"pendekatan psiko-socio culture merupakan prasyarat memahami perilaku masyarakat dan membangun kesadaran bersama untuk mengelola kawasan konservasi yang lebih manusiawi"

10 April 2012

Kelola Minimal Kawasan*

Mengutip pidato Purna Tugas Prof.Hasanu Simon (Alm), pada tanggal 27 September 2010, di antaranya yang sangat relevan untuk kita renungkan adalah munculnya dua fenomena :
(1) Rimbawan Indonesia gagal mempertahankan warisan hutan tanaman jati di Jawa yang amat bagus, lengkap dengan sofware maupun hardware-nya. Warisan hasil jerih payah rimbawan Belanda selama lebih dari satu abad itu, hancur di tangan rimbawan Indonesia hanya dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun.
(2) Lebih parah lagi, rimbawan Indonesia,yang sebetulnya tidak memiliki bekal imu yang cukup itu, gagal total dalam percobaannya mengelola hutan tropika basah di luar Jawa yang luasnya lebih dari 100 juta hektar itu hanya dalam waktu 25 tahun. Prestasi buruk ini lebih hebat dibanding dengan VOC yang menghancurkan 600 ribu hektar hutan alam jati di Jawa selama 150 tahun, Romawi yangmenghancurkan hutan alam di Eropa selama 1000 tahun, dan Babylonia yang membutuhkan waktu 3000 tahun untuk merusak hutan alam Mesopotamia.

Pernyataan almarhum Prof. Hasanu Simon itu tentu bukanlah isapan jempol belaka. Saat ini,kita bisa menyaksikan kerusakan sumberdaya hutan (khususnya hutan produksi), sebagian hutan lindung, di hampir seluruh Sumatera, Kalimantan, sebagian Sulawesi, dan mulai merambah ke Papua.


Akibat dari perubahan-perubahan yang sangat signifikan pada hutan-hutan produksi, konversi hutan produksi konversi menjadi perkebunan kelapa sawit, dan semakin terbukanya akses di sekitar kawasan konservasi, maka kita juga menyaksikan kerusakan dan tekanan semakin besar terjadi di kawasan konservasi.
BBKSDA Riau yang saat ini mengelola kawasan konservasi seluas 338.070 Ha (analisis dijital), terdiri dari 2 cagar alam, 9 suaka margasatwa, dan 1 taman wisata alam, juga menghadapi persoalan-persoalan laten seperti tersebut di atas. Maka diperlukan suatu strategi untuk, minimal, dapat mengurangi laju kerusakan di hutan konservasi. Strategi itulah yang sebaiknya dapat dirumuskan dan disepakati secara bersama-sama.

SM Balai Raja

SM Balai Raja merupakan kasus nyata, dimana kawasan konservasi yang berada di tengah-tengah perubahan penggunaan lahan super cepat akibat permintaan pasar dunia akan sawit. Yang didorong pula oleh potensi minyak bumi di bawahnya, menjadi sebuah ironi pengelolaan kawasan konservasi yang berkepanjangan. Penulis mendapatkan data hasil analisis citra dari Kepala Balai Besar KSDA Riau saat itu Sdr.Trisnu Danisworo. Berdasarkan data dasar tahun 1985, luas tutupan hutan alam dataran rendah di SM Balai Raja masih 13.900 Ha, dan pada tahun 2008, tinggal 190 Ha (grafik gradasi kerusakan terlampir). Hal ini berarti bahwa dalam tempo 23 tahun, SM Balai Raja telah kehilangan tutupan hutan alamnya seluas 12.810 Ha atau 556 hektar/tahun, atau 46 hektar/bulan, setara dengan 1,5 hektar/hari.



Kasus Areal Perluasan TN Tesso Nilo

SM Balai Raja bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Areal perluasan TN Tesso Nilo, merupakan contoh lain tentang kompleksitas kelola kawasan konservasi di jantung Sumatera ini. Sejarah ini tidak lepas dari percaturan perubahan penggunaan lahan skala besar sejak dekade 1990, merebaknya pasar sawit dunia, dimana Malaysia dan Indonesia mendominasi pada tataran global tersebut. Ketika hutan produksi khususnya eks tebangan HPH (logged-over area) tidak dikelola dengan sungguh-sungguh oleh pemegang hak, maka kawasan itu menjadi seolah-olah tidak bertuan, no man land istilah kerennya. Hukum apa yang berlaku pada kawasan-kawasan seperti itu? Dalam teori, dapat dikatakan sebagai : “Everybody access is nobody property”, yang artinya suatu kawasan yang siapapun memiliki akses untuk menguasainya tetapi sekaligus bukan miliki siapapun. Dalam kondisi ternurial seperti ini, maka siapa cepat ia dapat; siapa kuat ia yang menguasainya. Hukum rimba berlaku pada kawasan dengan situasi seperti ini. Dalam situasi ini hukum bisa dibeli, penegakan hukum menemui jalan buntu. Conservation deadlock menjadi fenomena umum.
Grafik di atas, yang disiapkan oleh WWF bersama Balai TN Tesso Nilo (Balai TNTN), menunjukkan situasi yang memprihatinkan. Garis warna kuning menunjukkan perambahan kawasan di kawasan TNTN yang lama (ditunjuk tahun 2004), dan garis warna merah adalah perambahan di areal perluasan TNTN (SK perluasan tahun 2009), yaitu eks HPH PT Nanjak makmur. Pada areal perluasan ini, terdapat 930 KK pendatang dan hanya 17 KK yang berasal dari penuduk setempat. Pendatang tersebut pada umumnya dari perbatasan Sumut-Riau dan sebagian besar menanam sawit. Tingkat kecepatan perambahan sawit di kawasan TNTN dan perluasannya, digambarkan dalam tabel sebagai berikut :

Kawasan
Tingkat perambahan
Thn 2002
Thn 2009
Ha/tahun
Ha/bulan
Ha/hari
TNTN/2004
2.868 Ha
8.629 Ha
823
68
2,3
Perluasan/2009
719 Ha
19.257 Ha
2.751
229
7,6
Sumber: Analisis Citra Landsat (2002-2009) - WWF Riau, diolah oleh Wiratno (2012).

Secara kasar, dapat disimpulkan bahwa kawasan taman nasional yang ada manajemennya, yaitu di wilayah timur, tingkat perambahannya 2,3 Ha/hari, sedangkan di areal perluasan (eks HPH PT Nanjak Makmur), tingkat perambahan relatif lebih tinggi, yaitu 7,6 Ha/hari. Eks HPH ini menunjukkan fenomena yang disebut sebagai open access atau no man land. Menjadi sangat berat bagi Balai TN Tesso Nilo untuk menyelesaikan persoalan perambahan jauh sebelum kawasan tersebut ditunjuk/ ditetapkan sebagai taman nasional. Ini persoalan nasional yang seharusnya diputuskan di tingkat nasional.

Kelola Minimal Kawasan

KMK adalah tindakan-tindakan minimal yang harus dilakukan oleh UPT dalam rangka “mengetahui” kondisi kawasan dan/atau “menguasai” kembali kawasan, mulai dari data/informasi terakhir, termasuk dari tangan pihak-pihak yang tidak memiliki hak untuk menggunakan kawasan konservasi untuk kepentingan khususnya untuk kepentingan komersial, tanpa menunggu ditetapkannya suatu rencana pengelolaan (RP) kawasan tersebut.
KMK relevan diberlakukan untuk kawasan-kawasan non taman nasional, yang pada umumnya belum memiliki rencana pengelolaan. Pihak pengelola tidak layak melakukan “pembiaran” terhadap suatu kawasan konservasi dengan alasan-alasan klasik, seperti belum memiliki rencana pengelolaan, tata batas belum temu gelang, dana, staf, infrastruktur terbatas, dan lain-lain. Kasus-kasus kawasan konservasi yang dibiarkan bertahun-tahun, telah menghasilkan kondisi kawasan konservasi yang hancur. Pokja Penanganan Perambahan di Pusat, yang bekerja sejak tahun 2010, bekerjasama dengan beberapa Pokja di UPT (BBKSDA Sumut, BB TNGL, BTN Tesso Nilo, BTN Rawa Aopa Watumohae, BTN Kutai), telah berhasil mengidentifikasi persoalan dan sebagian akar persoalan perambahan, pendudukan kawasan, klaim, SKT, illegal logging, penegakan hukum yang lemah, kawasan yang tidak dijaga, sebagian oknum staf yang terlibat, dan lain sebagainya.

Tindakan-tindakan Minimal

a. Downloading Data/ Informasi Spasial non Spasial

(a) Sortir dan Pelajari Data dan Informasi Kawasan Konservasi melalui “Prof. Google”. Melalui “google searching”, dalam tempo 0,23 detik, ditemukan 7.870 entry yang terkait dengan SM balai Raja. Dalam tempo 0,14 detik, ditemukan 6.120 entry terkait SM Rimbang Baling. Sedangkan TN Tesso Nilo, dalam 0,12 detik, diperoleh data sebanyak 26.300 unit informasi. Downloading melalui “Google Engine” merupakan tahap pertama, dari tujuan kita untuk “memahami” kawasan konservasi yang menjadi target.

(b) Analisis “time series” Kawasan Konservasi dan Daerah Penyangganya. Analisis ini dapat menggunakan Citra dari Google dan Landsat yang saat ini juga dapat diperoleh secara gratis. Plotting batas penunjukkan kawasan konservasi pada Citra Google maupun Landsat, merupakan proses untuk mendapatkan informasi tentang berbagai rona citra yang dapat dijadikan informasi awal tentang perubahan tutupan vegetasi dari alami menjadi rona lain, seperti jajaran sawit, daerah terbuka atau “open area” akibat penggundulan hutan, perambahan, pembakaran lahan, dan lain sebagainya. Plotting ini mensyaratkan kemampuan teknis menggunakan teknologi GIS, analisis citra, beserta program-program ikutannya (Arc GIS/Arc View). Sebagian besar UPT baik di TN maupun Balai KSDA, telah memiliki staf dengan kemampuan GIS dan atau RS yang memadai.

Proses pada (a) dan (b) akan membuka pikiran kita (open mind) akan fakta-fakta atau berbagai pendapat banyak pihak tentang kawasan konservasi.


b. Groundchecking dengan SIM RBM

Tujuan cek lapangan adalah untuk mengetahui kondisi riil dari lokasi yang telah dipilih dan diprioritaskan, berdasarkan kenampakan pada peta Citra. Cek lapangan, sebaiknya dilakukan oleh Tim Resort-Based Management (RBM), yang akan mencatat hal-hal penting yang ditemukan di lapangan, dengan menggunakan 15-16 tallysheet yang telah disiapkan. Aplikasi database RBM yang diperlukan oleh Balai KSDA, telah dikembangkan di BBKSDA NTT, dan saat ini masih dalam tahap ujicoba entry data dari lapangan (catatan: Sdr.Nurman Hakim akan menjelaskan SIM RBM BBKSDA NTT secara lebih komprehensif). Dalam proses ini, kita dituntut untuk menggunakan pancaindera atau “seeing”, dan sekaligus melakukan proses “sensing”, memahami berbagai persoalan dengan cara terjun langsung di lapangan akan berbeda bila dibandingkan dengan hanya membaca dari laporan. Pada proses kerja lapangan yang seringkali tidak mudah ini diharapkan muncul keterbukaan hati kita (open heart), dalam memahami persoalan-persoalan, baik yang terjadi di kawasan konservasi maupun daerah penyangga di sekitarnya. Pola-pola hubungan atau ketergantungan antara msyarakat dengan kawasan konservasi dapat dipotret dengan lebih riil, dinamis, dan kontekstual.

Untuk BBKSDA Riau, groundcheck perlu dilakukan terhadap kawasan konservasi prioritas, sebagaimana telah diidentifikasi oleh Pokja Penanganan Perambahan Pusat. Nurman Hakim, sebagai anggota Pokja, telah berhasil mengidentifikasi “open area” kawasan konservasi di Riau. Dengan dasar inilah, Pokja di tingkat UPT dapat melakukan cek lapangan, dengan mengujicobakani SIM RBM sebagai tool.


3. Menyusun “Player Map

Kegiatan ini penting untuk menggambarkan dinamika hubungan-hubungan, mencari akar dan simpul masalah dari berbagai persoalan di kawasan konservasi yang tidak dapat dipisahkan dari dinamika persoalan (sosekbud dan politik ekonomi otonomi daerah) di daerah penyangganya, atau bahkan pada tataran regional yang lebih luas. Demikian pula dengan potensi-potensi kawasan yang sebenarnya dapat dikembangkan, untuk membangun upaya pemanfaatan kawasan secara lestari demi kepentingan kesejahteraan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal dan mendapatkan dampak secara langsung dari pengelolaan kawasan konservasi.


4. Menyusun Prioritas Intervensi

Player Map juga akan dapat memberikan pilihan kepada pimpinan, apakah akan digunakan penyelesaian melalui litigasi atau lebih tepat menggunakan upaya non litigasi. Bagaimana memposisikan tokoh formal, informal, dan kelompok-kelompok lainnya sebagai bagian dari upaya membangun modal sosial, dan membangun trust antara pengelola dengan masyarakat di sekitarnya. Bagaimana peran pihak swasta (bila kawasan penyangganya dikelola oleh swasta), Kelompok atau desa/kampung mana yang bisa diprioritaskan untuk bahu membahu, mengamankan kawasan konservasi, dengan berbagai bentuk kompensasi yang disepakati, dan bermanfaat bagi banyak pihak di tingkat lokal, dan sebagainya. Haisl dari analisis “Player map” adalah dapat disusunnya “prioritas intervensi ”, secara komprehensif dan bertahap.


5. Fasilitasi “Proses Pembelajaran”

Setiap proses dari KMK harus dapat mendorong proses pembelajaran bersama para pihak. Setiap individu harus dapat membantu invidu lainnya dalam tim, untuk lebih maju, lebih memiliki kapasitas, baik teknis, manajerial, maupun kepemimpinan dalam kelompok. Staf muda yang trampil di bidang teknologi (GPS,membaca peta, computer), analisis sosial ekonomi (perubahan demografi, simpul pertumbuhan ekonomi lokal), analisis sosial budaya (penggunaan metoda PRA, analisis gender, membangun modal sosial), dan sebagainya. Staf muda (PEH, Polhut dan SPORC sarjana) harus menularkan ilmu dan kemampuannya pada seluruh anggota di kelompoknya. Staf senior, sebaiknya juga aktif membantu berbagi pengalamannya kepada anggota kelompok yang lebih muda, tentang sejarah kawasan, perubahan-perubahan sosial, ekonomi, ekologi, yang terjadi di kawasan dan daerah sekitarnya, dan sebagainya.

Proses-proses dialog, komunikasi dan kerjasama dalam tim kerja ini diharapkan dapat menumbuhkan nilai-nilai kelompok (yang nantinya akan menjadi modal untuk menjadi nilai-nilai organisasi), seperti kerjasama, kesetiakawanan, saling menolong, saling menghormati, saling menghargai, dan saling menguatkan di antara anggota tim. Jiwa korsa pekerja konservasi dapat dimulai dari proses kerjasama di tingkat lapangan, bukan hanya terbatas pada kerjasama di kantor. Kapasitas kepemimpinan (leadership) juga harus dapat dibangun mulai dari kelompok ini. Proses pembangunan teamwork ini harus dikawal mulai dari tingkat kepala Resort, Kepala Seksi, Kepala Bidang, dan Kepala Balai Besar KSDA, yang tentu harus dipadukan dengan kemampuan PEH, Polhut, dan kekuatan dan posisi strategis SPORC yang merupakan bagian dari keluarga besar BBKSDA.


Peluang

Dalam hal BBKSDA Riau, peluang terbuka untuk menguji konsep KMK termasuk SIM RBM di dalamnya. Bahkan kondisi SM Balai Raja yang telah rusak parah tersebut, mungkin masih bisa diselamatkan dengan membangun kerjasama para pihak, misalnya dengan CHEVRON. Sedangkan SM Rimbang Baling (127.000 Ha), yang secara umum masih dalam kondisi baik, dapat segera dikembangkan kerjasama dnegan WWF Riau. Sedangkan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil dan Bukit Batu, dapat dilakukan kerjasama dengan Sinar Mas yang sejak awal telah membantu menginisiasi ditetapkannya Cagar Biosfer tersebut oleh UNESCO.

Peluang masih sangat terbuka, dan kesempatan itu di depan mata kita saat ini. Kitalah yang memutuskan apakah akan merebut peluang emas itu atau membiarkannya berlalu. Berkaca dari kerusakan hutan di Sumatera dan Kalimantan, dan Pidato Purna Tugas Prof. Hasanu Simon (Alm)., di atas, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak merebut peluang kerjasama yang ada. Too much work so little tim. Maka kerjasama multipihak dengan pendekatan multidisipliner menjadi suatu keniscayaan. Mungkin, dari Rimbang Baling, upaya itu dapat segera dimulai. ***

*) Makalah disampaikan pada Diskusi Rencana Penerapan RBM di SM Rimbang Baling, kerjasama dengan WWF Riau, di Kantor Balai Besar KSDA Riau, Pekanbaru, 9 April 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar