"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

10 Februari 2020

Sepuluh Etika Rimbawan

Menurut Yundahamasah (2013), lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jadi, etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan lingkungannya. Etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.  Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan penerapan Etika Lingkungan sebagai berikut: (a) Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan sehingga perlu menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri, (b) Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya untuk menjaga terhadap pelestarian , keseimbangan dan keindahan alam, (c) Kebijaksanaan penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk bahan energi, (d) Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga untuk makhluk hidup yang lain.

Di samping itu, Etika Lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan dan menjadi dua  yaitu “Etika Ekologi Dalam”  dan “Etika Ekologi Dangkal”. Selain itu Etika Lingkungan juga dibedakan lagi sebagai Etika Pelestarian dan Etika Pemeliharaan. Etika Pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia. Sedangkan Etika Pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua makhluk.
Etika Ekologi Dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika Ekologi Dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.  Secara umum, Etika ekologi dangkal ini menekankan: (a) manusia terpisah dari alam, (b) mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia, (c) mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya, (d) kebijakan dan manajemen sumber daya alam untuk kepentingan manusia, (e) norma utama adalah untung rugi, (f) mengutamakan rencana jangka pendek, (g) pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya di negara miskin, (h) menerima secara positif pertumbuhan ekonomi.
Etika Ekologi Dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi Dalam ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam. Secara umum, Etika Ekologi Dalam ini menekankan hal-hal berikut: (a) manusia adalah bagian dari alam, (b) menekankan hak hidup makhluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang, (c) prihatin akan perasaan semua makhluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang, (d) kebijakan manajemen lingkungan bagi semua makhluk, (e)  alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai, (f) pentingnya melindungi keanekaragaman hayati, (g) menghargai dan memelihara tata alam, (h) mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem. (i) mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
Revolusi mental para rimbawan dalam mengemban tugasnya menurut penulis memerlukan pemahaman tentang “etika” dan menerapkannya menjadi  “laku”  dalam tanggung jawab profesionalnya sebagai rimbawan. Rimbawan seharusnya mendalami, memahami Etika “Ekologi Dalam” ketika mengemban tugasnya, baik di lapangan maupun dalam tataran perumusan dan pelaksanaan kebijakan.
Penulis mengajukan Sepuluh Etika Rimbawan, untuk kita bahas dan renungkan bersama sama, sebagai bagian dari “Revolusi Mental Rimbawan Indonesia”. Kalau para rimbawan mampu melaksanakan beberapa etika saja dari kesepuluh etika tersebut, Insya Allah, akan terjadi perubahan perubahan sikap mental yang mendasar di tingkat pengambil kebijakan dan juga berdampak nyata di tataran masyarakat terutama yang tinggal di pinggiran hutan yang kehidupannya sangat tergantung dari sumber daya hutan tersebut. Di kawasan hutan negara yang luasnya 120 juta hektar, dikelilingi oleh lebih dari 27.000 desa. Sedangkan di 27,14 juta hektare kawasan konservasi,  terdapat lebih dari 5.800 desa dengan penduduk 9.5 juta jiwa yang tergantung langsung kehidupannya. Oleh karena itu sangat penting para pengelola hutan konservasi, yang sebagian besar rimbawan dapat menerapkan semua prinsip-prinsip dalam etika tersebut.  Kesepuluh Etika Rimbawan Indonesia yang penulis usulkan untuk menjadi bahan renungan dan diskusi kita bersama diuraikan sebagai berikut: 

Pertama: “Memanusiakan” Manusia
Etika ini menempatkan “masyarakat sebagai subyek”, dan mengupayakan melibatkannya dalam seluruh siklus manajemen pengelolaan hutan dan lingkungan.  Apabila kita memiliki cara pandang masyarakat di sekitar hutan itu sebagai subyek, maka kita akan memiliki empati yang kuat. Kita akan “memanusiakan” mereka dan memandang mereka sebagai aktor yang bisa diajak bicara berkomunikasi berdialog, dan menjadi  bagian dari solusi dari persoalan-persoalan yang dihadapi dalam membangun hutan, menjaga hutan, atau memanfaatkan potensi hutan dengan penuh rasa tanggung jawab. Masyarakat sebagai subyek juga berimplikasi bahwa manfaat hutan diupayakan sebesar-besarnya untuk masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan itu, dengan tetap berpegang pada keseimbangan antara kepentingan ekonomi, ekologi/lingkungan/kelestarian hutan dan sosial-budaya. Mengambil manfaat dari hutan itu ada aturannya, ada batas-batasnya. Maka, perlu manajemen dan pengetahuan serta pengalaman, agar kualitas hutan itu tidak mundur atau semakin terdegradasi.  Apabila benar bahwa 48 juta masyarakat tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan, maka itu berarti suatu jumlah yang sangat besar hampir 25% dari penduduk Indonesia. Menempatkan masyarakat sebagai subyek juga mendorong kita untuk melibatkan mereka sejak awal dari siklus manajemen pengelolaan hutan yang lebih manusiawi. Mulai dari identifikasi masalah, merumuskan tujuan, merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, pemantauan dan evaluasi, dan merevisi kembali (apabila memang diperlukan) tentang pernyataan masalah, dan tujuan-tujuan selanjutnya. Amartya Kumar Sen, begawan ekonomi dari India, menyatakan bahwa persoalan pengentasan rakyat dari kemiskinan, hanya bisa diatasi jika pembangunan dilandaskan pada “memanusiakan manusia”. Manusia tidak dianggap sebagai obyek pembangunan, tetapi di setiap lapisan masyarakat, manusia adalah subyek dari pembangunan itu sendiri (Kompas, 19/01/14).
Kedua:  Hargai Hak Mahluk Hidup Lain. 
Ini adalah penerapan konsep “Etika Ekologi Dalam”, dimana manusia adalah bagian dari seluruh komponen alam semesta. Lingkungan biotik, binatang, serangga sebagai polinator, tumbuhan, jazad renik, air, sistem perakaran, udara; lingkungan abiotik, geologi, bebatuan, dimana semuanya berinteraksi dalam sistem hubungan timbal balik yang saling memberi,  saling bergantung, dan saling menguntungkan, termasuk pengaruhnya bagi kehidupan manusia.
Konsep ini selaras bila dikaitkan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi. Manusia sebagai Khalifah. Manusia sebagai pembawa risalah, dan manusia sebagai pembawa rahmat seru sekalian alam.  Ini saya sebut sebagai “Tri Tugas Rimbawan”. Keseimbangan alam tersebut telah mulai runtuh ketika manusia bersikap eksploitatif terhadap alam, terutama sejak revolusi industri berlanjut sampai saat ini dimana penduduk bumi telah mencapai 6 milyar manusia. Kerusakan alam telah terjadi di berbagai belahan bumi dan hal ini akan terus memburuk apabila manusia tidak mengubah sikap dan gaya hidupnya (lifestyle) yang boros akan penggunaan sumber daya alam untuk mendukung pola kehidupannya, terutama mereka yang hidup di negara-negara belahan bumi bagian Utara. Mulai Konferensi Lingkungan Hidup pertama kali di Stockholm 1972 sampai Protokol Kyoto 1992 dan berkembang terus mengerucut di Climate Summit di Paris 2015, menunjukkan perubahan kualitas lingkungan dan perubahan iklim serta suhu bumi yang sangat mengkhawatirkan, yang berdampak luas bagi kehidupan manusia dengan upaya mitigasi dan adaptasi luar biasa besar.
Ketiga : Lakukan “Ahimsa”. 
Berbagai persoalan kehutanan, konflik lahan, perambahan, illegal logging, kebakaran lahan, perburuan dan perdagangan satwa, yang ternyata terbukti dilakukan atas motif-motif untuk memenuhi kebutuhan dasar, karena mereka miskin, maka upaya penyelesaiannya haruslah tidak dengan kekerasan, tidak dengan pemaksaan, tidak dengan senapan, tetapi dengan solusi kesejahteraan. Hukum harus tegak bagi cukong, pemodal, oknum-oknum yang dengan sengaja memanfaatkan masyarakat miskin tak bertanah di sekitar hutan, untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi hukum. Sekali lagi, “Forum Dialog” itulah kendaraan yang seharusnya dibangun dan dipakai untuk mencari solusi bersama, dengan mempertimbangkan berbagai masukan, pendapat, dan aspirasi dari masyarakat. 

Masyarakat harus bisa merasakan kehadiran “pemerintah” di halaman rumah mereka, di kehidupan keseharian mereka, ketika mereka menghadapi persoalan-persoalan konkrit, seperti masalah kayu bakar, makanan ternak,  layanan kesehatan, sekolah bagi anak-anaknya, akses jalan, pemiskinan oleh rentenir, pengijon, middleman, mendapatkan perlindungan dan keadilan, dan banyak persoalan riil lainnya. Maka, penyelesaian masalah mereka juga memerlukan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dalam arti luas. Kehadiran pemerintah yang tidak “sangar”, tidak menakutkan, dan layaknya sebagai “orang tua” sangat ditunggu masyarakat pinggir hutan. 
Pemerintah yang mau duduk dengan mereka dan mendengarkan berbagai kesulitan, harapan, dan pendapat atau pemikiran mereka.  Reformasi Birokrasi harus menyentuh sampai ke wilayah-wilayah seperti ini. Sikap mental aparat pemerintah yang santun dan lebih banyak turun ke bawah menyerap-memotret persoalan nyata. Masyarakat yang hidupnya serba sulit tinggal di daerah terpencil di tepi-tepi hutan, adalah kekuatan nyata bagi pembangunan hutan dan kehutanan serta lingkungan hidup masa depan. Hal ini dapat terjadi apabila pemerintah melakukan tindakan yang tepat. Pemerintah dengan jajaran mesin birokrasinya sudah seharusnya berpihak pada yang lemah, bukan kepada yang kuat. Inilah model “blusukan”nya para rimbawan. “Ahimsa” atau non violence adalah sikap mental dan ajaran yang telah didalami dan ditunjukkan oleh Mahatma (Guru) Gandhi, dan akhirnya menjadi inspirasi bagi Nelson Mandela yang membawa Afrika Selatan menuju zaman pencerahan.
Keempat: Hormati Hak Masyarakat Adat dan Nilai Budayanya. 
Kita perlu terus menguatkan merevitalisasi nilai-nilai adat dan budaya yang masih hidup dan nyata memiliki unsur-unsur penghargaan terhadap alam, spirit menjaga dan melestarikan alam, ke dalam berbagai aspek pembangunan kehutanan. Banyak kawasan hutan yang secara adat masih dikuasai dan dijaga untuk kepentingan kehidupan kelompok-kelompok masyarakat adat. Manajemen kelola hutan kita harus menggali dan mendorong nilai-nilai ini masuk ke dalam bagian dari spirit kelola hutan bersama masyarakat. Di TN Kayan Mentarang, Provinsi Kalimantan Utara, dimana secara adat, kawasan taman nasional itu dimiliki oleh 11 Suku Daya Besar, dikelola dengan konsep yang melibatkan lembaga-lembaga adat setempat. Dibentuk Dewan Pertimbangan Pengelolaan, di mana berbagai persoalan dan perencanaan kelola taman nasional didiskusikan dan disepakati. Ini suatu contoh, bagaimana etika mengelola hutan kita saat ini dan menjadi harapan ke depan. Model ini bisa dicontoh di banyak kelola hutan produksi baik di HPT, HTI, Restorasi Ekosistem , Hutan Tanaman Rakyat, dan kawasan hutan lainnya. Menuju pengelolaan hutan yang lebih manusiawi dan aspiratif. Demikian pula dengan Suku Anak Dalam di TN Bukit Duabelas, Jambi, yang diajak menyusun zonasi wilayah kelola adat, melanjutkan pendidikan anak-anaknya untuk menata masa depan yang lebih baik, dan contoh-contoh lainnya. 
Keragaman budaya dari masyarakat di seluruh Indonesia, semestinya menjadi pertimbangan penting dalam kita merumuskan langkah-langkah dalam mengelola hutan di tingkat tapak, di lapangan yang adaptif disesuaikan dengan kondisi dinamis dan kekhasan di masing-masing lokasi. Kita perlu mengoreksi pandangan bahwa kawasan hutan adalah laksana “kertas putih” tidak ada pemiliknya dan tidak ada sejarah penguasaannya yang diklaim oleh negara. Mungkin dari pola pendekatan etika seperti ini ada harapan kita bersama mewujudkan motto Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera”.  Di hutan produksi Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, terdapat Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang, yang telah terbukti melestarikan hutan adatnya secara konsisten dan penuh tanggung jawab, walaupun luasnya hanya 301 hektar.   Mereka menempatkan hutan adat sebagai warisan yang harus dilestarikan, dijaga, dirawat, dan bahkan tidak pernah diambil apa pun darinya. Mereka sudah mensyukuri keberadaan hutan warisan nenek moyang itu sebagai hutan keramat atau sacred forest, yang berkah manfaatnya telah dirasakan oleh masyarakat Ammatoa Kajang setiap hari sejak dahulu sampai saat ini. Sungguh sikap penghormatan kepada alam yang patut ditiru. Mereka sudah menerapkan Etika Ekologi Dalam. Hutan Adat mereka saat ini telah diakui secara resmi oleh Pemerintah. 
Kelima:  Padukan  Local Wisdom dengan Scientific Knowledge.
Etika menghormati kearifan tradisional dari masyarakat, masyarakat adat yang khususnya yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan tinggal di dalam hutan, adalah modal utama. Memadukannya dengan scientific knowledge atau ilmu pengetahuan modern, adalah kekuatan yang besar. Pada kondisi tertentu, kearifan tradisional mampu menjawab berbagai persoalan pelestarian hutan, pengelolaan lahan pertanian tradisional, yang telah dipraktikkan masyarakat sejak nenek moyangnya. 
Pada kondisi yang lain, masukan dari IPTEK diperlukan untuk menggali lebih jauh  nilai-nilai kemanfaatan plasma nutfah untuk obat-obatan modern, sebagaimana yang dicontohkan dari TWA Teluk Kupang, yang ternyata potensi sponge-nya atau karang lunak (soft coral)  memiliki prospek untuk materi penyembuhan kanker. Jamur tertentu dari hutan tropis yang telah diteliti oleh calon doktor dari Pusat Konservasi dan Rehabilitasi, Litbang Kehutanan, mampu menguraikan dampak lingkungan pencemaran minyak. Pembangunan hutan dengan menggunakan teknologi Silvikultur Intensif (SILIN) yang dikembangkan oleh Prof Soekotjo (Alhm) dan Prof Na’iem dari Fahutan UGM, juga membuktikan bahwa percepatan pembangunan hutan-hutan baru (tanpa mengganggu keragaman hayati) nyata bisa dilaksanakan. IPTEK yang mendapatkan dukungan kebijakan Direktur Jenderal BPK Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tangal 1 September 2005 tentang TPTI Intensif,  perlu terus diupayakan untuk dilaksanakan dalam skala yang lebih luas. Hal-hal  tersebut di atas membuktikan bahwa IPTEK harus dimanfaatkan untuk membangun hutan Indonesia. Bukan hanya untuk hutan Indonesia. Hasil-hasil riset di kawasan hutan akan berguna untuk kepentingan kemanusiaan dalam arti  luas. Upaya-upaya itu masih harus terus ditingkatkan dan didukung oleh kebijakan nasional yang komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan serta konsisten.
Keenam: Bangun Jejaring Kerja Multipihak – Multidisipliner
Etika ini muncul dari kesadaran bahwa untuk mengelola hutan dengan segala karakteristiknya itu, tidak akan pernah mampu dikelola oleh hanya kelompok rimbawan. Mengurus hutan  (di Indonesia) tidak cukup hanya oleh rimbawan saja. Ciptaan Tuhan ini, sangat luar biasanya karena ia tumbuh  di muka bumi sebagai hasil dari proses asosiasi yang panjang dari aspek geologi, gerakan lempeng, aktivitas kegunungapian,  pembentukan dan pergerakan tanah, iklim, kelerengan, posisinya di permukaan bumi, yang berakibat pada pembentukan pola sebaran flora dan fauna yang beragam karena keterisolasian yang panjang. Kondisi ini masih ditambah dengan pola-pola ketergantungan manusia pada awal kehidupannya kepada sumber daya hutan beserta seluruh isinya, yang membentuk kebudayaan manusia dan pola-pola pembentukan hutan, ragam dan sebaran flora dan faunanya. Maka, dalam mengurus hutan, kawasan hutan, kita perlu mendapatkan dukungan dari berbagai disiplin keilmuan, berbagai pengalaman empiris pakar, praktisi, pengamat, pemerhati, pejuang lingkungan baik individu maupun lembaga, kaum agamawan dengan lembaga pesantren, gereja,  perencana pembangunan, kelompok-kelompok pengajian, pramuka, pencinta alam, kader konservasi, dan lain sebagainya.  Rimbawan dengan ilmu kehutanan tidak akan cukup mampu dalam merespons berbagai persoalan hutan dan kehutanan yang bukan sekedar persoalan silvikultur, teknologi kayu, tetapi juga masalah sosial, budaya, antropologi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, dinamika geopolitik global, politik nasional, dan lokal dan lain sebagainya.
Jejaring multipihak pemerintah pusat-pemprov-pemkab,  swasta, perguruan tinggi dengan multidisiplin Ilmunya,  merupakan suatu keharusan, apabila kita ingin mendapatkan manfaat dari banyaknya “rahasia” yang masih terkandung di dalam perut hutan belantara tropis dan kawasan konservasi di bawah lautan di satu sisi,  dan upaya meningkatkan kecerdasan, keberdayaan, dan kemandirian masyarakat di sisi lainnya. Masyarakat seharusnya menjadi bagian dari jejaring ini dan mendapatkan manfaatnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Resep manjur dari Pak Wahjudi dalam membangun jejaring kerja adalah “3M”, yaitu (1) Mutual Respect, (2) Mutual Trust, dan (3) Mutual Benefits. Mari kita sama-sama praktikkan untuk membuktikan kemanjurannya.
Ketujuh; Terapkan Prinsip Kehatoi-hatian
Kecerobohan adalah sikap yang sejauh mungkin kita hindarkan. Terapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan. Kebijakan seharusnya disiapkan dengan matang didasarkan pada data dan informasi yang valid. Pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan berbagai kebijakan, yang dilakukan dengan benar dan jujur menjadi modal dasar dalam memperbaiki kebijakan ke depan. Pengalaman kerusakan hutan-hutan produksi dengan skema HPH dengan pola monopoli dan dampak negatifnya di masa lalu menjadi bahan koreksi kita bersama. Konsistensi dan pengawasan yang ketat tanpa negosiasi, semestinya dapat menyelamatkan hutan-hutan tersebut. Apabila sistem
Tebang Pilih Indonesia (TPI) dilaksanakan dengan konsekuen, maka masih ada harapan akan tumbuhnya hutan untuk siklus tebangan berikutnya. Pengalaman itu, kini menjadi pelajaran berharga agar dalam mengusahakan hutan, dilakukan dengan prinsip-prinsip kelestarian dan dengan penawasan yang ketat.
 Kebijakan Presiden RI melakukan Moratorium Hutan (INPRES No.10 tahun 2011.Penundaan izin baru  di hutan primer dan gambut yang berada di hutan konversi, hutan lindung, dan hutan produksi, adalah langkah-langkah kehati-hatian tersebut. Moratorium ini diperpanjang lagi dengan terbitnya INPRES Nomor 6/2013  tentang  Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dilanjutkan dipertegas oleh Presiden Jokowi dengan diterbitkannya INPRES Nomor 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam dan Lahan Gambut.   Mengapa perlu menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian? Selain aspek kerusakan hutan di masa lalu, tekanan dunia internasional untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), juga karena kita dengan IPTEK yang ada banyak belum mampu mengungkapnya “manfaat” dari isi hutan-hutan alam tersebut bagi kepentingan kemanusiaan. Apabila tidak dicegah, maka tingkat kerusakan hutan-hutan alam akan terus meninggi, karena kemampuan kita untuk melakukan pemantauan dan cek lapangan akan ketaatan pengusaha masih perlu terus ditingkatkan cakupannya. Prinsip kehati-hatian ini bukan hanya berlaku di hutan-hutan produksi, tetapi juga dalam pengelolaan seluruh fungsi hutan, termasuk di kawasan konservasi. Pemerintah yang telah mengalokasikan dan menetapkan 27,14 juta hektar  hutan  konservasi, juga dalam mengemban etika kehati-hatian tersebut. Kawasan konservasi tersebut adalah bagian dari 64 juta hektar hutan yang masih utuh atau 42,5 persen. Porsi yang cukup besar dari hutan konservasi ini perlu dukungan kebijakan terpadu untuk mendorong peningkatan efektivitas pengelolaannya dengan berpegang pada etika-etika yang diusulkan tersebut di atas. 
Kesadaran: Bangun Kesadaran “Kolektif”
Kesadaran adalah tindakan yang dilakukan dengan sadar. Ciri dari tindakan sadar dilandasi oleh tiga hal, yaitu bahwa setiap tindakan dilakukan dengan : (1) ikhlas, (2) senang, dan (3) semangat. Tindakan yang dilakukan secara sadar secara individu tidaklah mencukupi dalam melakukan perubahan yang besar dalam mengelola atau menyelamatkan lingkungan hidup, mengelola hutan. Ia harus berhimpun dalam tindakan secara bersama, terpadu, kolektif.  Kesadaran bersama (collective awareness) yang dilakukan secara multipihak inilah yang menjadi cikal bakal dan modal dasar untuk melakukan perubahan dan perubahan yang nyata dirasakan di tingkat tapak, di lapangan, secara masih, dan terus menerus.  

Kesadaran bersama ini menjadi cikal bakal dapat dilakukannya aksi bersama (collective action) atau aksi kolektif. Aksi kolektif inilah yang dapat disebut sebagai “gerakan”. Kampanye yang terus menerus dilakukan dalam Penanaman Satu Miliar Pohon, misalnya sebenarnya dimaksudkan sebagai salah satu contoh upaya membangun suatu Gerakan Kesadaran Bersama Multipihak. Kini bukan saja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja, banyak pihak yang mendukung program satu miliar pohon tersebut. From collective awareness to collective action. Dari gerakan di Indonesia akan berkontribusi pada tataran global, sehingga, menanam pohon menjadi kesadaran kita bersama. Program penghijauan dan reboisasi sejak akhir periode 1970, telah menghasilkan kesadaran membangun hutan di lahan milik masyarakat.
Saat ini, telah lahir hutan rakyat di Jawa dan Madura, hampir seluas 2,7 juta hektar. Hasil kajian BKPH Wilayah XI bekerja sama dengan MFP II ini menganalisis data tutupan hutan rakyat pada tahun 2003. Potensi kayunya pun telah dihitung dan mencapai 78 juta m3. Berkembangnya hutan rakyat ini tidak dapat dilepaskan dari pionir rimbawan dari Petak 5 Wanagama, seperti Almh. Prof Oemi Haniin Soeseno, Prof Soedarwono H, Pak Pardiyan, dan Pak Tri yang memulai mengubah ekosistem karst sejak tahun 1964 menjadi hutan seperti saat ini dan menjadi contoh nyata bagi masyarakt Kab.Gunung Kidul dan meluas ke seluruh Jawa.     
Kesembilan: Libatan Perempuan.
Ialah sikap mental dan etika kita untuk mempertimbangkan dan memperluas peran-peran kaum perempuan dalam  setiap langkah atau siklus manajemen kawasan hutan. Kerusakan lingkungan berdampak langsung pada kaum perempuan di pedesaan. Berbagai upaya konstruktif menyelamatkan hutan, inovasi baru memperbaiki lingkungan, dilakukan oleh perempuan. Pendidikan anak-anak agar cinta pada lingkungan diemban kaum perempuan.  Banyak di antara perempuan tangguh tersebut telah menerima Kalpataru, karena pengabdiannya yang luar biasa pada penyelamatan lingkungan dan menginspirasi masyarakat luas.
Seorang perempuan bernama Tri Mumpuni-Pendekar Lingkungan Hidup 2008 adalah contohnya. Ia mampu menggerakkan masyarakat dan menjadi  motor pembangunan mikro (mini) hidro yang menghasilkan listrik di 60 lokasi tersebar di seluruh Indonesia. Usahanya membentang   dalam tempo tidak kurang dari 17 tahun (Berita TransTV 17 Agustus 2010; jam 21:48). Puluhan penghargaan diterimanya dari berbagai kalangan, antara lain sebagai Climate Hero dari WWF.  
Pada tanggal 20 Agustus 2010, harian Kompas memuat berita tentang orasi  Eny Sudarmonowati, sebelum dikukuhkan sebagai Prof Riset. Ia sejak 1992 melakukan penelitian intensif pemuliaan pohon hutan. Salah satu yang dipilih adalah sengon-salah satu jenis pohon cepat tumbuh (fast growing spesies) yang penting untuk rehabilitasi hutan atau dikembangkan sebagai penghasil kayu perkakas ringan. Hasil rekayasa genetik yang dilakukannya telah membuat pertumbuhan sengon 1,5 kali lebih cepat dari sengon bukan hasil rekayasa. Diprediksi, panen yang semula menunggu 15 tahun bisa diperpendek menjadi 7 tahun saja. Yang bersangkutan juga mengungkapkan bahwa ia melakukan penelitian juga tentang Acacia mangium transgenik. Ada sengon mutan hasil radiasi sinar gamma, yang tahan  hidup di lahan ex tailing, jadi kemungkinan besar bisa untuk bioremediasi. Ribuan hektar lahan eks pertambangan dapat segera dihijaukan dengan hasil riset ini. 
Aleta Baun  aktivis perempuan dari Timor Tengah Selatan, mendapatkan penghargaan dari Goldman Environmental Prize 2013 di San Fransisco, Amerika Serikat, pada 15 April 2013, atas upayanya yang gigih mempertahankan hutan dan Gunung Batu di lereng Gunung Mutis (Kompas, 20 April 2013). Ketiga contoh tersebut membuktikan peranan perempuan dalam perbaikan lingkungan hidup terbukti nyata. Kebijakan pemerintah ke depan harus mempertimbangkan keterlibat kaum perempuan lebih besar dalam setiap proses pembangunan dan dengan niat yang baik untuk mendorong peran mereka semakin besar dan menentukan. 
Kesepuluh: Rangkul Kaum Muda
Mempertimbangkan tujuan jangka panjang dari pengelolaan hutan dan lingkungan secara luas, maka isu kunci yang harus dipertimbangkan dalam kebijakan nasional adalah tentang pendidikan lingkungan dan peran kamu muda. Mereka kelompok potensial untuk terlibat dalam berbagai upaya dan gerakan penyelamatan lingkungan. Sudah sewajarnya dibangun strategi pengelolaan hutan dan penyelamatan lingkungan dengan melibatkan kaum muda.  Mereka yang akan mengambil tongkat estafet dari generasi tua saat ini, untuk dilanjutkan ke depan. Skala waktu yang dipakai dalam pengelolaan hutan dan isu-isu lingkungan bukan hanya lima tahun, atau 10 tahun, tetapi 50-100 tahun ke depan. Skala generasi, antar generasi, dan lintas generasi. Investasi pendidikan lingkungan saat ini akan menentukan hasilnya 20-30 tahun ke depan. Bonus demografi yang dialami Indonesia, dengan lebih dari 40% penduduknya dalam usia produktif, merupakan modal dasar untuk melakukan pewarisan best practices dalam pengelolaan sumber daya alam dari generasi saat ini kepada generasi muda tersebut. Praktik kelola sumber daya alam dan pemikiran pemikiran serta inovasi baru tentang pengelolaan sumber daya alam harus didokumentasi dan diwariskan kepada generasi muda untuk terus dilanjutkan dan bahkan dikembangkan. Penemuan spesies baru, spesies hasil rekayasa genetik, harus terus dipacu untuk diujicobakan di lapangan. 
Generasi Z yang lahir di tahun 2000an-lah yang akan memainkan peran kesejarahan besar di masa depan, bukan generasi tua era 1960an atau era 1970an. Generasi yang lahir pada periode akhir 2000an akan membawa tongkat estafet pembangunan lingkungan dan kehutanan di Indonesia sampai melewati tahun 2050 dimana penduduk dunia sudah mencapai 9 milyar jiwa.
Epilog
Etika semestinya menjadi spirit dari para rimbawan. Menjadi modal dasar dalam menyusun visi bersama untuk membangun lingkungan dan hutan Indonesia. Namun demikian, rasanya semakin lama kita semakin tidak memandang perlu bicara  tentang “Etika” atau lebih fokus lagi “Etika Rimbawan”. Atau bahkan kita telah melupakannya.  
Sepuluh Etika Rimbawan yang diajukan oleh penulis ditujukan untuk  membangunkan kembali mimpi bersama tentang spirit kelola hutan dan lingkungan hidup di Indonesia. Mulai dari “Deklarasi Kaliurang” tahun 1967 sampai ke “Deklarasi Cangkuang” 1999, dan kemudian setelah 17 tahun, Deklarasi Cangkuang pun tinggal menjadi kenangan, apabila kita tidak menerjemahkannya ke dalam strategi dan aksi nyata yang harusnya dilakukan secara konsisten dan persisten.    
  Kebijakan Perhutanan Sosial,  yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 seluas 12,7 juta hektar kawasan hutan negara atau 10% dari luas hutan di seluruh tanah air untuk masyarakat pinggir hutan, semoga akan berhasil apabila menerapkan Sepuluh Etika Rimbawan tersebut di atas. Demikian pula dengan kebijakan Kemitraan Konservasi atau Perhutanan Sosial di Hutan Konservasi, yang menyusul ditetapkan tahun 2018. Dengan kedua program ini, masyarakat pinggir hutan diberikan kepercayaan untuk mengelola dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek, sebagai pelaku utamanya. Kebijakan yang sebenarnya telah diperjuangkan sejak tahun 1978 dalam Kongres Kehutanan se Dunia ke VIII, dengan tema sentralnya “Forest for People”.  
Semoga tulisan pendek tentang Etika Rimbawan ini dapat mengusik “tidur nyenyak” para rimbawan Indonesia, dan para pencinta lingkungan, untuk bangkit dan menemukan kembali spirit dan jati diri serta panggilan profesionalnya sebagai seorang rimbawan Indonesia.  Tentu dengan tugas yang semakin berat pasca 50 tahun sejarah eksploitasi hutan skala komersial sejak tahun 1970. 
Semoga kita belum terlalu terlambat untuk memperkuat dan memperteguh Etika Rimbawan Indonesia sebagai fondasi yang lebih kuat dalam konteks dan situasi kekinian kondisi hutan dan lingkungan hidup di tanah air. Juga demikian kita  masih bisa dengan bangga dan riang bersemangat bersama-sama menyanyikan “Seruan Rimba”. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar