"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

15 September 2016

Pengelolaan Kolaboratif Sumberdaya Alam Sebagai Alternatif Pencegahan dan Resolusi Konflik

A.   Latar Belakang
Menurut data dari BPS dan Kementerian Kehutanan tahun 2007 dan 2008, sebanyak 25.863 desa berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan Negara (Kemitraan, 2015). Pada umumnya, masyarakat desa hutan ini kondisi sosial ekonominya sangat bergantung pada sumberdaya hutan. Menurut Prof. Didik Suharjito (2014), jumlah penduduk miskin yang bertempat tinggal di desa hutan sekitar 12 juta jiwa atau 32,4% dari penduduk pedesaan sekitar hutan, atau 66,3% dari penduduk yang tergolong miskin. Nampaknya hutan-kemiskinan berkorelasi langsung. Dan ini menjadi salah satu sumber konflik.

Pasca reformasi 1998, konflik tenurial di sekitar kawasan hutan semakin meningkat dan semakin kompleks.  S Rahma Mary H (Huma) dan Noer Fauzi Rachman (Fakultas Ekologi Manusia - IPB; saat ini bekerja di Kantor Staf Presiden) dalam artikelnya berjudul: “Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis” (Media Indonesia, 26 Desember 2011) menguraikan berbagai persoalan konflik agraria antara masyarakat dan pengusaha, yang cenderung direspon represif oleh aparat negara da perusahaan.

Kedua penulis mengungkap bukti-bukti bahwa selama 10 tahun terkahir terjadi 108 konflik agraria di 10 provinsi yang didominasi konflik tenurial di kawasan hutan (69 kasus), dan konflik perkebunan (23 kasus); BPN mencatat 8.000 konflik agraria. Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, taman nasional, dan Perhutani.



Situasi ini juga dipertegas oleh pendapat  pakar, misalnya dalam Kompas 9 April 2014, dimana  Direktur Pusat Studi Antropologi, Fakultas Sosial Politik, Universitas Indonesia, menyatakan bahwa :”Kebijakan Negara lebih mudah memberikan tanah kepada perkebunan besar. Terjadi ketimpangan penguasaan lahan oleh perusahaan-perusahaan skala besar yang belum tentu menyerap tenaga kerja. Pengabaian petani juga menimbulkan ancaman krisis pangan dan kemiskinan”. Koordinator Hukum dan Politik, Rukka Sombolinggi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menghujat agar Kementerian Kehutanan dibubarkan, dengan merujuk kasus menggerusan lahan milik masyarakat Muara Tae di Kaltim oleh perusahaan besar yang justru didukung oknum aparat keamanan (Kompas, 7 Mei 2014).

Senge, P (2008) menguraikan bahwa saat ini lebih dari 50 juta manusia setiap tahun bermigrasi ke kota-kota, yang disebabkan oleh ekonomi tradisionil yang hancur dan kondisi lingkungan yang terdegradasi, khususnya lahan dan perikanan.   Kita mengetahui secara global terjadi ketimpangan dalam distribusi sumberdaya dan sekaligus dalam “gaya hidup”. James Martin-penulis buku “The Wired Society”, menuliskan dalam buku “The Meaning of the 21 Century” (2007),  menyatakan bahwa 7% penduduk dunia mengkonsumsi 80% energy yang tersedia. Pola konsumsi energi, air, dan sumberdaya alam lainnya setara dengan konsumsi 140 orang Afganistan atau Ethiopia. Dinyatakan oleh James Martin tiga macam penyebab kehancuran sumberdaya alam, yaitu: penurunan kuantitas sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan pola konsumsi. Terbukti pula Amerika adalah negara yang duduk pada peringkat  teratas yang mengkontribusi gas carbon dioksida secara global. Pernyataan James Martin tersebut mungkin dapat mengkoreksi pernyataan dari Club of Rome yang menerbitkan buku The Limits to Growth pada tahun 1972, diterjemahkan ke dalam 30 bahasa dan terjual lebih dari 30 juta copy. Dinyatakan dalam buku tersebut tentang semakin menipisnya sumberdaya alam di dunia yang mereka asumsikan sebagai akibat negatif dari pesatnya pertumbuhan penduduk dunia. Tigapuluh enam tahun kemudian, asumsi itu dipatahkan: 80% sumberdaya alam dunia dihabiskan oleh 7% atau segelintir penduduk dunia-mereka yang hidup “sangat” boros di negara-negara Utara. Senge, P (2008) menambahkan bahwa Komisi yang dibentuk oleh pemerintah US, dan industri minyak US melaporkan bahwa suplai minyak dan gas dunia tidak akan mampu mensuplai permintaan global 25 tahun ke depan, yang akan mendorong naiknya harga minyak dari $ 25/barrel menjadi $ 100/barel antara tahun 2000 sampai akhir 2007.

B.        Karakteristik Sumberdaya Hutan
Banyak pakar mengelompokkan sumberdaya hutan ke dalam sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Ia memiliki ciri-ciri   atau karakter yang berbeda dengan sumberdaya alam lainnya. Sifat-sifat hutan yang menjadi karakteristiknya itu adalah : (irriversible-sulit dipulihkan kembali seperti kondisi semula apabila telah mengalami kerusakan pada titik tertentu (2) kemanfaatannya yang lintas batas, (3) tergolong sebagai common pool resources, (4) long-term goal, bertujuan jangka panjang-lintas generasi, dan (5) multipurpose benefits-kemanfaatannya yang beragam. Penjelasan tentang sifat-sifat sumberdaya hutan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Irriversibel – Sulit dipulihkan kembali seperti kondisi semula
Sebagian besar pakar di bidang botani dan konservasi biologi percaya bahwa sumberdaya hutan tropis merupakan sumberdaya yang  tidak dapat atau sulit sekali pulih ketika telah mengalami kerusakan atau degradasi. Dr.Kuswata Kartawinata, pakar hutan tropis, yang telah pernah membuat plot permanen di TN Gunung Leuser, khususnya di Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menyatakan bahwa diperlukan waktu tidak kurang dari 170 tahun untuk mengembalikan kerusakan hutan tropis dataran rendah di Besitang. Ini suatu contoh bahwa sangat sulit untuk memulihkannya (Baca: Recovery of a lowland Dipterocarp forest twenty years after selective logging at Sekundur, Gunung Leuser National Park-Reinwardtia Vo.12, Part 3, PP: 237-255). Bahkan, secara ekstrem, beberapa pakar menyimpulkan hutan hujan tropis termasuk yang berada di dataran rendah layaknya seperti minyak bumi. Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resource). Kecepatan kerusakah hutan hujan dataran rendah laksana deret ukur, sedangkan kemampuan merehabilitasi hanya mengikuti deret hitung. Ciri ini nantinya akan berimplikasi pada prinsip pengelolaannya yang harus menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle).

2. Benefit beyond boundary-Manfaat lintas batas
Ciri khas yang kedua dari sumberdaya hutan hujan tropis ini adalah nilai manfaatnya yang mengalir jauh sampai di luar batas-batas hutan, ke lansekap yang lebih luas. Oleh karena itu, kita mengenal konsep hulu-hilir dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). TN Gunung Gede Pangrango yang luasnya hanya sekitar 21.000 Ha., ternyata melindungi 3 tiga hulu DAS penting, yaitu Citarum, Ciliwung, dan Cimandiri. Tidak kurang dari 150 desa di Kab.Sukabumi, Bogor, dan Cianjur bergantung pada kawasan taman nasional ini untuk suplai air. Belum termasuk penyerapan carbon, faktor pendorong utama berkembangnya wisata alam di wilayah Puncak, sumber air kemasan, air konsumsi, pencegahan bahaya banjir, longsor, dan kesuburan tanah pertanian, perkebunan, dan sebagainya.  Lebih lanjut bisa baca hasil kajian Wiratno, dkk (2004) dengan judul : Valuation of Mt Gede Pangrango National Park. Information Book Series 2. Balai TN Gunung Gede Pangrango. Untuk mengetahui manfaat lintas batas ini,  maka dilakukan valuasi ekonomi. Hal ini sudah pernah dilakukan di beberapa taman nasional, seperti TN Gunung Leuser (Bekkering-DHV Belanda); TN Batang Gadis (Conservation International Indonesia); TN Bunaken (NRM Project), dan sebagainya.

Agus Purnomo (2012) mengutip penelitian World Bank (2004) menyebutkan bahwa lebih dari 2 miliar orang atau sepertiga penduduk dunia, menggunakan kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan rumah mereka; lebih dari 1,2 miliar orang di dunia tergantung pada hutan sebagai sumber mata pencaharian. Ratusan juta orang bergantung pada obat-obatan tradisional yang diperoleh dari dalam hutan. Di 60 negara berkembang, berburu satwa dan mengambil ikan di lahan berhutan memberikan sumbangan lebih dari seperlima terhadap total kebutuhan protein masyarakat. 

Di Indonesia, lebih dari 48 juta orang yang hidupnya tergantung pada hutan (Kemenhut, 2009). Maka, hutan mengemban amanat sosial-ekonomi  yang sangat besar. Kerusakan hutan akan berakibat pada penurunan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya bagi masyarakat khususnya yang bergantung hidupnya dari hutan.

3. Common Pool Resource
Sumberdaya hutan tergolong ke dalam common pool resource (CPR). Ia seperti sumberdaya lainnya misalnya lautan, padang pasir, gurun, yang karena luasnya (jutaan hektar), maka manusia (pemerintah, masyarakat, swasta, LSM, individu) kesulitan dalam mengelolanya secara ekslusif untuk mencapai kondisi yang lestari. Upaya privatisasi terhadapnya sangat mahal. Memagari kawasan hutan dengan panjang batas ratusan kilometer adalah usaha yang mustahil, karena akan sangat mahal dan tidak ada alasan yang cukup bagi pemerintah untuk melakukan hal tersebut. Pencurian sumberdaya laut Indonesia oleh nelayan asing juga bukti lain yang memperkuat fakta-fakta ini. Implikasi dari ciri khas atau sifat-sifat ini adalah perlunya negosiasi, kolaborasi, atau penjagaan dan pemanfaatan bersama para pihak itu. Perlu aksi kolektif sehingga beban dan tanggungjawab dibagi bersama agar lebih ringan. Sifat ini tidak dimiliki sumberdaya lain, seperti bahan tambang, minyak bumi, yang bersifat non renewable.  Yaitu sumberdaya yang tidak bisa diperbaharui oleh manusia. Mereka kelompok sumberdaya yang hanya Tuhan yang menciptakannya. Hutan, masih bisa dibangun manusia. Minyak bumi, emas, perak, tembaga, uranium, dan lain sebagainya, tidak akan pernah dibuat oleh manusia.

4.  Long-term Goals-Tujuan jangka panjang
Pengelolaan kawasan hutan dan kawasan konservasi  memiliki perspektif dan tujuan-tujuan jangka panjang, lintas generasi, 100-200 tahun yang akan datang. Sementara itu, kepentingan manusia cenderung  pendek. Harian, bulanan, tahunan, dan maksimal lima tahun (Pilkada). Tujuan jangka panjang ini juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi manusia, agar dengan ipteknya, mampu mengungkap berbagai manfaat kawasan hutan atau kawasan konservasi itu. Berbagai jenis jazad renik, jamur, mikroba di dalam hutan hujan tropis, yang saat ini belum kita ketahui manfaatnya, karena keterbatasan iptek dan kebijakan yang tidak berpihak pada research and development,  suatu saat di masa depan dapat diungkapkan untuk kemanfaatan kemanusiaan.  Cara pandang jangka pendek menyebabkan penilaian yang rendah terhadap  hutan dan kawasan hutan. Antara lain, dengan investasi yang tidak sepadan dengan manfaat yang didapatkan oleh publik. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh pegiat konservasi, dosen, pakar, LSM, pemerintah, swasta, dan masyarakat. Nafsu antroposentrisme-manusialah yang berkuasa dan menguasai alam dan sumberdaya alam, dengan sikap yang ingin selalu menghabiskan secepat-cepatnya menjadi kecenderungan yang umum terjadi, apabila kita berhubungan sumberdaya alam.

5. Multipurpose Benefits-Beragam manfaat
Kawasan hutan dan kawasan konservasi memiliki manfaat yang sangat beragam. Sebagian kecil yang mampu diungkap oleh manusia. Sebagian besar lainnya masih menjadi rahasia, bahkan oleh kemampuan manusia dengan ilmu pengetahuan yang ada saat ini. Kesalingterhubungan antara komponen biotik, abiotik, membentuk  beragam asosiasi, pola ketergantungan, saling memberi dan menerima, dalam situasi yang sangat rumit dan dinamis, mulai dari lantai hutan sampai ke tingkatan tajuk tertingginya; dari hutan pegunungan tinggi, rajutan sungai-sungainya hingga kawasan pantai, rawa, lautan. Salah satu rantai keterhubungan itu putus atau diganggu, akan mengganggu pola-pola pertumbuhan, dinamika dan keseimbangan pada seluruh rangkaian baik pada tingkatan spesies sampai ke tingkat ekosistem/habitat, dan akibatnya pada menurunnya kualitas lingkungan hidup yang akan merugikan manusia.  Emil Salim dalam bukunya  Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi (Penerbit  Kompas, 2010), menyatakan bahwa daya dukung alam dapat ditingkatkan melalui pendekatan eco-development. Dalam rangka eco-develompent tersebut, Indonesia yang pada tahun 2000 saja sudah berpenduduk 206 juta, Indonesia menghadapi tiga masalah lingkungan hidup yang pokok, yaitu air, tanah, manusia.

C.        Perebutan Ruang Kelola
Dalam perjalanan pengelolaan kawasan hutan sejak tahun 1970, telah terjadi perubahan-perubahan kebijakan yang mendasar. MIsalnya di masa lalu, izin pemanfaatan hutan alam untuk kayu atau hutan tanaman, dapat mencapai luasan ratusan ribu hektar per pemegang izin, saat ini sangat dibatasi hanya 50 ribu hektar, kecuali di Papua masih dimungkinkan luasan > 100.000 Ha.  Namun demikian, secara komulatif, di seluruh provinsi  telah terjadi ketimpangan alokasi ruang, antara pemegang izin pemanfaatan skala  menengah besar dengan ruang kelola untuk masyarakat. Hal ini juga terjadi karena program Perhutanan Sosial, secara keproyekan dimulai 2007 dan secara nasional baru dilaksanakan melalui target yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014, dengan target 1,5 juta hektar dan pada 2015-2019 ditetapkan target 12,7 juta hektar.

Kondisi alokasi ruang di dua provinsi contoh di Pulau Sumatera, yaitu Riau dan Sumbar dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut :

a.    Provinsi Riau
Provinsi ini menarik untuk dipelajari karena beberapa hal yang menjadi latar belakangnya. Pertama, model penggunaan lahan skala besar oleh pengusaha besar di masa lalu dan berlanjut sampai dengan saat ini. Kedua, Riau merupakan provinsi dengan luas ekosistem gambut paling besar se Sumatera (4 juta hektar) dari total ekosistem gambut Sumatera seluas 7,2 juta hektar. Ketiga,  provinsi dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi dibandingkan dengan rata-darat nasional akibat in migration, bukan karena kelahiran. Dengan total luas kawasan hutannya 5.449.963 hektar, terbagi ke dalam alokasi HTI seluas 1.638.635 hektar atau 29,8%;  peruntukan untuk kebun seluas 1.558.534 Ha atau 28,3% dan PIAPS seluas 1.093.964 hektar atau 19,9%.  Tipologi alokasi lahan seperti ini juga menunjukkan dominasi pemegang izin skala besar dan dominasi perkebunan. Potensi perhutanan sosial di Riau, walaupun cukup luas, namun untuk implementasinya akan menghadapi situasi dimana kawasan tersebut sudah diklaim, diduduki, digarap, dan dikuasai oleh berbagai bentuk mafia. Ini yang menjadi salah satu tantangan pengembangan perhutanan sosial.

Alokasi Pemanfaatan Kawasan Hutan di Provinsi Riau :


Infografik tersebut menunjukkan bahwa ruang di Provinsi Riau, didominasi oleh hutan tanaman industri (29,8%) dan perubahan peruntukan untuk kebun (28,3%). Sedangkan ruang kelola untuk masyarakat secara riil baru mencapai 19.949 hektar berupa hutan desa atau hanya 0,4%.

Pertumbuhan penduduk di Provinsi Riau sangat tinggi. Pada tahun 2010, angka pertumbuhan penduduk di Riau mencapai angka 4,46 % dengan 5.543.031 jiwa. Pertumbuhan penduduk ini tergolong tinggi dan di atas standar nasional di angka 1,3 %. Hanya saja, tingginya pertumbuhan penduduk di Provinsi Riau disebabkan faktor lain selain angka kelahiran dan kematian, yakni angka migrasi dan perpindahan penduduk (sumber : http://riaupos.co.id/news/2011/06/pertumbuhan-penduduk-riau-di-atas-standar-nasional). Apakah kondisi ini berkorelasi langsung dengan meningkatnya konflik penggunaan lahan, kebakaran lahan dan hutan? Potensi perhutanan sosial cukup luas di provinsi ini, yaitu seluas 1 juta hektar, berdasarkan PIAPS. Namun demikian, kondisi di lapangan belum tentu semudah yang diprediksi dari peta. Kawasan di PIAPS yang dinyatakan bebas dari izin dari Kementerian LHK, belum tentu bebas dari penguasaan spekulan lahan. Kondisi Sumatera Utaram Jambi, dan Sumatera Selatan adalah mirip dengan Provinsi Riau.

b.   Provinsi Sumatera Barat
Dari total luas kawasan hutan seluas 2.380.058 hektar, didominasi dengan kawasan hutan konservasi seluas 806.939 hektar (33,9%), dan kawasan hutan lindung seluas 791.671 hektar (33,3%). Dengan demikian, seluas hampir 67,2% didominasi oleh kawasan lindung. Struktur alokasi pemanfaatan ruangnya adalah sebagaimana digambarkan dalam infografis berikut ini.



Provinsi Sumbar telah mendeklarasikan 200.000 hektar kawasan hutan lindung untuk diproses menjadi Hutan Nagari (Hutan Desa) untuk target 2016. Bahkan visi pembangunan kehutanan di Sumatera Barat dilandasi dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat atau PHBM.  Alokasi ruang untuk kebun juga sangat sedikit (164.385 Ha atau 6%), jika dibandingkan dengan Provinsi Riau yang mencapai 28,3% dari total kawasan hutannya. Kekuatan yang dimiliki Sumatera Barat, terutama adalah modal sosial di tingkat paling bawah dalam sistem kelola kawasan hutan di tingkat Nagari.

Prinsip Penyelesaian Konflik:  3A + Gakkum
Pengalaman selama beberapa tahun mengurus konflik dan perambahan kawasan, di TN Gunung Leuser (2005-2007), TWA Ruteng (2012-2013), dan kasus-kasus perambahan di berbagai perusahaan pemegang izin (HTI, Restorasi Ekosistem) di Sumatera 2015-2016, memperteguh pandangan dan keyakinan saya bahwa dalam menyelesaikan konflik, seberapa berat dan besarnya konflik tersebut, kita harus memiliki sikap dan laku yang tepat, yang didasari pada tiga prinsip dasar yang saya sebut sebagai “3A”. Nilai penting yang dicontohkan oleh laku Mahatma Gandhi.

Pertama:  Ahimsa, jangan melukai baik dalam ucapan maupun perbuatan. Hentikan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan masyarakat, kita wajib melakukan pendekatan yang manusiawi, dan lebih mengutamakan dialog, kalau bisa dengan mengedepankan nilai-nilai budaya setempat, bagaimana berkomunikasi dan membangun kesepahaman. Mengapa dialog? Karena manusia adlah mahluk berkomunikasi kata filsuf Habermas. Dengan kemampuan komunikasinya, manusia berpotensi besar dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidupnya, termasuk konflik.

Kedua: Anekanta, yaitu melakukan perundingan dan perujukan tanpa  menyeragamkan sifat keanekaan yang ada dalam masyarakat manusia. Kerukunan dan persatuan dalam masyarakat harus tetap menghormati keanekaan kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya. Dalam perundingan yang menghormati keanekaan apa yang dibangun bersama adalah aturan main yang menguntungkan semua pihak. Inilah dinamika dari “maksud baik” dalam perundingan yang menjaga dan menghormati aneka kepentingan.

Ketiga: Aparigraha. Ialah kesadaran semua pihak untuk datang berunding sebagai seakan-akan tak punya rumah, tak punya atribut. Artinya dengan kemurnian kalbu, secara bersama-sama, merenungkan nilai-nilai universal yang membedakan mana yang benar dan salah, yang baik dan yang buruk, yang berfaedah dan tidak berfaedah.

Ketiga prinsip tersebut perlu dibarengi dengan proses penegakan hukum yang tepat sasaran. Penegakan hukum yang ditujukan kepada aktor intelektual, yang biasanya kelompok pemodal, actor politik, pedagang, spekulan lahan, dan sebagainya. Peta pemain dan permainan hanya dapat digambarkan secara komprehensif melalui pekerjaan intelijen dan kajian alur sejarah;

Tahapan prosesnya adalah sebagai berikut :
(1)  Sejarah penunjukan/penetapan kawasan hutan, sejarah perubahan tutupan lahan, yang hal ini seiring dengan penguasaan lahan secara illegal;
(2) Sejarah pemukiman, mobilisasi penduduk, aktor pemodal yang bermain-keterkaitan dengan politik, oknum penegak hukum sampai ke level desa, lapangan; keterkaitan dengan  aparat dusun, desa, Babinda, Babinmas, kecamatan, kabupaten;
(3)  Sejarah manajemen kelola kawasan dalam kaitannya dengan pengembangan daerah penyangga khususnya dengan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang menjadi konsesinya atau wilayah kelolanya.
(4)  Dinamika tipologi ketergantungan masyarakat-hutan, tipologi ekonomi subsisten-pasar; dinamika perubahan tutupan lahan, dan dinamika kependudukan; dan mencari solusi bersama.

Berdasarkan keempat tahapan tersebut di atas, dicari solusi legalnya. Misalnya untuk kelompok masyarakat miskin, kelompok tuna lahan, kelompok pengembara sementara, harus diajak berembug dan dialog dan diberikan pilihan :
(a)     Masuk dalam program Perhutanan Sosial-Hkm, HD, HTR, Kemitraan.
(b)     Dikembalikan ke desa aslinya bagi kelompok pengembara sementara.
(c)     Masuk menjadi penduduk baru pada desa atau pemekaran desa baru.

Proses tersebut memerlukan pra kondisi, dimana pemerintah daerah baik di provinsi dan khususnya di kabupaten beserta jajaran penegak hukumnya (hakim, jaksa, polres) bersatu dan bersepakat menegakkan hukum secara konsisten-tepat sasaran. Tanpa komitmen dari mereka, akan sangat sulit dilakukan penegakan hukum yang tepat sasaran dan menyelesaikan persoalan bagi kelompok miskin. Sementara itu, pemegang izin juga harus legowo untuk secara serius melakukan perubahan-perubahan pendekatan manajemen yang tidak selalu mengedepankan represif tanpa strategi yang jelas dan komprehensif bagaimana solusi pasca penegakan hukum, misalnya sampai melakukan penggusuran,  dan apalagi bila perambahan telah terjadi dalam waktu yang lama.

Penulis berpendapat perlu dibentuk Kelompok Kerja Penyelesaian Perambahan Kawasan Hutan. Pokja dapat dibentuk di tingkat provinsi maupun kabupaten yang anggotanya terdiri dari para pihak, yaitu unsur dinas kehutanan, perkebunan/pertanian, transmigrasi, aparat penegak hukum, lembaga swadaya masyarakat, dan pemegang izin. Kementerian LIngkungan Hidup dan Kehutanan bekerja dengan Pokja dan model ini akan lebih  efektif daripada model penyelesaian saat ini yang bersifat ad hoc. Pokja juga dapat memantau lebih awal apabila terjadi berbagai persoalan tindak pidana di dalam kawasan hutan Negara di provinsi tersebut, sehingga persoalan dapat dipecahkan mulai dari awal pada skala yan masih dapat ditangani oleh daerah. Kerjasama lintas provinsi menjadi penting karena telah terjadi fenomena mobilitas penduduk secara terorganisir dari satu provinsi ke provinsi lain atau dari kabupaten ke kabupaten lainnya, dengan tujuan untuk menguasai lahan-lahan yang mereka anggap terlantar atau tidak dikerjakan, untuk dikelola dan ditanami dengan komoditi seperti singkong (kelompok dari Lampung, keturunan jawa), sawit/karet (kelompok dari medan), yang menggunakan modus perluasan dusun pada desa-desa yang telah definitif.

D.        Bahan Diskusi
Dari berbagai latar belakang dan fakta-fakta yang diungkap tersebut, dapat diajukan beberapa pemikiran sebagai bahan diskusi dalam sesi berbagi pengalaman ini, sebagai berikut :
1.  Kolaborasi pengelolaan kawasan hutan, kawasan konservasi merupakan suatu keharusan, karena pemerintah, pemegang izin (swasta), pengelola (TN, KSDA), dan LSM tidak mampu melakukan pengelolaan secara soliter.
2.  Kolaborasi pengelolaan kawasan hutan, kawasan konservasi menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal. Keduanya memerlukan kemampuan “leadership” untuk mengawal proses kolaborasi multipihak, multisektor, multidisipliner.
3.  Kolaborasi adalah kendaraan (means) bukan tujuan (ends).  Untuk itu diperlukan keberanian melakukan ujicoba skala kecil, dengan melakukan inovasi, diskresi kebijakan, pengawalan proses, pembelajaran bersama, dan dokumentasi proses pembelajaran.***

Bahan Rujukan:
Awang., S.A.,  2013. Deforestasi dan Konstruksi Pengetahuan Pembanguan Hutan Berbasis Masyarakat. Artikel Utama. Jurnal Rimba Indonesia Volume 51, Mei 2013.
Capra, F.,  2001. “Jaring-jaring Kehidupan” Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan.
De Santo., J., 2015. Sekolah Perdamaian. Harian Kompas, tanggal 2 Januari 2015.
FAO., 2014. State of the World Forest 2014. FAO Rome.
Gutomo B Aji., dkk. 2014. Poverty reduction in villages around the forest : the development of social forestry model and poverty reduction policies in Indonesia. Research Center for Population. Indonesian Institute of Sciences.
Ismatul H dan R Wibowo (Ed).,2013. Jalan Terjal Reformasi Agraria di Sektor Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Litbang Kehutanan.
Kartodihardjo., 2013. Kembali ke Jalan Lurus. Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan di Indonesia. Hariadi Kartodihardjo (Editor).
Sarong. F., 2013. Serpihan Budaya NTT (Kumpulan Ficer di Harian Kompas). Tony Kleden dan Maersel Robot (Editor). Penerbit Ledalero. Cetakan I-Mei 2013. Eman., J.E & R.Mirse. (Ed)., 2004. Gugat Darah Petani Kopi Manggarai. Penerbit Ledalero. Cetakan I 2004.
Suharjito, D., 2014. Devolusi Pengelolaan Hutan dan Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. IPB, 03 Mei 2014.
Wiratno, 2012. Tipologi Konflik-konflik Sosial di Kawasan Konservasi dan Upaya Solusinya. www.konservasiwiratno.blogspot.com.
Wiratno, 2013. Pendekatan Budaya dalam Menjaga Lingkungan: Kontribusi Kerja Jurnalisme dan Pemikiran Frans Sarong. www.konservasiwiratno.blogspot.com.
Wiratno, 2013. Mengelola TWA Ruteng dalam Perspektif Alternatif Ketiga. www.konservasiwiratno.blogspot.com.
Wiratno, 2014. Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa : Solusi Konflik, Pengentasan Kemiskinan  dan Penyelamatan Habitat  dan Perlindungan Keragaman Hayati. Direktorat Bina Perhutanan Sosial. Ditjen BPDASPS, Kementerian Kehutanan.
Wiratno., 2011. Solusi Jalan Tengah, Esai esai Konservasi Alam. Direktorat Kawasan Konservasi, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementerian Kehutanan.
Wiratno., 2016. Mengelola Hutan dalam Perspektif Alternatif Ketiga. www.konservasiwiratno. blogspot.com
Wiratno., 2015. Perkembangan Perhutanan Sosial. Direktorat Bina Perhutanan Sosial. Ditjen BPDAPS.

*) Makalah disampaikan pada “Berbagi Pengalaman Pengelolaan Kolaboratif di Kawasan Hutan Sebagai Alternatif Pencegahan dan Resolusi Konflik”, Fak.Ekologi Manusia_IPB_27 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar