"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

10 Februari 2020

Manusia Unggul

Kerja ilmiah pada dasarnya adalah politik pembebasan dari doktrin dan dogma. (Goenawan Muhamad, Catatan Pinggir 4 Februari 2018: Daoed Joesoef).

Siapa yang dimaksud dengan manusia-manusia unggul? Apabila dikaitkan dengan manusia-manusia yang bergerak di bidang pengelolaan dan penyelamatan lingkungan, akan sangat menarik membicarakan jenis manusia ini. Berbagai pakar menyampaikan mendapatnya, sebagaimana diuraikan dalam artikel dan pemikiran ringkas di bawah ini.

Pertama. Manusia unggul adalah pribadi-pribadi yang selalu berusaha mengisi setiap jengkal kerja konservasi dengan spirit yang tinggi. Sebagai pegawai negeri, mereka bekerja beyond tupoksi tugas pokok dan fungsi, “working with their heart and passion” - dengan hati, dengan semangat. Bukan sekedar memenuhi target laporan kegiatan fisik, target laporan keuangan administrasi. Mereka biasa bekerja di luar batas-batas legal-formal seperti itu. Mereka tidak puas hanya sekedar melaksanakan pekerjaan konservasi yang dituangkan dalam tugas-tugas formalnya. Mereka inginkan adanya perubahan (change) terjadi di mana mereka bekerja. Mereka ingin merespon perubahan yang cepat dengan respon yang setara.
Uraian Herry Tjahjono dalam bukunya: Manusia Matahari (2012), dikatakan bahwa bekerja saja tidak cukup. Jadilah ‘Manusia Matahari’ adalah manusia yang bekerja dengan antusias, bukan hanya bekerja dengan keras dan cerdas. Ia memberikan hati dan jiwa dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Antusias berasal dari kata “entheos”  , yang berarti “Tuhan di dalam” atau “Tuhan bersama kita”. Sehingga apabila manusia memiliki “entheos”, maka ia akan mempunyai energi istimewa yang meluap melalui jiwa raganya. Antusiasme mempunyai pengaruh yang luar biasa bukan hanya terhadap diri kita, tetapi juga kepada orang yang ada di sekitar kita. Hasil kerja ‘manusia matahari’ sudah layak disebut sebagai “karya”, dan bukan sekedar output atau outcome. Mungkin manusia-manusia unggul yang bekerja luar biasa di bidang konservasi alam itu adalah manusia sebagaimana yang digambarkan oleh Herry Tjahjono tersebut.
Eckhart Tolle (2005) dikutip oleh Wiratno (2011), dalam bukunya A New Earth – Awakening to Your Life’s Purpose, memperluas pendapat Herry Tjahjono, bahwa kalau ingin tersambung ke ‘atas’, sebaiknya bekerja bukan hanya secara antusias atau ‘entheos’ (enthusism), tetapi juga harus memiliki sikap mental acceptance atau ikhlas dan bisa selalu menikmati atau enjoyment dalam proses membangun karyanya itu.
Dalam teori tentang “Growth Mindset” (Hiring for Attitude oleh Eilen Rachman & Emilia Jakob, Kompas 26 Maret 2016) dinyatakan bahwa mereka yang memiliki ‘growth mindset’ akan memfokuskan energi positif mereka dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan mereka. Mereka tidak takut bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua kali lipat dibandingkan dengan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan cepat bilamana mereka mengalami kegagalan. Mereka yang memiliki ‘growth mindset’ bukanlah mereka yang tidak pernah merasa takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi semata-mata lebih karena mereka tidak membiarkan rasa takut itu menguasai mereka. Nelson Mandela mengatakan,“I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”.
Kedua. Manusia unggul adalah jenis manusia dengan kemampuan membangun jaringan atau network. Selanjutnya memelihara jejaring tersebut dalam bentuk komunikasi asertif yang mencerahkan, memerdekakan, dan membuat lahirnya nilai-nilai baru berjaringan, bekerja sama, kolaborasi, dan dalam bergotong royong menegakkan modal sosial bersama. Kepribadiannya yang terbuka bagi setiap orang dan kesempatan baru untuk maju, berkembang, dan membuatnya dapat masuk ke dalam wilayah-wilayah pengalaman baru yang luar biasa dan sering kali mencengangkan. Membicarakan networking tidak dapat dilepaskan dari pembahasan kelahiran ‘Generasi C’ atau ‘Gen-C’.
Rhenald Kasali menguraikan dalam bukunya berjudul “Cracking Zone” (2010), bagaimana sikap kita dalam mengelola lingkungan hidup dalam dunia yang sudah berubah dengan cepat, dimana lahir generasi yang disebutnya sebagai ‘Gen-C’, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang peneliti dari Australia, Dan Pankraz. Gen ‘C’ dapat berarti content, connected, digital creative, cocreation, customize, curiousity, dan cyborg. C bisa berarti juga cyber, cracker, dan chameleon atau bunglon. Saya ingin memperluas interpretasi ‘Gen-C’ juga dapat disebut sebagai carrier, sang pembawa pesan yang didalamnya mengandung sifat-sifat tertentu yang berisi kesadaran tertentu akan pentingnya melindungi lingkungan, pola hidup hemat dan berbagai macam sikap mental yang pro-lingkungan menjadi content yang ditularkan dan disebarkan dengan sangat cepat, yang akhirnya mempengaruhi sikap mental, cara berpikir dan berperilaku yang mencerminkan kepeduliannya akan kelestarian habitat manusia di bumi, dalam arti seluas-luasnya. 

Gen-C adalah generasi yang lahir di era teknologi informasi super canggih atau teknologi 4.0. Kasali menguraikan bahwa menurut survei Yahoo!, penggunanya di Indonesia pada akhir tahun 2008 telah mencapai 24,5 juta orang dan 15 juta di antaranya mengakses lewat mobile device. Sekarang ketika handset dapat digunakan untuk mengakses dan menggunakan internat, pengguna internet bertambah berlipat-lipat. Operator XL sepanjang tahun 2009, pengguna internet broadband meningkat 269%; Telkomsel melonjak 165% dan Indosat naik 100%. Pada akhir tahun 2009, Indonesia menempati urutan ke-5 dunia pengguna Facebook dan blog. Pada bulan Agustus 2010, pengguna Facebook di Indonesia telah naik di posisi ketiga, menggeser Prancis dan Italia. Blogger Indonesia berjumlah 600 ribu di tahun 2008 dan kini telah mencapai 1 juta. Saat ini pengguna smartphone diperkirakan 170 juta orang di seluruh Indonesia, dengan tren baru penggunaan Instagram dan Line selain Facebook dan Twitter, sejak 2013 sampai dengan saat ini.
Namun demikian, networking di antara manusia-manusia unggul konservasi bukan saja perlu dikaitkan dengan ‘Gen-C’ yang serba cepat, digital-minded, dan globally connected itu. Ini juga soal koneksitas secara emosional-spiritual. Koneksi di antara mereka karena satu “koridor frekuensi”, satu visi, satu impian, satu harapan. Setiap simpul manusia unggul itu, menyimpan knowledge dan experiences yang sangat kental, sangat spesifik dan tersimpan dalam memori DNA-nya tentang tematik tertentu. Mereka tersimpan di dalam apa yang penulis sebut berada di ‘knowledge bank’ di kepala mereka masing-masing. Syukur apabila mereka sudah menuliskannya dalam blog, Twitter, Facebook atau dalam bentuk buku. Namun, tetap saja spirit utamanya ada di dalam isi kepala dan memori pelaku-pelaku tersebut. Oleh karena itu, membangun network dengan manusia-manusia unggul seperti ini secara personal menjadi suatu prioritas.
Ketiga. Manusia unggul pada umumnya memiliki panggilan hidup yang relatif sama, yaitu apa yang disebut dalam bahasa Jawa sebagai“ memayu hayuning bawana” - mempercantik bumi atau alam yang sudah cantik ini. Untuk memiliki panggilan hidup ini, mereka itu bekerja berdasarkan ‘kesadaran’ - bekerja dengan ‘sadar’. Seseorang yang sadar akan  sangkan paraning dumadi, sadar akan asal usulnya, niscaya punya semangat progresif untuk melakukan sesuatu melampaui egonya. Ia berkarya untuk kepentingan bersama. Hidup bukan hanya proses memurnikan jiwa tetapi juga merealisasikan talenta untuk menghasilkan mahakarya. Tubuh kita menjadi sarana Sang Suwung untuk membangun peradaban yang harmonis dan indah (Dewantoro, 2017).
Konsep yang digali dari khazanah kebudayaan Jawa ini selaras dengan manusia matahari, dan manusia yang memiliki sikap mental yang diuraikan oleh Echart Tolle, yang bekerja berdasarkan keikhlasan, semangat dan bisa menikmati menjiwai setiap proses pekerjaannya dalam menghasilkan karya untuk kepentingan bersama, untuk peradaban manusia.***

Bahan Rujukan.
Dewantoro, Setyo H. 2017. Suwung: Ajaran Rahasia Leluhur Jawa.Javanica.
Kasali, Rhenald, 2010. Cracking Zone. Jakarta: Rumah Perubahan dan Gramedia
Rachman Eilen & Emilia J, 2016. “Growth Mindset”. Hiring for Attitude. Dalam Kompas 26 Maret 2016. Jakarta.
Wiratno, 2011. Solusi Jalan Tengah: Esai esai Konservasi Alam. Direktorat Konservasi Kawasan.  Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar