Oleh : Wiratno dan Isai Yusidarta
Apa hubungannya antara kawasan konservasi perairan (laut) dengan
penyembuhan penyakit kanker. Penulis yakin, sebagian besar staf PHKA, mulai
dari yang bekerja di lapangan sampai di tingkat tertinggi di Jakarta, belum
tahu. Mungkin tidak sempat untuk tau atau tidak mau tahu. Penulis maklum dengan
kesibukan yang luar biasa di tingkat Jakarta. Kesibukan tentang “administrasi”
konservasi. Sampai dengan saat ini,
belum pernah ada pernyataan pejabat tinggi Kemenhut, tentang peran besar dan
strategis kawasan perairan ini, dalam kaitannya dengan peluangnya sebagai
sumber pengobatan berbagai macam penyakit. Dalam kasus ini, tentang penyakit
kanker. Sementara itu, kita memiliki 5 juta Hektar kawasan konservasi laut. Sebagian
masuk wilayah perairan laut subur dan kaya, yaitu kawasan yang disebut sebagai
Segi Tiga Karang Dunia, atau disebut sebagai Coral Triangle Area.
Adalah
seorang yang berpenampilan sederhana, tetapi ternyata seorang PhD lulusan
Jepang, dosen Fisheries and Marince
Science, Universitas Diponegoro, di Semarang. Ia-Agus Trianto yang memulai
riset tentang sponge. Risetnya
bersama-sama dengan Ambariyanto Ambariyanto, dan Retno Murwani, dengan judul “Skrining Bahan Anti Kanker pada Berbagai Jenis
Sponge dan Gorgonian Terhadap L1210 Cell Line”,
dipublikasikan dalam Indonesian Journal of Marine Sciences, Vol 9 No.3 (2004),
disarikan sebagai berikut :
Sejarah evolusi yang panjang pada biota laut menyebabkan biota laut
mempunyai keanekaragaman molekul yang sangat tinggi. Potensi biota laut tersebut
sebagai sumber obat anti kanker menjadi objek penelitian penting dalam
tahun-tahun terakhir. Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
sponge dan gorgonian yang dikoleksi dari perairan Jepara pada kedalaman 1-3 m
dan di perairan Labuhan Bajo, Flores pada kedalaman 3-38 m. Sampling dilakukan
dengan Skin diving dan SCUBA diving.
Sampel
kemudian diekstrak dengan metanol. Selanjutnya ekstrak diujikan terhadap sel
kanker leukemia (L-1210 cell line) dengan konsentrasi 0, 1, 5 dan 10 ppm. Uji
dilakukan pada media RPMI lengkap dan penghitungan daya hambat dilakukan dengan
metoda direct counting. Ekstrak yang diperoleh dari sponge dan gorgonian
berkisar antara 0,55 – 24,7% dari berat kering atau 0,36-7,34% dari berat
basahnya. Seluruh ekstrak dari sampel-sampel mampu menghambat pertumbuhan L1210
cell line dan layak untuk pemurnian lanjut. Ekstrak metanol tiga jenis sponge (Xestospongia sp2 dan Phyllospongia sp1 dan UP8) dan fraksi
etil asetat dari ekstrak gorgonian I. hippuris mempunyai IC-50 < 3 mg/mL,
ekstrak metanol dari delapan jenis sponge (Agelas
nakamurai, Ircina ramosa, A06, Phyllospongia lamellosa , Phyllospongia
sp, UP9, Calispongia sp dan
Fascaplynopsis sp) mempunyai IC-50 < 5 mg/mL, dan ekstrak metanol dari
lima jenis sponge (Hyrtios erecta, Xestospongia sp, Cladocroce
sp, Oceanapia cf. Amboiensis dan Haliclona
sp.) dan fraksi air dari ekstrak gorgonian I. Hippuris mempunyai IC-50 < 10
mg mL Satu sponge Xestospongia sp1
mengandung ekstrak yang mempunyai IC - 50 > 10 mg/mL.
Riset sponge tahun 2004
tersebut berlanjut ke arah timur. Ke TWL Teluk Kupang, di bawah pengelolaan
BBKSDA NTT. Awal penelitian sponge di
TWL Teluk Kupang dimulai ketika adanya kolaborasi antara Universitas Lampung
(UNILA) dengan Ryukyus University dan dibantu Universitas Diponegoro dengan Tim
yang terdiri dari DR. Agus Setiawan, Idam Setiawan, Penny Ahmadi (UNILA); Prof.
Kobayashi, Prof. Tanaka, Prof. Arai (RYUKYUS UNIV.); DR. Agus Triyanto (UNDIP)
dan dibantu Isai Yusidarta, Khaeruddin Koli (alm.) dan Rafael Lena Nguru (BBKSDA
NTT), melaksanakan penelitian dengan judul Isolasi Dan
Karakterisasi Senyawa Antioksidan
Alkaloid dari Sponge Perairan
Kupang, Nusa Tenggara Timur disarikan sebagai berikut :
Telah dilakukan skrining senyawa antioksidan pada lima jenis sponge
A01, A08, C21, K70 dan K72 yang diperoleh dari perairan Taman Wisata Laut (TWL)
Teluk Kupang. Hasil uji aktivitas antioksidan menggunakan pereaksi DPPH 0,1 mM
terhadap ke lima ekstrak metanol sampel secara berturut-turut menunjukkan
persen inhibisi radikal bebas A01 4,3%, A08 6,85, K70 7,4%, C21 22,7% dan K72
25,25%. Analisis lanjut ektrak metanol sampel C21 setelah melalui beberapa
tahapan kromatografi diperoleh isolat senyawa PN10 dengan aktifitas persen
inhibisi sebesar 65,69%. Karakterisasi isolat PN10 menggunakan pereaksi
spesifik Dragendrof dan ninhidrin pada kromatografi lapis tipis (KLT)
menunjukkan bahwa senyawa PN10 merupakan senyawa alkaloid tersier. Hasil
intepretasi spektrum IR isolat PN10 yang diukur menggunakan teknik FTIR-ATR
memperlihatkan karakteristik serapan bilangan gelombang pada daerah 1326,52 cm-1
untuk C=N-C-, kemudian 1429,10 cm-1 untuk vibrasi tekuk C-N, dan
1020 cm-1 untuk vibrasi ulur ikatan -C-N-. Berdasarkan hasil yang
diperoleh dapat disimpulkan bahwa isolat PN10 dari sponge C21 merupakan senyawa
alkaloid tersier yang memiliki potensi sebagai
senyawa antioksidan dengan persen inhibisi radikal bebas sebesar 65,69 %
pada konsentrasi 25 ppm.
Kata Kunci: Antioksidan, Alkaloid, Sponge, DPPH.
Lokasi pengambilan sampel di Kupang
No
|
Nama Lokasi
|
Jumlah
Sampel
|
Kedalaman (meter)
|
1.
|
Tabulolong
|
20
|
10-15
|
2.
|
Pos Polair
|
11
|
24
|
3.
|
Tabulolong (Barat, 300 Mtr)
|
19
|
8-25
|
4.
|
Tabulolong (Timur, 300 Mtr)
|
13
|
3,3-31
|
5.
|
Buluinan
|
7
|
25
|
6.
|
Hansini
|
6
|
27
|
7.
|
Sekitar Polair
|
3
|
30,1
|
8.
|
Tabulolong (Barat, 1Km)
|
4
|
30,5
|
9.
|
Sekitar Hansisi
|
1
|
30,6
|
Spesifikasi sampel sponge A01, A08, C21, K70, dan K72
No
|
Kode Sampel
|
Kedalaman (meter)
|
Lokasi
|
Spesies
|
1
|
A01
|
10-15,9
|
Tabulolong
|
Stylissa carteri
|
2
|
A08
|
10-15,9
|
Tabulolong
|
Leucetta sp
|
3
|
C21
|
24,6
|
Pos Polair
|
Aaptos sp
|
4
|
K70
|
28
|
Hansisi
|
Belum teridentifikasi
|
5
|
K72
|
28
|
Hansisi
|
Ianthella basta
|
Berdasarkan
hasil penelitian awal tersebut di atas,
tim berpendapat :
TWL Teluk Kupang tidak saja berpotensi untuk
tujuan pengembangan pariwisata dan budidaya laut tetapi juga dapat dijadikan
sebagai sumber kajian ilmiah berkaitan dengan sumber senyawa bioaktif baru dari
biota laut guna pengembangan industri farmasi. Studi mengenai pemanfaatan potensi senyawa
bioaktif yang bersumber dari biota laut untuk pengembangan industri farmasi
masih terus dilakukan. Sponge merupakan salah satu target biota laut yang
secara intensif dikaji guna mendapatkan
berbagai informasi mengenai senyawa bioaktif baru.
Berdasarkan hasil kajian
yang telah di lakukan pada satu
dekade terakhir ini,
khususnya di perairan Indonesia,
menunjukkan bahwa sponge memiliki keragaman struktur kimia dengan bioaktifitas
yang berbeda-beda. Beberapa jenis senyawa bioaktif yang berhasil diisolasi antara lain Agosterol A, senyawa polihidroksi sterol asetat, dengan aktivitas
sebagai reversal agent terhadap sel tumor yang telah resisten terhadap
senyawa anti kanker (Aoki S., et al., 1999), senyawa manadomanzamine A
dan B yang memiliki aktivitas sebagai antimikobakteria dan HIV-1 (Peng J., et
al., 2003), senyawa fenolik eter terbrominasi dengan aktifitas sebagai
antibakteria (Hanif N., et al., 2007), serta senyawa sesquiterpen aminoquinone, dysideamine,
dengan aktivitas menghambat pertumbuhan spesies senyawa yang sangat reaktif
terhadap oksigen (Suna H., et al., 2009).
Seteleh penelitian selesai Dr. Agus Triyanto,
berbisik kepada Isai Yusidarta : “Saya akan kembali”. Dr. Agus Triyanto
merupakan Kakak Tingkat Alumni sekaligus Dosen Isai Yusidarta dan selama
penelitian merupakan pasangan buddy
diving, sehingga “tahu persis apa yang dikerjakan Dr. Agus Triyanto”
(termasuk pengambilan sampel dan data-data yang tidak diserahkan kepada Tim).
Dr. Agus Triyanto mengatakan juga kepada Isai Yusidarta : “Tidak mungkin saya
serahkan semua, apa yang kita ketahui berdua kepada Tim karena ada Jepang
walaupun mereka adalah Sinsei saya”. Dan terbukti dengan kedatangan Dr. Agus
Triyanto pada tahun 2012 ke Kupang setelah mendapatkan dana riset.
Bagian
terpenting dari hasil penelitian ini (berdasarkan keterangan Dr. Agus Tiyanto)
adalah:
1. Contoh sampel antikankernya sudah didapatkan dari
jenis sponge tertentu dan contoh senyawanya telah disimpan di Ryukyus Univ. Dan
hanya Dr. Agus Triyanto yang dapat mengambilnya. Kenapa disimpan disana? Ada
dua alasan, yaitu : 1) bebas dari biaya penyimpanan; 2) fasilitas dan sistem
terpercaya, mengingat senyawa antikanker merupakan senyawa yang tidak stabil
sehingga diperlukan teknologi penyimpanan yang canggih.
2. Masih terdapat pekerjaan rumah, yaitu
produksi sponge secara masal, karena untuk mendapatkan 1 mg senyawa
antikanker diperlukan 1 ton bahan biota sponge, sedangkan 1 koloni biota sponge
basah beratnya kurang dari 2 gram. Sehingga study produksi massal baik secara marine culture, semi-close system, close
system (bioreactor) dan jaringan
(primmorph) sangat diperlukan dan
penting.
Oleh
karena itu, perhatian Dr. Agus Triyanto
adalah fokus pada penelitian tentang budidaya sponge. Hingga tahun 2012, telah dilaksanakan
penelitian Produksi Massal Senyawa Antikanker Candidaspongiolides Melalui Budidaya Sponge (Mass Production of Anticancer Compounds, Candidaspongoliodes, via
Sponge Culture.
Mass production of anticancer compounds, candidaspongiolides, via sponge culture.
Sponge Candidaspongia sp. adalah sumber senyawa antikanker yang disebut “candidaspongiolide”. Candidaspongiolide merupakan makrolida yang mampu membunuh sel kanker pada konsentrasi kurang dari 100 nano gram/mL, sehingga sangat berpotensi sebagai obat kanker. Namun demikian, senyawa ini sulit dikembangkan sehingga taraf aplikatif, karena kurangnya stok yang disebabkan oleh langkanya sponge Candidaspongia sp. di alam dan struktur senyawa tersebut cukup kompleks sehingga sulit untuk dibuat melalui metoda sintesis. Untuk itu kami berupaya untuk mengembangkan metoda kultur sponge Candidaspongia sp., sebagai pemecahan terhadap langkanya bahan baku yang dilaksanakan di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kelimpahan sponge diobservasi dengan metoda LIT menggunakan transek sepanjang 100 m yang ditempatkan pada kedalaman 12 m dan 20 m. Beberapa koloni sponge dipotong bagian atasnya sekitar ¾ bagian sehingga menyisakan bagian basal. Bagian basal tersebut dibiarkan tumbuh dan setelah 60 hari dimonitor kembali laju pemulihannya dan pertumbuhannya. Sedangkan potongan sponge, digunakan sebagai bibit untuk ditanam kembali. Rencananya sebagian sponge ditanam secara in situ dan sebagian lagi ditanam di Pulau Panjang, Jepara dan sebagian lagi dikultur di laboratorium. Namun, sponge tersebut mati dalam perjalanan ke Semarang, sehingga kultur di Pulau Panjang dan di laboratorium tidak dapat dilaksanakan. Kultur in situ dilaksanakan pada kedalaman 6, 12 dan 25 m. Sponge akan dipanen setelah masa penelitian berakhir. Sponge tersebut kemudian diesktrak dengan menggunakan metanol, dan ekstrak kasar yang diperoleh di partisi dengan etil asetat dan air. Fraksi etil asetat akan di analisa dengan HPLC dan dibandingkan dengan senyawa standar untuk mengetahui kandungan/konsentrasi candidaspongiolide pada tiap-tiap sampel hasil perlakuan yang berbeda. Adapun senyawa yang akan digunakan sebagai standar adalah candidaspongiolide acyl ester, candidaspongiolides A dan precandidaspongiolide A acyl ester.
Hasil observasi menunjukan bahwa kepadatan sponge rata-rata pada kedalaman 12 m dan 20 m masing-masing sebesar 0.3 and 1.7 koloni/transek atau 3 dan 17 koloni per km. Sponge yang dipotong dapat hidup kembali dan lukanya telah pulih kembali. Pertambahan panjang/tinggi dan lebar sponge pasca pemotongan adalah sebesar 0.5-4.2 cm and 1.0-3.5 cm. Adapun sponge yang dikultur pada kedalaman 6 m, 12 m dan 25 m mempunyai tingkat kelulushidupan masing-masing sebesar 40 %, 80 % dan 80 %.
Secara diskriptif, sponge yang dikultur pada perairan yang lebih dalam tumbuh lebih cepat dibandingkan sponge yang dikultur pada tempat yang lebih dangkal. Namun, uji ANOVA tidak menunjukan adanya perbendaan yang nyata antar perlakuan. Laju pertumbuhan sponge yang dikultur pada kedalam 6 m mempunyai pertumbuhan ratarata -1,25 cm2 atau mengalami penyusutan. Sedangkan sponge yang dikultur pada kedalaman 12 m dan 25 m masing-masing mempunyai pertumbuhan rata-rata sebesar 2,50 cm2 dan 3,50 cm2. Konsentrasi ekstrak etil asetat pada sampel sponge yang dikultur pada kedalam 12 m dan 25 m serta sponge alam yang dikoleksi dari kedalaman 20 dan 12 m berturut-turut adalah 0.93 %, 1.24 %, 0.17 %, dan 0.46 %. Tingginya konsentrasi ekstrak terkait erat dengan tingginya bahan bioaktif yang sangat dibutuhkan sponge untuk mengatasi patogen dan predator. Kata kunci: Sponge, candidaspongia, anticancer, culture, natural stock.
Implikasi
Kebijakan
Berdasarkan hasil riset awal tentang
sponge sebagai bahan anti kanker, penulis memberikan beberapa catatan sebagai
berikut :
1. Riset
di tingkat awal dengan hasil yang positif akan masa depan pembiakan massal
sponge si TWAL Teluk Kupang, perlu diapresiasi dan didukung dengan kebijakan
yang konsisten. Kerja keras mereka membuktikan bahwa kawasan konservasi
perairan/laut memiliki potensi bukan hanya untuk wisata alam, tetapi juga untuk
kepentingan kemanusiaan jangka panjang : penemuan obat anti kanker! . Kesadaran
ini sebaiknya perlu dimiliki oleh para pengambil kebijakan. Secara terbatas,
informasi tentang riset ini telah disampaikan oleh penulis ketika bertemu
dengan Menteri Kehutanan pada tanggal 9 Mei 2013. Kawasan konservasi perairan
merupakan aset bangsa Indonesia. Kemanfaatannya semestinya digali oleh
putra-putra terbaik bangsa dan untuk kepentingan masyarakat seluruh Indonesia
dan suatu saat bagi masyarakat dunia. Namun demikian, kita akan bisa
mengungkapkan nilai-nilai kemanfaatannya, hanya dengan menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tanpa science
dan technology, maka kawasan
koservasi perairan dan laut, hanya bisa kita nikmati keindahan bawah lautnya
atau pantainya saja. Ia bernilai lebih dari itu.
2. Riset masih perlu dilanjutkan dan sebaiknya
mendapatkan dukungan pendanaan dari Kementerian Kehutanan cq Ditjen PHKA. Kepala
Balai Besar KSDA NTT telah memberanikan diri dan menyatakan komitmennya dalam
bentuk dukungan pendanaannya pada tahun
anggaran 2013, dan akan dilanjutkan pada tahun 2014. Telah disiapkan Kerjasama
antara BBKSDA NTT dan UNDIP dalam rangka kelanjutan pembiakan sponge ini dalam skala yang lebih luas.
3. Penemuan awal dari manfaat sponge di TWA Teluk
Kupang, ini juga sekaligus menjawab berbagai kritik yang seringkali sangat
pedas tentang apa manfaatnya kita menyisakan suatu kawasan konservasi, dan
bahkan saat ini cukup luas. Tidak kurang dari 27,2 juta hektar kawasan
konservasi, dimana 5 juta hektar di antaranya adalah kawasan konservasi
perairan atau laut. Yang terkenal adalah TN Bunaken di Sulawesi Utara, TN
Wakatobi, di Sulawesi Tenggara, TN Taka Bone Rate, Sulawesi Selatan (yang
memiliki Atol terbesar ketiga di dunia), TN Teluk Cenderawasih, di Manokwari; TN
Kepulauan Seribu, di DKI Jakarta; TN
Karimunjawa, di Jawa Tengah; TN Kepulauan Togean, dan lain sebagainya. Kelompok
yang tergolong dalam mazab antroposentris seringkali terjebak dalam pemikiran
jangka pendek, seperti mempertanyakan manfaatn ekonomi. Sementara itu, kawasan
konservasi ditetapkan untuk tujuan jangka panjang bahwa suatu saat akan
memberikan nilai kemanfaatan yang tinggi bagi kemanusiaan. Maka, kawasan
konservasi akan dapat dilindungi oleh
pemerintah yang mengemban amanat rakyat melalui Undang-undang, dengan
kebijakan yang pro-lingkungan dan pro-iptek, untuk dapat mengungkap rahasia
yang berada di dalam kawasan-kawasan konservasi bawah laut itu. Riset sponge di
TWA Teluk Kupang, telah membantu kita
untuk membuka mata lebar-lebar akan nilai manfaat yang “sengaja disembunyikan”
oleh Yang Maha Pencipta. Manusia harus menggunakan akal budinya agar dapat
sedikit demi sedikit mengungkapnya.
4. Pemerintah perlu segera membuat payung hukum
yang dapat menjamin intellectual property
right penemuan obat anti kanker dari
sponge, dilindungi dan dipatenkan.
Penulis yakin bahwa masih akan banyak ditemukan manfaat dari kawasan konservasi
di bidang farmakologi. Ditemukannya
manfaat jamur Fusarium oxysporum
(dari hutan tropis) untuk menetralisir pencemaran minyak oleh Asep Hidayat,
seorang Peneliti pada Pusat Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi, Puskonser,
Litbang Kehutanan. Temuan ini merupakan bahan thesis doktor yang bersangkutan
di Universitas Ehime, Jepang. Hasil riset ini adalah bukti baru lagi, betapa bernilainya kawasan konservasi
terestrial, yang berupa hutan-hutan tropis itu (Kompas 10 Mei 2013, Rubrik
IPTEK). Maka, kebijakan menetapkan kawasan-kawasan tertentu sebagai kawasan konservasi
atau kawasan yang dilindungi, adalah kebijakan yang tepat. Bukan karena untuk
memenuhi tuntutan global (setiap negara dianjurkan menetapkan 10% dari luas
negaranya untuk kawasan yang dilindungi), tetapi memang nilai kemanfaatannya
yang tinggi untuk kemanusiaan, dalam jangka panjang, terutama ketika IPTEK
telah mampu mengungkapnya.
5. Ditjen PHKA perlu terus mendorong jaringan kerjasama
multipihak, baik secara internal (Litbang Kehutanan dengan UPT-UPT Taman
Nasional atau KSDA), juga secara eksternal
(Litbang di Perguruan Tinggi, LIPI, Pusat-pusat Kajian Farmakologi, Biofarma).
Kerjasama pendanaan juga sebaiknya dibangun dengan melibatkan pihak-pihak BUMN
dan swasta nasional, yang memiliki kepedulian dan memiliki nilai-nilai
kebangsaan, untuk mendukung pendanaan jangka panjang bagi peneliti-peneliti
terbaik dari tanah air, yang bekerja di kawasan konservasi. Mereka yang
memiliki “Nasionalisme Lingkungan”,
istilah yang dipopulerkan oleh Dr.Edi Purwanto, dari Yayasan Wallacea, sudah
sewajarnya mendapatkan dukungan
kebijakan nasional yang memadai dalam jangka panjang. Research and Development (R&D) Berbasis Keunggulan Sumberdaya
Alam, kita kembalikan menjadi tulang
punggung pembangunan nasional Indonesia. Dengan program nasional R & D yang
jelas, semoga semakin banyak doktor-doktor Indonesia yang saat ini berada di
luar negeri, bersedia kembali ke tanah air untuk mendarmabaktikan ilmunya bagi
kemaslahatan masyarakat Indonesia.***
----------------------
Ucapan
terima kasih dan penghargaan ditujukan kepada Dr.Agus Trianto, yang dengan
keuletan dan kerja kerasnya telah mulai mampu membuka tabir “rahasia” alam
bawah laut di Teluk Kupang; Isai Yusidarta-Koordinator PEH BBKSDA NTT, yang
mencintai laut lebih dari apapun yang ia lihat di permukaan; koleksi foto bawah
lautnya yang luar biasa, suatu saat akan menjadi bahan baku pembangunan Museum
Bawah Laut NTT. Artikel ini penulis dedikasikan untuk mengenang dan memberikan
penghargaan bagi kerja keras kalian (Lion Air, JT.0696; 22.23; 11Mei 2013; Surabaya-Kupang)-à J