Suatu kehormatan bagi saya yang diminta memberikan masukan dan (barangkali) kritik terhadap sebuah buku langka berjudul “Berwisata Alam di Taman Nasional”, diterbitkan oleh Buku Obor.
Pertama, saya ucapkan selamat kepada Dr.Jatna Supriatna, atas terbitnya
buku ini. Draft buku ini sebenarnya
telah disiapkan di awal tahun 2000, saat saya baru bergabung dengan Pak Jatna
Supriatna di Conservation International Indonesia. Buku hasil karyanya yang
terbit tahun 2007 “Biologi Konservasi” dan tahun 2010 berjudul ”Melestarikan
Alam Indonesia” (terbitan Yayasan Obor), juga menjadi rujukan masyarakat luas
dan telah mendorong pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya upaya-upaya
konservasi alam Indonesia dengan melihat dan memahami nilai pentingnya
melestarikan sumberdaya alam, baik di daratan maupun di perairan laut, untuk
kepentingan lintas generasi.
Sebagaimana kita ketahui, Dr. Jatna Supriatna adalah pakar di banyak bidang
lingkungan, mulai dari ahli primata, juga banyak mendalami berbagai inisiatif
konservasi, seperti “konsesi konservasi”, conservation
education, ecotourism, mendorong
penerapan konsep bioregion, dan sebagainya dengan rentang waktu hampir 40 tahun.
Bersama-sama antara lain dengan Pak Wahjudi Wardojo (saat itu Kepala TN Gunung Gede
Pangrango), beliau menjadi salah satu pendiri konsorsium pertama di Indonesia,
yaitu Konsorsium Gede Pahala di TN Gunung Gede Pangrango. Dr. Jatna juga aktif
mendorong pendirian stasiun riset di taman-taman nasional Indonesia, sekaligus
juga melakukan banyak riset dan
eksplorasi keragaman hayati flora dan fauna di dalamnya.
Selain bekerja di jurusan Biologi UI, Dr Jatna Supariatna menjadi Country
Director Conservation International selama 15 tahun, yang membawanya melalang buana
ke lebih dari 60 negara di dunia yang memiliki sumberdaya alam penting, untuk
melakukan workshop, riset, dan sekaligus
melakukan wisata penikmati keindahan alam taman-taman nasional yang
dikunjungi.
Buku ini sangat menarik dan unik, karena tiga hal. Pertama, buku tentang wisata alam atau ekowisata di taman nasional,
yang ditulis oleh seorang pakar-praktisi di banyak bidang, khususnya biologi konservasi,
pengelolaan taman nasional, pendidikan lingkungan, ekowisata, pakar primata, dan
sebagainya. Sejak 1992 menjadi kepala editor jurnal international Tropical
Biodiversity, Chief Editor Asian Primate (2008), Dewan Redaksi jurnal
international Wildlife Policy and Law, Dewan Redaksi Tropical Conservation
Science, konsultan editor Biosphere Conservation, Dewan Penasihat Earthwatch
Institute (2002), dan Editor Asian Biodiversity Journal (2014), dan menjadi dewan redaksi jurnal international, “Park”.
Kedua, dan oleh karena itu penulis
juga memberikan pemahaman tentang basic
theory kelola taman nasional apabila akan dikembangkan ekowisata di
dalamnya (hal 22), efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, prioritas
penetapannya, melalui tiga kriteria (keunikan, kepunahan, dan kegunaan - hal
25). Ketiga, maka penulis dengan lugasnya
memberikan paparan dan saran-saran praktisnya tentang bagaimana kita melakukan
perjalanan wisata diramu dengan analisisnya yang tajam tentang “perencanaan
destinasi wisata”, mulai dari wildlife
watching, wisata lansekap, wisata ilmiah, summer camp, penangkaran biologi, kerjasama dalam showcasing-display, wisata olahraga,
kearifan lokal, wisata kuliner dan keragaman pangan, paket wisata perajinan dn
produk local, paket wisata bersama petani (hal 11-19).
Dr. Jatna Supriatna juga
menguraikan pengalamannya melakukan perjalanan wisata di banyak negara
yang semestinya juga bisa dilakukan di
taman-taman nasional di tanah air yang jumlahnya kini mencapai 50 tersebar di
seluruh biogeografi Indonesia. Bagaimana teori biogeografi pulau dipakai untuk
menyediakan wisata alam hidupan liar secara lestari, pemilihan lokasi, dan
pengelolaan kawasannya (hal 22; paragraf 4). Oleh karena itu, buku ini sangat
penting bagi pengelola taman-taman nasional, pengambil keputusan, mahasiswa,
dosen, LSM, guru, peminat dan praktisi bisnis wisata alam, serta masyarakat
luas.
Di samping banyak hal-hal yang sangat menarik yang diuraikan dalam buku ini,
beberapa kesalahan ketik atau kesalahan informasi ditemukan, yang apabila tidak dilakukan dapat menganggu kenyamanan pembaca atau misleading information. Beberapa hal
tersebut antara lain:
1. Pengetikan nama taman
nasioanal, misalnya tertulis “Taman
Nasional Hasanudin”, yang benar adalah “ TN Bantimurung Bulusaraung”, di
Sulawesi Selatan (hal 16; paragraf 4).
Nama taman nasional “Lorentz”, tertulis “Lorenz” (hal 29 paragraf 2);
2. Data pengunjung di TN
Komodo (kotak 1, hal 19), masih tertulis dikunjungi 32.354 wisatawan yang
sebagian besar wisman (tidak disebutkan tahunnya, berdasarkan cek, angka
tersebut kondisi tahun 2008). Data 2009, pengunjung TN Komoso sudah mencapai
36.534 dan pada November 2010 mencapai angka 42.574 dengan peroleh PNBP
sebanyak Rp.1.320.896.500,-
3. Melengkapi hasil-hasil
riset terakhir, akan menambah lengkapnya informasi yang disajikan dalam buku
ini, misalnya di TN Gunung Leuser (hal 68 tentang keragaman hayati).
Berdasarkan hasil riset Dr. Agus Susatya - dosen Universitas Bengkulu, di Bukitlawang telah ditemukan
jenis rafflesia baru dan telah diberi nama: Rafflesia
lawangensis. Ia juga menemukan jenis baru di Talang Tais Bengkulu, Rafflesia bengkuluensis. Dari destinasi
wisata alam di TN Gunung Leuser (hal 70-71), daerah tujuan ekowisata Tangkahan di Kabupaten Langkat yang sempat
diuraikan. Sejarah pengembangan konflik Tangkahan diuraikan oleh Saiful Bahri
dalam Wiratno (2013) dan dinamika pengembangan ekowisata Tangkahan ditulis oleh
Wiratno (2014).
4. Pengelola TN Gunung
Leuser bukan Unit Management Leuser (UML), tetapi Balai Besar TN Gunung Leuser
(hal 72; paragraf 1). UML saat itu mendapatkan mandat dari Kepres 33/1998, yang
saat ini sudah tidak beroperasi lagi. Demikian pula dengan pengelola TN Bukit
Barisan Selatan, sudah menjadi Balai Besar (Eselon IIb) dan bukan Balai (Eselon
III) lagi (hal 121). Demikian pula dengan TN Kerinci Seblat, telah menjadi
Balai Besar TN Kerinci Seblat.
Dari pengalaman saya
bekerja di TN Gunung Leuser (2005-2007) dan di Balai Besar KSDA NTT (2012-2013),
pengembangan paket-paket wisata alam yang telah ada saat ini perlu disambungkan
dengan destinasi baru yang menarik berdasarkan temuan mutakhir. Diversifikasi obyek ini juga dalam rangka menambah length of stay wisatawan manca negara.
Misalnya wisman di Bukitlawang, yang selama ini hanya melihat orangutan di feeding ground dapat dibawa ke lokasi
mekarnya Rafflesia lawangensis pada
musim berbunganya, yang tidak jauh dari Bukitlawang. Wisman di TN Komodo,
dapat ditawari destinasi baru, di
Mbeliling yang tidak jauh dari Labuan Bajo, terutama yang tertarik dengan local tradition and wisdom dan birds watching. Wilayah ini dikembangkan oleh Yayasan Burung
Indonesia dalam 7 tahun terakhir ini. Simpul destinasi baru bisa ditarik ke CA
Wae Wuul, yang luasnya hanya 5.000 Ha, khususnya untuk wisata terbatas, wisata
riset, dan sebagainya (Wiratno - BBKSDA NTT, 2013).
Above all, kita patut bangga
memiliki seorang Jatna Supriatna yang mendedikasikan hampir seluruh hidupnya
untuk pemikiran dan tindakan nyata di bidang konservasi alam dan lingkungan di
Indonesia. Pemikirannya yang cemerlang melewati batas-batas biogeografi,
melintasi beberapa benua di puluhan negara. Tidak heran kalau Dr. Jatna Supriatna akhirnya menerima berbagai penghargaan,
seperti Golde Ark Award dari Kerajaan Belanda di Bidang Konservasi Alam (1999),
Habibie Award (2009) di Bidang Sains, Achmad Bakrie Award di bidang Sains
(2010), dan Terry McMannus Award dari Conservation International atas jasanya di Bidang Konservasi dan Bisnis. Dan kemungkinan akan
menyusul penghargaan lainnya di masa depan.
Buku adalah legasi lintas
generasi : “Verba volant, scripta manent”
***
*) Bedah buku Berwisata di Taman Nasional,
Balai Sidang Kampus Universitas Indonesia - 5 September 2014
Daftar Rujukan:
Anonim. 2013. Kalaidoskop
BBKSDA NTT 2013. Diterbitkan oleh Balai Besar KSDA NTT.
Susatya, A. 2011.
Raflesia Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Jakarta. Diterbitkan oleh Direktorat
Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Ditjen PHKA.
Wiratno. 2013. Tersesat
di Jalan yang Benar, Seribu hari Mengelola Leuser UNESCO Jakarta Office.
Wiratno. 2014. Dari
Penebang Hutan Liar ke Konservasi Leuser. Diterbitkan oleh UNESCO, OIC, GRAPS,
UNEP SpainUNEP Life Web, dan BB TN Gunung Leuser.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar