Menurut Yundahamasah (2013), lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di
sekitar manusia yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia
dan makhluk hidup lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jadi,
etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan
lingkungannya. Etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut
lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap
terjaga. Adapun hal-hal yang harus
diperhatikan sehubungan dengan penerapan Etika Lingkungan sebagai berikut: (a)
Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan sehingga perlu
menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri, (b)
Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya untuk menjaga
terhadap pelestarian , keseimbangan dan keindahan alam, (c) Kebijaksanaan
penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk bahan energi, (d) Lingkungan
disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga untuk makhluk hidup yang
lain.
Di samping itu, Etika Lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku
manusia terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan
alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam
dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara
keseluruhan. Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi
selanjutnya dibedakan dan menjadi dua
yaitu “Etika Ekologi Dalam” dan
“Etika Ekologi Dangkal”. Selain itu Etika Lingkungan juga dibedakan lagi
sebagai Etika Pelestarian dan Etika Pemeliharaan. Etika Pelestarian adalah
etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan
manusia. Sedangkan Etika Pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha
pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua makhluk.
Etika Ekologi Dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan
bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat
antroposentris. Etika Ekologi Dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat
rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian
diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan
ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Secara umum, Etika ekologi
dangkal ini menekankan: (a) manusia terpisah dari alam, (b) mengutamakan
hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia, (c)
mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya, (d) kebijakan dan
manajemen sumber daya alam untuk kepentingan manusia, (e) norma utama adalah
untung rugi, (f) mengutamakan rencana jangka pendek, (g) pemecahan krisis
ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya di negara miskin, (h)
menerima secara positif pertumbuhan ekonomi.
Etika Ekologi Dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat
pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling
menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika
Ekologi Dalam ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki
nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena
harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa
lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas
yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas
yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam. Secara umum, Etika Ekologi
Dalam ini menekankan hal-hal berikut: (a) manusia adalah bagian dari alam, (b)
menekankan hak hidup makhluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia,
tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang, (c) prihatin akan perasaan semua
makhluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang, (d) kebijakan
manajemen lingkungan bagi semua makhluk, (e)
alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai, (f) pentingnya melindungi
keanekaragaman hayati, (g) menghargai dan memelihara tata alam, (h)
mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem. (i) mengkritik sistem
ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil
sambil memelihara.
Revolusi mental para rimbawan dalam mengemban tugasnya menurut penulis
memerlukan pemahaman tentang “etika” dan menerapkannya menjadi “laku”
dalam tanggung jawab profesionalnya sebagai rimbawan. Rimbawan
seharusnya mendalami, memahami Etika “Ekologi Dalam” ketika mengemban tugasnya,
baik di lapangan maupun dalam tataran perumusan dan pelaksanaan kebijakan.
Penulis mengajukan Sepuluh Etika Rimbawan, untuk kita bahas dan renungkan
bersama sama, sebagai bagian dari “Revolusi Mental Rimbawan Indonesia”. Kalau
para rimbawan mampu melaksanakan beberapa etika saja dari kesepuluh etika
tersebut, Insya Allah, akan terjadi perubahan perubahan sikap mental yang
mendasar di tingkat pengambil kebijakan dan juga berdampak nyata di tataran
masyarakat terutama yang tinggal di pinggiran hutan yang kehidupannya sangat
tergantung dari sumber daya hutan tersebut. Di kawasan hutan negara yang
luasnya 120 juta hektar, dikelilingi oleh lebih dari 27.000 desa. Sedangkan di
27,14 juta hektare kawasan konservasi,
terdapat lebih dari 5.800 desa dengan penduduk 9.5 juta jiwa yang
tergantung langsung kehidupannya. Oleh karena itu sangat penting para pengelola
hutan konservasi, yang sebagian besar rimbawan dapat menerapkan semua
prinsip-prinsip dalam etika tersebut.
Kesepuluh Etika Rimbawan Indonesia yang penulis usulkan untuk menjadi
bahan renungan dan diskusi kita bersama diuraikan sebagai berikut:
Pertama: “Memanusiakan” Manusia
Etika ini menempatkan
“masyarakat sebagai subyek”, dan mengupayakan melibatkannya dalam seluruh
siklus manajemen pengelolaan hutan dan lingkungan. Apabila kita memiliki cara pandang masyarakat
di sekitar hutan itu sebagai subyek, maka kita akan memiliki empati yang kuat.
Kita akan “memanusiakan” mereka dan memandang mereka sebagai aktor yang bisa
diajak bicara berkomunikasi berdialog, dan menjadi bagian dari solusi dari persoalan-persoalan
yang dihadapi dalam membangun hutan, menjaga hutan, atau memanfaatkan potensi
hutan dengan penuh rasa tanggung jawab. Masyarakat sebagai subyek juga
berimplikasi bahwa manfaat hutan diupayakan sebesar-besarnya untuk masyarakat,
khususnya yang tinggal di sekitar hutan itu, dengan tetap berpegang pada
keseimbangan antara kepentingan ekonomi, ekologi/lingkungan/kelestarian hutan
dan sosial-budaya. Mengambil manfaat dari hutan itu ada aturannya, ada
batas-batasnya. Maka, perlu manajemen dan pengetahuan serta pengalaman, agar
kualitas hutan itu tidak mundur atau semakin terdegradasi. Apabila benar bahwa 48 juta masyarakat
tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan, maka itu berarti suatu jumlah
yang sangat besar hampir 25% dari penduduk Indonesia. Menempatkan masyarakat
sebagai subyek juga mendorong kita untuk melibatkan mereka sejak awal dari
siklus manajemen pengelolaan hutan yang lebih manusiawi. Mulai dari
identifikasi masalah, merumuskan tujuan, merencanakan kegiatan, melaksanakan
kegiatan, pemantauan dan evaluasi, dan merevisi kembali (apabila memang
diperlukan) tentang pernyataan masalah, dan tujuan-tujuan selanjutnya. Amartya
Kumar Sen, begawan ekonomi dari India, menyatakan bahwa persoalan pengentasan
rakyat dari kemiskinan, hanya bisa diatasi jika pembangunan dilandaskan pada “memanusiakan manusia”. Manusia tidak dianggap
sebagai obyek pembangunan, tetapi di setiap lapisan masyarakat, manusia adalah
subyek dari pembangunan itu sendiri (Kompas, 19/01/14).
Kedua: Hargai Hak
Mahluk Hidup Lain.
Ini adalah penerapan
konsep “Etika Ekologi Dalam”, dimana manusia adalah bagian dari seluruh
komponen alam semesta. Lingkungan biotik, binatang, serangga sebagai polinator,
tumbuhan, jazad renik, air, sistem perakaran, udara; lingkungan abiotik,
geologi, bebatuan, dimana semuanya berinteraksi dalam sistem hubungan timbal
balik yang saling memberi, saling
bergantung, dan saling menguntungkan, termasuk pengaruhnya bagi kehidupan
manusia.
Konsep ini selaras bila
dikaitkan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi. Manusia sebagai Khalifah.
Manusia sebagai pembawa risalah, dan manusia sebagai pembawa rahmat seru
sekalian alam. Ini saya sebut sebagai
“Tri Tugas Rimbawan”. Keseimbangan alam tersebut telah mulai runtuh ketika
manusia bersikap eksploitatif terhadap alam, terutama sejak revolusi industri
berlanjut sampai saat ini dimana penduduk bumi telah mencapai 6 milyar manusia.
Kerusakan alam telah terjadi di berbagai belahan bumi dan hal ini akan terus
memburuk apabila manusia tidak mengubah sikap dan gaya hidupnya (lifestyle) yang boros akan penggunaan
sumber daya alam untuk mendukung pola kehidupannya, terutama mereka yang hidup
di negara-negara belahan bumi bagian Utara. Mulai Konferensi Lingkungan Hidup
pertama kali di Stockholm 1972 sampai Protokol Kyoto 1992 dan berkembang terus
mengerucut di Climate Summit di Paris
2015, menunjukkan perubahan kualitas lingkungan dan perubahan iklim serta suhu
bumi yang sangat mengkhawatirkan, yang berdampak luas bagi kehidupan manusia
dengan upaya mitigasi dan adaptasi luar biasa besar.
Ketiga : Lakukan “Ahimsa”.
Berbagai persoalan
kehutanan, konflik lahan, perambahan, illegal
logging, kebakaran lahan, perburuan dan perdagangan satwa, yang ternyata
terbukti dilakukan atas motif-motif untuk memenuhi kebutuhan dasar, karena
mereka miskin, maka upaya penyelesaiannya haruslah tidak dengan kekerasan,
tidak dengan pemaksaan, tidak dengan senapan, tetapi dengan solusi
kesejahteraan. Hukum harus tegak bagi cukong, pemodal, oknum-oknum yang dengan sengaja
memanfaatkan masyarakat miskin tak bertanah di sekitar hutan, untuk melakukan
tindakan-tindakan yang menyalahi hukum. Sekali lagi, “Forum Dialog” itulah
kendaraan yang seharusnya dibangun dan dipakai untuk mencari solusi bersama,
dengan mempertimbangkan berbagai masukan, pendapat, dan aspirasi dari
masyarakat.
Masyarakat harus bisa
merasakan kehadiran “pemerintah” di halaman rumah mereka, di kehidupan
keseharian mereka, ketika mereka menghadapi persoalan-persoalan konkrit,
seperti masalah kayu bakar, makanan ternak,
layanan kesehatan, sekolah bagi anak-anaknya, akses jalan, pemiskinan
oleh rentenir, pengijon, middleman,
mendapatkan perlindungan dan keadilan, dan banyak persoalan riil lainnya. Maka,
penyelesaian masalah mereka juga memerlukan keterpaduan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan dalam arti luas. Kehadiran pemerintah yang tidak
“sangar”, tidak menakutkan, dan layaknya sebagai “orang tua” sangat ditunggu
masyarakat pinggir hutan.
Pemerintah yang mau
duduk dengan mereka dan mendengarkan berbagai kesulitan, harapan, dan pendapat
atau pemikiran mereka. Reformasi
Birokrasi harus menyentuh sampai ke wilayah-wilayah seperti ini. Sikap mental
aparat pemerintah yang santun dan lebih banyak turun ke bawah menyerap-memotret
persoalan nyata. Masyarakat yang hidupnya serba sulit tinggal di daerah
terpencil di tepi-tepi hutan, adalah kekuatan nyata bagi pembangunan hutan dan
kehutanan serta lingkungan hidup masa depan. Hal ini dapat terjadi apabila
pemerintah melakukan tindakan yang tepat. Pemerintah dengan jajaran mesin
birokrasinya sudah seharusnya berpihak pada yang lemah, bukan kepada yang kuat.
Inilah model “blusukan”nya para
rimbawan. “Ahimsa” atau non violence adalah sikap mental dan ajaran yang
telah didalami dan ditunjukkan oleh Mahatma (Guru) Gandhi, dan akhirnya menjadi
inspirasi bagi Nelson Mandela yang membawa Afrika Selatan menuju zaman
pencerahan.
Keempat: Hormati Hak
Masyarakat Adat dan Nilai Budayanya.
Kita perlu terus
menguatkan merevitalisasi nilai-nilai adat dan budaya yang masih hidup dan
nyata memiliki unsur-unsur penghargaan terhadap alam, spirit menjaga dan
melestarikan alam, ke dalam berbagai aspek pembangunan kehutanan. Banyak
kawasan hutan yang secara adat masih dikuasai dan dijaga untuk kepentingan
kehidupan kelompok-kelompok masyarakat adat. Manajemen kelola hutan kita harus
menggali dan mendorong nilai-nilai ini masuk ke dalam bagian dari spirit kelola
hutan bersama masyarakat. Di TN Kayan Mentarang, Provinsi Kalimantan Utara,
dimana secara adat, kawasan taman nasional itu dimiliki oleh 11 Suku Daya
Besar, dikelola dengan konsep yang melibatkan lembaga-lembaga adat setempat.
Dibentuk Dewan Pertimbangan Pengelolaan, di mana berbagai persoalan dan
perencanaan kelola taman nasional didiskusikan dan disepakati. Ini suatu
contoh, bagaimana etika mengelola hutan kita saat ini dan menjadi harapan ke
depan. Model ini bisa dicontoh di banyak kelola hutan produksi baik di HPT,
HTI, Restorasi Ekosistem , Hutan Tanaman Rakyat, dan kawasan hutan lainnya.
Menuju pengelolaan hutan yang lebih manusiawi dan aspiratif. Demikian pula
dengan Suku Anak Dalam di TN Bukit Duabelas, Jambi, yang diajak menyusun zonasi
wilayah kelola adat, melanjutkan pendidikan anak-anaknya untuk menata masa
depan yang lebih baik, dan contoh-contoh lainnya.
Keragaman budaya dari masyarakat di seluruh Indonesia, semestinya menjadi
pertimbangan penting dalam kita merumuskan langkah-langkah dalam mengelola
hutan di tingkat tapak, di lapangan yang adaptif disesuaikan dengan kondisi
dinamis dan kekhasan di masing-masing lokasi. Kita perlu mengoreksi pandangan
bahwa kawasan hutan adalah laksana “kertas putih” tidak ada pemiliknya dan
tidak ada sejarah penguasaannya yang diklaim oleh negara. Mungkin dari pola
pendekatan etika seperti ini ada harapan kita bersama mewujudkan motto Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, “Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera”. Di hutan produksi Kabupaten Bulukumba,
Sulawesi Selatan, terdapat Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang, yang telah
terbukti melestarikan hutan adatnya secara konsisten dan penuh tanggung jawab,
walaupun luasnya hanya 301 hektar.
Mereka menempatkan hutan adat sebagai warisan yang harus dilestarikan,
dijaga, dirawat, dan bahkan tidak pernah diambil apa pun darinya. Mereka sudah
mensyukuri keberadaan hutan warisan nenek moyang itu sebagai hutan keramat atau
sacred forest, yang berkah manfaatnya
telah dirasakan oleh masyarakat Ammatoa Kajang setiap hari sejak dahulu sampai
saat ini. Sungguh sikap penghormatan kepada alam yang patut ditiru. Mereka
sudah menerapkan Etika Ekologi Dalam. Hutan Adat mereka saat ini telah diakui
secara resmi oleh Pemerintah.
Kelima: Padukan
Local Wisdom dengan Scientific Knowledge.
Etika menghormati
kearifan tradisional dari masyarakat, masyarakat adat yang khususnya yang
tinggal di sekitar hutan atau bahkan tinggal di dalam hutan, adalah modal
utama. Memadukannya dengan scientific
knowledge atau ilmu pengetahuan modern, adalah kekuatan yang besar. Pada
kondisi tertentu, kearifan tradisional mampu menjawab berbagai persoalan
pelestarian hutan, pengelolaan lahan pertanian tradisional, yang telah
dipraktikkan masyarakat sejak nenek moyangnya.
Pada kondisi yang lain,
masukan dari IPTEK diperlukan untuk menggali lebih jauh nilai-nilai kemanfaatan plasma nutfah untuk
obat-obatan modern, sebagaimana yang dicontohkan dari TWA Teluk Kupang, yang
ternyata potensi sponge-nya atau
karang lunak (soft coral) memiliki prospek untuk materi penyembuhan
kanker. Jamur tertentu dari hutan tropis yang telah diteliti oleh calon doktor
dari Pusat Konservasi dan Rehabilitasi, Litbang Kehutanan, mampu menguraikan
dampak lingkungan pencemaran minyak. Pembangunan hutan dengan menggunakan
teknologi Silvikultur Intensif (SILIN) yang dikembangkan oleh Prof Soekotjo
(Alhm) dan Prof Na’iem dari Fahutan UGM, juga membuktikan bahwa percepatan
pembangunan hutan-hutan baru (tanpa mengganggu keragaman hayati) nyata bisa
dilaksanakan. IPTEK yang mendapatkan dukungan kebijakan Direktur Jenderal BPK
Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tangal 1 September 2005 tentang TPTI Intensif, perlu terus diupayakan untuk dilaksanakan
dalam skala yang lebih luas. Hal-hal
tersebut di atas membuktikan bahwa IPTEK harus dimanfaatkan untuk
membangun hutan Indonesia. Bukan hanya untuk hutan Indonesia. Hasil-hasil riset
di kawasan hutan akan berguna untuk kepentingan kemanusiaan dalam arti luas. Upaya-upaya itu masih harus terus
ditingkatkan dan didukung oleh kebijakan nasional yang komprehensif, terpadu,
dan berkelanjutan serta konsisten.
Keenam: Bangun Jejaring Kerja Multipihak – Multidisipliner
Etika ini muncul dari
kesadaran bahwa untuk mengelola hutan dengan segala karakteristiknya itu, tidak
akan pernah mampu dikelola oleh hanya kelompok rimbawan. Mengurus hutan (di Indonesia) tidak cukup hanya oleh
rimbawan saja. Ciptaan Tuhan ini, sangat luar biasanya karena ia tumbuh di muka bumi sebagai hasil dari proses
asosiasi yang panjang dari aspek geologi, gerakan lempeng, aktivitas
kegunungapian, pembentukan dan
pergerakan tanah, iklim, kelerengan, posisinya di permukaan bumi, yang
berakibat pada pembentukan pola sebaran flora dan fauna yang beragam karena
keterisolasian yang panjang. Kondisi ini masih ditambah dengan pola-pola
ketergantungan manusia pada awal kehidupannya kepada sumber daya hutan beserta
seluruh isinya, yang membentuk kebudayaan manusia dan pola-pola pembentukan
hutan, ragam dan sebaran flora dan faunanya. Maka, dalam mengurus hutan,
kawasan hutan, kita perlu mendapatkan dukungan dari berbagai disiplin keilmuan,
berbagai pengalaman empiris pakar, praktisi, pengamat, pemerhati, pejuang
lingkungan baik individu maupun lembaga, kaum agamawan dengan lembaga
pesantren, gereja, perencana pembangunan,
kelompok-kelompok pengajian, pramuka, pencinta alam, kader konservasi, dan lain
sebagainya. Rimbawan dengan ilmu
kehutanan tidak akan cukup mampu dalam merespons berbagai persoalan hutan dan
kehutanan yang bukan sekedar persoalan silvikultur, teknologi kayu, tetapi juga
masalah sosial, budaya, antropologi, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat,
dinamika geopolitik global, politik nasional, dan lokal dan lain sebagainya.
Jejaring multipihak
pemerintah pusat-pemprov-pemkab, swasta,
perguruan tinggi dengan multidisiplin Ilmunya,
merupakan suatu keharusan, apabila kita ingin mendapatkan manfaat dari
banyaknya “rahasia” yang masih terkandung di dalam perut hutan belantara tropis
dan kawasan konservasi di bawah lautan di satu sisi, dan upaya meningkatkan kecerdasan,
keberdayaan, dan kemandirian masyarakat di sisi lainnya. Masyarakat seharusnya
menjadi bagian dari jejaring ini dan mendapatkan manfaatnya baik secara
langsung maupun tidak langsung. Resep manjur dari Pak Wahjudi dalam membangun
jejaring kerja adalah “3M”, yaitu (1) Mutual
Respect, (2) Mutual Trust, dan
(3) Mutual Benefits. Mari kita
sama-sama praktikkan untuk membuktikan kemanjurannya.
Ketujuh; Terapkan
Prinsip Kehatoi-hatian
Kecerobohan adalah sikap yang sejauh mungkin kita hindarkan. Terapkan
prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan. Kebijakan
seharusnya disiapkan dengan matang didasarkan pada data dan informasi yang
valid. Pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan berbagai kebijakan, yang
dilakukan dengan benar dan jujur menjadi modal dasar dalam memperbaiki
kebijakan ke depan. Pengalaman kerusakan hutan-hutan produksi dengan skema HPH
dengan pola monopoli dan dampak negatifnya di masa lalu menjadi bahan koreksi
kita bersama. Konsistensi dan pengawasan yang ketat tanpa negosiasi, semestinya
dapat menyelamatkan hutan-hutan tersebut. Apabila sistem
Tebang Pilih Indonesia (TPI) dilaksanakan dengan konsekuen, maka masih ada
harapan akan tumbuhnya hutan untuk siklus tebangan berikutnya. Pengalaman itu,
kini menjadi pelajaran berharga agar dalam mengusahakan hutan, dilakukan dengan
prinsip-prinsip kelestarian dan dengan penawasan yang ketat.
Kebijakan Presiden RI melakukan
Moratorium Hutan (INPRES No.10 tahun 2011.Penundaan izin baru di hutan primer dan gambut yang berada di hutan
konversi, hutan lindung, dan hutan produksi, adalah langkah-langkah
kehati-hatian tersebut. Moratorium ini diperpanjang lagi dengan terbitnya
INPRES Nomor 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Dilanjutkan
dipertegas oleh Presiden Jokowi dengan diterbitkannya INPRES Nomor 5 tahun 2019
tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
Alam dan Lahan Gambut. Mengapa perlu
menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian? Selain aspek kerusakan hutan di masa
lalu, tekanan dunia internasional untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK),
juga karena kita dengan IPTEK yang ada banyak belum mampu mengungkapnya
“manfaat” dari isi hutan-hutan alam tersebut bagi kepentingan kemanusiaan.
Apabila tidak dicegah, maka tingkat kerusakan hutan-hutan alam akan terus
meninggi, karena kemampuan kita untuk melakukan pemantauan dan cek lapangan
akan ketaatan pengusaha masih perlu terus ditingkatkan cakupannya. Prinsip
kehati-hatian ini bukan hanya berlaku di hutan-hutan produksi, tetapi juga
dalam pengelolaan seluruh fungsi hutan, termasuk di kawasan konservasi.
Pemerintah yang telah mengalokasikan dan menetapkan 27,14 juta hektar hutan
konservasi, juga dalam mengemban etika kehati-hatian tersebut. Kawasan
konservasi tersebut adalah bagian dari 64 juta hektar hutan yang masih utuh
atau 42,5 persen. Porsi yang cukup besar dari hutan konservasi ini perlu
dukungan kebijakan terpadu untuk mendorong peningkatan efektivitas pengelolaannya
dengan berpegang pada etika-etika yang diusulkan tersebut di atas.
Kesadaran: Bangun Kesadaran “Kolektif”
Kesadaran adalah
tindakan yang dilakukan dengan sadar. Ciri dari tindakan sadar dilandasi oleh
tiga hal, yaitu bahwa setiap tindakan dilakukan dengan : (1) ikhlas, (2)
senang, dan (3) semangat. Tindakan yang dilakukan secara sadar secara individu
tidaklah mencukupi dalam melakukan perubahan yang besar dalam mengelola atau
menyelamatkan lingkungan hidup, mengelola hutan. Ia harus berhimpun dalam tindakan
secara bersama, terpadu, kolektif.
Kesadaran bersama (collective
awareness) yang dilakukan secara multipihak inilah yang menjadi cikal bakal
dan modal dasar untuk melakukan perubahan dan perubahan yang nyata dirasakan di
tingkat tapak, di lapangan, secara masih, dan terus menerus.
Kesadaran bersama ini menjadi
cikal bakal dapat dilakukannya aksi bersama (collective action) atau
aksi kolektif. Aksi kolektif inilah yang dapat disebut sebagai “gerakan”.
Kampanye yang terus menerus dilakukan dalam Penanaman Satu Miliar Pohon,
misalnya sebenarnya dimaksudkan sebagai salah satu contoh upaya membangun suatu
Gerakan Kesadaran Bersama Multipihak. Kini bukan saja Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan saja, banyak pihak yang mendukung program satu miliar pohon
tersebut. From collective awareness to collective action. Dari gerakan
di Indonesia akan berkontribusi pada tataran global, sehingga, menanam pohon
menjadi kesadaran kita bersama. Program penghijauan dan reboisasi sejak akhir
periode 1970, telah menghasilkan kesadaran membangun hutan di lahan milik
masyarakat.
Saat ini, telah lahir
hutan rakyat di Jawa dan Madura, hampir seluas 2,7 juta hektar. Hasil kajian
BKPH Wilayah XI bekerja sama dengan MFP II ini menganalisis data tutupan hutan
rakyat pada tahun 2003. Potensi kayunya pun telah dihitung dan mencapai 78 juta
m3. Berkembangnya hutan rakyat ini tidak dapat dilepaskan dari pionir rimbawan
dari Petak 5 Wanagama, seperti Almh. Prof Oemi Haniin Soeseno, Prof Soedarwono
H, Pak Pardiyan, dan Pak Tri yang memulai mengubah ekosistem karst sejak tahun
1964 menjadi hutan seperti saat ini dan menjadi contoh nyata bagi masyarakt Kab.Gunung
Kidul dan meluas ke seluruh Jawa.
Kesembilan: Libatan Perempuan.
Ialah sikap mental dan
etika kita untuk mempertimbangkan dan memperluas peran-peran kaum perempuan
dalam setiap langkah atau siklus
manajemen kawasan hutan. Kerusakan lingkungan berdampak langsung pada kaum
perempuan di pedesaan. Berbagai upaya konstruktif menyelamatkan hutan, inovasi
baru memperbaiki lingkungan, dilakukan oleh perempuan. Pendidikan anak-anak
agar cinta pada lingkungan diemban kaum perempuan. Banyak di antara perempuan tangguh tersebut
telah menerima Kalpataru, karena pengabdiannya yang luar biasa pada
penyelamatan lingkungan dan menginspirasi masyarakat luas.
Seorang perempuan
bernama Tri Mumpuni-Pendekar Lingkungan Hidup 2008 adalah contohnya. Ia mampu
menggerakkan masyarakat dan menjadi
motor pembangunan mikro (mini) hidro yang menghasilkan listrik di 60
lokasi tersebar di seluruh Indonesia. Usahanya membentang dalam tempo tidak kurang dari 17 tahun
(Berita TransTV 17 Agustus 2010; jam 21:48). Puluhan penghargaan diterimanya
dari berbagai kalangan, antara lain sebagai Climate
Hero dari WWF.
Pada tanggal 20 Agustus
2010, harian Kompas memuat berita tentang orasi
Eny Sudarmonowati, sebelum dikukuhkan sebagai Prof Riset. Ia sejak 1992
melakukan penelitian intensif pemuliaan pohon hutan. Salah satu yang dipilih
adalah sengon-salah satu jenis pohon cepat tumbuh (fast growing spesies) yang penting untuk rehabilitasi hutan atau
dikembangkan sebagai penghasil kayu perkakas ringan. Hasil rekayasa genetik
yang dilakukannya telah membuat pertumbuhan sengon 1,5 kali lebih cepat dari
sengon bukan hasil rekayasa. Diprediksi, panen yang semula menunggu 15 tahun
bisa diperpendek menjadi 7 tahun saja. Yang bersangkutan juga mengungkapkan
bahwa ia melakukan penelitian juga tentang Acacia
mangium transgenik. Ada sengon mutan hasil radiasi sinar gamma, yang
tahan hidup di lahan ex tailing, jadi kemungkinan besar bisa
untuk bioremediasi. Ribuan hektar lahan eks pertambangan dapat segera
dihijaukan dengan hasil riset ini.
Aleta Baun aktivis perempuan dari Timor Tengah Selatan,
mendapatkan penghargaan dari Goldman
Environmental Prize 2013 di San Fransisco, Amerika Serikat, pada 15 April
2013, atas upayanya yang gigih mempertahankan hutan dan Gunung Batu di lereng
Gunung Mutis (Kompas, 20 April 2013). Ketiga contoh tersebut membuktikan
peranan perempuan dalam perbaikan lingkungan hidup terbukti nyata. Kebijakan
pemerintah ke depan harus mempertimbangkan keterlibat kaum perempuan lebih
besar dalam setiap proses pembangunan dan dengan niat yang baik untuk mendorong
peran mereka semakin besar dan menentukan.
Kesepuluh: Rangkul Kaum Muda
Mempertimbangkan tujuan
jangka panjang dari pengelolaan hutan dan lingkungan secara luas, maka isu
kunci yang harus dipertimbangkan dalam kebijakan nasional adalah tentang
pendidikan lingkungan dan peran kamu muda. Mereka kelompok potensial untuk
terlibat dalam berbagai upaya dan gerakan penyelamatan lingkungan. Sudah
sewajarnya dibangun strategi pengelolaan hutan dan penyelamatan lingkungan dengan
melibatkan kaum muda. Mereka yang akan
mengambil tongkat estafet dari generasi tua saat ini, untuk dilanjutkan ke
depan. Skala waktu yang dipakai dalam pengelolaan hutan dan isu-isu lingkungan
bukan hanya lima tahun, atau 10 tahun, tetapi 50-100 tahun ke depan. Skala
generasi, antar generasi, dan lintas generasi. Investasi pendidikan lingkungan
saat ini akan menentukan hasilnya 20-30 tahun ke depan. Bonus demografi yang
dialami Indonesia, dengan lebih dari 40% penduduknya dalam usia produktif,
merupakan modal dasar untuk melakukan pewarisan best practices dalam pengelolaan sumber daya alam dari generasi
saat ini kepada generasi muda tersebut. Praktik kelola sumber daya alam dan
pemikiran pemikiran serta inovasi baru tentang pengelolaan sumber daya alam harus
didokumentasi dan diwariskan kepada generasi muda untuk terus dilanjutkan dan
bahkan dikembangkan. Penemuan spesies baru, spesies hasil rekayasa genetik,
harus terus dipacu untuk diujicobakan di lapangan.
Generasi Z yang lahir di
tahun 2000an-lah yang akan memainkan peran kesejarahan besar di masa depan,
bukan generasi tua era 1960an atau era 1970an. Generasi yang lahir pada periode
akhir 2000an akan membawa tongkat estafet pembangunan lingkungan dan kehutanan
di Indonesia sampai melewati tahun 2050 dimana penduduk dunia sudah mencapai 9
milyar jiwa.
Epilog
Etika semestinya menjadi
spirit dari para rimbawan. Menjadi modal dasar dalam menyusun visi bersama
untuk membangun lingkungan dan hutan Indonesia. Namun demikian, rasanya semakin
lama kita semakin tidak memandang perlu bicara
tentang “Etika” atau lebih fokus lagi “Etika Rimbawan”. Atau bahkan kita
telah melupakannya.
Sepuluh Etika Rimbawan
yang diajukan oleh penulis ditujukan untuk
membangunkan kembali mimpi bersama tentang spirit kelola hutan dan
lingkungan hidup di Indonesia. Mulai dari “Deklarasi Kaliurang” tahun 1967
sampai ke “Deklarasi Cangkuang” 1999, dan kemudian setelah 17 tahun, Deklarasi
Cangkuang pun tinggal menjadi kenangan, apabila kita tidak menerjemahkannya ke
dalam strategi dan aksi nyata yang harusnya dilakukan secara konsisten dan
persisten.
Kebijakan Perhutanan Sosial, yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 seluas
12,7 juta hektar kawasan hutan negara atau 10% dari luas hutan di seluruh tanah
air untuk masyarakat pinggir hutan, semoga akan berhasil apabila menerapkan
Sepuluh Etika Rimbawan tersebut di atas. Demikian pula dengan kebijakan
Kemitraan Konservasi atau Perhutanan Sosial di Hutan Konservasi, yang menyusul
ditetapkan tahun 2018. Dengan kedua program ini, masyarakat pinggir hutan
diberikan kepercayaan untuk mengelola dengan menempatkan masyarakat sebagai
subyek, sebagai pelaku utamanya. Kebijakan yang sebenarnya telah diperjuangkan
sejak tahun 1978 dalam Kongres Kehutanan se Dunia ke VIII, dengan tema sentralnya
“Forest for People”.
Semoga tulisan pendek
tentang Etika Rimbawan ini dapat mengusik “tidur nyenyak” para rimbawan
Indonesia, dan para pencinta lingkungan, untuk bangkit dan menemukan kembali
spirit dan jati diri serta panggilan profesionalnya sebagai seorang rimbawan
Indonesia. Tentu dengan tugas yang
semakin berat pasca 50 tahun sejarah eksploitasi hutan skala komersial sejak
tahun 1970.
Semoga kita belum
terlalu terlambat untuk memperkuat dan memperteguh Etika Rimbawan Indonesia
sebagai fondasi yang lebih kuat dalam konteks dan situasi kekinian kondisi
hutan dan lingkungan hidup di tanah air. Juga demikian kita masih bisa dengan bangga dan riang
bersemangat bersama-sama menyanyikan “Seruan Rimba”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar