"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

10 Februari 2020

"Growth Minset"

“Growth Mindset” saya baca dalam artikel  berjudul Hiring for Attitude oleh Eilen Rachman & Emilia Jakob (Kompas 26 Maret 2016). Kedua pakar tersebut menyatakan bahwa mereka yang memiliki “growth mindset” akan memfokuskan energi positif mereka dan mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan mereka. Mereka tidak takut bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua kali libat dibandingkan dengan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan cepat bilamana mereka mengalami kegagalan. 

Mereka yang memiliki “growth mindset”  bukanlah mereka yang tidak pernah merasa takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi semata-mata lebih karena mereka tidak membiarkan rasa takut itu menguasai mereka. Nelson Mandela mengatakan, “I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph  over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”. 
Menarik memperdalam konsep ini, seperti yang diulas oleh Carol Dweck dalam artikelnya berjudul “What Having a “Growth Mindset” Actually Means, yang dimuat dalam Harvard Business Review Special Issue, Winter 2019. Ia menyatakan banyak orang rancu bahwa growth mindset  itu sama seperti menjadi fleksibel atau open minded atau memiliki pandangan ke depan yang positif. Ini ia sebut sebagai kerancuan pertama. Yang kedua, dinyatakan bahwa growth mindset adalah bukan sekedar hanya “praising and rewarding efforts”. Sangat krusial memberikan reward bukan hanya terhadap usaha yang telah dilakukan tetapi juga terhadap learning and progress. Menekankan pada proses yang menghasilkan uji coba strategi baru,dan mengkapitalisasi setback untuk maju lebih efektif. Mengadopsi  growth mindset saja tidak serta merta hal-hal baik akan terjadi. Organisasi yang akan mewujudkan suatu growth mindset harus bisa mendorong pengambilan resiko yang tepat, mengetahui bahwa beberapa resiko tidak bisa diatasi. Mereka memberikan reward pada staf yang banyak mengambil pelajaran walaupun suatu kegiatan atau proyek belum bisa mencapai tujuannya. Akhirnya ia mengatakan bahwa suatu company yang memainkan “talent game”  membuatnya lebih keras untuk orang mempraktikkan pemikiran dan laku growth mindset, misalnya dalam berbagi informasi, kolaborasi, inovasi, mencari feedback, atau mengakui kesalahan. 

Growth Mindset dan Leadership 
Walaupun sebagian besar uraian Carol Dweck di atas ditujukan untuk private sector atau company, namun saya yakin bahwa organisasi publik atau organisasi pemerintah sebaiknya dapat mengakomodasi banyak hal dari pemikirannya. Perubahan yang cepat yang terjadi saat ini menuntut perubahan dalam birokrasi pemerintah. Inilah yang sering dikatakan sebagai reformasi birokrasi. Dalam proses melakukan reformasi birokrasi diperlukan seorang leader dengan kapasitas leadership yang memiliki modal sosial berupa growth mindset tersebut. Misalnya kemampuan dan keberanian membuat inovasi, membangun jejaring kerja dan kolaborasi multistakeholder baik di internal kementerian maupun dengan publik. Keberanian mengambil risiko dalam melaksanakan terobosan baru dan inovasi yang tentu saja belum ada regulasinya, menjadi ciri dari seorang leader yang memiliki growth mindset.  
Saat ini, perubahan besar-besaran sedang terjadi misalnya ditempatkannya seorang Nadiem Makarim lulusan Sekolah Bisnis Harvard Founder GoJek menjadi Menteri Pendidikan adalah suatu contoh terobosan Presiden Joko Widodo. Saya menduga akan terjadi perubahan sangat mendasar dari sistem pendidikan di tanah air. 
Inovasi yang besar terjadi sebenarnya sejak 2015, dengan diubahnya kebijakan mengurus hutan di Indonesia, dengan melibatkan masyarakat secara luas, yang disebut sebagai Perhutanan Sosial. Saat ini telah diberikan akses kelola kepada masyarakat desa-desa pinggir hutan seluas lebih dari 3 juta hektar, dengan periode 35 tahun. Diterapkan di hutan produksi dan hutan lindung. Dalam hal desa-desa di pinggir atau di dalam hutan konservasi, dapat diberikan akses yang disebut sebagai Kemitraan Konservasi. Masyarakat desa-desa hutan yang dahulu hanya menjadi penonton, kini mereka menjadi pelaku utama atau subyek dalam kelola kawasan hutan negara yang telah diberikan aksesnya. Kiblat kelola hutan negara yang dulu diutamakan untuk perusahaan besar, diubah total arahnya kepada “wong cilik”. Perubahan ini tentu telah diperjuangkan dalam waktu yang lama, namun inilah salah satu wujud dari “growth mindset”. Rheinald Kasali mengatakan bahwa perubahan besar-besaran seperti ini disebut totally innovation atau disruption. 
Potensi perhutanan sosial telah ditetapkan 12,7 juta hektar yang diharapkan dapat mengubah nasib lebih dari 10 juta jiwa petani di seluruh tanah air. Sedangkan di kawasan konservasi, potensi kemitraan konservasi, apabila didasarkan pada wilayah kawasan konservasi yang telah digarap masyarakat, maka tidak kurang dari 1,8 juta hektar.  Perubahan model kelola kawasan konservasi yang sangat eksklusif di masa lalu, sejak tahun 2018 telah saya rubah menjadi lebih inklusif, dengan menyodorkan apa yang disebut sebagai “Sepuluh Cara (Baru) Mengelola Kawasan Konservasi,  Membangun Learning Organization”. Terobosan ini sedang diujicobakan di 74 Balai TN/KSDA di seluruh Indonesia, dengan cara menguji Role Model. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi kelola kawasan konservasi. Masyarakat menjadi subyek.
Memanusiakan manusia sebagai makhluk sosial, sehingga komunikasi dan dialog asertif menjadi faktor kuncinya. Saya yakini berbagai konflik kelola sumber daya hutan dapat diselesaikan melalui proses dialog membangun kesepahaman dan kesepakatan untuk dilaksanakan secara bersama. Proses pembelajaran menyertai di sepanjang pelaksanaan kerja bersama seperti ini, melalui proses yang disebut sebagai “adapative collaborative management”, yang berlangsung cyclic dan terus menerus.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar