863 desa atau 26,6% dari  total desa di Indonesia. Jumlah penduduk desa-desa hutan tersebut adalah 37.197.508 jiwa atau 9.211.299 kepala keluarga, dimana 18,5% atau 1.704.090 kepala keluarga, atau 6.881.539 jiwa tergolong miskin  (Kemitraan, 2014). Merekalah yang menjadi sasaran Program Perhutanan Sosial ini.

Target 2015-2019, Ditjen PSKL harus mampu memberikan izin Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta Ha, melalui hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat,  legalisasi hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Program yang sangat besar ini tentu dapat dijadikan peluang bagi para pihak, khususnya pengelola kawasan konservasi para mitra. Sementara itu, capaian perhutanan sosial pada periode 2010-2015 masih sangat rendah. Total izin yang diberikan dalam bentuk Hkm, HD, dan HTR seluas 1.403.753 Ha dari target 2.750.000 Ha. Demikian pula dukungan dari gubernur dan bupati untuk penerbitan IUPnya baru mencapai 20-25%.

4.        Daerah Penyangga dan Perhutanan Sosial
Pengembangan Daerah Penyangga di sekitar Kawasan Konservasi dalam tataran bentang alam yang lebih luas, penulis yakinisebagai solusi konrkit dari  meluasnya konflik tenurial baik di kawasan konservasi, di hutan lindung, maupun di hutan produksi.

Salah satu model pengelolaan melalui pendekatan bentang alam adalah melalui  Tiger Conservation Landscape, yang dikembangkan oleh WWF di Sumatera. Model ini menggunakan  kriteria lainnya, antara lain  (1) pendekatan lansekap, (2) nilai konservasi, (3) potensial mitra yang akan dan telah bekerja, (4) tingkat kerusakan. Dua contoh yang penulis ajukan lebih detil, adalah di SM Barumun dan SM Rimbang Baling.

a.         SM Barumun-BBKSDA Sumatera Utara.
(1)      Pendekatan Lansekap. Memposisikan kawasan yang ditetapkan sebagai KPHK sebagai “core”, dengan mempertimbangkan pola penggunaan lahan di daerah penyangga dan lansekap yang lebih luas. Misalnya, SM Barumun seluas 40.330 Ha di Kab.Tapsel, Kota Sidempuan, Kab. Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara. SM Barumun ditambah dengan kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas seluas 309.000 Ha,  berbatasan dengan Lansekap Rimbo Panti-Batang Gadis.  Lansekap Rimbo Panti-Batang  Gadis dengan luas 437.600 Ha, merupakan hamparan lansekap yang dinilai penting sebagai “Lansekap Konservasi Harimau” (Rencana Strategi dan Konservasi Harimau 2007-2017, Ditjen PHKA dan Mitra).

(2)      Nilai Konservasi Species dan Daerah Aliran Sungai. SM Barumun merupakan salah satu dari habitat harimau sumatera, tapir, dan berbagai jenis burung. Masih diperlukan eksplorasi detil untuk menemukan berbagai jenis satwa liar yang disebutkan dalam keutusan Menteri Kehutanan No 70 tahun 1989. Berdasarkan daerah aliran sungai, SM Barumun masuk DAS Asahan Barumun (4,1 juta Ha), Sub DAS Batang Sihapas, yang merupakan daerah tangkapan air sangat penting dan penyangga kehidupan bagi jutaan masyarakat yang tinggal di beberapa kabupaten di bawahnya. Saat ini termasuk DAS Kritis yang harus direhabilitasi.  Terdapat kawasan “terbuka” seluas 4.000 Ha atau 10% dari luas SM Barumun (catatan: keterangan Kepala BPDAS Asahan Barumun, cek lapangan 28-29 Agustus 2014).

(3)      Daerah Penyangga. Dalam konteks pengembangan daerah penyangga, dan dengan menggunakan pendekatan lansekap, di sekitar SM Barumun, maka dapat diidentifikasi berbagai pola penggunaan lahan, antara lain hutan produksi, hutan lindung, areal penggunaan lain yang dapat berupa kebun campur, ladang, berbagai sistem agroforestry, dan sebagainya. Sebanyak 54 desa yang berada di daerah penyangga suaka ini, yang terdiri dari  4 desa (Kab.Tapsel), 12 desa (Kab.Padang Lawas), 27 desa (Kab.Padang Lawas Utara), dan 11 desa (Kota Sidempuan). Skema Hkm, HD. HTR sementara ini baru dapat diterapkan di kawasan HP dan HL. Dalam kasus khusus, dapat diterapkan di Hutan Produksi Konversi (catatan : kasus Hutan Desa di Sorong Selatan).

(4)      Kolaborasi Multipihak. Berdasarkan pendekatan lansekap, kita juga bisa mengidentifikasi para mitra yang berpotensi diajak kerjasama, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, LSM, pihak swasta, dan sebagainya. Misalnya, di sekitar SM Barumun telah aktif sebuah lembaga Perkumpulan Biksu Budha, dengan nama Yayasan Bodhicita Mandala Medan, yang mengembangkan ekowisata. Kawasan ini juga berpotensi untuk didukung berbagai lembaga donor atau skema pendanaan, seperti TFCA, atas dasar nilai konservasi dan dukungan para pihak yang sudah ada saat ini. Yang telah aktif selama ini terkait dengan konservasi harimau adalah Forum Harimaukita, yang anggotanya terdiri dari individu-individu yang aktif bekerja untuk konservasi harimau.



b.         SM Rimbang Baling-BBKSDA Riau
(1)      Pendekatan Lansekap
SM Rimbang Baling seluas 136.000 Ha, merupakan inti dari Lansekap Konservasi Harimau Bukit Rimbang Baling. Sedangkan total  luas lansekapnya sekitar 439.500 Ha. Berdasarkan survai WWF, terdapat 25 individu harimau. Suaka ini menarik karena bentuknya yang kompak membulat dan sampai dengan saat ini dalam kondisi relatif tidak mengalami kerusakan. 

(2)      Nilai Konservasi dan Daerah Aliran Sungai
Merupakan salah satu kantung habitat harimau terpenting di Sumatera bagian tengah. Berdasarkan survai WWF, terdapat 25 individu harimau. WWF juga baru membangun Stasiun Lapangan Sungai Sebayang, di Desa Tanjung Belit, Kec.Kampar Kiri Hulu. Selain habitat harimau Sumatera, SM Rimbang Baling penting secara tata air karena merupakan hulu Sub DAS Kampar Kiri, DAS Kampar. DAS Kampar juga termasuk klasifikasi DAS Kritis, antara lain dengan menjaga wilayah hulunya di kawasan suaka ini.

(3)      Daerah Penyangga
Daerah penyangga di sekitar SM Rimbang Baling adalah kompleks Hutan Produksi, Hutan Lindung Terbatas,  Hutan Lindung (termasuk yang berada di wilayah  Sumatera Barat). Apabila kawasan HP belum ada izin dari pihak lain, dan apabila masyarakat memerlukan lahan, dapat megajukan skema hutan kemasyarakatan (Hkm) atau Hutan Desa kepada Menteri Kehutanan, melalui Dit Bina Perhutanan Sosial. Pengembangan daerah penyangga di kawasan ini perlu dilakukan melalui mekanisme pelibatan masyarakat adat di sekitarya. Pembelajaran dari pola “Tiga Pilar” di TWA Ruteng, mungkin dapat diujicobakan di SM Rimbang Baling (catatan : baca konsep Tiga Pilar di www.konservasiwiratno.blogspot.com).

(4)      Kolaborasi Multipihak
WWF Riau Program merupakan salah satu mitra kunci, di samping Forum Harimaukita. Sedangkan masyarakat yang potensial menjadi mitra adalah desa-desa adat di sekitar kawasan ini. Sekitar empat komunitas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Riau berada dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, yaitu ; Kekhalifahan Batu Sanggan (terdiri 8 desa ), Kekhalifahan Ludai (terdiri 13 desa), Kekhalifahan Ujung Bukit  (terdiri 4 desa) dan Kekhalifahan Kuntu (terdiri 4 desa) secara administratif berada di Kabupaten Kampar (WWF, 2012). Masyarakat ini merupakan mitra utama dalam konsep KPHK yang dikelola multipihak, maka mereka perlu dilibatkan dalam setiap tahapan kelola suaka alam ini. Salah satu aktivitas kunci adalah bagaimana memastikan tata batas kawasan dilakukan secara benar dan partisipatif melibatkan tokoh-tokoh adat setempat. Termasuk juga bagaimana menjaga kawasan ini tetap lestari, sekaligus dapat memberikan manfaat nyata bagi dan bersama masyarakat.

Penutup

Pengalaman penulis mengelola kawasan konservasi di TN Gunung Leuser (2005-2007) dan Balai Besar KSDA Nusa Tenggara Timur (2012-2013), memberikan pelajaran berharga sebagai berikut:

(1)  Membangun kerjasama multipihak sebaiknya dimulai dari membangun visi-misi-strategi-langkah langkah yang kuat di internal Balai. Rencara Strategis Balai sebaiknya sejak awal disusun secara partisipatif multipihak, sekaligus membuka ruang komunikasi dan dialog asertif dengan semua pihak kunci, termasuk dengan Pemkab dan Pemprov.
(2)  Renstra dibangun berdasarkan kajian lapangan melalui RBM, analisis dan kajian data dan informasi sekunder, dan konsultasi dengan resource person di semua lini, termasuk expert dan pelaku konservasi di lapangan.
(3)  Membangun jejaring kerja multipihak dan kepakaran dengan lembaga penelitian di tingkat nasional dan universitas setempat menjadi kunci dimulainya discovery potensi kawasan, pemetaan sosial budaya, dan membangun strategi komunikasi, kerjasama, dan network yang dimulai dari small scale untuk diuji proses dan kemanfaatannya dengan berpegang pada prinsip mutual respect, mutual trust, dan mutual benefit (pers comm Wahjudi Wardojo, 2014). Seri penelitian 2009-2014 tentang kemanfaatan soft coral untuk anti cancer di BB KSDA BTT membuktikan hal tersebut (baca : Kalaidoskop BBKSDA NTT 2012-2013).
(4)  Membangun organisasi pembelajar atau “learning organization” di tingkat Balai (Besar), Bidang Wilayah, sampai ke tingkat resort penting untuk mengangkat berbagai persoalan dan potensi kawasan kepada publik, untuk mendapatkan respon dan  dukungan. Referensi bisa dibaca dalam buku “Leadership dalam Organisasi Konservasi” dalam Wiratno (Conservation International Indonesia, 2004).
(5)  Menyelesaikan berbagai persoalan kawasan dengan melakukan pendekatan yang lebih soft, dengan menganalisis sejarah hubungan masyaraat dengan kawasan konservasi, memetakan tokoh-tokoh kunci, membangun jejaring kerja dengan aparat penegak hukum, SKPD setempat sebagai tahap awal dari proses konsolidasi bioofisik kawasan dan potensi sosial budaya masyarakat di daerah penyangga atau di tataran lansekap yang lebih luas.***

Catatan:
Buku-buku dalam bentuk E_book yang pernah saya tulis akan saya serahkan dalam Forum Rakernis Ditjen KSDAE 2016 ini sebagai bahan bacaan dan referensi untuk menambah semangat dan pembelajaran bagi staff Ditjen KSDAE di seluruh tanah air. Saya berhutang pada Ditjen KSDAE yang telah memberikan kesempatan saya bekerja di lapangan hampir 15 tahun dan memetik hikmahnya.
“Hatta mengingatkan kita bahwa hidup di dunia hanya sementara. Karena itu, bumi haruslah dipelihara, ditinggalkan dalam keadaan yang lebih baik dari di masa kita hidup” Deliar Noer dalam buku : “Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman”, 2010 .

Tulisan ini isampaikan Pada Rakernis KSDAE tanggal 28 September 2016 di Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar