Kerusakan sumberdaya hutan di Indonesia disebabkan
oleh dua hal pokok. Kemiskinan (poverty)
dan keserakahan (greediness).
Kemiskinan disebabkan oleh rendahnya akses masyarakat untuk mengelola lahan.
Keserakahan disebabkan oleh kebijakan yang lebih pro pada pelaku ekonomi skala
besar. Pengalaman selama 35 tahun lebih model pengusahaan hutan dengan sistem
HPH dan HTI menunjukkan fakta tersebut. Masyarakat di sekitar hutan yang hutannya
dieksploitasi (secara mekanis-komersial)
tidak pernah bertambah taraf kehidupannya secara memadai. Saat ini,
kawasan lahan kritis dan lahan eks HPH
yang menjadi “tanah tak bertuan” atau open
access mencapai 40 juta hektar. Penyebab kegagalan pengelolaan hutan ini
menurut Handadari (2013), adalah penebangan kayu yang berlebihan, kebakaran
hutan dan lahan, perambahan, konversi hutan untuk kepentingan non kehutanan,
penambangan mineral, kelemahan penegakan hukum, dan budaya korupsi di semua
pihak. Stok hutan alam semakin menipis. Saat ini, kayu yang dihasilkan dari
hutan alam hanya mampu menyuplai 4-5 juta meter kubik per tahun. Pembangunan
hutan tanaman industri atau HTI sampai tahun 2012 hanya mencapai 5,78 juta
hektar. Capaian ini masih jauh dari kemampuan China yang dapat membangun hutan
tanaman seluas 5,3 juta hektar per tahun, atau bahkan Vietnam yang mampu
menanam 250.000 hektar setahun, sebelum tahun 1997 (Handadari, 2013).
Saat ini, di Sumatera dan Kalimantan telah terjadi
perubahan penggunaan lahan yang luar biasa besarnya, khususnya meluasnya sawit,
dengan dampak ikutannya dalam bentuk peningkatan perambahan besar-besaran di
kawasan konservasi. Menurut Gunarso (2013), periode 1990-2000 adalah masa
penanaman sawit besar-besaran di kawasan hutan primer. Pada periode 2005-2010,
luas kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 8 juta hektar. Perambahan di
kawasan konservasi sebagai dampak negatif dari meningkatnya permintaan akan
sawit terbukti di TN Tesso Nilo, Riau. Pada areal perluasan TN Tesso Nilo, yang
merupakan eks HPH PT Nanjak Makmur, pada tahun 2007 telah dikuasai perambah
seluas 8.768 hektar. Persoalan ini belum dapat diselesaikan sampai dengan saat
ini (Wiratno, 2013). Perambahan sawit juga terjadi di TN Gunung Leuser, wilayah
Besitang, Kabupaten Langkat sejak tahun 1999.
Tidak kurang dari 4.000 hektar kawasan hutan hujan tropis dataran rendah
telah mengalami kerusakan dan sebagian besar telah ditanami sawit oleh para
perambah. Masalah ini sampai dengan saat ini juga belum dalam diselesaikan (Wiratno,
2013).
Berbagai persoalan perambahan, baik di hutan-hutan
produksi, hutan lindung, dan di kawasan-kawasan konservasi telah sampai pada
situasi yang sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Sudah mencapai deadlock atau jalan buntu. Perambahan
kopi di TN Bukit Barisan Selatan, misalnya, sudah seringkali diupayakan
penegakan hukum dan penebasan kopi, namun persoalan tidak kunjung selesai. Penegakan
hukum dengan biaya besar terbukti hanya mampu memberikan solusi sementara.
Konflik-konflik
tenurial di kawasan hutan tersebut di atas semakin meningkat, dan semakin kompleks. S
Rahma Mary H (Huma) dan Noer Fauzi Rachman (Fakultas Ekologi Manusia - IPB)
dalam artikelnya berjudul: “Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis” (Media
Indonesia, 26 Desember 2011) menguraikan berbagai persoalan konflik agraria
antara masyarakat dan pengusaha, yang cenderung direspon represif oleh aparat
negara da perusahaan. Kedua penulis mengungkap bukti-bukti bahwa selama 10
tahun terakhir terjadi 108 konflik agraria di 10 provinsi yang didominasi
konflik tenurial di kawasan hutan (69 kasus), dan konflik perkebunan (23
kasus); dan BPN mencatat terdapat 8.000 konflik agraria. Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit
mencapai 663. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan perkebunan swasta dan
BUMN, perusahaan pertambangan, taman nasional, dan Perhutani.
Situasi ini juga dipertegas oleh pendapat pakar. Di Harian Kompas tanggal 9 April 2014,
Direktur Pusat Studi Antropologi, Fakultas Sosial Politik - Universitas
Indonesia menyatakan bahwa, ”Kebijakan negara lebih mudah memberikan tanah
kepada perkebunan besar. Terjadi ketimpangan penguasaan lahan oleh
perusahaan-perusahaan skala besar yang belum tentu menyerap tenaga kerja.
Pengabaian petani juga menimbulkan ancaman krisis pangan dan kemiskinan”.
Mencari
Solusi Damai
Perhutanan sosial sebenarnya sudah digagas sejak
tahun 1980-an. Namun secara nasional, kebijakan ini mulai muncul sejak
diterbitkannya UU No. 41 tahun 1999 pasca reformasi dan dipertegas lagi dengan
terbitnya PP No.6 tahun 2006. Pada tahun 2007, terbit Permenhut No. 37 tahun 2007 jo P. 18 tahun 2009, P.13 tahun 2010,
P52 tahun 2011 tentang Hutan Kemasyarakatan,
dan Permenhut No. 49 tahun
2008 jo P.14 tahun 2010, P.53 tahun 2011 tentang Hutan Desa.
1.
Hutan Kemasyarakatan
Hutan kemasyarakatan (Hkm)
adalah Hutan negara yang pemanfaatan
utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat guna meningkatkan kesejahteraannya melalui
pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap
menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Sejak 2010 sampai
bulan Januari 2014, Hkm yang telah mendapatkan Pencadangan Areal Kerja (PAK)
dari Kementerian Kehutanan adalah seluas 311.487 hektar, yang akan memberikan
manfaat pada 822 Gapoktan/ koperasi yang memiliki anggota sebanyak 77.555 KK.
Apabila 1 KK terdiri dari 5 jiwa, maka sebanyak 387.775 jiwa akan kena dampak
positif dari pengembangan Hkm ini.
2.
Hutan Desa
Hutan desa (HD) merupakan hutan negara yang dikelola oleh desa
dengan tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat secara
berkelanjutan melalui lembaga desa dalam memanfaatkan sumberdaya hutan secara
lestari. Sampai dengan Maret 2014, hutan desa yang telah mendapatkan PAK
dari Menteri Kehutanan seluas 234.174 hektar, tersebar di 137 desa, dan akan
menyerap tenaga kerja atau berdampak untuk peningkatan ekonomi dan
kesejahteraan bagi 61.885 KK atau 309.425 jiwa. Dengan demikian, kontribusi Hkm
dan HD pada areal seluas 545.661 hektar, dalam penyediaan peluang usaha dan
berusaha (sampai dengan Maret 2014), sebesar 697.200 jiwa.
Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Kemiskinan
Pada
tahun 2010, diperkirakan sekitar 31.957 desa atau 48,8 juta orang berada di
dalam atau di sekitar kawasan hutan. Apabila dibandingkan dengan perkiraan
jumlah penduduk Indonesia tahun 2013 sebesar 250 juta jiwa, maka jumlah warga
yang tinggal di sekitar kawasan hutan sebanyak 19,5% atau seperlima dari total
penduduk Indonesia. Dari kelompok
masyarakat yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya hutan
tersebut, sekitar 10,2 juta jiwa atau 21% masuk dalam kategori miskin. Maka
peranan hutan kemasyarakatan dan hutan desa dalam penyediaan lapangan kerja dan
akses mengelola lahan selama 35 tahun, akan mencapai 6,8%. Angka ini belum
termasuk penyerapan tenaga kerja dan peluang berusaha pada areal hutan rakyat.
Ke depan, peranan hutan kemasyarakatan, hutan desa,
dan pembangunan hutan rakyat dan kemitraannya akan dapat terus ditingkatkan,
seiring dengan semakin banyaknya akses yang diberikan oleh Ditjen BPDASPS
kepada masyarakat.
Hutan Desa dan Biodiversitas
Kawasan hutan
kemasyarakatan dan hutan desa sebagian besar masih memiliki tutupan hutan yang
dalam kondisi baik, berupa hutan primer, sekunder, rawa gambut dalam, dan
ekosistem atau habitat yang unik. Maka dari itu, di kawasan ini masih ditemukan
keragaman hayati yang tinggi. Di HD Sungai Besar dan calon Hutan Desa Pematang
Gadung, Kabupaten Ketapang - Kalimantan Barat, menurut survai yang dilakukan International Animal Rescue, pada Bulan
Oktober 2012 diperkirakan terdapat 500-800 individu orangutan kalimantan yang
berada di kompleks hutan Pematang Gadung seluas 21.000 Ha (termasuk usulan HD
seluas 7.700 Ha). Di samping itu, ditemukan pula beruang madu dan tarsius
dengan kepadatan rata-rata sampai 3,85 individu/km2. Bandingkan dengan
kepadatan di TN Gunung Palung (4,3 individu/km2; TN Sebangau 2,35 individu/km2
dan TN Tanjun Puting 2,72 individu/km2). Ekosistemnya yang berupa gambut dalam
juga merupakan salah satu pertimbangan betapa pentingnya kompleks hutan yang
menjadi hutan desa di wilayah ini. Di hutan desa ini telah berhasil
diinventarisir 94 genus, dan 158 spesies dari 52 famili. Sebanyak 805 spesies
menyediakan buah sebagai pakan orangutan. Sebanyak 1.816 atau 85% batang
menyediakan bahan pangan bagi orangutan.
Hutan
Desa Sungai Besar dan calon Hutan Desa
Pematang Gadung adalah salah satu contoh dari 137 hutan desa yang tersebar di seluruh
Indonesia yang telah mendapatkan izin dari Menteri Kehutanan dengan total luas 234.174
hektar. Maka dari itu, ke depan,
survai biodiversitas di kawasan hutan desa juga sangat penting dan menjadi
prioritas yang perlu dilakukan bersama. Pengelola hutan desa tidak akan mampu
melakukannya sendiri. Harus ada dukungan dari Balai KSDA/TN setempat, LSM, dan
pemerintah daerah. Kantong-kantong habitat satwa liar yang tersebar di luar
kawasan konservasi dan hutan lindung, masih dapat diselamatkan melalui skema
pengelolaan hutan kemasyarakatan dan hutan desa, secara terpadu dan multipihak.
Kerjasama antara Ditjen BPDAS PS dan Ditjen PHKA menjadi semakin penting dengan
temuan ini.
Hutan Rakyat
di Jawa
BPKH Wilayah XI telah melakukan kajian bersama MFP
II pada tahun 2009 tentang potensi hutan rakyat di Pulau Jawa-Madura. Data
tahun 1990-1993, dideteksi luas hutan rakyat di Pulau Jawa mencapai 1,9 juta
hektar. Pada tahun 2000-2003, diperkirakan menjadi 2,7 juta hektar (mengalami
kenaikan 800.000 hektar selama 10 tahun atau 8.000 hektar per tahun). Dari
luasan 2,7 juta hektar hutan rakyat di Jawa dan Madura tersebut, diperoleh potensi
kayu sebesar 78,7 juta meter kubik.
Pada tahun 2013, kebutuhan bahan baku kayu (log) di
tingkat nasional diperkirakan sebesar ± 49
juta m3. Kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi dari hutan
alam sebesar ± 4 juta m3; Perhutani di Jawa menyediakan 922.123 m3
(454.778 m3 jati dan 467.345 m3 kayu rimba); dan hutan tanaman industri memasok ± 21 juta m3.
Maka, sisa kebutuhan kayu tersebut dipenuhi dari hutan rakyat, dengan suplai
sebanyak ± 23 juta m3. Hal ini membuktikan bahwa hutan rakyat telah
mampu memberikan sumbangannya yang sangat besar dalam memasok kebutuhan kayu.
Tentu hal ini akan meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat di Jawa. Di
luar Jawa, masih terdapat lahan kritis seluas 12 juta hektar di 108 Daerah
Aliran Sungai (DAS) Kritis. Di samping itu, lahan di kawasan Hkm/ HD dapat
ditingkatkan produktivitasnya dengan penanaman kayu-kayuan, minimal 400 batang
per hektar.
Beberapa
Catatan Kritis
Berkaca dari berbagai persoalan di atas, maka
kebijakan pemberian akses jangka panjang yaitu sampai 35 tahun dan dapat
diperpanjang, kepada masyarakat melalui skema hutan kemasyaratan dan hutan
desa, dapat diambil catatan penting
sebagai berikut :
- Hkm dan HD adalah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan akses masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan dengan jangka waktu yang relatif panjang, untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa melupakan tanggungjawab perlindungan, rehabilitasi, dan pengelolaan habitat satwa liar di dalamnya.
- Hkm dan HD diharapkan dapat mengurangi konflik-konflik tenurial atau konflik lahan yang tidak ada solusinya. Proses penegakan hukum yang memerlukan biaya sangat mahal terbukti tidak memberikan solusi nyata di tingkat lapangan. Penegakan hukum masih diperlukan untuk tokoh-tokoh atau pemodalnya.
- Peserta Hkm dan HD memerlukan pendampingan dalam mengembangkan upaya untuk kelola kelembagaan, kelola kawasan, dan kelola usahanya. Peranan pemerintah di provinsi, kabupaten, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, dan para pihak swasta sangat diperlukan, untuk mengawal, baik pada tahap pengusulan maupun pasca masyarakat mendapatkan izin.
- Kebijakan Hkm dan HD dapat dipertimbangkan untuk diujicobakan di kawasan konservasi secara selektif, dimana terjadi perambahan akibat kemiskinan dan kekurangan lahan yang akut dan tidak ada solusi selain dengan cara pemberian akses lahan dalam jangka panjang.
- Masyarakat miskin dan yang tidak memiliki lahan dan tinggal di pinggir hutan yang kehidupannya sangat tergantung dari sumberdaya hutan dan lahan hutan, sebaiknya diposisikan sebagai bagian dari solusi pengelolaan hutan, bukan sebagai bagian dari persoalan. Masyarakat harus ditempatkan sebagai subyek pembangunan hutan dan bukan sekedar obyek.
- Hutan rakyat di Pulau Jawa yang telah berhasil dibangun dan dikembangkan telah terbukti mampu memasok kebutuhan kayu di tingkat nasional, sekaligus mampu menyejahterakan pengelolanya. Pola ini perlu dipacu untuk dikembangkan di luar Jawa, dengan berbagai pola kemitraan dan pendampingan, baik melalui skema Hkm, HD, dan kemitraan hutan rakyat.
- Perlu dilakukan survai keragaman hayati di Hkm dan HD khususnya pada kondisi tutupan hutan yang masih relatif baik untuk mengetahui potensi flora, ragam fauna, kondisi habitat dan upaya-upaya pelestariannya. Potensi ini perlu dimasukkan ke dalam rencana kelola Hkm dan HD.***
Bahan Rujukan
Handadari, Transtoto. 2013. KPH sebagai Kelembagaan Ideal
Kehutanan : Konsep Versus Realitas dalam Darurat Hutan Indonesia. 50 Tahun
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Penerbit Wana Aksara. 2013.
Gunarso, Petrus. 2013. Darurat
Tutupan Hutan Indonesia dalam Darurat Hutan Indonesia. 50 Tahun Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Penerbit Wana Aksara. 2013.
Wiratno. 2012. Tipologi Open Access : Kasus Perluasan TN Tesso
Nilo dalam Solusi Jalan Tengah. Esai-esai Konservasi Alam. Direktorat Kawasan
Konservasi dan Bina Hutan Lindung. Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Kementerian Kehutanan.
Wiratno, dkk. 2013. Tersesat di
Jalan yang Benar. Seribu Hari Mengelola Leuser. UNESCO Jakarta Office.
Yayasan IAR Indoensia. 2012. Survey of Pematang Gadung and Gunung Tarak.
Survey carried out by Yayasan Iar Indonesia and Orangutan Tropical Peatland
Project.