keywords: common pool resource, kolaborasi, networking, collective
leadership, Generasi Z, mitigasi perubahan iklim.
Mengapa?
Mengelola hutan, mengurus lingkungan hidup dan perubahan iklim tidak akan
pernah mampu dan berhasil apabila dilakukan oleh pemerintah (state),
atau pihak swasta (private), oleh masyarakat atau CSO secara
terpisah-pisah. Bukti-bukti lapangan menunjukkan hal tersebut. Mengurus sumberdaya
hutan, lautan, yang luasnya jutaan hektar adalah mission impossible (press
comm., Wahjudi Wardojo, 2014). Sifat sumberdaya itulah yang tidak akan
berhasil dikelola secara sepihak oleh siapapun. Sumberdaya yang tergolong ke
dalam common pool resources (CPR) inilah yang semestinya dikelola secara
kolaboratif, dengan berbagai model kemitraannya. Keterbatasan pendanaan,
sumberdaya manusia, sarana dan prasarana pengelolaan, teknologi, tingkat
kesulitan, aksesibilitas, skala luas, dan berbagai bentuk hubungan kesejarahan
antara masyarakat dengan sumberdaya CPR tersebut menjadi alasan utama dan
paling penting, mengapa kita harus melakukan kolaborasi.
Maka, tidak ada satu pihak pun yang berani melakukan klaim bahwa dia-lah
yang berhasil melakukan kelola CPR, tidak perlu dukungan dan bantuan pihak
lain. Keberhasilan kelola CPR adalah hasil kerja kolektif, yang tentu dimulai
dari membangun kesadaran bersama, membangun visi dan strategi bersama.
Ada proses pembelajaran multipihak yang hal ini memungkinkan apabila dikawal
dengan kemampuan leadership multipihak dan multilayer yang kuat dan
konsisten.
1.
Kolaborasi
Definisi yang penulis ajukan tentang “kolaborasi” sebagai berikut. Kolaborasi adalah suatu
hubungan kerjasama yang saling menguntungkan
dalam
mencapai tujuan bersama dengan saling memberikan tanggungjawab, berbagi
otoritas, saling menguatkan, bertanggunggugat, untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan bersama”.
Dengan
demikian kolaborasi bukan sekedar bekerjasama atau sama-sama bekerja., tetapi
didalamnya terkandung disepakatinya common
vision atau tujuan bersama. Hal ini dapat dilakukan melalui proses shared
vision, yang dalam praktiknya tidak mudah dilakukan. Tujuan tersebut
juga saling menguntungkan bagi para
pihak yang bekerjasama. Dalam konteks kerjasama tersebut harus ada kejelasan
pembagian tanggung jawab, kewenangan, dan tanggunggugat.
Dalam
pembangunan dan pengembangan organisasi, maka kolaborasi ini menjadi satu
langkah yang sangat strategis, khususnya untuk membangun “Visi Bersama”
tersebut. Banyak organisasi yang secara internal menghadapi perbedaan pendapat,
pandangan, prioritas, ukuran keberhasilan, dan bahkan ke mana organisasi harus dibawa. Kolaborasi
ini hanya bisa dibangun melalui proses kerjasama yang menumbuhkan situasi
saling percaya (mutual trust)
atau sebaliknya, dengan adanya trust, maka kerjasama akan meningkat dan
selanjutnya menumbuhkembangkan tingkat-tingkat kepercayaan yang semakin tinggi.
Grafik di bawah ini menunjukkan hasil resultan antara semakin tingginya
kerjasama dengan semakin dalamnya tingkat kepercayaan.
Pada
tahap awal, dimana tingkat kerjasama rendah dan menghasilnya rendahnya tingkat
kepercayaan akan membuahkan situasi defensif (atau seringkali disebut sebagai
situasi “menang” – “kalah” atau “kalah”-“menang”). Pada tahapan berikutnya
ketika situasi kerjasama membaik dan mulai menumbuhkan rasa saling menghargai (mutual
respect), dan ketika situasi semakin membaik akan mengarah pada tumbuhnya
rasa saling percaya (mutual trust), dan akhirnya tercapai tujuan bersama
dalam situasi “menang-menang” sebagai hasil akhir dari kerjasama yang
sinergis.
2. Networking
Disamping kolaborasi dalam rangka membangun kemitraan, suatu cara yang
ditempuh adalah dengan membangun
jaringan kerja atau network. Network dalam konteks konservasi
alam dan lingkungan mungkin memang belum didefinisikan secara konkrit. Apalagi, bila network itu merupakan multilevel
dan/atau multi stakeholders, seperti antara
Pemerintah-CSO-Masyarakat-Swasta.
Sampai kinipun
masih dalam tahapan trial and error, dan tahapan mencari identitas
bersama. Suatu yang tidak pernah terbayangkan dapat terjadi di masa lalu.
Jaringan ini dapat dipakai sebagai kendaraan oleh organisasi dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang telah disepakati dalam rencana strategis yang telah
disusun bersama tersebut.
Namun demikian,
kita perlu mulai mendefinikan apa yang disebut network itu. Dalam
konteks konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, network didefinisikan
sebagai berikut:
“Sistim kolaborasi multi-level dan
multidisipliner yang didasarkan pada kesamaan titik pandang tentang
tujuan bersama yang hendak dicapai dan
cara mencapainya, atas dasar kesadaran kolektif, dengan bertumpu pada
semangat kebersamaan, saling pengertian, kesetaraan peran, saling menghormati
dan menghargai, untuk mendapatkan kemanfaatan bersama”.
2a. Mengapa Network
Banyak alasan
kita perlu mulai membangun network, terutama mereka yang bergerak di bidang
konservasi alam dan lingkungan. Beberapa latar belakang dan alasan dapat
dikemukakan di sini sebagai berikut:
·
Terbukti bahwa di
masa lalu, upaya konservasi sumber daya alam dan penyelamatan lingkungan gagal
dilakukan secara parsial oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, swasta,
perguruan tinggi, aktivis lingkungan, dan masyarakat. Salah satu penyebabnya
adalah kompleksitas permasalahan konservasi alam di satu pihak, dan segala
keterbatasan (sumberdaya manusia, teknis, dana, sistim perencanaan, strategi
pencapaian tujuan, sistim kerja, komitmen) lembaga pemerintah yang ditugasi
pengelola sumberdaya alam. Akibat dari kegagalan itu, masyarakat yang paling
dekat dengan sumberdaya alam itulah yang pertama menanggung akibatnya (banjir,
tanah longsor, pencemaran air, tanah, eksplosi hama dan penyakit, kebakaran
lahan dan hutan), dan masyarakat luas baik nasional maupun
internasional-punahnya berbagai spesies satwa liar yang dilindungi, habitat
alami yang rusak dan tidak bisa dipulihkan, dan sebagainya.
·
Pemerintah di
masa lalu sering meragukan kemampuan masyarakat akan upaya konservasi
sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan hidup. Dari sebagian besar pemenang
Kalpataru, adalah para individu anggota masyarakat biasa. Seringkali korelasi
antara tingkat pendidikan dengan kesadaran lingkungan tidak selalu linear.
·
Permasalahan
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan terlalu kompleks untuk ditangani
secara parsial, baik di tingkat bawah maupun di level advokasi. Penanganan di
tataran policy maupun di level
lapangan perlu melibatkan multidisipliner dan multi-level stakeholders.
Pengalaman melakukan sistim kerja seperti
ini belum pernah dilakukan oleh pihak pemerintah, namun pada skala
tertentu telah dimulai justru dari lembaga swadaya masyarakat.
·
Dengan
menggunakan kendaraan bernama network, maka dapat mulai dibangun kesadaran
kolektif yang nantinya diarahkan pada membangun agenda bersama yang menjadi
komitmen untuk collective actions. Yang diharapkan adalah terbangunnya
sinergi antar stakeholder dalam menyelesaikan masalah maupun
mengembangkan potensi-potensi yang ada untuk kesejahteraan masyarakat di level
akar rumput.
·
Secara tidak
langsung, proses pencerahan atau enlightment dapat dilakukan di dalam
simpul-simpul network. Hal ini dapat dilakukan karena keran komunikasi
asertif dikembangkan oleh fasilitator dalam network. Pencerahan perlu
dilakukan karena dalam menangani isu-isu lingkungan banyak terjadi distorsi
informasi, manipulasi informasi, sehingga masyarakat secara perlahan mengalami
proses pembodohan.
Tidak pernah
memperoleh informasi yang benar dari pihak-pihak yang berkompeten. Dengan
demikian, proses “penyuluhan yang mencerahkan” secara terus menerus berlangsung
di dalam network, dalam rangka membangun tingkat kesadaran baru dengan
tata nilai baru, yang merupakan awal dari tahapan “tangga koneksi”, untuk
menuju pada tingkatan “komitmen”.
· Dalam perspektif
ekonomi, maka dengan keberhasilan membangun network, maka biaya dan
waktu akan dialokasikan sangat efektif dan efisien. Namun demikian, diperlukan
komitmen, semangat yang tinggi,
konsistensi, dan persistensi untuk melakukannya sampai berhasil. Demikian juga,
diperlukan waktu yang cukup lama agar proses interaksi dan komunikasi
asertif itu berlangsung.
2b. Langkah Membangun Network
Dalam membangun network, dapat ditempuh berbagai cara dan tahapan.
Pengalaman penulis membangun network
kerja konservasi alam di Yogyakarta, selama dua satu tahun
(1999-2000), sebagai analis kebijakan
pada Conservation International Indonesia (2001-2004), sebagai Kepala Balai TN
Gunung Leuser (2005-2007), sebagai Kepala Balai Besar di KSDA NTT (2012-2013),
dan sebagai Direktur Penyiapan Perhutanan Sosial (2014-2017), memberikan beberapa pelajaran yang sangat
berharga. Tahapan yang dapat dipertimbangkan untuk
dilalui adalah sebagai berikut:
2c. Mengidentifikasi Simpul Network
Yang dimaksud
dengan simpul sebenarnya adalah para stakeholder kunci. Identifikasi
dapat dilakukan secara internal oleh organisasi di mana kita bekerja. Data dan
informasi sekunder akan sangat membantu pada tahapan awal ini. Data dan
informasi sekunder dapat diperoleh dari beberapa stakeholder yang telah
dikenal, baik melalui forum formal maupun informal. Dari daftar stakeholder itu,
maka mulai dilakukan sortir untuk mengelompokkan ke dalam beberapa kelompok,
berdasarkan minat dan pengalaman. Dapat pula berdasarkan level kepentingannya,
misalnya ada yang aktif di grass-root, ada yang membatasi diri di
tingkat advokasi, ada yang keduanya.
Pengelompokan
awal ini kemudian dilakukan pendalaman dengan cara membangun dialog awal dengan
mereka. Pengalaman menunjukkan bahwa dialog tidak mudah. Kita hanya bisa
membangun komunikasi setelah beberapa kali pertemuan. Seminar, lokakarya,
diskusi-diskusi perlu diikuti karena pada forum-forum seperti itu kita dapat
mencatat banyak hal dari calon simpul dari network yang akan kita
bangun. Terkadang banyak terjadi bahwa figur CSO maupun pecinta alam/aktivis
sangat tergantung pada pimpinannya. Kesulitan kadang timbul karena interest
yang sangat beragam dan berubah-ubah, sehingga kita sulit mengelompokkannya.
Modal awal untuk mendapatkan informasi adalah hanya mendengarkan (listening
skill). Namun hal ini sering sulit, karena secara tidak sadar kita ingin
menunjukkan eksistensi kita di forum dengan banyak bicara. Penyakit lama
birokrat adalah dalam hal-hal seperti ini.
Hasil
pengelompokan ini penting dalam hubungannya dengan kemungkinan kita akan
masukkan mereka pada simpul primer dalam network yang akan dibangun itu.
Simpul-simpul mana yang sekiranya cukup strategis dalam mendukung gagasan kita
itu. Sangat sering terjadi, hasil interpretasi kita ternyata tidak benar dan
harus dikoreksi ulang. Diperlukan kemampuan melakukan banyak dinamika, review,
dan seterusnya sampai kita menemukan simpul-simpul yang sudah cukup mengkristal
dan berperan strategis.
2d. Membangun Komunikasi
Asertif Antar Simpul
Setelah melakukan identifikasi simpul-simpul mana yang potensial dan
strategis untuk bersama-sama membangun network, langkah selanjutnya
adalah mencoba mengetahui lebih dalam tentang kiprah dan potensi-potensi yang
dimiliki masing-masing simpul. Melalui
komunikasi yang asertif, yang saling menghargai dan mendorong berkembangnya
dialog yang setara dan mendalam, maka potensi dan pokok perhatian masing-masing simpul itu akan
terdata. Komunikasi dapat dikembangkan melalui forum-forum dialog bulanan atau
berdasarkan topik-topik. Tidak selalu pihak pemerintah yang mengundang. Setiap
kesempatan di mana berbagai simpul berkumpul, kita dapat secara tidak langsung
melakukan identifikasi, pendekatan, dan dialog secara terbuka tetapi intens
dengan beberapa simpul yang potensial. Dalam mengembangkan dialog asertif itu,
diperlukan kemampuan komunikasi dalam hal listening skill, dan yang
lebih penting adalah membangun iklim dialog yang kondusif untuk tumbuhnya
saling percaya atau trust building.
Membangun
kepercayaan ini merupakan modal awal berkembangnya hubungan yang lebih
mendalam. Tanpa adanya kepercayaan dan frekuensi komunikasi yang sama dan
semakin meningkat dalam bekerjasama, maka tidak akan pernah tercapai
situasi menang-menang.
3.
Kesadaran Kolektif
Melalui
komunikasi yang asertif dan penuh dengan empati, akan dibangun suatu kesadaran
kolektif, yaitu kumpulan dari kesadaran-kesadaran individu, kelompok, atau
institusi sebagai hasil dari komunikasi asertif tersebut, yang telah berakumulasi dan mengkristal. Kesadaran
kolektif adalah kesadaran bersama dari berbagai komponen masyarakat di berbagai
level. Kesadaran tentang apa? Yaitu kesadaran tentang kerusakan lingkungan
hidup, kerusakan kawasan-kawasan konservasi, mitigasi perubahan iklim,
kerusakan hutan, kriminalisasi dan kemiskinan atau pemiskinan masyarakat
pinggir hutan atau masyarakat adat. Kesadaran tentang perlunya usaha bersama
dalam mengatasinya, kesadaran bahwa bila dilakukan secara parsial terbukti
tidak akan membawa manfaat yang substansial dan cukup signifikan.
Kesadaran
kolektif ini merupakan awal dari berkembangnya suatu collective actions,
suatu gerakan bersama yang tentunya akan memberikan dampak yang sering luar
biasa dan dampak bergandanya juga sering tidak terduga. Kesadaran kolektif ini
juga dipicu dan didorong oleh suatu fakta bahwa di mana-mana ternyata banyak
orang yang merasakan hal yang sama, dan melakukan hal yang sama pula, tetapi
belum ada sinergi dan efek dari usaha-usaha yang parsial itu sangat kecil.
Sehingga, di sana-sini mulai timbul kekecewaan. Banyak dicetak sarjana, pasca
sarjana, doktor, semakin banyak dibangun pusat-pusat studi, namun juga
diketahui tidak ada relevansinya dengan peningkatan kesadaran masyarakat,
perbaikan kualitas lingkungan hidup dan konservasi alam, dan membaniknya
kesejahteraan masyarakat pinggir hutan.
4. Sinergi
Salah
satu hasil dari proses kolaborasi dan networking tersebut adalah
sinergi. Sinergi adalah suatu keadaan dimana secara keseluruhan lebih besar
daripada jumlah bagian-bagiannya penyusunnya. Sinergi merupakan intisari dari
kepemimpinan yang berpusat pada prinsip. Ia juga merupakan jalan tengah atau
jalan yang lebih tinggi, seperti puncak dari sebuah segitiga. Perbedaan
merupakan intisari dari apa yang disebut sebagai “sinergi”.
Ternyata, sinergi merupakan situasi menang-menang. Dalam konsepsi tingkatan
komunikasi seperti yang disajikan dalam diagram tersebut di atas, posisi
„sinergi“ menduduki peringkat paling atas. Sinergi ini suatu keadaan yang
ditimbulkan dari resultante tingginya tingkatan kerjasama (saya lebih menyukai
„tingkatan kolaborasi“) yang secara bertahap meningkatkan rasa saling
menghargai (mutual respect), rasa saling percaya (mutual trust),
yang memberikan kemanfaatan bersama (mutual benefit). Intisari dari
kolaborasi adalah dari ketiga situasi ini yang telah ditemukan oleh Pak Wahjudi
Wardojo sejak menjabat menjadi Kepala Balai TN Gunung Gede Pangrango periode
pertengahan 1990an.
Dalam
pengembangan organisasi, shared vision hanya bisa dibangun apabila
pemimpin dalam organisasi itu mampu mendorong tumbuhnya kerjasama di antara
komponen dalam organisasi itu atau dengan pihak luar sehingga minimal dapat
menumbuhkan situasi saling percaya.
Tetapi fakta menunjukkan tidak
mudah membangun situasi yang seperti itu.Diperlukan seorang yang memiliki
kapasitas leadership yang cukup untuk dapat melakukannya.
5. Tantangan
Secara
teoritis membangun kolaborasi dan jaringan
seakan-akan mudah. Namun dalam kenyataannya, banyak sekali hambatan dan
tantangan yang harus diatasi. Pertama,
seringkali tahapan membangun kolaborasi tidak dilakukan dengan benar. Mitra
menyusun proposal untuk suatu proyek tertentu tanpa melakukan cukup konsultasi
dengan pengelola kawasan konservasi. Ketika proposal telah didanai dan baru
dilakukan pertemuan dengan pengelola kawasan konservasi, terjadi perbedaan
pandangan atau prioritas investasi.
Dalam kasus ini,
common vision
atau common goal tidak dibangun bersama., dan kemudian pihak
pengelola kawasan seolah-olah ditodong untuk bekerja sama. Akibat lanjutan dari
pola ini, tentu saja dukungan menjadi sangat minimal. Pengelola enggan
mengalokasikan pendanaan sebagai dana pendamping. Ketika mitra kehabisan dana,
kegiatan yang mungkin sangat bagus akan berhenti sama sekali atau stagnan.
Apabila sejak awal sudah dibangun kesepahaman, maka dana dan staf dapat
dialokasikan secara bertahap, sehingga terjadi transfer of knowledge, skill,
and attitude dari mitra ke para pengelola kawasan atau pihak lainnya yang
berkerjasama. Ketika mitra telah menghentikan proyeknya, pengelola sudah siap
melanjutkan kegiatan-kegiatan tersebut secara mandiri. Kedua, kolaborasi
dibangun dalam kondisi antara mitra dan pengelola hutan atau kawasan konservasi
tidak dalam posisi yang seimbang-sejajar. Pengelola hutan atau kawasan
konservasi dalam kondisi lemah dan mati suri, dengan berbagai alasannya. Dalam
kondisi seperti ini, mitra sebaiknya menarik dan memberikan motivasi agar
pengelola “bangun dari tidur” panjangnya. Hal ini tentunya sangat tidak mudah. Diperlukan sikap
persisten, sikap pantang menyerah, yang memerlukan energi dan waktu yang tidak
sedikit.
Biasanya
mitra tidak sabar dan meninggalkannya. Dalam kondisi ini kemitraan atau
kolaborasi hanya lip service saja, dan hanya sekedar kerjasama di atas kertas. Faktanya, mitra
bekerja sendiri dan pihak pengelola hutan, pengelola kawasan konservasi atau
masyarakat hanya menjadi sekedar penonton. Sekedar menjadi obyek, belum
diposisikan sebagai subyek. Akibat lanjutannya, dan seringkali hal ini lebih
parah adalah bahwa seolah-olah mitra yang berkibar benderanya dan pengelola
hutan atau pengelola kawasan konservasi tenggelam dalam ketidakjelasan peran
dan otoritas.
Salah
satu dari upaya untuk menjawab tantangan ini antara lain adalah dengan memilih leader
pengelola hutan, pengelola kawasan konservasi yang memiliki kapasitas leadership
yang cukup, sehingga mampu membangun komunikasi dan proses belajar yang
terus menerus. Leader yang kuat juga akan mampu membangun kinerja staf pada
tingkatan kedua atau second layer staff.
Kebuntuan kolaborasi dapat disiasati dengan mendorong kolaborasi pada
tataran teknis staf level kedua, khususnya staf teknis dan fungsional. Upaya lain adalah dengan mendorong upaya
kolaborasi menjadi bagian dari penilaian kinerja pengelola hutan atau pengelola
kawasan konservasi.
6. Peluang
Iklim
demokrasi yang berkembang sejak Reformasi 1998, telah mendorong birokrasi di
pemerintahan membangun “budaya kerja” baru, yaitu budaya kerja multipihak,
lebih membuka diri dan berorientasi pada outcome bukan sekedar output.
Untuk dapat mencapai outcome diperlukan kerja multipihak sehingga di lapangan
dapat terjadi perubahan (change) yang cukup berarti.
Banyak
sekali lembaga donor bilateral maupun multilateral yang ingin membantu
Kementerian LHK baik terkait dengan perubahan iklim, persoalan wildlife,
kerusakan habitat, penegakan hukum lingkungan, tenurial, adat, mitigasi
perubahan iklim, dan sebagainya. Hal ini merupakan peluang besar dilakukannya
kolaborasi multipihak. Kerjasama lintas kementerian juga menjadi semakin
penting sehingga dapat diminimalkan ego sektoral yang jelas tidak bermanfaat di
tingkat lapangan. Nawacita Presiden Joko Widodo mensyaratkan antara lain
paradigma pembangunan Indonesia dari pinggiran dan membangun kekuatan dan
kemandirian masyarakat.
7. Peranan Generasi Z
Generasi
yang lahir di antara 1995-2012 yang jumlahnya sudah mencapai 72,8 juta jiwa
ini, menurut Stillman D dan Stillman J (2018)
dalam bukunya yang berjudul "Generasi Z", memiliki 7 ciri. (1)
Figital,
setiap aspek fisik (manusia dan tempat) mempunyai ekuivalen digital. Sejumlah
91% Gen Z mengatakan bahwa kecangihan teknologi suatu perusahaan akan berdampak
terhadap keputusan mereka bekerja di perusahaan tersebut. (2).Hiper-Kustomisasi.
Gen Z berusaha keras mengidentifikasi dan melakukan kustomisasi atau
penyesuaian identitas mereka sendiri agar dikenal dunia. Sejumlah 56% Gen Z
memilih membuat uraian pekerjaan mereka sendiri daripada diberikan deskipsi
yang sudah aman. (3) Realistis. Gen Z. Berfikir realistis
dalam membentuk masa depan mereka, berfikir pragmatis sejak dini. (4) FOMO.
Gen Z sangat takut melewatkan sesuatu. Mereka selalu dalam barisan terdepam
dalam tren dan kompetisi. Sejumlah 75% Gen Z cenderung ingin memiliki peran
ganda dalam suatu kantor, (5). Weconomist. Gen Z hanya mengenal dunia
dengan ekonomi berbagi. Gen Z menekankan "kami" dalam peran mereka
dalam filantropis. Sejumlah 93% Gen Z mengatakan kontribusi perusahaan pada
masyarakat menentukan pilihan mereka bekerja pada perusahaan tersebut. (6). DIY.
Gen Z merupakan generasi do it yourself. Bertumbuh dengan youtube yang
bisa mengajari mereka apapun.Jika ingin melakukan dengan benar, lakukanlah
sendiri. (7) Terpacu. Gen Z lebih kompetitif serta tertutup daripada
generasi terdahulu. Sejumlah 72% Gen Z mengatakan mereka kompetitif terhadap
orang yang melakukan pekerjaan yang sama.
Dalam
dunia konservasi alam, berbagai kecanggihan teknologi dengan kelahiran Generasi
X di era 1980an, mendahului Gen Z, telah
masuk ke dalam pembaruan pola-pola kerja perlindungan dan monitoring wildlife
di seluruh dunia. Di era Gen Z, semua masuk ke dalam aplikasi gadget, seperti
yang dikembangkan dalam monioring
species burung yang dikembangkan Swiss Winasis, dengan "birdnesia",
yang bisa diunggah di playstore, yang
mendorong ribuan orang untuk aktif memantau keberadaan burung di alam dan
melaporkannya, yang kemudian kita sebut sebagai "citizen science".
Pemasangan GPS collar pada gajah betina di tiga kelompok gajah di Aceh,
dan satu kelompok di Kab.Tanggamus Lampung, dan penggunaan drone telah
membantu pelestari gajah memantau pergerakan kelompok-kelompok gajah tersebut
sehingga bisa dicatat pola pergerakannya serta dapat dicegah masuknya kelompok
tersebut ke kampung-kampung yang dapat menimbulkan konflik. Pemasangan Satellite
Collar untu hiu paus di TN Teluk Cenderawasih, membuktikan efektifitas
pemantauan pergerakannya di sepanjang hidupnya. Dan masih banyak lagi aplikasi
dalam playstore, seperti CarryMap, avenza map, memento dan lain sebagainya,
sangat sangat bermanfaat.
Dalam
waktu yang tidak terlalu lama, Gen Z akan merubah pola-pola komunikasi dan
kerjasama dalam konservasi alam. Peranan "citizen science" yang
mandiri, bisa menjadi mitra pemerintah atau menjadi "musuh" dengan segala
kritikannya sebagai hasil dari model monitoring mandiri yang dilakukannya.
Ditjen
KSDAE telah membuka diri, dengan melemparkan nomor Call Center di setiap UPT
kepada publik agar merangsang publik secara aktif merlaporkan kepada Ditjen
KSDAE dan 74 UPT di seluruh Indonesia, tentang berbagai persoalan lingkungan
dan berbagai pelanggaran hukum. Setelah lebih dari 1 tahun penerapan
keterbukaan dan respon tersebut, mulai nampak animo publik semakin meningkat,
misalnya dengan pelaporan problem satwa liar. Penggunaan aplikasi WhatsApp dan
Instagrm juga membantu proses komunikasi Pusat-UPT termasuk model reporting
baru dengan kecepatan dalam hitungan detik atau second, dimana 5 tahun
yang lalu hal ini tidak dapat dibayangkan bisa terjadi.
Selamat
Datang Generasi Z dalam Konservasi Alam di Indonesia.***
*) Makalah disampaikan pada COP 24 UNFCCC,
Katowice-Poland; 10 Desember 2018. Indonesia Pavilliun. D.6. Forestry Private
Sector Contribution to Climate Change Mitigation.
Referensi:
Covey,
S., 1997. The Seven Habits of Highly Effective People. Covey Leadership Center.
Binarupa Aksara, Jakarta.
Goleman, D., 2002. The New Leaders.Transforming the Art
of Leadership into the Science of Results. A Little, Brown Book.
Harefa, A., 2000. Menjadi Manusia Pembelajar.
Pemberdayaan Diri, Transformasi
Organisasi dan Masyarakat Lewat proses Pembelajaran.Penerbit Harian Kompas.
Harefa,A., 2003. Mengasah Indra Pemimpin. Penerbit
Gradien.Jakarta.
Maxwell, J.C., The
21 Irrefutable Laws of Leadership (21 Hukum Kepemimpinan Sejati).
Interaksara.Jakarta.
Stillman, D., dan Stillman, C., Generasi Z. Memahami
Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja. PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. Kompas Gramedia.
Wiratno.,
2004. Nakhoda : Leadership dalam Organisasi Konservasi. Conservation International Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar