“Growth Mindset” saya baca dalam artikel
berjudul Hiring for Attitude
oleh Eilen Rachman & Emilia Jakob (Kompas 26 Maret 2016). Kedua pakar
tersebut menyatakan bahwa mereka yang memiliki “growth mindset” akan memfokuskan energi positif mereka dan
mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan mereka.
Mereka tidak takut bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua kali
libat dibandingkan dengan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan cepat
bilamana mereka mengalami kegagalan.
Mereka
yang memiliki “growth mindset” bukanlah mereka yang tidak pernah merasa
takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi semata-mata lebih karena mereka
tidak membiarkan rasa takut itu menguasai mereka. Nelson Mandela mengatakan, “I learned that courage was not the absence
of fear, but the triumph over it. The
brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”.
Menarik
memperdalam konsep ini, seperti yang diulas oleh Carol Dweck dalam artikelnya
berjudul “What Having a “Growth Mindset”
Actually Means, yang dimuat dalam Harvard Business Review Special Issue,
Winter 2019. Ia menyatakan banyak orang rancu bahwa growth mindset itu sama
seperti menjadi fleksibel atau open
minded atau memiliki pandangan ke depan yang positif. Ini ia sebut sebagai
kerancuan pertama. Yang kedua, dinyatakan bahwa growth mindset adalah bukan sekedar hanya “praising and rewarding efforts”. Sangat krusial memberikan reward bukan hanya terhadap usaha yang
telah dilakukan tetapi juga terhadap learning
and progress. Menekankan pada proses yang menghasilkan uji coba strategi
baru,dan mengkapitalisasi setback untuk
maju lebih efektif. Mengadopsi growth
mindset saja tidak serta merta hal-hal baik akan terjadi. Organisasi yang
akan mewujudkan suatu growth mindset harus
bisa mendorong pengambilan resiko yang tepat, mengetahui bahwa beberapa resiko
tidak bisa diatasi. Mereka memberikan reward
pada staf yang banyak mengambil pelajaran walaupun suatu kegiatan atau proyek
belum bisa mencapai tujuannya. Akhirnya ia mengatakan bahwa suatu company yang memainkan “talent game” membuatnya lebih keras untuk orang
mempraktikkan pemikiran dan laku growth
mindset, misalnya dalam berbagi informasi, kolaborasi, inovasi, mencari feedback, atau mengakui kesalahan.
Growth Mindset dan Leadership
Walaupun sebagian besar
uraian Carol Dweck di atas ditujukan untuk private
sector atau company, namun saya
yakin bahwa organisasi publik atau organisasi pemerintah sebaiknya dapat
mengakomodasi banyak hal dari pemikirannya. Perubahan yang cepat yang terjadi
saat ini menuntut perubahan dalam birokrasi pemerintah. Inilah yang sering
dikatakan sebagai reformasi birokrasi. Dalam proses melakukan reformasi
birokrasi diperlukan seorang leader
dengan kapasitas leadership yang
memiliki modal sosial berupa growth
mindset tersebut. Misalnya kemampuan dan keberanian membuat inovasi, membangun
jejaring kerja dan kolaborasi multistakeholder
baik di internal kementerian maupun dengan publik. Keberanian mengambil risiko
dalam melaksanakan terobosan baru dan inovasi yang tentu saja belum ada
regulasinya, menjadi ciri dari seorang leader
yang memiliki growth mindset.
Saat
ini, perubahan besar-besaran sedang terjadi misalnya ditempatkannya seorang
Nadiem Makarim lulusan Sekolah Bisnis Harvard Founder GoJek menjadi Menteri
Pendidikan adalah suatu contoh terobosan Presiden Joko Widodo. Saya menduga
akan terjadi perubahan sangat mendasar dari sistem pendidikan di tanah
air.
Inovasi
yang besar terjadi sebenarnya sejak 2015, dengan diubahnya kebijakan mengurus
hutan di Indonesia, dengan melibatkan masyarakat secara luas, yang disebut
sebagai Perhutanan Sosial. Saat ini telah diberikan akses kelola kepada
masyarakat desa-desa pinggir hutan seluas lebih dari 3 juta hektar, dengan
periode 35 tahun. Diterapkan di hutan produksi dan hutan lindung. Dalam hal
desa-desa di pinggir atau di dalam hutan konservasi, dapat diberikan akses yang
disebut sebagai Kemitraan Konservasi. Masyarakat desa-desa hutan yang dahulu
hanya menjadi penonton, kini mereka menjadi pelaku utama atau subyek dalam
kelola kawasan hutan negara yang telah diberikan aksesnya. Kiblat kelola hutan
negara yang dulu diutamakan untuk perusahaan besar, diubah total arahnya kepada
“wong cilik”. Perubahan ini tentu telah diperjuangkan dalam waktu yang lama,
namun inilah salah satu wujud dari “growth
mindset”. Rheinald Kasali mengatakan bahwa perubahan besar-besaran seperti
ini disebut totally innovation atau disruption.
Potensi perhutanan
sosial telah ditetapkan 12,7 juta hektar yang diharapkan dapat mengubah nasib
lebih dari 10 juta jiwa petani di seluruh tanah air. Sedangkan di kawasan konservasi,
potensi kemitraan konservasi, apabila didasarkan pada wilayah kawasan
konservasi yang telah digarap masyarakat, maka tidak kurang dari 1,8 juta
hektar. Perubahan model kelola kawasan
konservasi yang sangat eksklusif di masa lalu, sejak tahun 2018 telah saya
rubah menjadi lebih inklusif, dengan menyodorkan apa yang disebut sebagai
“Sepuluh Cara (Baru) Mengelola Kawasan Konservasi, Membangun Learning
Organization”. Terobosan ini sedang diujicobakan di 74 Balai TN/KSDA di
seluruh Indonesia, dengan cara menguji Role
Model. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi kelola kawasan
konservasi. Masyarakat menjadi subyek.
Memanusiakan manusia sebagai makhluk
sosial, sehingga komunikasi dan dialog asertif menjadi faktor kuncinya. Saya
yakini berbagai konflik kelola sumber daya hutan dapat diselesaikan melalui
proses dialog membangun kesepahaman dan kesepakatan untuk dilaksanakan secara
bersama. Proses pembelajaran menyertai di sepanjang pelaksanaan kerja bersama
seperti ini, melalui proses yang disebut sebagai “adapative collaborative management”, yang berlangsung cyclic dan terus menerus.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar