"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

10 Februari 2020

Extended Family

Apa itu Extended Family?
Mungkin banyak pihak akan bertanya apa itu “Extended Family” (EF) atau dapat disebut pula sebagai “Keluarga Batih”? Secara definisi, EF adalah satuan sosial yang terdiri dari keluarga inti dan saudara sedarah, sering kali mencakup tiga generasi atau lebih. Saya tidak mencari teori di konsep tersebut. Tetapi dalam pemahaman saya, EF adalah keluarga yang lebih luas dari sekedar hubungan darah keluarga kita, istri dan anak sampai beberapa generasi kemudian.

Dalam hal Direktorat Jenderal KSDAE, anggota EF-nya minimal adalah 6.681 stafnya sebagai pegawai negeri sipil ditambah 3.480 pegawai pemerintah non PNS yang tersebar di seluruh tanah air. Karena Ditjen KSDAE beserta 74 UPT di seluruh tanah air mendapatkan mandat  mengelola kawasan konservasi yang luasnya 27,14 juta hektar, maka anggota keluarga besar KSDAE dapat bertambah dengan masyarakat di 6.203 desa-desa di 1.592 kecamatan, dam 355 kabupaten  yang berbatasan dengan kawasan konservasi, yang pada tahun 2016, berpenduduk 9,5 juta jiwa. Jumlah ini masih ditambah dengan mitra-mitra Ditjen KSDAE yang membantu bekerja bahu membahu dalam kelola kawasan konservasi, para peneliti, praktisi, dan mereka yang peduli pada pelestarian kawasan konservasi dengan semua isi dan manfaatnya. Bahkan, satwa liar di mana pun berada dan ribuan jenis flora juga menjadi bagian dari “keluarga besar” kita.  
Sistem Nilai dalam Extended Family
Nilai-nilai yang dibangun dalam EF sebenarnya hampir sama dengan nilai-nilai dalam keluarga kecil. Nilai-nilai tersebut harus disemai, ditanamkan, dipelihara dan dikembangkan secara partisipatif – dialogis - inklusif sehingga secara bertahap dapat menjadi bagian dari skema “bawah sadar” semua anggota keluarga dalam EF tersebut. Nilai-nilai tersebut adalah : (1) kerja sama dan kebersamaan, (2) kegotongroyongan, (3) kekompakan, (4) saling mengingatkan dan mengajak, (5) saling percaya, (6) “no one left behind” (7) kesadaran kolektif, (8) aksi kolektif, dan (9) saling belajar, (10) komunikasi asertif, dan (11) membangun sistem bertetanggaan yang baik.
Nilai-nilai tersebut tentu dibangun dengan sikap mental seorang pemimpin yang menyadari akan semakin tinggi dan beragamnya persoalan yang dihadapi dalam kelola kawasan konservasi. Namun juga disadari banyaknya peluang untuk bisa mengembangkan berbagai potensi kawasan konservasi maupun modal sosial yang dimiliki baik oleh keluarga besar atau Extended Family Ditjen KSDAE, mitra, dan masyarakat.
Untuk membangun EF yang sangat besar tersebut, di mana pun kita  berada, sebaiknya mempertimbangkan prinsip “5K”, yaitu: (1) Kepeloporan, (2) Keberpihakan, (3) Kepedulian, (4) Konsistensi, dan (5) Kepemimpinan. Kepeloporan adalah sikap mental menjadi yang pertama, menjadi seorang pionir dalam memulai sesuatu yang baru untuk kepentingan EF. Keberpihakan adalah sikap mental memperhatikan dan memprioritaskan bagi anggota yang tertinggal, terbelakang, terabaikan, untuk ditemani agar maju bersama sama anggota yang lainnya. Kepedulian adalah spirit peduli terhadap mereka yang memerlukan dukungan, bantuan, atau pendampingan dari kita. Konsistensi adalah sikap pantang menyerah, bekerja dengan antusiasme yang tinggi, dan persisten untuk terus bekerja sampai berhasil mencapai tujuannya. Kepemimpinan yang memiliki integritas akan mampu melaksanakan keempat sikap mental tersebut di atas. 
Fenomena drh. Rosa
Saya akan sampaikan  contoh nyata nilai-nilai dalam EF tersebut dalam kisah nyata dari lapangan dalam bentuk foto yang sangat menyentuh hati nurani kita, apabila kita memakai cara pandang yang disebut “sensing”. Sensing adalah seeing from your heart dalam Theory U-nya C. Otto Scharmer (2007). Contoh kali ini saya sampaikan adalah salah satu dari 3.480 pegawai pemerintah Non PNS, yaitu drh. Rosa.

Drh. Rosa adalah contoh warga dari EF Ditjen KSDAE yang bukan hanya sekedar bekerja. Ia membangun karya, tentang “penyelamatan satwa liar” kebanggaan Indonesia, karena kepunahan. Dari foto itu telah menunjukkan kepada kita, betapa sayangnya drh. Rosa itu kepada “pasien” istimewanya. Ia termasuk kelompok apa yang saya sebut sebagai “manusia unggul” atau “manusia matahari”. Manusia yang bekerja dengan antusiasme yang tinggi. Artinya ia bekerja dengan hatinya. Ia juga bersikap peduli terhadap nasib satwa liar yang tidak bisa langsung berbicara kepada manusia, tetapi drh. Rosa mengerti penderitaan gajah tersebut. Akan banyak contoh lainnya dalam keluarga EF yang membuat kita semakin yakin bahwa “we never feel alone”. Spirit dan “virus” kebaikan dan kemuliaan drh. Rosa itu menjalar dengan cepat ke seluruh keluarga besar EF. Mendorong meluasnya cahaya dan energi positif ke hampir semua penjuru dunia dengan cepat melalui kendaraan canggih bernama medsos.
Contoh lainnya ditunjukkan oleh Pak Kasim Wijaya, Syukur ‘Sugeng’ Alfajar, dan Biksu Nyanaprathama Mahasthavira yang bahu membahu membangun Lembaga Konservasi Barumun Nagari, yang mengedepankan animal rights, dimana satwa liar seperti gajah bisa hidup bebas, dijaga, dan terjaga. Fenomena baru yang membuat kita bangga. Karena tumbuh kesadaran kolektif dan akhirnya melahirkan aksi-aksi kolektif di tingkat lapangan, di tingkat tapak. Ditjen KSDAE hanya mendorong terbangunnya iklim yang sehat untuk meluasnya inisiatif tersebut.
Lahirnya kebijakan kemitraan konservasi, dimana apabila masyarakat desa-desa sekitar kawasan konservasi, terpaksa menggarap lahan di dalam kawasan konservasi, mereka diperlakukan lebih manusiawi. Dibentuk kelompok-kelompok tani, dimitrakan dengan Balai TN/KSDA dengan disepakatinya hak dan kewajiban kelompok. Mereka wajib membangun agroforestri, membantu patroli, melapor bila ada satwa terjerat, menghentikan perburuan satwa, dan sebagainya. Mereka dibantu dan difasilitasi untuk membangun pertanian yang sehat dan memasarkan hasilnya. Pertanian sehat tanpa pupuk kimia telah dikembangkan di daerah penyangga TN Gunung Ciremai. Pak Padmo Wiyoso dan Dr. Suryo Wiyono dari Lab Proteksi Tanaman IPB yang memulai upaya mulia ini. Telah ditemukan tiga kelompok mikroba yang berguna bagi tanaman. Pertama, cendawan patogen serangga hama, yaitu cendawan Hirsutella sp dan Lecanicillium sp. Kedua, isolat bakteri pemacu pertumbuhan, yaitu C71 yang mampu meningkatkan panjang akar bibit tomat 42,3% dan meningkatkan daya kecambah sebesar 178%, tomat tahan penyakit bercak daun. Ketiga, bakteri yang dapat menekan dampak frost  yaitu PGMJ 1 (dari kemlandingan gunung), dan A1 (dari Anggrek Vanda sp.), keduanya  dengan tingkat keefektifan 66,6%. Mereka adalah anggota kehormatan  dalam Extended Family Ditjen KSDAE.
Selamat Datang di Extended Family Ditjen KSDAE.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar