"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

15 Maret 2018

Jalan Damai Kelola Hutan (Konservasi) di Indonesia

"Forestry is not about trees, it is about people. And it is about trees only in so far as trees can serve the needs of the people" (Jack Westoby, 1967)
Kawasan hutan dunia termasuk di Indonesia tidak dapat kita anggap sebagai ‘kertas putih’. Interaksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung berabad-abad lamanya, yang juga membentuk relasi sosial dan kebudayaan dengan pengetahuan tradisionalnya yang kaya dan sangat penting bahkan sampai saat ini dimana kita menghadapi perubahan iklim secara global. Oleh karena itu pernyataan Jack Westoby di atas, mengingatkan kita bahwa mengurus hutan itu sebenarnya bukan saja mengurus pepohonan atau habitat satwa liar. Tetapi pada dasarnya langsung dengan manusia atau masyarakatnya yang tentu akan lebih rumit daripada sekedar tentang pepohonan.
Laporan FAO tahun 2014 yang berjudul State of the World Forest menunjukkan antara lain bahwa kontribusi utama dari hutan untuk ketahanan pangan dan kesehatan dalam menyediakan kayu bakar untuk memasak dan mensterilkan air. Diperkirakan bahwa 2,4 milyar orang memasak dengan kayu bakar, atau kira-kira 40 persen dari populasi di less developed countries. Sekitar 764 juta dari kelompok ini memasak air dengan kayu bakar. Pemungutan hasil hutan bukan kayu yang bisa dimakan mendukung ketahanan pangan dan menyediakan nutrisi esensial bagi banyak orang. Kayu bakar seringkali sebagai satu-satunya sumber energi di wilayah pendesaan di negara kurang berkembang dan khususnya sangat penting bagi kelompok miskin. Diperkirakan 27 persen dari suplai energi primer di Afrika, 13 persen di Amerika Latin dan Karibia, dan 5 persen di Asia dan Oseania. Namun demikian, kayu bakar juga digunakan secara meningkat di negara-negara maju dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil. Misalnya, sekitar 90 juta orang di Eropa dan Amerika Utara sekarang menggunakan kayu bakar sebagai sumber utama mereka untuk pemanasan domestik. Data tersebut menunjukkan bukti bahwa hutan memberikan kontribusi nyata dalam ketahanan pangan dan menjamin keberlangusngan kehidupan masyarakat terutama tentu yang berada di pinggir hutan atau di dalam hutan.
Kelola Hutan secara Damai
Bagaimana dengan Indonesia? Ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan masih sangat signifikan. Dari 74.954 desa di Indonesia, lebih dari 25.600 desa atau 34,1% adalah desa yang di pinggir hutan. Sedangkan di Hutan Konservasi seluas 27,1 juta hektare terdapat 6.381 desa di sekitarnya yang kehidupannya sangat tergantung pada kondisi sumberdaya hutan tersebut.
Dokumen RPJMN 2015-2016 mengamanatkan seluas 12,7 juta hektare hutan negara, yaitu di hutan lindung dan hutan produksi, dapat dikelola oleh masyarakat pinggir hutan atau di dalam hutan. Luasan 12,7 juta hektare tersebut sebenarnya hanya 10% dari total luas hutan negara. Namun bila dibandingkan luas suatu negara di Eropa, hampir seluas negara Inggris.
Suatu program nasional yang luar biasa besar dan bukan program yang biasa, karena selama 71 tahun Indonesia merdeka, baru kali inilah pemerintah menyiapkan program dengan mengalokasikan kawasan hutan negara untuk dikelola rakyat dengan ukuran yang sangat besar, walaupun perjuangannya telah dimulai sejak Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta yang bertema "Forest for People". Pada masa pemerintahan Presiden SBY tahun 2010-2014, program ini telah mulai digulirkan dengan target 2,5 juta hektare. Sampai akhir Oktober 2016 total kawasan hutan negara yang telah diberikan dalam program perhutanan sosial dalam bentuk hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan mencapai luas 1,4 juta hektare, dimana sekitar 1.000.000 jiwa yang mendapatkan manfaatnya.
Dengan dilaksanakannya program perhutanan sosial ini, pada umumnya masyarakat merasa di-wong-ke oleh negara, merasa ‘dimanusiakan’, didengar aspirasinya, dilindungi, dan tidak lagi dikejar-kejar sebagai aparat keamanan karena menggarap lahan di hutan negara.
Di Provinsi Lampung, seluas 110.000 hektare kawasan yang umumnya hutan lindung telah lama dikelola masyarakat dengan menanam kopi, telah mendapatkan hak kelola hutan kemasyarakatan - salah satu skema program perhutanan sosial. Pada tahun 2015, tidak satupun kejadian kebakaran di areal ini. Masyarakat yang telah mendapatkan hak kelolanya selama 35 tahun ternyata terbukti bertanggung jawab menjaga lahan garapannya dari berbagai gangguan, termasuk api.
Hutan-hutan desa, sebagai skema perhutanan lainnya. Di Jambi juga menunjukkan bukti-bukti bahwa di kawasan perhutanan sosial, tidak terbakar karena karena dijaga. Di Sumatera Barat telah terjadi gerakan mengusulkan Hutan-hutan Nagari di kawasan hutan lindung untuk dikelola oleh masyarakat. Mereka merasakan bahwa telah diberikan kepastian hak mengelola oleh negara. Secara psikologis, masyarakat mulai merasakan bahwa negara percaya pada rakyatnya untuk mengurus hutan dengan benar.
Model kelola perhutanan sosial, sebenarnya solusi adanya peningkatan ketimpangan penguasaan lahan yang kemudian menimbulkan konflik sosial. Banyak sekali kelompok masyarakat yang terpaksa menggarap lahan di dalam kawasan hutan negara karena memang lahan garap di desanya semakin sempit. Solusi melalui pemberian akses kelola ini sebenarnya sudah lama ditunggu oleh masyarakat desa-desa pinggir hutan. Konflik fisik antar aparat dan penggarap dapat dihindarkan, sekaligus masyarakat merasakan kehadiran negara di desa-desa mereka yang umumnya terpecil jauh dari akses jalan maupun infrastruktur pendukung lainnya.
Pilar Sosial di Hutan Konservasi
Hutan konservasi seluas 27,1 juta hektare (dimana 5 juta hektare adalah kawasan perairan), dikelilingi oleh 6.381 desa dan terdapat usulan wilayah adat seluas 1,6 juta hektare, dimana seluas 1,1 juta hektare berada di dalam taman nasional. Dengan demikian, hutan konservasi juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan sosial, di samping juga menghadap berbagai persoalan kerusakan habitat satwa liar, perburuan satwa, perambahan yang diprediksi telah mencapai 2,2 juta hektare atau 8% dari luas hutan konservasi daratan.
Saat ini, upaya untuk mengakomodir keberadaaan dan ketergantungan masyarakat dengan hutan konservasi adalah dengan penetapan zona tradisional, khususnya di taman nasional. Dari kawasan taman nasional seluas 16.232.132 hektare, telah ditetapkan Zona Tradisional seluas 1.280.062 hektare atau 7,8%. Ke depan, zona tradisional tersebut dapat diperluas sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setempat.
Tanpa pelibatan masyarakat setempat, maka sudah dapat dipastikan bahwa berbagai persoalan di hutan konservasi tidak dapat diselesaikan dengan tuntas. Dengan perubahan penggunaan di luar hutan konservasi, menjadi monokultur sawit seperti yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, maka tekanan ke dalam hutan konservasi semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan tingginya mobilitas penduduk ke kawasan hutan, termasuk hutan konservasi, yang kurang dikelola secara intensif di tingkat lapangan. Perambahan sawit di Taman Nasional Tesso Nilo, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Wisata Alam Holiday Resort, Suaka Margasatwa Balai Raja, dan perambahan kopi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, adalah beberapa contoh terjadinya fenomena open access’. Yang dimaksud dengan open access adalah suatu sumber daya yang tidak dimiliki oleh siapapun, namun sekaligus bisa jadi milik setiap orang. Mereka yang kuat dan bermodal akan menguasai kawasan hutan tersebut.
Perhutanan Sosial atau kemitraan konservasi perlu segera diterapkan di kawasan konservasi yang mengalami kerusakan tersebut. Penegakan hukum hanya diberlakukan pada aktor intelektual yang biasanya memberikan modal kepada masyarakat mistik yang terpaksa menjadi perambah hutan.
Pengembangan ekowisata di Tangkahan, Desa Namo Sialang dan Sei Serdang, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, merupakan bukti yang sahih tentang manjurnya model pendekatan baru, untuk melibatkan masyarakat desa pinggir hutan, untuk dapat manfaat dan sekaligus menjadi penjaga hutan yang militan dan kosisten. Sejak dibangun kerja di Tangkahan tahun 2000, pengembangan ekowisata telah sangat maju. Hasil PNBP berturut-turut sebagai berikut: tahun 2013 (Rp 372.247.500,-), 2014 (Rp 491.091.500,-), 2015 (Rp 749.375.000,-), 2016 (Rp 1.090.240.000,-), dan tahun 2017 (Rp 2.129.177.500,-). Kegiatan ekowisata tersebut telah mendorong perputaran ekonomi setempat sebesar 5 sampai 10 milyar per tahun. Ribuan turis manca negara menikmati eksotisme Tangkahan, sekaligus Hutan Leuser yang aman dan lestari.
Mandi bersama gajah di Tangkahan (@bisro)
Tangkahan merupakan contoh nyata. Apabila kebijakan pengelolaan kawasan konservasi melibatkan masyarakat desa di sekitarnya, maka berbagai peluang ekonomi berupa ekowisata, hasil hutan bukan kayu, dan jasa lingkungan, dapat dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat untuk menggerakkan ekonomi setempat. Pendampingan yang konsisten dari Balai (Besar) TN Gunung Leuser, beserta mitra kunci, terutama FFI menjadi salah satu faktor yang membantu keberhasilan Tangkahan.
Pekerjaan Rumah ke Depan
Di tingkat lapangan, program perhutanan sosial, termasuk di hutan konservasi ini tidak berjalan dengan mulus. Masih banyak pekerjaan rumah yang seharusnya dapat dikerjakan bersama secara terpadu berkesinambungan.
Pertama, berbagai persoalan muncul ketika program tidak kena sasaran, yaitu mereka yang memang memerlukan lahan. Pemasaran produk yang dikuasai oleh pengijon, persoalan hama- penyakit, pupuk, pasca panen, lemahnya pendampingan dari penyuluh maupun dari LSM, baik sejak pengusulan sampai pasca menerima izin, menjadi pekerjaan rumah yang masih terjadi di berbagai daerah.
Kedua, dukungan pemerintah kabupaten dan provinsi, pihak swasta, perguruan tinggi setempat, kerjasama lintas kementerian, terutama dengan kementerian terkait, misalnya Kemendes dan Kemendagri, masih memerlukan dorongan dan dan kerja bareng yang sinergis. Persoalan perambahan di taman nasional atau kawasan konservasi lainnya, dapat diselesaikan melalui kemitraan masyarakat dengan pengelola kawasan tersebut. Intinya adalah memberikan akses kelola kepada masyarakat yang memang memerlukannya.
Ketiga, penegakan hukum hanya ditujukan kepada aktor intelektual dan pemodalnya, agar dapat memberikan efek jera. Sinisme yang berkembang di publik tentang ‘hukum tumpul ke atas tajam ke bawah’ tidak berlaku dalam konteks pelaksanaan program perhutanan sosial ini. Hukum tajam ke atas seharusnya ditujukan bagi para cukong, pemodal, dan aktor intelektual; ke bawah masyarakat miskin yang terpaksa menggarap lahan di kawasan hutan negara justru dirangkul untuk turut serta menjaga dan mendapatkan manfaatnya dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Keempat, kunci keberhasilan program ini terletak pada proses pendampingan dari hulu sampai ke hilir diprosesing hasil panen dan pemasarannya. Oleh karena itu sangat penting untuk membangun keterpaduan program, yaitu antara pemerintah dengan lembaga swadaya masyarakat, pihak swasta, tokoh masyarakat atau local champion seperti Ritno Kurniawan, seorang sarjana pertanian lulusan UGM yang kembali ke kampung dan membangun gerakan wisata alam dengan melibatkan masyarakat yang semula menjadi perambah hutan atau penebang liar di Hutan Nagari Lubuk Alung, Sumatera Barat (Sosok, Kompas, 11/10/16). Puluhan local champion telah lahir dan melahirkan gerakan akar rumput di seluruh Indonesia, melalui pelaksanaan hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan adat, kemitraan kehutanan, dan ke depan kemitraan di kawasan konservasi.
Kelima, perhutanan sosial diharapkan menjadi gerakan baru pembangunan kehutanan dari pinggiran, termasuk di hutan konservasi, bukan hanya tugasnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja, tetapi menjadi tugas lintas Kementerian/KL, pemerintahan di provinsi dan di kabupaten, dalam mewujudkan kehadiran negara di pinggir-pinggir hutan negara, mendorong terciptanya model kelola hutan secara damai, memandirikan, dan mendorong meningkatnya perekonomian lokal berupa hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan wisata alam.
Penutup
Kita diingatkan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya berjudul "Memperkuat Negara" (2005). Ia menyatakan bahwa: "Suatu negara yang kuat ditandai dengan kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan berlebihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga".
Program Perhutanan Sosial ini semoga dapat memenuhi harapan akan perwujudan dari Nawacita Presiden Joko Widodo, tentang kehadiran Negara di tingkat akar rumput. Untuk itu diperlukan kapasitas leadership dan komitmen para pihak di semua level, mulai dari ‘Jakarta’, provinsi, kabupaten. Negara yang kuat, seperti digambarkan oleh Francis Fukuyama, rasanya tepat untuk memenuhi harapan tentang model kelola hutan Indonesia, yang diselenggarakan secara damai dan memenuhi rasa keadilan masyarakat desa-desa pinggir hutan.***

Referensi:
Anonim. 2017. Zona Tradisional dalam Taman Nasional di Indonesia. Direktorat Pusat Informasi Konservasi Alam, Ditjen KSDAE.
FAO, 2014. State of The World's Forest 2014. Enhancing the Socioeconomic Benefits from Forest. FAO, Rome.
Fukuyama. 2005. Memperkuat Negara. Gramedia Kompas.
Wiratno. 2013. Dari Penebang Hutan Liar ke Konservasi Leuser. YOSL-OIC, dan UNESCO Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar