Pembangunan hutan
dan kehutanan yang beretika adalah upaya-upaya
membangun hutan atau mengelola hutan Indonesia dengan sejauh mungkin
memberikan kemanfaatan secara luas kepada masyarakat umum, dengan tetap
memperhatikan prinsip-prisip kelestarian. Ciri-ciri penerapan etika dalam
pembangunan kehutanan atau dalam pengelolaan hutan untuk sebesar-besarnya
kemaslahatan rakyat, adalah apabila rimbawan dan pelaku-pelaku lainnya
mempertimbangkan sepuluh nilai-nilai atau etika yang penulis ajukan ini. Dalam
setiap langkah dan geraknya untuk mengelola hutan dan mengembangkan berbagai
kebijakan pembangunan kehutanan di tanah air. Kesepuluh etika tersebut diuraikan
dalam ringkasan berikut:
Pertama: Kerisalahan, Kekhalifaan, dan Rahmatan
Adalah modal dasar bagi seluruh
pelaku-pengurus hutan di Indonesia. Seorang rimbawan juga sebagai pembawa
risalah, pendakwah untuk pelestarian lingkungan.
Sebagai
khalifah, ia menjadi seorang pemimpin dalam mendorong pembangunan hutan,
pengelolaan hutan, melestarikan alam ciptaan-Nya. Seorang pemimpin
yang memiliki integritas, satunya kata dengan perbuatan. Sebagai pembawa
rahmat, ia seharusnya bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Program-program pembangunan hutan harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan,
memajukan masyarakat, dan memandirikan masyarakat tersebut. Masyarakat memiliki
harga diri ketika menjaga hutan, dan mendapatkan manfaatnya bagi mereka dan
anak cucunya. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, di dalam hutan
yang kehidupannya bergantung baik sebagian maupun seluruhnya pada sumberdaya di
dalam hutan itu. Rimbawan adalah seorang manusia dengan Tri Tugas seperti
tersebut di atas. Tugas yang berat namun mulia dan ditunggu-tunggu oleh
masyarakatnya, di pinggir-pinggir hutan.
Panggilan tugas ini tentu perlu difahami bersama,
didukung, dan dirumuskan dalam berbagai lini kebijakan nasional. Hal tersebut
sangat penitng guna mendorong terus
kemajuan dan penyelamatan hutan Indonesia yang sebagian telah mengalami
kerusakan, dengan dampaknya yang telah kita rasakan saat ini.
Kedua: “Memanusiakan Manusia“,
Etika ini menempatkan “masyarakat sebagai subyek”, dan
mengupayakan melibatkannya dalam seluruh siklus manajemen pengelolaan
hutan. Apabila kita memiliki cara
pandang masyarakat di sekitar hutan itu sebagai subyek, maka kita akan memiliki
empati yang kuat. Kita akan “memanusiakan” mereka dan memandang mereka sebagai
bagian dari solusi dari persoalan-persoalan yang dihadapi dalam membangun
hutan, menjaga hutan, atau memanfaatkan potensi hutan dengan penuh rasa
tanggung jawab. Masyarakat sebagai subyek juga berimplikasi bahwa manfaat hutan
diupayakan sebesar-besarnya untuk masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar
hutan itu. Apabila benar bahwa 48 juta masyarakat tinggal dan menggantungkan
hidupnya dari hutan, maka itu berarti suatu jumlah yang sangat besar hampir 25%
dari penduduk Indonesia. Menempatkan masyarakat sebagai subyek juga mendorong
kita untuk melibatkan mereka sejak awal dari siklus manajemen. Mulai dari
identifikasi masalah, merumuskan tujuan, merencanakan kegiatan, melaksanakan
kegiatan, pemantauan dan evaluasi, dan merevisi kembali (apabila memang
diperlukan) tentang pernyataan masalah, dan tujuan-tujuan selanjutnya.
Misalnya telah terjadi perambahan di suatu kawasan hutan
yang dikelola pemerintah. Penyelesaian masalah ini, adalah dengan mengajak para
perambah itu untuk duduk dan melakukan dialog secara inklusif, untuk
mendapatkan kesepahaman bagaimana menyelesaikan persoalan itu, apa motif
masyarakat melakukan perambahan, bagaimana solusi terbaik menurut masyarakat.
Apakah motifnya karena kebutuhan subsisten, bukan untuk motif memperkaya. Kalau
para perambah itu memang kelompok miskin
tak bertanah, karena tanahnya sudah dijual kepada pihak lain baik secara suka
rela atau terpaksa, maka persoalan-persoalan penyelesaian perambahannya menjadi
tidak sesederhana hanya dengan cara
mengusir atau mengeluarkan mereka dengan paksa atas nama penegakan hukum. Maka,
perlu solusi terpadu dengan melibatkan pemerintah daerah, pihak swasta, LSM,
tokoh masyarakat, pemuka agama, lembaga-lembaga keagamaan, dan lain sebagainya.
Untuk itu diperlukan satu “Lembaga Dialog”, yaitu suatu
forum yang dibangun untuk mewadahi berbagai persoalan atau konflik-konflik
tenurial di kawasan hutan. Lembaga ini bisa berjalan apabila pemerintah juga
bersikap netral, tidak berpihak pada yang kuat, dan fokus memperhatikan secara
seksama persoalan yang dihadapi masyarakat sekitar hutan. Justru dengan etika
santun seperti ini, Kementerian
Kehutanan dan seluruh jajarannya di bawah, akan mendapatkan dukungan dari
masyarakat. Proses perencanaan dari bawah (bottom-up
planning), dengan sebenar-benarnya melibatkan masyarakat akan berdampak
pada menguatnya kesadaran individu dan kesadaran kolektif masyarakat. Kesadaran
kolektif ini menjadi modal dasar untuk gerakan bersama menyelamatkan hutan dan
lingkungan.
Mengawal proses ini memerlukan komitmen bagi pengawalnya.
Para rimbawan, sarjana kehutanan yang bertugas di lapangan dan yang
berkedudukan di Jakarta. Tiga tugas utama manusia rimbawan, sebagai pembawa
risalah, sebagai khalifah, dan pembawa rahmat bagi seru sekalian alam adalah
tepat. Tri Tugas itulah yang dijadikan bekal bagi rimbawan dalam mendorong
terlaksannya pembangunan dan pengelolaan hutan yang semakin bertanggungjawab.
Yang memberikan kemanfaatan nyata baik sekarang sambil menjamin kelestariannya
dalam jangka panjang, sesuai dengan tujuannya.
Ketiga: No Harm, “Tidak Melukai, “Ahimsa”.
Berbagai persoalan kehutanan, konflik lahan, perambahan, illegal logging, yang ternyata terbukti
dilakukan atas motif-motif untuk memenuhi kebutuhan dasar, karena mereka miskin,
maka upaya penyelesainnya haruslah tidak dengan kekerasan, tidak dengan
pemaksaan, tidak dengan senapan, tetapi dengan solusi kesejahteraan. Hukum
harus tegak bagi cukong, pemodal, oknum-oknum yang dengan sengaja memanfaatkan
masyaraka miskin tak bertanah di sekitar hutan, untuk melakukan
tindakan-tindakan yang menyalahi hukum. Sekali lagi, Forum Dialog itulah
kendaraan yang seharusnya dibangun dan dipakai untuk mencari solusi bersama,
dengan mempertimbangkan berbagai masukan, pendapat, dan aspirasi dari
masyarakat.
Masyarakat harus bisa merasakan kehadiran “pemerintah” di
halaman rumah mereka, di kehidupan keseharian mereka, ketika mereka menghadapi
persoalan-persoalan konkrit, seperti masalah kayu bakar, makanan ternak, layanan kesehatan, sekolah bagi anak-anaknya,
akses jalan, pemiskinan oleh rentenir, dan banyak persoalan riil lainnya. Maka,
penyelesaian masalah mereka juga memerlukan keterpaduan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan dalam arti luas. Kehadiran pemerintah yang tidak
“sangar”, tidak menakutkan. Pemerintah yang mau duduk dengan mereka dan
mendengarkan berbagai kesulitan dan harapan mereka. Reformasi Birokrasi harus menyentuh sampai ke
wilayah-wilayah seperti ini. Sikap mental aparat pemerintah yang santun dan
lebih banyak turun ke bawah menyerap persolaan nyata. Masyarakat yang hidupnya
serba sulit, tinggal di daerah terpencil di tepi-tepi hutan, adalah kekuatan nyata bagi pembangunan
hutan dan kehutanan masa depan, apabila pemerintah melakukan tindakan yang
tepat. Pemerintah seharusnya berpihak pada yang lemah, bukan kepada yang kuat,
kaum pemodal dan sebagainya.
Keempat: Penghargaan terhadap Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan Budaya.
Ialah upaya kita untuk mempertimbangkan dan lebih
menguatkan nilai-nilai adat dan budaya yang masih hidup dan nyata memiliki
unsur-unsur penghargaan terhadap alam, spirit menjaga dan melestarikan alam, ke
dalam berbagai aspek pembangunan kehutanan. Banyak kawasan hutan yang secara
adat masih dikuasai dan dijaga untuk kepentingan kehidupan kelompok-kelompok
masyarakat adat. Manajemen kelola hutan kita harus menggali dan mendorong
nilai-nilai ini masuk ke dalam bagian dari spirit kelola hutan bersama
masyarakat. Di TN Kayan Mentarang, Provinsi Kalimantan Utara, dimana secara
adat, kawasan taman nasional itu dimiliki oleh 11 Suku Dayak Besar, dikelola
dengan konsep yang melibatkan lembaga-lembaga adat setempat. Dibentuk Dewan
Pertimbangan Pengelolaan, di mana berbagai persoalan dan perencanaan kelola
taman nasional didiskusikan dan disepakati. Ini suatu contoh, bagaimana etika
mengelola hutan kita saat ini dan menjadi harapan ke depan. Model ini bisa
dicontoh di banyak kelola hutan produksi baik di HPT, HTI, Restorasi Ekosistem,
Hutan Tanaman Rakyat, dan kawasan hutan lainnya. Menuju pengelolaan hutan yang lebih
manusiawi dan aspiratif.
Keragaman budaya dari masyarakat di seluruh Indonesia,
semestinya menjadi pertimbangan penting dalam kita merumuskan langkah-langkah
dalam mengelola hutan di tingkat tapak, di lapangan. Kita perlu mengkoreksi
pandangan bahwa kawasan hutan adalah laksana “kertas putih” tidak ada
pemiliknya dan tidak ada sejarah penguasaannya. Mungkin dari pola pendekatan
etika seperti ini ada harapan kita bersama mewujudkan motto Kementerian
Kehutanan : “Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera”.
Pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat (Hukum) Adat,
diwujudkan dalam Pasal 18 B Ayat (2) dan
Pasal 28 Ayat (3) UUD 1945; Ketika era reformasi, dukungan legalitas muncul
dalam : (1) UU No 22 tahun 1999 dan penggantinya UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah yang memulihkan hak Masyarakat Adat untuk mengatur dan
mengurus dirinya sendiri dalam bentuk otonomi asli “desa” atau yang disebut
dengan nama lain sesuai dengan adat budaya setempat; (2) UU No 39 tahun 1999
tentang Hak Azasi Manusia yang menegaskan keberadaan hak-hak Masyarakat Adat
sebagai hak azasi manusia yang harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat dan pemerintah (Pasal 6); (3)
UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai
bentuk kebijakan khusus untuk melindungi hak-hak dasar penudduk asli dan
masyarakat adat di Papua; (4) UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang telah menegaskan adanya pengakuan dan
perlindungan tanpa syarat kepada Masyarakat Adat, kearifan tradisional dan
masyarakat tradisional; (5) UU No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup yang mengakui peran penting Masyarakat Adat
sehingga diamanatkan untuk membuat kebijakan nasional dan daerah untuk
pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan kearifan lokal terkait
dengan pengelolaan dan pengendalian
lingkungan hidup. Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Mei 2013, yang
menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara, menguatkan posisi masyarakat
(hukum) adat, walaupun keputusan ini mengundang kontroversi di tingkat
nasional.
Kelima: Memadukan Tradisional Wisdom
dengan Scientific Knowledge.
Etika menghormati kearifan tradisional dari
masyarakat-masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan tinggal
di dalam hutan, adalah modal utama. Memadukannya dengan scientific knowledge, ilmu
dan teknologi adalah kekuatan yang besar. Pada kondisi tertentu, kearifan
tradisional mampu menjawab berbagai persoalan pelestarian hutan, pengelolaan
lahan pertanian tradisional, dan sebagainya. Pada kondisi yang lain, masukan
dari IPTEK diperlukan untuk menggali lebih jauh
nilai-nilai kemanfaatan plasma nutfah untuk obat-obatan modern,
sebagaimana yang dicontohkan dari TWA Teluk Kupang, yang ternyata potensi sponge-nya, memiliki prospek untuk
materi penyembuhan kanker. Jamur tertentu dari hutan tropis yang telah diteliti
oleh calon doktor dari Pusat Konsrvasi dan Rehabilitasi, Litbang Kehutanan,
mampu menguraikan dampak lingkungan pencemaran minyak. Pembangunan hutan dengan
menggunakan teknologi Silvikultur Intensif (SILIN) yang dikembangkan oleh Prof
Soekotjo dan Prof Na’iem dari Fahutan UGM, juga membuktikan bahwa percepatan
pembangunan hutan-hutan baru (tanpa mengganggu keragaman hayati) nyata bisa
dilaksanakan. IPTEK yang mendapatkan dukungan kebijakan Direktur Jendral
BPK Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tangal 1 September 2005 tentang TPTI Intensif, perlu terus diupayakan untuk
dilaksanakan dalam skala yang lebih luas.
Hal-hal tersebut
di atas membuktikan bahwa IPTEK harus dimanfaatkan untuk membangun hutan
Indonesia. Bukan hanya untuk hutan Indonesia. Hasil-hasil riset di kawasan
hutan akan berguna untuk kepentingan kemanusiaan dalam arti luas. Upaya-upaya itu masih harus terus
ditingkatkan dan didukung oleh kebijakan nasional yang komprehensif, terpadu,
dan berkelanjutan.
Keenam: Jejaring Kerja Multipihak
Etika ini mencul dari kesadaran bahwa untuk mengelola
hutan dengan segala karakteristinya itu, tidak akan pernah mampu dikelola oleh
hanya kelompok rimbawan. Mengurus hutan
(di Indonesia) tidak cukup hanya oleh rimbawan saja. Ciptaan Tuhan ini,
sangat luar biasanya karena ia tumbuh di
muka bumi sebagai hasil dari proses asosiasi yang panjang dari aspek geologi,
gerakan lempeng, kegunungapian,
pembentukan dan pergerakan tanah, iklim, kelerengan, posisinya di
permukaan bumi, yang berakibat pada pembentukan pola sebaran flora dan fauna
yang beragam. Kondisi ini masih ditambah dengan pola-pola ketergantungan
manusia pada awal kehidupannya kepada sumberdaya hutan beserta seluruh isinya,
yang membentuk kebudayaan manusia dan pola-pola pembentukan hutan, ragam dan
sebaran flora dan faunanya. Maka, dalam mengurus hutan, kawasan hutan, kita
perlu mendapatkan dukungan dari berbagai disiplin keilmuan, berbagai pengalaman
empiris pakar, praktisi, pengamat, pemerhati, pejuang, perencana pembangunan,
dan lain sebagainya. Rimbawan dengan
ilmu kehutanan tidak akan cukup mampu dalam merspon berbagai persoalan hutan
dan kehutanan yang bukan sekedar persoalan silvikultur, teknologi kayu, tetapi
juga masalah sosial, budaya, antropologi, pengembangan masyarakat, dan lain
sebagainya.
Jejaring multipihak, multidisiplin Ilmu merupakan suatu
keharusan, apabila kita ingin mendapatkan manfaat dari banyaknya “rahasia” yang
masih terkandung di dalam perut hutan belantara tropis dan kawasan konservasi
di bawah lautan di satu sisi, dan upaya
meningkatkan kecerdasan keberdayaan dan kemandirian masyarakat di sisi lainnya.
Masyarakat seharusnya menjadi bagian dari jejaring ini dan mendapatkan manfaatnya
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketujuh: Prinsip Kehati-hatian
Kecerobohan adalah sikap yang sejauh mungkin kita
hindarkan. Kebijakan seharusnya disiapkan dengan matang didasarkan pada data
dan infomasi yang valid. Pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan berbagai
kebijakan, yang dilakukan dengan benar dan jujur menjadi modal dasar dalam
memperbaiki kebijakan ke depan. Pengalaman kerusakan hutan-hutan produksi
dengan skema HPH dengan pola monopoli dan dampak negatifnya di masa lalu
menjadi bahan koreksi kita bersama. Konsistensi dan pengawasan yang ketat tanpa
negosiasi, semestinya dapat menyelamatkan hutan-hutan tersebut. Apabila sistem
Tebang Pilih Indonesia (TPI) dilaksanakan dengan konsekuen, maka masih ada
harapan akan tumbuhnya hutan untuk siklus tebangan berikutnya. Pengalaman itu,
kini menjadi pelajaran berharga agar dalam mengusahakan hutan, dilakukan dengan
prinsip-prinsip kelestarian dan dengan pengawasan yang ketat.
Kebijakan Presiden RI melakukan Moratorium Hutan (INPRES
No.10 tahun 2011. Penundaan izin baru di hutan primer dan gambut yang berada di
hutan konversi, hutan lindung, dan hutan produksi, adalah langkah-langkah
kehati-hatian tersebut. Moratorium ini diperpanjang lagi dengan terbitnya
INPRES No 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Mengapa perlu menerapkan prinsip-prinsip
kehati-hatian? Selain aspek kerusakan hutan di masa lalu, tekanan dunia
internasional untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), juga karena kita
dengan IPTEK yang ada belum mampu mengungkap “manfaat” dari isi hutan-hutan
alam tersebut bagi kepentingan kemanusiaan. Apabila tidak dicegah, maka tingkat
kerusakan hutan-hutan alam akan terus meninggi, karena kemampuan kita untuk
melakukan pemantauan dan cek lapangan akan ketaatan pengusaha masih sangat
rendah. Prinsip kehati-hatian ini bukan hanya berlaku di hutan-hutan produksi,
tetapi juga dalam pengelolaan seluruh fungsi hutan, termasuk di kawasan
konservasi. Pemerintah yang telah mengalokasikan dan menetapkan 27,2 juta
hektar kawasan hutan sebagai kawasan konservasi, juga dalam rangka mengemban
etika kehati-hatian tersebut. Kawasan konservasi tersebut adalah bagian dari 64
juta hektar hutan yang masih utuh atau 42,5 persen. Porsi yang cukup besar dari
kawasan konservasi ini perlu dukungan kebijakan terpadu untuk mendorong
peningkatan efektivitas pengelolaanya dengan berpegang pada etika-etika yang
diusulkan tersebut di atas.
Kedelapan: “Gerakan”
Kesadaran bersama (collective
awareness) sebagai hasil kerja dari Tri Tugas Rimbawan bersama para pihak
sebagai mitranya, dan dengan dukungan kebijakan Kementerian Kehutanan, maka
didorong suatu gerakan bersama, suatu aksi bersama. Penanaman satu miliar pohon
adalah salah satu contoh upaya membangun suatu Gerakan Kesadaran Bersama
Multipihak. Kini bukan saja Kementerian
kehutanan saja, banyak pihak yang mendukung program satu miliar pohon
tersebut. From collective awareness to collective action. Dari gerakan di
Indonesia akan berkontribusi pada tataran global. Sehingga, menanam pohon
menjadi kesadaran kita bersama. Gerakan ini masih didukung dengan Moratorium
Izin Baru, sehingga peran Indonesia akan sangat diperhitungkan di tingkat
global. Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada
pertemuan G-20, September 2009 di Pittsburgh Amerika Serikat dan pertemuan PBB
mengenai Perubahan Iklim, UNFCC COP-15 di Kopenhagen, Desember 2009 : “In the spirit of thingking outside the
box, in September this year Indonesia
declared emision reduction target of 26% from business as usual by 2020, and
this can be increased to 41% with enchanced international assistance. As a
non-Annex 1 country, we did not have to do this. But we read the stark
scientific warning of the IPPC. So we set our new reduction target, because we
wanted to part of global solution” (Purnomo, 2012). Dengan kebijakan
nasional seperti itu, diharapkan hutan cukup waktu untuk bernafas kembali dan
merehabilitasi dirinya, setelah sekian lama dieksploitasi. Walaupun Indonesia tidak wajib menurunkan
emisi GRK, namun Presiden SBY bersama tim nya sepakat untuk berkontribusi pada
menurunan GRK dunia. Suatu politik etis yang sudah selayaknya diapresiasi oleh
negara-negara Utara penghasil pencemaran dunia, seperti Amerika Serikat, China,
dan sebagainya. Suatu etika global terkait dengan kepentingan masyarakat lintas
negara. Untuk kepentingan menyelamatkan bumi-satu-satunya planet layak huni
manusia.
Kesembilan: Pelibatan Perempuan.
Ialah sikap mental kita untuk mempertimbangkan dan
memperluas peran-peran kaum perempuan dalam
setiap langkah atau siklus manajemen kawasan hutan. Kerusakan lingkungan
berdampak langsung pada kaum perempuan di pedesaan. Berbagai upaya konstruktif
menyelamatkan hutan, inovasi baru memperbaiki lingkungan, dilakukan oleh
perempuan. Pendidikan anak-anak agar cinta pada lingkungan diemban kaum
perempuan. Banyak di antara perempuan
tangguh tersebut telah menerima Kalpataru, karena pengabdiannya yang luar biasa
pada penyelamatan lingkungan dan menginspirasi masyakarat luas.
Seorang perempuan bernama Tri
Mumpuni-Pendekar Lingkungan Hidup 2008 adalah contohnya. ,Ia mampu menggerakkan masyarakat dan
menjadi motor pembangunan mikro (mini)
hidro yang menghasilkan listrik di 60 lokasi tersebar di seluruh Indonesia.
Usahanya membentang dalam tempo tidak
kurang dari 17 tahun (Berita TransTV 17 Agustus 2010; jam 21:48). Puluhan
penghargaan diterimanya dari berbagai kalangan, antara lain sebagai Climate Hero dari WWF.
Pada tanggal 20
Agustus 2010, harian Kompas memuat berita tentang orasi Eny Sudarmonowati, sebelum dikukuhkan sebagai
Prof Riset. Ia sejak 1992 melakukan penelitian intensif pemuliaan pohon hutan.
Salah satu yang dipilih adalah sengon-salah satu jenis pohon cepat tumbuh (fast growing spesies) yang penting untuk
rehabilitasi hutan atau dikembangkan sebagai penghasil kayu perkakas ringan.
Hasil rekayasa genetik yang dilakukannya telah membuat pertumbuhan sengon 1,5
kali lebih cepat dari sengon bukan hasil rekayasa. Diprediksi, panen yang semula
menunggu 15 tahun bisa diperpendek menjadi 7 tahun saja. Yang bersangkutan juga
mengungkapkan bahwa ia melakukan
penelitian juga tentang Acacia mangium
transgenik. Ada sengon mutan hasil radiasi sinar gamma, yang tahan hidup di lahan ex tailing, jadi kemungkinan
besar bisa untuk bioremediasi. Ribuan hektar lahan eks pertambangan dapat
segera dihijaukan dengan hasil riset ini.
Aleta Baun aktivis
perempuan dari Timor Tengah Selatan, mendapatkan penghargaan dari Goldman
Environmental Prize 2013 di San Fransisco, Amerika Serikat, pada 15 April 2013,
atas upayanya yang gigih mempertahankan hutan dan Gunung Batu di lereng Gunung
Mutis, Provinsi NTT (Kompas, 20 April 2013). Ketiga contoh tersebut membuktikan
peranan perempuan dalam perbaikan lingkungan hidup. Kebijakan pemerintah ke
depan harus mempertimbangkan keterlibatan kaum perempuan yang lebih besar dan
dengan niat yang baik untuk mendorong peran mereka semakin besar dan
menentukan.
Kholifah, wanita penerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan tahun 2010
Perempuan dari desa Kedungringin, Beji, Pasuruan, Jawa Timur ini layak jadi
pahlawan lingkungan. Sejak tahun 1999 Kholifah merintis pembuatan trichogramma,
pupuk organik cair, pupuk organik padat, pengembangan tanaman hias, dan pengembangan jamur antagonis dengan peralatan
sederhana. Program ini dapat membantu meningkatkan produksi petani dan berhasil
menurunkan penggunaan pupuk buatan dan pestisida kimia.
Dra. Endang Sulistyowati, wanita
penerima Kalpataru Kategori Pembina Lingkungan tahun 2010. Perempuan yang juga guru biologi dan pendidikan lingkungan hidup SMAN 2
Kota Probolinggo, Jawa Timur ini juga pahlawan lingkungan. Aktif dalam berbagai
organisasi masyarakat, Endang mengajak penduduk setempat menanam
23.000 pohon bakau di
lahan seluas lima hektar di
pesisir utara Kota Probolinggo. Ia juga menggagas penanaman pohon SAJISAPO
(Satu Jiwa Satu Pohon) di lingkungan sekolahnya.
Sriyatun Djupri, wanita penerima Kalpataru kategori Perintis
Lingkungan 2008. Wanita sahabat sampah yang tinggal Jl.
Jambangan Rt 004/003 Kel/Kec Jambangan Kota Surabaya, Jatim ini layak disebut
sebagai pahlawan lingkungan. Mulai tahun 1986, Sriyatun mulai menggerakkan
warga sekitar untuk melakukan pemilahan sampah, penghijauan pekarangan dan
jalan warga di sepanjang Kali Surabaya serta membuat saluran toilet di sekitar rumah. Kegiatan ini dilakukan melalui Kelompok Dasa Wisma yang
memanfaatkan anggota kelompok PKK, Karang Taruna dan para kepala keluarga
sebagai kader lingkungan. Di tahun 2004 Sriyatun mendirikan
Kelompok Kader Lingkungan Sri Rejeki, aksinya berupa pelatihan bagi warga
sekitar untuk memilah dan mengolah sampah,
pembibitan tanaman, penghijauan pekarangan, jalan dan pinggir sungai, serta
membuat dan menggunakan jamban umum. Pengeloaan sampah dilakukannya dengan
metode 3R.
Theresia Mia Tobi, perempuan penerima Kalpataru kategori
Perintis Lingkungan 2008. Perempuan yang tinggal di RT 13 RW 06,
Dusun Bawalatang, Desa Nawokote, Wulanggitang, Flores Timur, Nusa Tenggara
Timur juga layak menyandang gelar pahlawan lingkungan. Ibu Theresia tanpa kenal
lelah memberdayakan masyarakat melalui penanaman pohon dengan semboyan “bila
satu pohon ditebang, akan diganti dengan penanaman seribu pohon”. Kepercayaan
masyarakat kepada Ibu Theresia dapat diukur dari keikutsertaan seluruh warga
Desa Nawakote kemudian melakukan pembitan, penangkaran dan penanaman gaharu di
pekarangan rumah maupun areal hutan.
Wayan Sutiari Mastoer, perempuan penerima Kalpataru kategori
Perintis Lingkungan 2006. Wanita satu ini juga layak jadi pahlawan
lingkungan. Dengan dibantu pegawai dan anggota keluarganya ia mengumpul
sisa-sisa tumbuhan dan sampah anorganik untuk didaur ulang menjadi hiasan berupa bunga kering,
hiasan dinding, bros, giwang dan sebagainya. Wanita yang juga bendahara POPRI
(Perkumpulan Olahraga Pernapasan Indonesia) ini tidak henti-hentinya
mendemonstrasikan dan melatih masyarakat sekitar. Hasil karyanya diminati oleh
banyak kalangan hingga Bali dan mancanegara.
Kesepuluh: Pelibatan Kaum Muda
Mempertimbangkan tujuan jangka panjang dari pengelolan
hutan dan lingkungan secara luas, maka isu kunci yang harus dipertimbangkan
dalam kebijakan nasional adalah tentang pendidikan lingkungan dan peran kamu
muda. Mereka kelompok potensial untuk terlibat dalam berbagai upaya dan gerakan
penyelamatan lingkungan. Sudah sewajarnya dibangun strategi pengelolaan hutan
dan penyelamatan lingkungan dengan melibatkan kaum muda. Mereka yang akan mengambil tongkat estafet
dari generasi tua saat ini, untuk dilanjutkan ke depan. Skala waktu yang
dipakai dalam pengelolaan hutan dan isu-isu lingkungan bukan hanya lima tahun,
atau 10 tahun, tetapi 50-100 tahun ke depan. Skala generasi, antar generasi,
dan lintas generasi. Investasi pendidikan lingkungan saat ini akan menentukan
hasilnya 20-30 tahun ke depan.
Penutup
Kesepuluh etika, atau pesan moral tersebut tentu perlu
kita renungkan dan diuji apakah dapat atau perlu dilaksanakan di tingkat
lapangan. Disebarluaskan dengan contoh-contoh nyata. Deklarasi Rimbawan yang
pertama, yaitu Deklarasi Kaliurang, 29 Oktober 1966 dan Deklarasi
Cangkuan-Sukabumi, 4 November 1999, mungkin sudah dilupakan kamu rimbawan.
Padahal, dalam kedua deklarasi itu terkandung nilai-nilai dan etika profesi
rimbawan yang sangat relevan bahkan sampai dengan saat ini. Pengelolaan hutan
yang menjamin kelestarian dikaitkan dengan persoalan martabat bangsa di mata
masyarakat dunia, sudah digemakan dalam Deklarasi Kaliurang. Semoga, sumbangan
pemikiran yang sedikit ini, dapat menggugah kesadaran kita bersama, untuk
membuka lembaran-lembaran deklarasi tersebut, sebagai bagian dari kesejarahan
pemikiran dan arah pengelolaan suberdaya hutan Indonesia. Juga kala kita
mengkiatkan Tri Tugas Manusia sebagai pembawa risalah, khalifah, dan menjadi
rahmat bagi alam. Kita kembalikan semuanya kepada diri pribadi kaum rimbawan
Indonesia. Apa yang telah kita mampu perbuat untuk hutan Indonesia.***