"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

31 Oktober 2016

Growth Mindset Pilar Perhutanan Sosial: Catatan Kritis Menyambut Terbitnya Permen LHK tentang Perhutanan Sosial

Dalam teori tentang mindset, sikap dan perilaku Wahjudi Wardojo seperti tersebut di atas, disebut bahwa ia membangun “Growth Mindset” (Hiring for Attitude oleh Eilen Rachman & Emilia Jakob, Kompas 26 Maret 2016). Kedua pakar tersebut menyatakan bahwa mereka yang memiliki ‘growth mindset’ akan memfokuskan energi positif mereka dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan mereka. Mereka tidak takut bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua kali lipat dibandingkan dengan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan cepat bilamana mereka mengalami kegagalan.

Mereka yang memiliki ‘growth mindset’  bukanlah mereka yang tidak pernah merasa takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi semata-mata lebih karena mereka tidak membiarkan rasa takut itu menguasai mereka. Nelson Mandela mengatakan, “I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph  over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”.



Sang ‘Ground Breaker’
Wahjudi Wardojo pada periode 1993-1997, mampu membuktikan bahwa dengan semua keterbatasan yang ia miliki sebagai Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Halimun, menyatakan bahwa tugasnya adalah mission impossible. Namun  berbagai keterbatasan, hambatan, dan persoalan yang dihadapinya, dapat diatasi dengan berbagai terobosan dan inovasi. Inovasi yang paling valid antara lain dibentuknya model kemitraan multipihak-multidisiplin yang pertama kali di Indonesia, yaitu: Konsorsium Gedepahala, program volunteer taman nasional, dibangunnya Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol,  Pusat Rehabilitasi Owa Jawa di Bodogol; penyelesaian perambahan PETI di TN Halimun pada tahun 1993 dengan cara yang damai, cerdas dan tuntas,  penerapan reward and punishment kepada stafnya,  dan masih banyak yang lainnya.  Setelah 20 tahun kemudian, inovasinya masih valid dan justru semakin menemukan konteks dan momentumnya.

Dalam perkembangan pengalaman kemitraan tersebut, muncul icon tentang prinsip kemitraan yang penting yaitu “3M”, yaitu mutual respect, mutual trust, dan mutual benefits.  Suatu tagline yang ngetrend dipakai oleh pejabat Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), sampai dengan saat ini. Namun demikian, banyak pihak yang sebenarnya kurang memahami esensi dan spiritnya serta siapa yang mempopulerkan pemikiran tersebut. Dengan menerapkan “3M” untuk membangun kemitraan multipihak-multidisipliner, ia menemukan fakta bahwa dari mission impossible dapat dirubah menjadi possible mission. Yang tidak pernah muncul secara langsung dari berbagai pengalamannya adalah tentang pentingnya sumberdaya manusia dalam konteks kapasitas leadershipnya.

Perhutanan Sosial Bagaimana?
Program perhutanan sosial yang telah dicanangkan seluas 12,7 juta Ha atau hampir seluas negara Inggris adalah mission impossible, apabila kita mempertimbangkan keterbatasan anggaran, UPT yang hanya lima dari yang semula 36 UPT, dan kemampuan capaian per tahun yang hanya 200.000-300.000 Ha. Luasan 12,7 juta Ha yang dialokasikan dalam RPJMN 2015-2019, yang berarti setiap tahun seharusnya dicapai 2,5 juta Ha kawasan hutan negara yang dikelola oleh masyarakat pinggir hutan.

Bagaimana konsep : growth mindset ini bisa diterapkan dalam pelaksanaan perhutanan sosial dengan target yang sangat luas itu?

a.    Perubahan Paradigma dan Kebijakan Kehutanan
Perhutanan sosial adalah alat untuk menyelesaikan konflik secara damai dan (lebih) beradab. Perubahan kebijakan, sikap mental, dan paradigma yang ditindaklanjuti dengan perubahan strukstur organisasi kementerian LHK, dimana lahir Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan pada tahun 2015. Perjuangan yang sangat panjang dari tokoh-tokoh perhutanan sosial sejak Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII 1978, dengan tema “Forest for People”, baru muncul proyek sosial forestri tahun 2007, dan struktur organisasi Eselon I yang diberi nama “Perhutanan Sosial”, memerlukan waktu 37 tahun (sejak 1978), atau  29 tahun (sejak 2007). Sangat amat terlambat sebenarnya. Kerusakan hutan dalam tempo 30 tahun itu sudah sungguh luar biasa, sebagaimana kita saksikan saat ini.  Maka, diperlukan proses percepatan, kerja bareng yang terpadu sinergis, serta memiliki sikap konsisten dan persisten.

b.   Inovasi Pokja PPS
Pokja Percepatan Perhutanan Sosial di setiap provinsi  yang telah mulai dibentuk dan direspon dengan antusias di banyak provinsi merupakan salah satu perwujudan dari growth mindset tersebut. Pokja PS di Sumatera Barat dan yang lebih tua lagi Forum Hutan Kemasyarakatan di Lampung merupakan contoh nyata inovasi yang berani dan tepat sasaran. Berbagai persoalan yang menyangkut masyarakat dengan sumberdaya hutan dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan dalam forum-forum Pokja tersebut. Yang sangat menarik adalah munculnya fenomena “mencairnya” kebekuan komunikasi birokrat kehutanan di provinsi, kabupaten, dengan CSO, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, karena mereka menjadi anggota Pokja. Tentu hal ini karena sumbangan leadership dari beberapa champion di Pokja tersebut. Muncul secara perlahan tetapi pasti nilai-nilai governance, seperti keterbukaan, partisipasi,  kegotongroyongan, yang selama ini mati suri.

c.    Fenomena WhatsApp Group
Memanfaatkan kehandalan dan kecerdasan IT, seperti WhatsApp ini  untuk kelancaran komunikasi dalam hitungan detik, telah dengan nyata memperlancar  aliran data, informasi, pembelajaran, inspirasi, provikasi, yang berakibat pada meningkatnya pemahaman,  kebersamaan, kesalingterhubungan antara pusat-daerah dan juga lintas stakeholder. Laporan perkembangan, laporan adanya masalah, temuan real time adanya pelanggaran di lapangan, atau ditemukannya potensi yang ada dapat langsung diketahui siapapaun yang ada dalam WAG tersebut. Inovasi yang tidak ada pada masa Pak Wahjudi Wardojo jadi Kepala TN Gunung Gede di 1993 saat ini. WAG powerful bila digunakan dengan bijak. Saya bisa menyaksikan hiruk pikuknya komunikasi di WAG Sumbar dengan nama CBFM-Sumatera Barat; Pokja PPS Sulteng, Lampung (Konservasi Lampung, PERSAKI Lampung, Rimbawan Lampung), Pokja PS Kalsel, Perhutanan Sosial Kaltim, Pokja PS Nasional dan sebagainya.

d.    Local Champion
Perhutanan sosial dilahirkan, dihidupi, dan sekaligus melahirkan banyak local champion (LC) di tingkat lapangan. Para LC inilah contoh dari figur-figur yang memiliki growth mindset. Ada Mas Heri Santoso dan Mas Yayan, yang memulai bekerja berdiskusi tentang hutan desa di Kulonprogo pada tahun 1999, saat penulis jadi Kepala Unit KSDA Yogya dan ikut dilibatkan dalam diskusi dan kunjungan lapangan ke calon hutan desa yang kini terkenal dengan Kalibiru. Mas Wito dan timnya yang banyak bergerak di Repong Damar Krui, yang sangat terkenal karena akhirnya menjadi KHDTK masa Menteri Pak Djamaludin itu. Ritno Kurniawan, sarjana Pertanian UGM yang kembali ke desanya dan akhirnya mampu merubah sikap mental para pembalak kayu menjadi pelaku ekowisata di Hutan Nagari Lubuk Alung di 2015. Mas Rudi Syah, Mas Rahmat dan tim WARSI yang menjadi pendamping setia kelompok minoritas Orang Rimbo yang terisolir dan termarginalkan akbiat sistem eksploitasi hutan skala besar dan masif. Mbak Nurka, Om Buyung,  dan Tim Peneliti pendamping di Hkm Sumberjaya periode 2005. Edison Watala, Pak Warsito tokoh penggerak perubahan kelola hutan di Lampung, Mbak Christine Wulandari yang intensif melakukan penelitian di bidang perhutanan sosial,  Pak Makhrus dan tim di Pusat Perhutanan Sosial dan Agroforestry UNLAM, yang turun langsung fasiitasi Hkm di Kab.Tanah Laut,  Pak Gusti - pengawal Gubernur Kalbar, dan salah satu pendorong PS di Kalbar,  Pak Lejie Taq tokoh Dayak di Berau yang mengawal HL Wehea, Stanley Kepala Kampung HD Merabu, Taufik, Niel Makinudi, Iwan Wibisono-pengawal Multilayer Policy Intervention di program Green Growth Compact-Kaltim, Bu Herlina-tokoh pembangun skema SIGAP, bottom up planning di tingkat kampung TNC, dan masih banyak lagi figur-figur yang memiliki growth mindset. Perhutanan sosial di lapangan dihidupi dan dihidupkan oleh mereka.  Tokoh penggerak lahirnya gerakan masyaraat adat, Abdon Nababan, Dahniar-Perkumpulan HUMA, dan masih banyak tokoh-tokoh adat di seluruh Nusantara.

Belum lagi adanya komitmen  para senior yang saya kira connecting baik langsung maupun tidak langsung dengan perhutanan sosial dan ranah perjuangannya, seperti Prof Suryo Adiwibowo yang jadi Nakhoda Fakultas Ekologi Manusia IPB, Prof San Afri Awang - penjuang PS sejak lama, Prof Didik Suhardjito, Prof Hariadi K yang terus mendorong policy reform dan stream lining researchàpolicy reviewàplanningàaction,  di bidang perhutanan sosial dan lingkungan secara umum.

e.    Trust Fund Perhutanan Sosial
Ketika 12,7 juta hektar tidak bisa kita selesaikan sampai 2019, maka perlu energi besar untuk mendukungnya pasca 2019. Energi itu berupa pendanaan jangka panjang.  Saya mengusulkan  dibangunnya Trust Fund (TF) Perhutanan Sosial.  Semestinya TF ini digarap dan menjadi agenda mendesak untuk mulai dibicarakan sekarang. Perlu didorong siapapun yang menjadi pengguna  lahan terbanyak ia yang juga menjadi penyumbang terbesar. Semakin luas lahan hutan ia kuasai atau di bawah kontrolnya, semakin banyak ia menyumbangkan CSR atau Dana Lingkungannya  kepada TF Perhutanan Sosial. Misalnya provinsi Riau yang 60% kawasan hutannya dikuasai oleh HPH, HTI, dan Perkebunan, semestinya mereka penyumbang terbanyak untuk TF Perhutanan Sosial ini.

Optimisme untuk Perhutanan Sosial
Dari berbagai persoalan yang dihadapi kehutanan Indonesia dikaitkan dengan masyarakat pinggir hutan selama 46 tahun, terhitung sejak 1970,  masihkah ada optimisme? Masihkan ada spirit yang dikonsolidasikan sehingga dari mission imposible menjadi possible mission, seperti yang telah dicontoh-nyatakan oleh Pak Wahjudi Wardojo 23 tahun yang lalu? Kemampuan Dijen PSKL dan Dit PKPS hanya 1/10 dari target nasional 12,7 juta hektar.

Pertanyaan ini rasanya menjadi pertanyaan dan renungan kita bersama. Para penggerak, pemikir, intelektual, pemerhati, praktisi, tokoh, dan semua yang merasa terpanggil untuk membantu dan aktif terjun langsung di lapangan maupun yang bekerja di ranah kebijakan, policy reform. Diperlukan leadership yang konsisten dan persisten  di semua layer (pusat-provinsi-kabupaten-site level) serta yang memiliki growth mindset. Kita sebenarnya memiliki modal itu semua hanya belum terkonsolidasi dengan cermat dan tepat.

Di setiap pixel pekerjaan manusia, termasuk di perhutanan sosial,  memiliki muatan keilahian, karena kita dimandatkan sebagai ‘khalifah di bumi’. Maka, niat menjadi sangat amat penting. Niat yang ikhlas, rasanya menjadi yang pertama perlu kita ingat, teguhkan, tanamkan, dan ucapkan sebelum memulai pekerjaan besar perhutanan sosial. So much to do so little time.
Tidak ada pilihan lain: sekarang atau tidak sama sekali.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar