"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

20 September 2011

Peran Carrier dalam Jaringan Konservasi Alam

Carrier atau pembawa sifat adalah individu-individu yang memiliki kemampuan dan atau panggilan untuk menularkan beberapa sifat tertentu kepada seseorang atau beberapa orang dalam setiap perjumpaannya. “Penularan” sifat-sifat ini dilakukan baik dengan sengaja (sadar) maupun tanpa sengaja (tidak sadar), yang dilakukannya ketika berinteraksi dengan siapapun yang dijumpainya. Apalagi apabila ia si pembawa sifat tersebut dengan sadar membangun upaya yang terstruktur untuk dengan sengaja menularkan “virus” tersebut kepada target tertentu.

Kita menyadari bahwa teknologi informasi telah membawa kita menjadi “one big family”, dan dunia hanya menjadi sekedar “one big village”. Mari kita ambil contoh nyata. Dengan bantuan “Google Engine”, saya ternyata mendapatkan 18.300 artikel, buku, dan semua hal-hal yang tekait dengan dua kata: “konservasi” dan “wiratno”, dalam 0,20 detik! Teknologi informasi membuat jarak menjadi hampir tidak berarti lagi. Dengan bantuan Bisro Sya'bani-mantan staf saya di TN Gunung Leuser (2005-2007), saya dibuatkan blog. Tujuan utama dan satu-satunya agar saya bisa menyebarkan berbagai ide, gagasan, pendapat, analisi, dialog, dan sebagainya yang pernah saya lakukan, kepada semua pengguna internet dimanapun ia berada, di seluruh penjuru dunia. Blog yang berisi lebih dari 10 artikel dan resensi buku, itu telah dikunjungi 3.386 visitor. Antara tanggal 12-17 September 2011 dikunjungi 65 visitor yang dipetakan dalam peta dunia melalui program ClustrMaps. Menariknya, di antara visitor blog itu, ada yang dari Mountain View-California, Colorado Spring, New York, dan Miami Florida.

Saya tidak mengetahui prosesnya seperti apa. Yang jelas, IT telah membantu penyebaran gagasan,pendapat, diskursus, data dan informasi dengan kecepatan setingkat “second” atau detik. Hal yang tidak akan pernah terjadi 10-15 tahun yang lalu. Bahkan kejadian di belahan dunia lain dapat disaksikan dengan real-time di belahan lainnya. Pola tradisional dengan penerbitan buku/hard copy tidak akan pernah mampu mencapai khalayak dengan kecepatan seperti itu. Walaupun kita menyadari peran buku tidak akan pernah tergantikan dengan media digital tersebut.

Generasi C 


Kekuatan IT sebagai “carrier” dalam arti fisik dan sebenarnya telah terbukti nyata. Semestinya tingkat kesadaran akan semakin meningkat dengan cakupannya yang tentu sangat beragam, bukan saja tertuju pada pangsa pasar tertentu, tetapi dapat menyentuh siapapun yang berhubungan dengan internet.

Sangat menari membaca buku Rhenald Kasali, berjudul “Cracking Zone” yang diterbitkan oleh RumahPerubahan bekerjasama dengan Gramedia (2010). Tentu ulasan di dalamnya akan penulis kaitkan Gen-C sebagai “Carrier” dan dalam hubungan perannya merubah arah Konservasi Alam di Indonesia. Bagaimana sikap kita dalam mengelola kawasan konservasi dalam dunia yang sudah berubah dengan cepat, dimana lahir generasi yang disebut oleh Rhenald Kasali sebagai ‘Generasi C”, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang peneliti dari Australia, Dan Pankraz. Generasi “C” dapat berarti content, connected, digital creative, cocreation, customize, curiousity, dan cyborg. C bisa berarti juga cyber, cracker, dan chameleon atau bunglon. Saya ingin memperluas interpretasi Generasi C juga dapat disebut sebagai “carrier”, sang pembawa pesan yang didalamnya mengandung sifat-sifat tertentu yang berisi kesadaran tertentu akan pentingnya melindungi lingkungan, pola hidup hemat dan berbagai macam sikap mental yang pro-lingkungan menjadi content yang ditularkan, yang akhirnya mempengaruhi sikap mental, cara berfikir dan berperilaku yang mencerminkan kepeduliannya akan kelestarian habitat manusia di bumi, dalam arti seluas-luasnya .

Gen C adalah generasi yang lahir di era teknologi informasi super canggih. Kasali menguraikan bahwa menurut survai Yahoo!, pengguna di Indonesia pada akhir tahun 2008 telah mencapai 24,5 juta orang dan 15 juta di antaranya mengakses lewat mobile divice. Sekarang ketika handset dapat digunakan untuk mengakses dan menggunakan internat, pengguna internet bertambah berlipat-lipat. Di XL sepanjang tahun 2009, pengguna internet broadband meningkat 269%; Telkomsel melonjak 165% dan di Indosat naik 100%. Pada akhir tahun 2009, Indonesia menempati urutan ke-5 pengguna facebook dan blog. Pada bulan Agustus 2010, pengguna facebook telah di posisi ketiga, menggeser Prancis dan Italia. Blogger Indonesia berjumlah 600 ribu di tahun 2008 dan kini telah mencapai 1 juta.

Walaupun blogger Indonesia telah mencapai 1 juta orang, namun penulis yakin apabila jumlah blogger yang menggumuli bidang lingkungan hidup dan atau konservasi alam tidak lebih dari 5% dari jumlah tersebut. Selalu, orang-orang yang peduli lingkungan menjadi sekedar kelompok minoritas. Hal ini harus dirubah. Harus semakin banyak kelompok-kelompok pemerhati lingkungan, pakar, praktisi, dan konek ke jaringan-jaringan digital dengan ukuran kecepatan per sekian detik dalam mencapai tujuannya.

Peran “Carrier

Kendaraan yang berupa IT telah tersedia. Semestinya memang harus kita manfaatkan untuk membangun kesadaran dan penyadaran multipihak-multilayer yang dapat mengabaikan distance dan time. Dua faktor yang selalu menjadi penghambat tersebarnya data dan informasi. Tentu saja masih terdapat wilayah di Indonesia yang bleum terjangkau koneksi IT tersebut. Namun ke depan, akan semakin terbuka peluang interkoneksi di hampir seluruh pelosok Indonesia.

Carrier yang penulis maksud dalam artikel ini bukan hanya sebagai “pembawa” pesan melalui perangkat IT. Perannya lebih dari sekedar pembawa pesan. Sebagaimana dalam ilmu genetika, ‘carrier” adalah si pembawa sifat-sifat yang akan diturunkan kepada keturunannya. Carrier berperan dalam membantu membangun kesadaran melalui simpul-simpul jaringan (net). Ketika simpul-simpul yang disentuh oleh si pembawa sifat tersebut adalah simpul yang tepat, pada posisi,peran, dan waktu yang tepat, maka perubahan (change) menuju perbaikan di berbagai tingkatan, akan berlangsung dengan tempo yang lebih cepat.

“Theory U” sebagai Kendaraan

Sebuah teori yang dikembangkan oleh Dr.Otto Shcrammer dari MIT-Boston, adalah sebuah kendaraan yang penulis nilai cukup tepat apabila digunakan untuk menganalisis suatu hipotesa sebagai berikut : “bahwa penggunaan IT dalam membangun kesadaran kolektif baru pada tingkatan awal atau pada tahap “downloading” tidak mencukupi apabila tidak didukung dengan proses lanjutannya pada tahap SeeingSensingPresencingVisioning Prototiping Performing atau results achievements”.

Maka, para pihak yang telah membaca berbagai artikel dalam blog: konservasiwiratno.blogspot.com baru menapaki tahapan pertama, yang dalam Theory U disebut sebagai proses downloading. Proses mengunggah data atau informasi. Walaupun demikian, tahapan ini tetaplah sangat penting dalam memperoleh bukan saja data, informasi, tetapi juga “knowledge” suatu pengetahuan atau diskursus baru yang terbuka untuk diperdebatkan. Maka sebuah artikel menarik akan merangsang si pembaca untuk melakukan olah pikir dan olah rasa. Ia bisa saja berhubungan dan membangun debat yang konstruksi dengan si blogger. Blogger senior dalam arti substansi, tentu menyimpan zip-file puluhan tahun tentang suatu disiplin ilmu tertentu atau pengalaman lapangan yang luas, mendalam, dan beragam. Ketika dapat dibangun komunikasi intensif, kesepahaman, dan bahkan mulai dapat dibangun suatu trust, suatu tingkat kepercayaan, maka tidak mustahil zip-file si blogger yang sudah puluhan tahun mengendap di kepala dan jiwanya, dapat atau biasanya di-passed on atau dibagikan kepada si penerima (reciever) tersebut. Dalam hal ini, maka tercapai dua keuntungan: Pertama, tongkat estafet mulai diserahterimakan dari generasi tua kepada generasi yang lebih muda, sehingga berbagai pengalaman berharga (baca: keberhasilan dan kegagalan) diserahkan, dibagikan, dan dianalisis bersama. Dengan demikian, generasi yang menerima transfer pengalaman itu bisa belajar dan tidak akan mengulang kesalahan yang sama yang terjadi di masa lalu. Kedua. Terjadi hubungan emosional bukan sekedar sambung pikir (open mind), tetapi secara bertahap mulai terjadi sambung rasa (open heart). Dari kedua proses tersebut, maka si penerima akan didorong atau terdorong untuk melakukan action yang berlanjut ke sistem berantai melalui simpul-simpul jaringannya. Suatu aksi atau tindakan bersama (movement) untuk melakukan suatu perubahan (change). Inilah tingkat kesadaran (awareness) yang mulai tumbuh yang sebenarnya didasari oleh kemauan atau kehendak melakukan perubahan. Pada tindakan yang didasarkan atas kesadaran ini didorong oleh suatu “open will”.

Di banyak kasus, seseorang sudah mencapai situasi “open mind” dan open heart” namun berhenti saja pada level ini. Ia tahu, ia faham, tetapi tidak mau melakukan tindakan nyata (suatu action) untuk memperbaiki atau mengubah keadaan. Motifnya memang beragam. Mungkin di level ini di mana open will-nya belum terjadi, karena memang niat melakukan sesuatu untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, memerlukan keterbukaan hati; perlu menghadirkan kembali (presencing) atau connectiong to source, dengan pertanyaan: “ siapa saya?” mau kemana saya?” dan apa panggilan hidup saya?” Theory U, menyampaikan pertanyaan : “What is my personal calling?” Apa panggilan hidup saya selaku pribadi maupun selaku profesional di bidang tertentu. Apa panggilan hidup saya sebagai konservasionis? Sebagai rimbawan?

Salah satu peranan seorang sebagai “Carrier” adalah kemampuan seseorang yang mampu dengan cara dan motifnya sendiri untuk mendorong, membuka, merangsang suatu keadaan atau suasana yang kondusif akan munculnya proses awal munculnya kesadaran si penerima pesan atau umpan tersebut, untuk mulai bertanya pada dirinya, dengan pertanyaan : “What is my personal calling as a conservationist, as a forester….?” Dalam tahapan ini, tentu peranan Tuhan, Allah swt, Yang Maha Agung, Yang Maha Berkendah, Yang Maha Mengetahui, sangat sentral. Dalam Theory U ini disebut sebagai precensing atau connecting to source. Maka, peranan Carrier sebenarnya sekedar membantu si penerima tongkat estafet tersebut untuk mendapatkan jalannya yang lebih mudah, tidak lagi meraba-raba dalam kegelapan yang tak menentu. Maka seorang Carrier, bukan saja sekedar membagikan data dan informasi. Ia mengalirkan spirit, ia menyampaikan semangat, mencangkokkan “pesan” tersembunyi dari proses aliran data dan infmormasi itu. Carrier bukan sekedar hardware, ia lebih berperan sebagai sofware. Setiap perjumpaan adalah sudah diatur oleh Tuhan.

Perjumpaan antara Carrier dan Reciever sudah diatur-Nya. Kita menyadari bahwa Allah swt tidak bermain dadu dalam setiap gerak dan penciptaan dunia. Maka, tak akan selembar daun jatuh di belantara tanpa seijin-Nya. Carrier laksana the Massanger, si pembawa “pesan”, si pembawa “wahyu” atau “bisikan” dari atas, dan atas dasar kesadarannya, untuk disampaikan kepada publik. Maka, Carrier laksana pula seorang pendakwah. Pendakwa konservasi, mempraktikkan konservasi sebagai bagian dari setiap helaan nafas dan langkahnya. Maka, berbahagialah menjadi si pembawa pesan tersebut. Melalui simpul jaringan yang tepat, maka di Abad Informasi seperti saat ini, dalam hitungan detik, pesan telah sampai ke si penerima. Metode ini telah lama diadopsi oleh ESQ-165, yaitu menyampaikan pesan dakwah melalui pesan singkat. Penulis menerima pesan ESQ-165 sejak sebulan yang lalu dari simpul ESQ-165 di Lampung, setiap pagi, sehingga seperti selalu dibuat terjaga dan merenungkan setiap selesai membaca kiriman tersebut.

Manusia-manusia yang bekerja di konservasi alam, dan para penyelamat-penyelamat lingkungan, telah lama bekerja atas dasar kesadaran. Prof Yohanes menyatakan apabila kita bekerja dengan kesadaran maka terjadilah apa yang ia sebut sebagai “mestakung” atau “semesta mendukung”. Ide, kerja, dan niat baik kita akan mendapatkan dukungan dari semesta alam, sebagaimana diuraikan oleh Eckhart Tolle (2005), akan connected to universal intelligent, akan mendapatkan berkah dari Tuhan, yaitu bekerja dengan modal tiga hal: acceptance, enjoyment, dan enthusiasm.

Percepatan Koneksitas Antar Generasi

Kita mengetahui bahwa kepentingan menyelamatkan konservasi alam menunjukkan skala waktu lintas generasi. Berarti 50 tahun, 100 tahun. Kepentingan politik hanya 5 tahun, maksimal 10 tahun. Penyelamatan alam untuk kepentingan bukan hanya manusia (antroposentrisme) tetapi untuk demi mahluk lainn di muka bumi ini yang sebenarnya akhirnya juga untuk kepentingan manusia namun manusia selalu arogan untuk mengakuinya (ekosentrisme).

Maka isu kunci dalam konservasi alam adalah bagaimana melakukan percepatan regenerasi di antara pelaku-pelaku konservasi alam itu. Sang Carrier harus melakukan percepatan “penyerahan tongkat estafet” kepada si penerima yaitu generasi yang lebih muda. Sekali lagi berdasarkan ilmu jaringan, maka tongkat estafet harus diberikan kepada simpul yang tepat (tepat posisi, tepat waktu, dan tepat lokasi). Simpul yang tepat akan mempercepat proses penerimaan spirit, atau pesan kunci yang disampaikan, dakan akan semakin cepat disebarkan kepada simpul-simpul di bawah dan di sampingnya sehingga akan terbangun jejaring kesadaran multipihak, multisektor, dan multilayer. Layer kesadaran yang terus dirawat inilah yang akan menjadi cikal bakal dan fondasi baru untuk kebijakan yang lebih baik, lebih pro-lingkungan, yang diharapkan akan mampu mengurangi kecepatan kerusakan alam yang lari dengan deret ukur itu. Sementara collective action yang berusaha mencegah kerusakan lingkungan hanya mampu bergerak di tataran deret hitung, terseok-seok, diskontinyu, terfragmentasi, dan seringkali menjadi sasaran adu domba sehingga seringkali gagal bahkan pada tataran awal penyiapan kebijakan atau rencana aksi lapangan. Melalui “Carrier” dan network konservasi alam, masih harapan lahirnya gelombang baru upaya-upaya kolektif penyelamatan sumberdaya alam untuk kemaslahatan umat manusia itu sendiri, termasuk generasi yang akan datang dimana mereka menitipkan sumberdaya alam itu kepada generasi saat ini: Generasi C.***

*) ide artikel ini mencuat setelah pertemuan tentang ide dibangunnya sebuah “Knowledge Center for Nature Conservstion” (KCNC) di Juanda 15 Bogor, yang dihadiri oleh tokoh2 muda konservasi, seperti Agus Mulyana, Suer Surjadi, Ratna Hendratmoko, Nurman Hakim, dan Iwan Setiawan.Mereka adalah anggota Kelompok Kerja Penanganan Perambahan di Kawasan Konservasi, dna merupakan “prominent person” di bidangnya masing-masing.


Daftar Rujukan

Rhenald Kasali., 2011. Cracking Zone. Bagaimana Memetakan Perubahan di Abad 21 dan Keluar Dari Perangkap Comfort Zone. Rumah Perubahan.

C.Otto Scharmer Otto. 2006, Theory U. The Society for Organizationla Learning, MIT. Cambridge, MA.02141.USA.

Tolle., E.,2005. A New Earth. Create A Better Life. Michael Joseph an Imprint of Penguin Books.

07 September 2011

Kolaborasi dalam Pembiayaan Kawasan Konservasi di Indonesia : Beberapa Catatan Pemikiran

Sifat Khas Kawasan Konservasi

Pengelolaan kawasan konservasi (KK) memerlukan biaya yang tidak sedikit, apabila pemerintah serius akan mengelolanya di tingkat tapak, di tingkat lapangan. Hal ini berarti pemerintah akan mengeluarkan biaya (cost) yang bisa sangat besar. Namun demikian, belum tentu hasilnya sepadan. Mengapa hal ini dapat terjadi? Problematika pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dilepaskan dari ciri khas KK. Ciri-ciri yang membedakan KK dengan sumberdaya alam lainnya adalah sebagai berikut :

(a) Irriversibel –“ non renewable resource”
Sebagian besar ahli/pakar di bidang botani dan konservasi biologi percaya bahwa sumberdaya hutan di KK, apalagi hutan hujan tropis merupakan sumberdaya
yang tidak dapat atau sulit sekali pulih ketika telah mengalami kerusakan/degradasi khususnya ketika telah melewati ambang batasnya untuk dapat merehabilitasi dirinya secara alami. Dr.Kuswata Kartawinata, pakar hutan tropis, yang telah pernah membuat plot permanen di TN Gunung Leuser, khususnya di Besitang, menyatakan bahwa diperlukan waktu tidak kurang dari 170 tahun untuk mengembalikan kerusakan hutan tropis dataran rendah di Besitang. Ini suatu contoh nyata bahwa sumberdaya hutan tropis dataran rendah sangat sulit atau diperluakan waktu yang sangat lama untuk memulihkannya (Baca: Recovery of a lowland Dipterocarp forest twenty years after selective logging at Sekundur, Gunung Leuser National Park-Reinwardtia Vo.12, Part 3, PP: 237-255). Bahkan,
beberapa pakar menyimpulkan hutan hujan tropis termasuk yang berada di dataran rendah layaknya seperti minyak bumi. Sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resource). Ciri ini nantinya akan berimplikasi pada prinsip pengelolaannya yang harus memakai prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Hutan produksi (tropis) Indonesia yang diekpsloitasi untuk memenuhi kebutuhan kayu dunia sejak 1970an (UU PMA terbit 1967), saat ini kondisinya (cukup) mengenaskan.

(b) Benefit beyond boundary
Ciri khas yang kedua dari sumberdaya hutan hujan tropis ini adalah nilai manfaatnya yang mengalir jauh sampai di luar batas-batas hutan. Oleh karena itu, kita mengenal konsep hulu-hilir dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). TN Gunung Gede Pangrango yang luasnya hanya sekitar 21.000 Ha., ternyata melindungi 3 hulu DAS penting, yaitu Citarum, Ciliwung, dan Cimandiri. Tidak kurang dari 150 desa di Kab.Sukabumi, Bogor, dan Cianjur bergantung pada kawasan taman nasional ini untuk suplai air. Ada baiknya dibaca artikel terkait dengan peran TNGGP ini di AgroIndonesia Vol V Nomor 235; 3-9 Februari 2009 atau dapat diunduh di www.konservasiwiratno.blogspot.com, dengan judul yang sama. Belum termasuk penyerapan carbon, pendorong wisata Puncak, sumber air kemasan, air konsumsi, pencegahan bahaya banjir, longsor, dan kesuburan tanah pertanian, perkebunan, dan sebagainya. Lebih lanjut bisa baca hasil kajian Wiratno, dkk (2004) dengan judul : Valuation of Mt Gede Pangrango National Park. Information Book Series 2. Balai TN Gunung Gede Pangrango. Untuk mengetahui Benefit Beyond Boundary, maka dilakukan Economic Valuation. Hal ini sudah pernah dilakukan di beberapa taman nasional, seperti TN Gunung Leuser (Bekkering-DHV Belanda); TN Batang Gadis (Conservation International Indonesia); TN Bunaken (NRM Project), dan sebagainya.

(c) Common Pool Resource
Sumberdaya di KK tergolong ke dalam common pool resource. Ia seperti lautan, padang pasir, gurun, yang karena luasnya (jutaan hektar), maka manusia kesulitan dalam mengelolanya.Termasuk pemerintah yang mengemban mandat undang-udang untuk mengelolanya mengalami banyak keterbatasan dan persoalan-persoalan teknis dan finansial. Upaya privatisasi terhadapnya sangat mahal. Apakah pemerintah yang mampu memagari laut yang 2/3 luas bumi itu? Memagar kawasan hutan atau pesisir pantai yang hanya beberapa ratus kilometerpun akan sangat mahal. Mooring Buoy yang dipasang di ujung batas TN Kep.Seribu, dengan harga Rp 300 juta/buah, tidak lama kemudian lampu suarnya sudah dicuri. Lampunya yang produksi dari Jerman dengan tenaga listrik dari solar cell pun sangat mahal (setiap lampu seharga Rp.30 juta). Persoalan privatisasi atau biaya menjaganya sangat mahal dan hampir tidak mungkin dilakukan. Pencurian sumberdaya laut Indonesia oleh nelayan asing juga bukti lain yang memperkuat fakta-fakta ini. Implikasi dari ciri khas atau sifat-sifat ini adalah perlunya negosiasi, kolaborasi, atau penjagaan dan pemanfaatan bersama para pihak yang memiliki kepentingan; pemerintah mengemban mandat unadang-undang, swasta memiliki kepentingan bisnis, kehidupan masyarakat setempat umumnya sangat tergatung pada ketersediaan sumber-sumber pangan, perumahan, dan ekonominya dari kawasan hutan tersebut.

(d) Long-term perspective
Pengelolaan KK memiliki perspektif jangka panjang, lintas generasi, 100-200 tahun yang akan datang atau bahkan lebih panjang dari itu. Sementara itu, kepentingan manusia cenderung pendek. Harian, bulanan, tahunan,dan maksimal lima tahunan bagi kelompok politik. Kedua kepentingan inilah yang menyebabkan konflik dan pada umumnya kepentingan jangka panjang seringkali dikalahkan, diabaikan, atau kurang dipertimbangkan dibanding dengan kepentingan jangka pendek. Prinsip “time preference” menjadi penting untuk dipelajari dan dipertimbangkan. Manusia cenderung tidak mau mengambil resiko untuk kepentingan jangka panjang yang penuh dengan ketidakpastian, fatamorgana, dan seringkali tidak jelas target dan tujuannya, bila dibandingkan target jangka pendek, yang lebih jelas, konkrit, terukur, kasat mata, dan “doable”, dan manfaatnya jelas untuk “kita”, generasi saat ini, dan yang penting dapat dirasakan saat ini. Time preference dalam perhitungan proyek-proyek pembangunan termasuk kaitannya dengan konservasi adalah akan menentukan seberapa besar suku bunga (interest rate) ditetapkan; akan menentukan kelayakan proyek (B/C ratio) dan tingkat sensitivitas (internal rate of return/IRR). Sementara itu, dalam analisis B/C ratio, para pakar masih kesulitan dalam memasukkan B (benefit) atau manfaat. Hal ini disebabkan banyak manfaat dari suatu kawasan konservasi belum atau tidak akan pernah memiliki nilai pasar (price). Namun demikian, beberapa pendekatan dalam analisis Total Economic Value (TEV), seperti yang pernah penulis dan Tim NRM lakukan di TN Gunung Gede Pangrango, telah membuktikan bahwa manfaat kawasan konservasi selalu melebihi biaya yang dikeluarkannya. Jadi kawasan konservasi tidak dapat selalu dituduh sebagai “cost center”. Pengelolaan kawasan konservasi akan terbukti memberikan manfaat jauh lebih besar daripada biayanya, walaupun banyak faktor-faktor yang memberikan manfaat tersebut belum memiliki nilai pasar.

(e) Multipurpose Benefits
Kawasan konservasi memiliki manfaat yang sangat beragam. Sebagian kecil yang mampu diungkap oleh manusia. Sebagian besar lainnya masih menjadi rahasia, bahkan oleh ilmu pengetahuan yang ada saat ini. Kesalingterhubungan antara komponen biotik, abiotik, membentuk beragam asosiasi, pola ketergantungan, saling memberi dan menerima, dalam situasi yang sangat rumit dan dinamis, mulai dari lantai hutan sampai ke tingkatan tajuk tertingginya. Salah satu rantai keterhubungan itu putus atau diganggu, akan mengganggu pola-pola pertumbuhan, dinamika dan keseimbangan pada seluruh rangkaian baik pada tingkatan spesies sampai ke tingkat ekosistem/habitat, dan akibatnya pada manusia.

Seperti yang dicontohkan dalam Tragedi Minamata berikut: Tragedi Minamata, pada tahun 1950 di Minamata Jepang akibat pencemaran Teluk Minamata, telah membawa korban jiwa 1.629 orang. Produsen Pupuk Kimia Chisso Corporation penyebab tragedi ini. Enam puluh tahun kemudian, pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap, produksi semen, pengolahan minyak dan gas bumi, kesemuanya melepas merkuri ke atmosfir. Di udara, uap merkuri akan terbawa angin hingga ribuan kilometer dan melintasi benua. Saat meluruh, merkuri bisa memasuki rantai makanan ekosistem kelautan dan perairan, persis sebagaimana di Teluk Minamata (Kompas 25/08/10). Menurut laporan Environmental Protection Agency Amerika Serikat, merkuri mempengaruhi dan merugikan perkembangan otak dan system syaraf. Merkuri dapat mempengaruhi kemampuan berfikir, memori, perhatian,penguasaan bahasa, ketrampilan motorik, dan ketrampilan ruang visual.

Penelitian di Amerika Tengah menunjukkan bahwa beberapa penyerbuk (pollinator) hutan juga bergantung pada wilayah yang tidak berhutan di luar cagar yang ditetapkan. Hal ini mengungkapkan bahwa daerah di luar cagar tersebut perlu untuk dimasukkan ke dalam pengelolaan jangka panjang (Life After Logging-CIFOR/2006). Maka hutan tidak bisa dipisahkan dari berbagai pola tata guna lahan (land use) di sekitarnya. Ia bagian dari dinamika kesalingterhubungan yang rumit.Sayang sekali, sedikit manusia mengingat tragedi bersejarah ini, dan mungkin memang inilah sifat manusia yang mudah menjadi lupa dan melupakan sejarah, bahkan untuk sejarah yang sangat ironis sekalipun, seperti tragedi Teluk Minamata, dan berbagai tragedi yang pernah terjadi di dunia. Kehancuran sumberdaya hutan tropis Indonesia dapat digolongkan pula sebagai tragedi, mempertimbangkan dampak berantainya yang panjang dan bersifat jangka panjang, berupa penurunan kualitas lingkungan hidup secara menyeluruh, nyata dan yang cenderung mengikuti kaidah deret ukur.

(f) Nilai Intangible Benefit > Tangible
Kawasan konservasi mengandung nilai-nilai yang seringkali tidak (belum) memiliki nilai di pasar. Kayu, air, buah, getah, rotan/akar-akaran, pakis, bunga liar, memiliki nilai langsung (direct value) di pasar. Sebagian besar lainnya sedang dicoba dikembangkan saat ini. Seperti kemampuan menyimpan carbon (carbon sink), kemampuan menyerap carbon (carbon sequestration), masih sedang (akan) diupayakan. Kemampuan mencehan banjir, menjamin kesuburan tanah, mencegah longsor, menjaga stabilitas dan dinamika iklim mikro, tata air, suplai air, udara bersih, sumber obat-obatan modern, habitat satwa liar, merupakan nilai-nilai tak langsung, yang sedang dicarikan harga di pasar. Bahkan masih ditambah dengan nilai estetika, nilai eksistensi, budaya, religi, yang juga sangat siginifikan yang sulit dicarikan nilai pasarnya. Masalah seringkali muncul ketika di KK terdapat potensi bahan tambang ekstraktif di antaranya emas, perak, mangaan, tembaga, panas bumi, minyak bumi, batu bara, nikel, dan lain lain. Manfaat langsung (tangible) seperti ini akan menjadi hal yang utama untuk dipertimbangkan daripada manfaat tidak langsung (intangible) jangka panjang tersebut, sehingga diperlukan peranan pemerintah untuk mengamankan kebijakan bahwa di dalam kawasan konservasi, tidak diperbolehkan kegiatan ekstraktif yang merusak bentang alam dan berdampak besar ada lingkungan hidup di sekitarnya. Beberapa upaya ekspolitasi seperti panas bumi dan air kemungkinan masih akan dipertimbangkan untuk diijinkan mengingat dampaknya yang tidak terlalu signifikan terhadap lingkungan.


Implikasi

Dari tipologi atau karakteristik kawasan konservasi seperti diuraikan di atas, maka akan membawa implikasi-implikasi antara lain sebagai berikut :

(a) Penilaian yang cenderung Under Valued.
Banyak pihak menilai KK sebagai cost-centered. Selalu meminta biaya yang sangat besar dibandingkan dengan profit (bukan benefit) yang diperolehnya. Analisis B/C kawasan konservasi < 0.5 yang menunjukkan cost > daripada benefit. Namun demikian, penelitian yang lebih mendalam terhadap komponen benefit, dengan memasukkan intangible benefit ternyata menunjukkan hasil yang berbeda. Nilai manfaat (benefit) bukan keuntungan (profit) jauh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Kalau membandingkan antara benefit yang disederhanakan hanya profit berupa karcis masuk atau fee lainnya, tentu saja nilainya < dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.

(b) Investasi Rendah
Investasi untuk pengelolaan KK rendah dan tidak sebanding dengan beban biaya yang harus ditanggungnya. Hal ini disebabkan pula oleh rendahnya dukungan politik anggaran pengelolaan KK, yang harus berkompetisi dengan kebutuhan anggaran untuk ongkos politik, misalnya dikaitkan dengan lapangan pekerjaan (pro-job), pengentasan kemiskinan (pro-poor), atau untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan penghasil devisa negara (national income). Penelitian TNC menunjukkan rata-rata biaya pengelolaan KK di Indonesia < 2 USD/Ha, sedangkan di negara-negara tetangga dan negara maju berkisar antara 20 USD s/d 60 USD/Ha.

(c) Politisasi Investasi Kawasan Konservasi
Dalam kondisi seperti itu, banyak lembaga-lembaga donor yang seolah-olah membantu meningkatkan pengelolaan Kawasan Konservasi (KK), namun pada kenyataannya menimbulkan banyak masalah. Penyebabnya dapat berasal dari persoalan internal Ditjen PHKA/Kementerian Kehutanan dan atau persoalan eksternal lembaga donor.

(d) Investasi Jangka Pendek
Apabila terdapat investasi, tidak akan berlangsung lama, dan tidak memiliki “exit strategy” yang baik, sehingga justru menciptakan ketergantungan masyarakat sekitar atau pengelolan kawasna konservasi akan pendanaan. Biasanya 5-10 tahun. Hal ini berdampak pada diskontinyuitas pendanaan dan biasanya berbagai persoalan mendasar belum selesai, dan meninggalkan “bom waktu” pendanaan pasca dukungan dari luar.


Pendanaan KK di Indonesia

Upaya-upaya mendorong pendanaan KK di luar investasi pemerintah sebenarnya sudah dimulai sejak dekade 1980an. FAO di bawah koordinasi John Mc Kinnon/Kathy Mc Kinnon, dan Jan Win melakukan seri kajian menyeluruh tentang usulan KK di Indonesia, yang menghasilkan 8 jilid buku. Buku ini menjadi dasar pengusulan banyak KK di Indonesia.

Pada dekade 1990an, muncul proyek besar ICDP di TN Kerinci Seblat dan IPAS di TN Siberut dan TWA Ruteng. Pada era ini bermunculan dan berkembang lembaga-lembaga baru yang besar, seperti WWF, FFI, TNC, CI, Wetland International, Birdlife International (sekarang menjadi Yayasan Burung Indonesia), dengan pendanaan sebagian besar dari LN. Disamping itu, berkembang pola pendanaan Government to Government (G2G), misalnya GTZ-Jerman, JICA, USAID/WorldBank, AUSAID, CIDA, dan sebagainya.

Pada era akhir tahun 2000an, berkembang berbagai inisiatif pendanaan dikaitkan dengan carbon (REDD Plus), dan saat ini yang besar adalah LoI dengan Norwegia, yang mencapai pendanaan sebesar 1 Milyar USD. Sebagian besar pendanaan dikaitkan dengan carbon dan penyelamatan ekosistem gambut.

Di antara yang menonjol dari pola-pola pendanaan konservasi di luar G to G adalah trust fund KEHATI, yang semula bermodalkan 25 juta USD, yang dimotori oleh Emil Salim. Dan munculnya aliansi di antara lembaga-lembaga tersebut, misalnya dalam mendukung penyelamatan Ekosistem Sumatera, dikembangkan pola pendanaan yang disebut sebagai Tropical Forest Conservation Act (TFCA). Dalam pola ini, dana disiapkan untuk mitra taman-taman nasional di seluruh Sumatera. Proposal dinilai oleh suatu Tim Terpadu, dan dikaitkan dengan seberapa besar kontribusinya pada penguatan dan dukungan kepada balai-Balai Taman Nasional.

Sebelum TFCA tersebut berjalan, di 3 taman nasional di Sumatera, yaitu TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan, yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai world heritage pada tahun 2004, mendapatkan tambahan pendanaan dari mekanisme Debt for Nature Swap (DNS), dengan pemerintah Jerman. Dalam program ini, pendanaan tambahan yang diberikan kepada ketiga taman nasional tersebut akan dinilai oleh suatu tim independen dan apabila memenuhi kriteria tertentu akan ditetapkan sebagai pembayar hutang pemerintah RI kepada pihak pemerintah Jerman. Program ini telah berjalan selama 3 tahun terakhir dan nampaknya masih akan terus berlangsung. Hal paling penting adalah seberapa efektif manfaat program DNS ini bagi pencapaian tujuan konservasi di ketiga kawasan World Heritage tersebut.

Peran Swasta ke Depan

Dari kancah perkembangan pendanaan KK tersebut, peran swasta (baca: corporate) semakin besar walaupun bentuknya masih beragam dan belum dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap efektivitasnya. Beberapa di antaranya adalah dukungan beberapa perusahaan yang berada di sekitar TN Kutai, seperti Kaltim Prima Coal dan Pertamina; Chevron Geothermal dan PT Aneka Tambang Tbk membantu TN Gunung Halimun Salak; Chevron dan Pertamina yang membantu beberapa program konservasi di CA/TWA Kamojang yang dikelola Balai Besar KSDA Jawa Barat; Sinar Mas Group yang membantu melahirkan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu di Riau, dan membantu kelanjutan pengelolaan Cagar Biosfer tersebut bersama-sama dnegan UNESCO dan Balai Besar KSDA Riau dan Pemerintah daerah; APP yang membantu pengembangan masyarakat di daerah penyangga TN Ujung Kulon; adalah diantara beberapa contoh kerjasama yang sedang terjadi saat ini di Indonesia.

Dengan telah diterbitkannya PP No.28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, maka kolaborasi atau kerjasama mendukung pengelolaan kawasan konservasi semakin mendapatkan dukungan dari aspek legalitasnya; Termasuk pengelolaan daerah penyangga di sekitar kawasan konservasi, akan ditetapkan dan disusun programnya, bersama-sama dengan pemerintah daerah dan para pihak lainnya, termasuk pihak swasta apabila lokasi kegiatan pihak swasta tersebut berada di daerah penyangga suatu kawasan konservasi.

Dengan mempertimbangkan perkembangan tersebut di atas, maka sangat penting untuk membangun mekanisme pendanaan jangka panjang. Suatu lembaga Trust Fund Konservasi berskala nasional yang didukung oleh berbagai pihak, khususnya pihak swasta yang banyak melakukan kegiatan ekstraktif. Dua langkah konkrit yang perlu segera direalisasikan adalah:

(a) Membentuk Tim Kerja yang melibatkan pihak PT, Kemenhut, KemenKeu, dan Swasta dengan tugas untuk segera merumuskan langkah-langkah konkrit sebagai tindak lanjut kesimpulan Green Partnership Workshop di Yogyakarta, menetapkan Sekretariat Bersama, dan memfasilitasi seri pertemuan teknis dengan mengundang para pengambil keputusan dari para pihak kunci yang tidak hadir dalam pertemuan Yogyakarta. Tujuan pertemuan tersebut adalah dalam rangka menyamakan persepsi, ide, gagasan, evaluasi terhadap kerjasama yang sudah berlangsung, dan menyiapkan ToR Trust Fund Konservasi Indonesia.

(b) Kementerian Kehutanan cq Ditjen PHKA segera mempercepat terbitnya beberapa Permenhut sebagai tindak lanjut PP No.28/2011 khususnya menyangkut Kerjasama dan Pengembangan Daerah Penyangga, yang dapat dipakai sebagai salah satu payung kebijakan dalam membangun kolaborasi atau kerjasama memperkuat pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena itu perlu disiapkan pendanaan yang mencukupi untuk mendukung dan memfasilitasi proses penyiapa Permenhut serta dukungan untuk Tim Kerja yang telah dibentuk tersebut.

Penutup

Prinsip-prinsip dasar yang sebaiknya dijadikan acuan dalam pengembangan kolaborasi atau kerjasama para pihak dalam mendukung peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi antara lain adalah bagaimana dapat membangun mutual respect, mutual trust dan mutual benefits di antara para pihak yang bekerjasama tersebut. Untuk itu harus dapat dibangun suatu “common platform”, atau Agenda Bersama yang akan dilaksanakan dan dievaluasi bersama, sehingga dilakukan proses pembelajaran bersama para pihak. Spirit yang dibangun adalah spirit bekerjasama saling membutuhkan untuk kepentingan bersama. Bukan spirit yang dibangun sekedar atas dasar aturan yang ditetapkan. Proses terbangunnya kesadaran bersama atau collective awareness inilah yang perlu terus ditumbuhkembangkan sebagai modal untuk mendorong suatu gelombang perubahan, suatu collective action yang dapat mendorong perubahan di tingkat kebijakan maupun di tataran praktis dan konkrit di lapangan.

Dan akhirnya dapat membangun suatu masyarakat yang sadar akan berbagai implikasi pengelolaan sumberdaya alam, baik bagi dirinya saat ini dan bagi generasi penerusnya. Masyarakat yang sadar dan cerdas dan dapat melakukan tindakan-tindakan antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya kerusakan sehingga dapat dilakukan upaya-upayan pencegahan yang tepat sasaran. Kolaborasi multipihak tersebut sebaiknya memang diarahkan untuk mencapai tujuan jangka panjang seperti itu apabila tidak ingin terjebak pada tujuan jangka pendek keproyekan CSR atau keproyekan konservasi yang kurang dapat memberikan makna dan arah pada perubahan-perubahan substansial seperti tersebut di atas.

*disampaikan dalam Workshop Green Partnership - Grand Hyatt Hotel - Yogyakarta