"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

05 Desember 2017

Paradigma Baru Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia: Membangun ‘Learning Organization’

FAKTA
1.  Indonesia memiliki kawasan konservasi yang tersebar di seluruh wilayah propinsi, sebanyak 556 unit dengan luas mencapai 27,26 juta hektar, dimana seluas 5,32 juta ha merupakan kawasan konservasi perairan atau 21,26% dari total luas kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan di Indonesia. Mewakili seluruh tipe ekosistem yang ada di wilayah Nusantara, mulai dari ekosistem pegunungan, hutan dataran rendah, savana, ekosistem pantai, padang lamun sampai ekosistem terumbu karang.
2.  Sebagian besar atau 60,19% kawasan konservasi berstatus sebagai taman nasional. Beberapa dari taman nasional memiliki pengakuan global seperti World Heritage, Biosphere Reserve, ASEAN Heritage dan Ramsar Site. Pengakuan global merupakan bukti bahwa kawasan konservasi di Indonesia memiliki nilai penting bagi konservasi keanekaragaman hayati secara global. Kawasan konservasi juga berfungsi sebagai daerah resapan air, ‘pabrik air’, perlindungan hidrologi, iklim mikro, kesuburan tanah, sumber mikroba, keseimbangan siklus air, penyimpan karbon dan menjaga kesehatan daerah aliran sungai dari hulu sampai ke hilir.
3.   Kawasan konservasi dikelilingi oleh lebih kurang 5.860 desa. BRWA/AMAN, HUMA dan mitra lainnya mengusulkan sebagian dari wilayah tersebut sebagai wilayah adat (seluas kurang lebih 1.640.264 hektar di 129 komunitas adat). Misalnya di kawasan TN Betung Kerihun  seluas ± 306.068 hektar, kawasan TN Sebangau seluas ± 138.321 hektar, serta kawasan TN Lore Lindu seluas ± 95.458 hektar.
4.  Sejak era 1980-an telah terjadi perubahan penggunaan lahan akibat eksploitasi hutan skala besar, yang kemudian terus berlanjut di era 1990-an. Terjadinya booming penggunaan lahan untuk keperluan monokultur (terutama komoditi sawit, kopi, coklat, dan karet) dan dengan berkembangnya pengembangan pembangunan infrastruktur, lahirnya kota-kota baru, serta mobilitas dan pertumbuhan penduduk telah menyebabkan perubahan cukup luas dan mengakibatkan kawasan konservasi mendapatkan tekanan yang lebih besar dan kompleks menyebabkan  timbulnya fenomena ‘Island Ecosystem’ dan fragmentasi habitat.
5.  Berdasarkan kajian dari Direktorat Jenderal KSDAE, Direktorat PIKA dan Direktorat Kawasan Konservasi, diidentifikasi terdapat daerah terbuka (open area) seluas ±2,8 juta hektar dari 22.108.630 hektar kawasan konservasi daratan atau seluas 12,6%. Daerah terbuka tersebut disebabkan oleh perambahan untuk perkebunan, untuk pertanian lahan kering, illegal logging dan penambangan liar.
6.  Meningkatnya konflik satwa liar dengan manusia akibat hilangnya habitat, terputusnya koridor, overlapping daerah jelajah satwa liar dengan kegiatan manusia, meningkatnya perburuan dan perdagangan satwa liar secara ilegal merupakan bukti semakin menurunnya kualitas lingkungan dan Biological Catastrophe yang antara lain berupa meningkatnya serangan hama ke lahan-lahan pertanian, hilangnya pollinator, serta muncul dan berkembangnya alien spesies. Demikian juga meningkatnya konflik sosial antara masyarakat penggarap dengan pengelola kawasan konservasi.