Rationale
Resort Based Management (RBM), seringkali disalah-artikan.
Yang paling parah hanya sekedar sebagai telah
diterbitkannya keputusan Kepala Balai (SK) tentang Resort, pembagian wilayah ke
dalam resort, dan (mungkin ini yang lebih baik), ia telah membangun kantor resort. Yang terjadi
adalah banyak kantor resort yang dibangun tetapi bahkan tidak sempat dihuni dan
akhirnya hancur. RBM juga difahami sebagai sekedar mengumpulkan data. Ketika
data lapangan sudah banyak terkumpul, kita menjadi bingung untuk apa data
sebanyak itu. RBM bukan tujuan (end).
RBM adalah kendaraan (mean),
agar kita-pengelola kawasan konservasi, dapat mencapai tujuan (goal). Tujuan pengelolaan kawasan
konservasi adalah agar kawasan konservasi aman (tidak rusak oleh berbagai
sebab), dan berfungsi sesuai dengan tujuan penetapannya. Kalau di dalam
keputusan Menteri Kehutanan, tidak disebutkan secara spesifik latar belakang
penunjukan/penetapan kawasan tersebut, maka pengelola harus menetapkannya
(melalui kajian ilmiah), dan menyebutkan secara eksplisit di dalam dokumen
Rencana Pengelolaannya. Dengan tujuan yang jelas (spesifik dan terukur), maka
seluruh upaya pengelolaan ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut. Sayang
sekali, banyak kawasan belum ditetapkan tujuan penunjukannya dengan jelas.
RBM dalam praktiknya, dengan cara mengisi tallysheet, dengan sistem poin, memaksa
staf (enumerator) untuk menjelajahi setiap jengkal kawasan, dan mencatat setiap
kejadian di sepanjang jalur jelajahnya.Karena setiap poin yang dicatat di
lapangan diambil koordinatnya dengan GPS, maka kemungkinan pemalsuan data
(semoga) dapat dihindarkan. Suatu budaya baru yang memaksa setiap staf tidak
boleh memalsu data lapangan, dimana di
masa lalu, validitas data diragukan. Di masa lalu, budaya analisis spasial (ruang) juga belum ada atau sangat minimal dilakukan. Padahal, kawasan konservasi yang sangat luas itu, memerlukan analisis spasial, bahkan terhadap daerah penyangga di sekitarnya. Maka, RBM dengan pendekatan poin itu harus dibantu dengan analisis spasial kawasan konservasi dan daerah penyanggnya. Inilah yang kemudian memunculkan ide RBM+, untuk menuju Kelola Efektif Kawasan (KEK), dengan uraian rumusan sebagai berikut.
masa lalu, validitas data diragukan. Di masa lalu, budaya analisis spasial (ruang) juga belum ada atau sangat minimal dilakukan. Padahal, kawasan konservasi yang sangat luas itu, memerlukan analisis spasial, bahkan terhadap daerah penyangga di sekitarnya. Maka, RBM dengan pendekatan poin itu harus dibantu dengan analisis spasial kawasan konservasi dan daerah penyanggnya. Inilah yang kemudian memunculkan ide RBM+, untuk menuju Kelola Efektif Kawasan (KEK), dengan uraian rumusan sebagai berikut.
Rumus Kelola Efektif Kawasan
Kelola Efektif Kawasan (KEK) adalah upaya-upaya sistematis
yang dilakukan oleh pengelola kawasan konservasi, baik secara sendiri maupun secara
kolaboratif dengan mitra, untuk mencapai tujuan pengelolaan kawasan konservasi
yang spesifik untuk setiap kawasan.
Munculnya konsep Kelola Minimal Kawasan (KMK) adalah
fakta-fakta yang ditemukan seperti :
- Kawasan konservasi sangat luas dan tersebar.
- Dana pengelolaan terbatas.
- Alokasi dana tidak tepat sasaran.
- Tahapan pengelolaan (minimal) tidak tersedia.
- Fenomena “piramida terbalik”, staf banyak berada di Kantor Balai/Balai Besar, dibandingkan dengan di Bidang Wilayah/Seksi dan Resort.
- Kawasan terkesan “dibiarkan” dan kantor resort ditinggalkan dalam tempo yang lama.
- Spirit kerja di lapangan (hampir) hilang atau sangat minimal.
KEK sebenarnya merupakan hasil dari keterpaduan
antara keberhasilan melakukan “Penataan Kawasan” (PK) dan analisis serta
kelola/Bina Daerah Penyangga (BDP).
Kedua analisis tersebut dilakukan melalui pengumpulan data dan analisisnya
melalui RBM+. Apa yang dimaksud dengan RBM+?
RBM+
Yang dimaksud dengan RBM+ adalah pelaksanaan SIM-RBM yang
didukung oleh tahapan-tahapan persiapan, antara lain adalah analisis citra
secara rinci terhadap kawasan konservasi dan daerah penyangganya. Analisis
demografi desa-desa di sekitar kawasan
akan membantu Tim SIM RBM untuk lebih fokus atau membuat skala prioritas dan
sebaliknya. Hasil SIM-RBM dikaji ulang dengan analisis demografi. Desa dengan
tingkat pertumbuhan yang tinggi perlu
lebih dicermati apabila dikaitkan dengan kondisi “open area” dalam kawasan, dan lain sebagainya. Maka, pelaksanaan pengumpulan data melalui tallysheet, tidak dapat begitu saja
dilaksanakan hanya dengan pertimbangan, sekedar untuk cek pal batas. Harus
ditemukan alasan-alasan rasional, dengan mempertimbangkan aspek “Penataan
Kawasan” dan tipologi “daerah penyangga” atau kombinasi dari kedua unsur
tersebut.
Hasil dari RBM+ juga akan membantu pengelola dalam melakukan
penataan kawasan, yaitu membagi kawasan ke dalam wilayah resort-resort,
termasuk secara bertahap menentukan “Tipologi Resort”. Tipologi resort adalah
upaya untuk menentukan “karakteristik” suatu kawasan resort. Karakter resort
ditentukan oleh kondisi biofisik-tutupan vegetasi, kelerengan, jenis
tanah, geologi, curah hujan; habitat
atau ragam tipe ekosistem; tingkat gangguan-perambahan, ilegal logging,
perburuan satwa, kebakaran, kerusakan lain akibat faktor alam-gempa, banjir
bandang, cuaca ekstrem; dan faktor-faktor sebagai pemicunya yang berada di
Daerah Penyangga- akses jalan, sungai, aktivitas ekonomi yang meningkat tinggi,
demografi-migrasi masuk yang tinggi, perubahan penggunaan lahan
monokultur-sawit, HTI, dsb. Tipologi resort akan menentukan tindakan-tindakan
manajemen minimal apa (KMK), yang harus
dilakukan dengan segera. Jadi hubungan
antara PK, RBM, dan BDP adalah hubungan yang timbal balik yang seimbang
dan saling mempengaruhi.
Penulis mengusulkan
suatu rumusan (awal) sebagai berikut :
KEK = PK + RBM + BDP
KMK = PK + RBM + DP
Grid
KEK =
Kelola Efektif Kawasan(identik dengan output dan outcomes/dalam Theory U)
PK =
Penataan Kawasan (landscape analysis)
RBM =
Resort-Based Management + SIM (proses ”seeing” dan”sensing”/dalam Theory U
BDP =
Daerah Penyangga (sensing dalam konteks social capital)
KMK = Kelola
Minimal Kawasan (sama dengan proses “prototyping” dalam Theory U), adalah
tindakan minimal terhadap kondisi tertentu pada suatu resortberdasarkan
tipologinya.
Grid =
Pembagian kawasan dan daerah
penyangganya ke dalam grid (@100
Ha/Grid) - dengan tujuan untuk menentukan posisi darikegiatan yang
diprioritaskan.
Penataan
kawasan dilakukan melalui analisis spasial kondisi kawasan konservasi dan
daerah penyangganya. Data, informasi, dan pengetahuan yang akan dijadikan
pertimbangan untuk PK diperoleh dari Tim RBM (yang melakukan analisis citra dan
groundcheck), baik di kawasan
konservasi maupun daerah penyangganya.
Untuk
menentukan KMK, maka hasil analisis spasial PK dan DP melalui RBM yang berupa
peta citra, dibagi habis ke dalam Grid (areal persegi), dengan ukuran 100
Ha/Grid. Hal ini untuk menentukan skala (super) prioritas aksi yang harus cepat
dilakukan di tingkat lapangan (resort berdasarkan tipologinya). Aksi-aksi lapangan
tersebut dapat berupa :
(1) Kebutuhan
minimal kantor-kantor resort atau kantor di lapangan yang harus segera
dipenuhi. Banyak kantor-kantor resort yang tutup, terbengkalai, tanpa aliran
listrik, air, dan sarana pendukung minimal lainnya. Pemenuhan kebutuhan minimal
ini harus dibarengi dengan fasilitasi dan pendampingan staf resort oleh Flying Team dari Balai/Balai Besar, yang
terdiri dari PEH, Non Struktural, Polhut.
Untuk melaksanakan SIM-RBM, banyak staf Resort yang tidak siap karena
telah lama tidak bekerja di lapangan atau harus belajar dengan bekerja pola RBM
yang baru.
(2) Hasil RBM minimal khususnya yang berupa peta batas
kawasan di atas Citra (Google/Landsat) perlu segera disosialisasikan, termasuk
diadakan dialog tentang legalitas kawasan berupa peta (citra) batas kawasan,
alasan-alasan penunjukan/penetapan kawasan, kepada para pihak sampai ke tingkat
tapak (desa, dusun, kelompok masyarakat, kelompok perambah). Kegiatan ini dapat
digabungkan dengan identifikasi calon mitra di tingkat tapak. Dalam kasus-kasus
tertentu, mungkin di banyak kasus, resort tidak memiliki selembar peta kerja
pun.
(3) Operasi
intelijen, patroli di wilayah tertentu,
operasi fungsional, dalam rangka pengamanan sekaligus membangun strategi
bagaimana pola penjagaan kawasan yang efektif. Dapat terjadi, ketika melakukan
RBM di lapangan, ditemukan hal-hal yang harus segera ditindaklanjuti di tingkat
Balai, maka harus ada jaminan bahwa dukungan manajemen dapat dilaksanakan
segera dan langsung dikawal oleh Bidang Wilayah/Seksi. Tim Reaksi Cepat, baik
untuk pengamanan maupun untuk dukungan alokasi pendanaan harus dibentuk agar
dapat merespon berbagai persoalan lapangan dengan cepat dan tepat.
(4) Komunikasi
internal harus dibangun dengan pola yang cepat berbasiskan email/sms dan tidak
terjebak pada sekedar formalitas komunikasi persuratan konvensional
belaka. Seluruh staf harus diberikan
akses langsung kepada Kepala Balai/ Balai Besar, dalam hal-hal yang dinilai
strategis mendesak yang terjadi di lapangan dan memerlukan keputusan cepat
Kepala Balai/Balai Besar.
(5) Seluruh
proses pelaksanaan KMK harus dievaluasi secara rutin dan dipimpin langsung oleh
Kepala Balai/Balai Besar. Hal ini sangat penting untuk mengetahui perkembangan
baik yang terjadi di Resort, Seksi, dan Bidang.
Hasil evaluasi dapat dijadikan masukan untuk tindakan-tindakan lanjutan
yang sangat diperlukan, atau untuk bahan perencanaan lebih lanjut.
Syarat Minimal KMK
Inisiatif KMK hanya dapat dilaksanakan apabila Kepala
Balai/Balai Besar mengetahui secara persis kondisi riil di tingkat tapak. Maka,
adalah suatu kewajiban bagi Kepala Balai/Balai Besar, beserta jajarannya untuk
melakukan kunjungan ke lapangan (ke kawasan dan sidak ke kantor
Resort/Bidang/Seksi). Hal ini sangat penting dilakukan minimal 1 kali, untuk
dapat menjalani proses “seeing” dan “sensing” , sebagian tahapan dalam
Theory U. Melihat dan mengalami proses dialog bathin yang mungkin bisa jadi
sangat personal, agar berbagai persoalan dapat langsung difahami dengan hati,
bukan sekedar kunjungan formalitas. Kunjungan lapangan juga harus dimanfaatkan
untuk mengetahui berbagai aspirasi di tingkat staf lapangan, sekaligus dapat
memberikan motivasi kerja dan membangun semangat kebersamaan pimpinan-staf,
sebagai satu keluarga besar.
Seluruh proses dalam mendorong tercapainya pengelolaan
kawasan yang efektif perlu mengikuti “U Process” dalam Theory U, dengan
berpedoman pada tahapan “open mind” à “open heart” à “open will” pada tahapan “precensing”. Presencing adalah suatu
proses yang mempertanyakan : Siapa Saya? Mau kemana (hidup) Saya? Lebih banyak
pertanyaan tentang esensi dia (saya) sebagai manusia. Apa yang akan saya
wariskan (mewariskan masalah atau fondasi), dan seterusnya. Ketika proses “precensing” tersebut dapat dilalui, ia
akan mampu melakukan banyak perubahan-perubahan. Ia memiliki “will” atau ia
telah memiliki “kesadaran” dan kemauan untuk melakukan perubahan menggapai
impian (visi atau cristalysing process),
menuju prototyping (perubahan skala kecil manageable) untuk mencapai outputs
(fisik) dan outcomes (manfaat dan perubahan
paradigma).
Maka, dengan mempraktikkan Theory U melalui “U process”, suatu model Kelola Efektif
Kawasan (KEK) yang sangat spesifik untuk setiap kawasan, semoga dapat dicapai secara bertahap dan
sistematis. Dalam seluruh proses tersebut, akan terjadi perubahan-perubahan
mendasar, mulai dari keterbukaan pikiran (open
mind), keterbukaan hati (open heart)
dan semoga kita menemukan “kesadaran” untuk mendapatkan panggilan-Nya (open will), untuk melakukan
perubahan-perubahan yang substansial dalam pengelolaan kawasan konservasi, demi
kemaslahatan generasi kini dan nanti. Suatu proses yang sangat unik bagi setiap
orang. Selamat mencoba!***