Kerja konservasi adalah kerja kolektif-kolegial,
lintas kementerian, lintas disiplin keilmuan. Keberhasilan kerja konservasi
ditentukan oleh seberapa efektif kerja-kerja multipihak dapat dikawal, baik
dengan civil society, bersama
birokrat di provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, institusi keagamaan,
institusi adat, kampung, dusun, desa, marga, gampong, local leader
baik formal maupun informal, pelaku-pelaku usaha di berbagai bidang. Masyarakat
sekitar hutan sudah selayaknya diposisikan sebagai bagian dari solusi kelola
kawasan konservasi. Mereka sebaiknya dan sudah selayaknya diperlakukan sebagai
subyek dengan lebih manusiawi. Mereka bagian dari anak bangsa dan berhak meraih
kesejahteraan yang berkeadilan. Mereka seharusnya dilibatkan dalam setiap
tahapan proses kelola kawasan hutan, kelola kawasan konservasi. Untuk dapat melakukan ini,
diperlukan “revolusi mental” di seluruh komponen bangsa, termasuk reformasi
“mesin” birokrasi pemerintah.
1.
Fakta
- Pendekatan pembangunan di Kementerian Kehutanan masih terkesan parsial-fragmented. Dalam konteks otonomi daerah, perkembangan dinamika masyarakat, masyarakat adat, dan tuntutan zaman-pasca Pilpres 2014, maka diperlukan pemikiran dan kebijakan yang dibangun melalui berbagai dialog. Baik di internal Kemenhut, lintas Eselon I, termasuk lintas Kementerian/KL dan dengan civil society. Kebijakan juga semestinya dibangun berdasarkan pengalaman (lesson learnt) dari lapangan, dan berbasiskan pada hasil-hasil riset (scientific based), yang disebut juga sebagai scientific based policy formulation, policy review. Hal ini penting, agar kita tidak membuat policy yang tidak (kurang) tepat sasaran, timpang, atau sulit dilaksanakan di tingkat lapangan karena tidak realistis.
- Kawasan hutan kita bukan “kertas putih”. Kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari persoalan “tenurial”, antara lain keberadaan masyarakat, perubahan-perubahan akibat pembangunan di berbagai bidang, kepentingan politik, dan sebagainya. Minimal terdapat lima tipologi, yaitu : (1) masyarakat yang telah lama bermukim secara turun temurun, di dalam kawasan hutan, (2) masyarakat pendatang yang bermotifkan ekonomi, lapar lahan, (3) masyarakat (miskin) yang sengaja merambah yang didukung oleh cukong atau pemodal, (4) pendudukan kawasan oleh pihak swasta yang bermotifkan semata-mata kepentingan ekonomi, dan (5) merebaknya kelahiran desa-desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi baru yang memerlukan ruang untuk membangun sarana dan prasarana untuk fasisiltas umum, fasilitas sosial, dan sebagainya.
- Merujuk berbagai persoalan tenurial terkait dengan kawasan hutan, termasuk di kawasan konservasi dan lahan di luar kawasan hutan, Media Indonesia (26 Desember 2011) menguraikan berbagai persoalan konflik agraria antara masyarakat dan pengusaha, yang cenderung direspon represif oleh aparat negara dan perusahaan. Penulis artikel mengungkap bukti-bukti bahwa selama 10 tahun terakhir terjadi 108 konflik agraria di 10 provinsi yang didominasi konflik tenurial di kawasan hutan (69 kasus), dan konflik perkebunan (23 kasus); BPN mencatat 8.000 konflik agraria. Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, taman nasional, dan Perhutani.
- Sampai dengan saat ini, belum ditemukan formula atau hasil kerja yang bisa dijadikan contoh (lesson learnt) dalam penyelesaian masalah tenurial termasuk upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar atau di dalam kawasan hutan dan di hutan konservasi. Menurut Santoso (2012), yang mengutip data dari Kementerian Kehutanan dan BPS (2007), jumlah keluarga miskin di sekitar atau di dalam kawasan hutan sebanyak 1.720.384 keluarga atau 6.881.539 jiwa. Tidak kurang dari 25.863 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan atau 26,6% dari jumlah desa di seluruh Indonesia, yang didiami oleh 37.197.508 jiwa atau 17,2% dari total jumlah penduduk Indonesia.
2. Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
Berdasarkan
IKK Dit KKBHL 2015-2019, telah ditetapkan KPHK non TN sebanyak 50, dengan
target 2015 sebanyak 12 unit, yaitu : SM Rawa Singkil, SM Kerumutan, HSA Arau
Hilir, SM Dangku Bentayan, CA/TWA Guntur-Papandayan, CA/TWA/SM Tambora,
TWA Ruteng, TWA Gunung Melintang, SM Morowali, TWA Towuti, SM Nantu, dan SM
Jayawijaya. Tentu ada kriteria tertentu,
namun saya belum mengetahuinya. Beberapa pemikiran yang saya ajukan, atas dasar
diskusi dengan para pihak, dirumuskan dalam makalah sederhana ini.
3.
Strategi Pembangunan KPHK
Untuk wilayah regional Sumatera, apabila kita
menggunakan Tiger Conservation Landscape
sebagai salah satu kriteria, maka beberapa kawasan konservasi layak
dipertimbangkan untuk dijadikan KPHK. Kawasan-kawasan tersebut adalah :
No
|
Tiger Conservation
Landscape
|
Kawasan Konservasi
sebagai KPHK
|
1.
|
Bukit Barisan Selatan
|
TN Bukit Barisan Selatan
|
2.
|
Bukit Balai Rejang Selatan
|
Berbatasan dengan TN Bukit Barisan Selatan
|
3.
|
Kerinci Seblat
|
TN Kerinci Seblat
|
4
|
Bukit Rimbang Baling
|
SM Rimbang Baling
|
5.
|
Bukit Tiga Puluh
|
TN Bukit Tiga Puluh
|
6.
|
Tesso Nilo
|
TN Tesso Nilo
|
7.
|
Kuala Kampar-Kerumutan
|
SM Kerumutan,
|
8.
|
Berbak
|
TN Berbak
|
9.
|
Rimbo Panti Batang Gadis Barat
|
SM Rimbo Panti, TN Batang Gadis
|
10.
|
Rimbo Panti Batang Gadis Timur
|
SM Dolok Surungan, SM Barumun
|
11.
|
Leuser
|
TN Leuser dan KEL
|
12.
|
Sibolga
|
HL Batang Toru
|
Sumber
: Strategi Konservasi Harimau (2007).
Berdasarkan
TCL tersebut, dikembangkan kriteria lainnya, antara lain (1) pendekatan lansekap, (2) nilai konservasi,
(3) potensial mitra yang akan dan telah bekerja, (4) tingkat kerusakan. Dua
contoh yang saya ajukan lebih detil, misalnya di SM Barumun dan SM Rimbang
Baling.
a.
SM Barumun-BBKSDA Sumatera Utara
- Pendekatan Lansekap. Memposisikan kawasan yang ditetapkan sebagai KPHK sebagai “core”, dengan mempertimbangkan pola penggunaan lahan di daerah penyangga dan lansekap yang lebih luas. Misalnya, SM Barumun seluas 40.330 Ha di Kab.Tapsel, Kota Sidempuan, Kab. Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara. SM Barumun ditambah dengan kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas seluas 309.000 Ha, berbatasan dengan Lansekap Rimbo Panti-Batang Gadis. Lansekap Rimbo Panti-Batang Gadis dengan luas 437.600 Ha, merupakan hamparan lansekap yang dinilai penting sebagai “Lansekap Konservasi Harimau” (Rencana Strategi dan Konservasi Harimau 2007-2017, Ditjen PHKA dan Mitra).
- Nilai Konservasi Species dan Daerah Aliran Sungai. SM Barumun merupakan salah satu dari habitat harimau sumatera, tapir, dan berbagai jenis burung. Masih diperlukan eksplorasi detil untuk menemukan berbagai jenis satwa liar yang disebutkan dalam keutusan Menteri Kehutanan No 70 tahun 1989. Berdasarkan daerah aliran sungai, SM Barumun masuk DAS Asahan Barumun (4,1 juta Ha), Sub DAS Batang Sihapas, yang merupakan daerah tangkapan air sangat penting dan penyangga kehidupan bagi jutaan masyarakat yang tinggal di beberapa kabupaten di bawahnya. Saat ini termasuk DAS Kritis yang harus direhabilitasi. Terdapat kawasan “terbuka” seluas 4.000 Ha atau 10% dari luas SM Barumun (catatan: keterangan Kepala BPDAS Asahan Barumun, cek lapangan 28-29 Agustus 2014).
- Daerah Penyangga. Dalam konteks pengembangan daerah penyangga, dan dengan menggunakan pendekatan lansekap, di sekitar SM Barumun, maka dapat diidentifikasi berbagai pola penggunaan lahan, antara lain hutan produksi, hutan lindung, areal penggunaan lain yang dapat berupa kebun campur, ladang, berbagai sistem agroforestry, dan sebagainya. Sebanyak 54 desa yang berada di daerah penyangga suaka ini, yang terdiri dari 4 desa (Kabupaten Tapsel), 12 desa (Kab. Padang Lawas), 27 desa (Kab. Padang Lawas Utara), dan 11 desa (Kota Sidempuan). Skema Hkm, HD. HTR sementara ini baru dapat diterapkan di kawasan HP dan HL. Dalam kasus khusus, dapat diterapkan di Hutan Produksi Konversi (catatan: kasus Hutan Desa di Sorong Selatan).
- Kolaborasi Multipihak. Berdasarkan pendekatan lansekap, kita juga bisa mengidentifikasi para mitra yang berpotensi diajak kerjasama, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, LSM, pihak swasta, dan sebagainya. Misalnya, di sekitar SM Barumun telah aktif sebuah lembaga Perkumpulan Biksu Budha, dengan nama Yayasan Bodhicita Mandala Medan, yang mengembangkan ekowisata. Kawasan ini juga berpotensi untuk didukung berbagai lembaga donor atau skema pendanaan, seperti TFCA, atas dasar nilai konservasi dan dukungan para pihak yang sudah ada saat ini. Yang telah aktif selama ini terkait dengan konservasi harimau adalah Forum Harimaukita, yang anggotanya terdiri dari individu-individu yang aktif bekerja untuk konservasi harimau.
b.
SM Rimbang Baling-BBKSDA Riau
- Pendekatan Lansekap. SM Rimbang Baling seluas 136.000 Ha, merupakan inti dari Lansekap Konservasi Harimau Bukit Rimbang Baling. Sedangkan total luas lansekapnya sekitar 439.500 Ha. Berdasarkan survai WWF, terdapat 25 individu harimau. Suaka ini menarik karena bentuknya yang kompak membulat dan sampai dengan saat ini dalam kondisi relatif tidak mengalami kerusakan.
- Nilai Konservasi dan Daerah Aliran Sungai. Merupakan salah satu kantung habitat harimau terpenting di Sumatera bagian tengah. Berdasarkan survai WWF, terdapat 25 individu harimau. WWF juga baru membangun Stasiun Lapangan Sungai Sebayang, di Desa Tanjung Belit, Kec.Kampar Kiri Hulu. Selain habitat harimau Sumatera, SM Rimbang Baling penting secara tata air karena merupakan hulu Sub DAS Kampar Kiri, DAS Kampar. DAS Kampar juga termasuk klasifikasi DAS Kritis, antara lain dengan menjaga wilayah hulunya di kawasan suaka ini.
- Daerah Penyangga. Daerah penyangga di sekitar SM Rimbang Baling adalah kompleks Hutan Produksi, Hutan Lindung Terbatas, Hutan Lindung (termasuk yang berada di wilayah Sumatera Barat). Apabila kawasan HP belum ada izin dari pihak lain, dan apabila masyarakat memerlukan lahan, dapat megajukan skema hutan kemasyarakatan (Hkm) atau Hutan Desa kepada Menteri Kehutanan, melalui Dit Bina Perhutanan Sosial. Pengembangan daerah penyangga di kawasan ini perlu dilakukan melalui mekanisme pelibatan masyarakat adat di sekitarya. Pembelajaran dari pola “Tiga Pilar” di TWA Ruteng, mungkin dapat diujicobakan di SM Rimbang Baling (catatan : baca konsep Tiga Pilar di www.konservasiwiratno.blogspot.com).
- Kolaborasi Multipihak. WWF Riau Program merupakan salah satu mitra kunci, di samping Forum Harimaukita. Sedangkan masyarakat yang potensial menjadi mitra adalah desa-desa adat di sekitar kawasan ini. Sekitar empat komunitas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Riau berada dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, yaitu ; Kekhalifahan Batu Sanggan (terdiri 8 desa ), Kekhalifahan Ludai (terdiri 13 desa), Kekhalifahan Ujung Bukit ( terdiri 4 desa) dan Kekhalifahan Kuntu (terdiri 4 desa) secara administratif berada di Kabupaten Kampar (WWF, 2012). Masyarakat ini merupakan mitra utama dalam konsep KPHK yang dikelola multipihak, maka mereka perlu dilibatkan dalam setiap tahapan kelola suaka alam ini. Salah satu aktivitas kunci adalah bagaimana memastikan tata batas kawasan dilakukan secara benar dan partisipatif melibatkan tokoh-tokoh adat setempat. Termasuk juga bagaimana menjaga kawasan ini tetap lestari, sekaligus dapat memberikan manfaat nyata bagi dan bersama masyarakat.
4. Visi Pemberdayaan
Mempertimbangkan
berbagai persoalan di kawasan hutan, termasuk di wilayah KPH baik di KPH Produksi,
KPH Lindung, dan KPH Konservasi, maka sangat penting untuk menetapkan visi
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan KPH. Visi untuk pemberdayaan
masyarakat sebaiknya memposisikan masyarakat sebagai bagian dari solusi kelola
KPH. Sebaiknya
Visi dibangun berdasarkan suatu kesadaran dan pemahaman bersama bahwa masyarakat
diposisikan sebagai “subyek” bukan “obyek”. Sebagai “subyek”. Maka masyarakat
harus dilibatan sejak dari perencanaan. Bahkan dimulai dari identifikasi
masalah-masalah, sebagai bahan dari perencanaan.
Sebagai
subyek, masyarakat menjadi bagian dari solusi persoalan-persoalan di KPH.
Masyarakat menjadi bagian dari pihak yang aktif (sejak awal) menyelesaikan
persoalan yang berkembang di tingkat masyarakat. Persoalan yang kemiskinan,
konflik satwa liar-masyarakat, perambahan-dengan berbagai motifnya, illegal logging, perburuan satwa, tanah
longsor, dan sebagainya.
Masyarakat
yang berada di dalam dan di sekitar KPHK, dengan berbagai aktivitas
produksinya, bukan kita anggap sebagai masalah. Mereka justru sebagai “asset” dan mitra Kepala KPH untuk
menyelesaikan “core problem”nya.
Maka, identifikasi “core problem” di
KPH menjadi salah satu elemen kunci dan titik awal. Kalau “core problem”nya adalah kemiskinan yang disebabkan banyak faktor,
antara lain sempitnya penguasaan lahan atau bahkan tuna lahan, maka solusinya
juga akan berbeda bila penyebabnya faktor lain. Misalnya masyarakat yang masuk
dan melakukan pengelolaan lahan karena didukung pemodal. Maka, diusulkan visi pemberdayaan masyarakat
di KPH, termasuk KPHK : “Masyarakat sebagai Bagian dari Solusi” kelola KPHK.
5.
Opsi Solusi
Pemberdayaan
masyarakat di KPH (K) tidak dapat dilepaskan dari tipologi masyarakat tersebut.
Di bawah ini, upaya mengelompokkan atau membuat tipologi masyarakat di dalam
KPH dan tawaran opsi solusinya.
Tipologi
|
Opsi Solusi dan Model Pemberdayaan
|
1.
Masyarakat yang telah lama bermukim
secara turun temurun, di dalam kawasan hutan
|
Ditetapkan dalam RPHJP sebagai enclave, ditetapkan sebagai zona pemukiman dan pemanfaatan
tradisional; pemberdayaan berbasis potensi lokal, termasuk model pemasaran
dan sentuhan teknologi untuk meningkatkan nilai tambahnya, menjaga
kontinyuitas produksi
|
2.
Masyarakat pendatang yang bermotif
ekonomi, lapar lahan
|
Diusulkan skema Hkm, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat
di daerah penyangga (HL/HP), dan dilakukan pendampingan dalam pengusulan izin
di tingkat Menhut dan bupati/gubernur, serta pengembangan HHBK dan Jasling
|
3. Masyarakat
pendatang, miskin, yang sengaja merambah yang didukung oleh cukong atau
pemodal
|
Masyarakat pendatang miskin diberdayakan melalui
berbagai skema yang tepat (Hkm,HD, HTR Kemitraan di daerah penyangga HL/HP);
penegakan hukum harus konsisten dilakukan terhadap cukong atau pemodal;
kawasan disita, tanaman perambahan dimusnahkan, dan restorasi dilakukan
|
4. Pendudukan kawasan oleh individu dan atau pihak
swasta yang bermotifkan semata-mata kepentingan ekonomi komersial
|
Penegakan hukum sebagai “shock terapy” setelah dilakukan peringatan dan pembinaan;
tanaman di areal perambahan dimusnahkan, dilanjutkan dengan pemulihan
ekosistem dengan pola penjagaan partisipatif
|
5. Tumbuhnya desa-desa atau kecamatan baru yang
membangun sarana dan prasarana, fasos, dan fasum berskala cukup besar dan
telah merubah bentang alam
|
Diusulkan dienclave
melalui Zona Khusus, revisi tata ruang kabupaten; masyarakat ditawarkan skema
kemitraan untuk pemberdayaan; kerjasama dengan dana Pemkab dengan memadukan
kegiatan di SKPD, penjajagan kerjasama dengan dana dari CSR dan sebagainya
|
6.
KPHL sebagai Tempat Pembelajaran
Dalam lima
tahun ke depan, Ditjen BPDASPS mendapatkan mandat untuk fokus pada KPHL.
Pengembangan Hkm, HD diprioritaskan dilakukan di kabupaten atau provinsi yang
memiliki KPHL. Dari 26 KPHP Model di lingkup Regional I Sumatera, dengan total
luas 2.755.391 hektar, yang dievaluasi
oleh Direktorat WP3H, KPHP Register 47 Way Terusan, Kabupaten Lampung Tengah,
dinilai “sangat baik”. Sementara itu, dari 15 KPHL Model di lingkup Regional
I Sumatera, dengan total luas 1.536.493
hektar, yang dievaluasi oleh Direktorat
WP3H, KPHP Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumbar, dinilai “sangat baik”.
Walaupun
masih dalam proses pembangunan, KPHL Sijunjung ini dapat mulai dipertimbangkan
untuk dijadikan “learning center”
atau tempat pembelajaran bagi pengelola KPHL atau KPHK lainnya di regional
Sumatera atau bahkan dari pulau-pulau lainnya. Pengelola KPHL ini menetapkan
visinya yang jelas dan tegas tentang posisi masyarakat, perencanaan model
pemberdayaan, sosialiasi dan komunikasi intensif lintas SKPD. Di kedua KPHL
ini, masyarakat diposisikan sebagai bagian dari solusi persoalan di dalam areal
KPHL. Hampir di seluruh Sumatera Barat, visi pembangunan kehutanan didorong ke
fokus pemberdayaan masyarakat, ke Community
Based Forest Management (CBFM).
Strategi
tersebut akhirnya dapat diterima semua pihak dan mendapatkan dukungan konkrit
dari Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten. Dukungan dan kerjasama dengan
universitas lokal, dan lain sebagainya. Termasuk alokasi APBD Kabupaten
Sijunjung untuk 2015 yang dialokasikan untuk mendukung KPHL Sinjunjung,
merupakan bukti dari menguatnya leadership
dan tepatnya pola-pola yang dikembangkan yang diwujudkan dalam dokumen RPHJP. Leadership menjadi faktor kunci,
sebagaimana ditunjukkan performanya oleh Kepala KPHL Rinjani Barat, dalam
melakukan koordinasi, kerjasama dan komunikasi lintas sektor. ***
*) Disampaikan pada Rakornis PHKA, Cisarua 2
September 2014
-----------------------------------------------------
Ucapan Terima
Kasih dan Penghargaan.
Terima
kasih dan penghargaan kepada Bpk Ir. Sonny Partono, MM., Dirjen PHKA, Ir.
Hartono, MSc-Direktur KKBHL, Dr.Bambang
Novianto W, Sekditjen PHKA, Ir.Bambang
Dahono, MM, Dir.KKH. yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk berbagi
dan mendiskusikan berbagai persoalan kawasan konservasi pada Rakernis Ditjen
PHKA 2014. Makalah ini tidak dapat
selesai tanpa dukungan pemikiran, komunikasi, dan kerjasama dari banyak pihak,
antara lain: Hariyawan Agung Wahyudi dan Munawar Kholis-dari Forum Harimaukita,
Dr.Sunarto (pakar harimau, WWF), Subhan dan Fitri, Staf BBKSDA Sumatera Utara, Ir.
John Kennedy-Kepala Balai Besar KSDA Sumatera Utara, Ir.Kemal Amas MSc., Kepala
Balai Besar KSDA Riau, Sdr.Nurman
Hakim-GIS Subdit Pemolaan yang menyiapkan data spasial lansekap (saat ini
sebagai karyasiswa S2 Perencanaan
Wilayah IPB, staf Subdit Pemolaan dan Pengembangan, Dit KKBHL), Suer
Suryadi-aktivis konservas dan hukum lingkungan; Sapoan, SP.M.MA-Kepala BPDAS Asahan
Barumun; Ahmad Syofyan, SE.M.Si-Kepala BPDAS Wampu Sei Ular, Dr. Hotmauli Sianturi, MSc For.-Kepala BPDAS
Indragiri Rokan. Ratna Hendratmoko dan Tim di Bagian Perencanaan dan Evaluasi,
Sekditjen. “Verba Volant Scripta Manent”. Allah S.W.T yang akan membalas budi
baik dan keikhlasan tokoh-tokoh dan pekerja konservasi yang dengan suka rela
berbagi pengetahuan dan pengalamannya yang berharga ini.