"Forestry is not about trees, it is about people. And it is about
trees only in so far as trees can serve the needs of the people" (Jack
Westoby, 1967)
Kawasan hutan dunia termasuk di Indonesia tidak dapat kita
anggap sebagai ‘kertas putih’. Interaksi masyarakat dengan hutan telah
berlangsung berabad-abad lamanya, yang juga membentuk relasi sosial dan
kebudayaan dengan pengetahuan tradisionalnya yang kaya dan sangat penting
bahkan sampai saat ini dimana kita menghadapi perubahan iklim secara global. Oleh
karena itu pernyataan Jack Westoby di atas, mengingatkan kita bahwa mengurus
hutan itu sebenarnya bukan saja mengurus pepohonan atau habitat satwa liar.
Tetapi pada dasarnya langsung dengan manusia atau masyarakatnya yang tentu akan
lebih rumit daripada sekedar tentang pepohonan.
Laporan FAO tahun 2014 yang berjudul State
of the World Forest menunjukkan antara lain bahwa kontribusi utama dari
hutan untuk ketahanan pangan dan kesehatan dalam menyediakan kayu bakar untuk
memasak dan mensterilkan air. Diperkirakan bahwa 2,4 milyar orang memasak
dengan kayu bakar, atau kira-kira 40 persen dari populasi di less developed countries. Sekitar 764 juta dari kelompok
ini memasak air dengan kayu bakar. Pemungutan hasil hutan bukan kayu yang bisa
dimakan mendukung ketahanan pangan dan menyediakan nutrisi esensial bagi banyak
orang. Kayu bakar seringkali sebagai satu-satunya sumber energi di wilayah
pendesaan di negara kurang berkembang dan khususnya sangat penting bagi
kelompok miskin. Diperkirakan 27 persen dari suplai energi primer di Afrika, 13
persen di Amerika Latin dan Karibia, dan 5 persen di Asia dan Oseania. Namun
demikian, kayu bakar juga digunakan secara meningkat di negara-negara maju
dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil. Misalnya, sekitar 90
juta orang di Eropa dan Amerika Utara sekarang menggunakan kayu bakar sebagai
sumber utama mereka untuk pemanasan domestik. Data tersebut
menunjukkan bukti bahwa hutan memberikan kontribusi nyata dalam ketahanan
pangan dan menjamin keberlangusngan kehidupan masyarakat terutama tentu yang
berada di pinggir hutan atau di dalam hutan.
Bagaimana dengan Indonesia? Ketergantungan masyarakat
terhadap sumberdaya hutan masih sangat signifikan. Dari 74.954 desa di
Indonesia, lebih dari 25.600 desa atau 34,1% adalah desa yang di pinggir hutan.
Sedangkan di Hutan Konservasi seluas 27,1 juta hektare terdapat 6.381 desa di
sekitarnya yang kehidupannya sangat tergantung pada kondisi sumberdaya hutan
tersebut.
Dokumen RPJMN 2015-2016 mengamanatkan seluas 12,7 juta hektare
hutan negara, yaitu di hutan lindung dan hutan produksi, dapat dikelola oleh
masyarakat pinggir hutan atau di dalam hutan. Luasan 12,7 juta hektare tersebut
sebenarnya hanya 10% dari total luas hutan negara. Namun bila dibandingkan luas
suatu negara di Eropa, hampir seluas negara Inggris.
Suatu program nasional yang luar biasa besar dan bukan
program yang biasa, karena selama 71 tahun Indonesia merdeka, baru kali inilah
pemerintah menyiapkan program dengan mengalokasikan kawasan hutan negara untuk
dikelola rakyat dengan ukuran yang sangat besar, walaupun perjuangannya telah
dimulai sejak Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta yang bertema "Forest for People". Pada masa
pemerintahan Presiden SBY tahun 2010-2014, program ini telah mulai digulirkan
dengan target 2,5 juta hektare. Sampai akhir Oktober 2016 total kawasan hutan
negara yang telah diberikan dalam program perhutanan sosial dalam bentuk hutan
kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan
mencapai luas 1,4 juta hektare, dimana sekitar 1.000.000 jiwa yang mendapatkan
manfaatnya.
Dengan dilaksanakannya program perhutanan sosial ini, pada
umumnya masyarakat merasa ‘di-wong-ke’ oleh
negara, merasa ‘dimanusiakan’, didengar aspirasinya, dilindungi, dan tidak lagi
dikejar-kejar sebagai aparat keamanan karena menggarap lahan di hutan negara.
Di Provinsi Lampung, seluas 110.000 hektare kawasan yang
umumnya hutan lindung telah lama dikelola masyarakat dengan menanam kopi, telah
mendapatkan hak kelola hutan kemasyarakatan - salah satu skema program
perhutanan sosial. Pada tahun 2015, tidak satupun kejadian kebakaran di areal
ini. Masyarakat yang telah mendapatkan hak kelolanya selama 35 tahun ternyata
terbukti bertanggung jawab menjaga lahan garapannya dari berbagai gangguan,
termasuk api.
Hutan-hutan desa, sebagai skema perhutanan lainnya. Di Jambi
juga menunjukkan bukti-bukti bahwa di kawasan perhutanan sosial, tidak terbakar
karena karena dijaga. Di Sumatera Barat telah terjadi gerakan mengusulkan
Hutan-hutan Nagari di kawasan hutan lindung untuk dikelola oleh masyarakat.
Mereka merasakan bahwa telah diberikan kepastian hak mengelola oleh negara.
Secara psikologis, masyarakat mulai merasakan bahwa negara percaya pada
rakyatnya untuk mengurus hutan dengan benar.
Model kelola perhutanan sosial, sebenarnya solusi adanya
peningkatan ketimpangan penguasaan lahan yang kemudian menimbulkan konflik
sosial. Banyak sekali kelompok masyarakat yang terpaksa menggarap lahan di
dalam kawasan hutan negara karena memang lahan garap di desanya semakin sempit.
Solusi melalui pemberian akses kelola ini sebenarnya sudah lama ditunggu oleh
masyarakat desa-desa pinggir hutan. Konflik fisik antar aparat dan penggarap
dapat dihindarkan, sekaligus masyarakat merasakan kehadiran negara di desa-desa
mereka yang umumnya terpecil jauh dari akses jalan maupun infrastruktur
pendukung lainnya.
Pilar Sosial di Hutan Konservasi
Hutan konservasi seluas 27,1 juta hektare (dimana 5 juta hektare
adalah kawasan perairan), dikelilingi oleh 6.381 desa dan terdapat usulan
wilayah adat seluas 1,6 juta hektare, dimana seluas 1,1 juta hektare berada di
dalam taman nasional. Dengan demikian, hutan konservasi juga tidak dapat
dilepaskan dari persoalan sosial, di samping juga menghadap berbagai persoalan
kerusakan habitat satwa liar, perburuan satwa, perambahan yang diprediksi telah
mencapai 2,2 juta hektare atau 8% dari luas hutan konservasi daratan.
Saat ini, upaya untuk mengakomodir keberadaaan dan
ketergantungan masyarakat dengan hutan konservasi adalah dengan penetapan zona
tradisional, khususnya di taman nasional. Dari kawasan taman nasional seluas
16.232.132 hektare, telah ditetapkan Zona Tradisional seluas 1.280.062 hektare
atau 7,8%. Ke depan, zona tradisional tersebut dapat diperluas sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan setempat.
Tanpa pelibatan masyarakat setempat, maka sudah dapat
dipastikan bahwa berbagai persoalan di hutan konservasi tidak dapat
diselesaikan dengan tuntas. Dengan perubahan penggunaan di luar hutan
konservasi, menjadi monokultur sawit seperti yang terjadi di Sumatera dan
Kalimantan, maka tekanan ke dalam hutan konservasi semakin tinggi. Hal ini
disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan tingginya mobilitas
penduduk ke kawasan hutan, termasuk hutan konservasi, yang kurang dikelola
secara intensif di tingkat lapangan. Perambahan sawit di Taman Nasional Tesso
Nilo, Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Wisata Alam Holiday Resort, Suaka
Margasatwa Balai Raja, dan perambahan kopi di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan, adalah beberapa contoh terjadinya fenomena ‘open
access’. Yang dimaksud dengan ‘open access’
adalah suatu sumber daya yang tidak dimiliki oleh siapapun, namun sekaligus
bisa jadi milik setiap orang. Mereka yang kuat dan bermodal akan menguasai
kawasan hutan tersebut.
Perhutanan Sosial atau kemitraan konservasi perlu segera
diterapkan di kawasan konservasi yang mengalami kerusakan tersebut. Penegakan hukum
hanya diberlakukan pada aktor intelektual yang biasanya memberikan modal kepada
masyarakat mistik yang terpaksa menjadi perambah hutan.
Pengembangan ekowisata di Tangkahan, Desa Namo Sialang dan
Sei Serdang, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera
Utara, merupakan bukti yang sahih tentang manjurnya model pendekatan baru,
untuk melibatkan masyarakat desa pinggir hutan, untuk dapat manfaat dan
sekaligus menjadi penjaga hutan yang militan dan kosisten. Sejak dibangun kerja
di Tangkahan tahun 2000, pengembangan ekowisata telah sangat maju. Hasil PNBP
berturut-turut sebagai berikut: tahun 2013 (Rp 372.247.500,-), 2014 (Rp 491.091.500,-),
2015 (Rp 749.375.000,-), 2016 (Rp 1.090.240.000,-), dan tahun 2017 (Rp 2.129.177.500,-).
Kegiatan ekowisata tersebut telah mendorong perputaran ekonomi setempat sebesar
5 sampai 10 milyar per tahun. Ribuan turis manca negara menikmati eksotisme
Tangkahan, sekaligus Hutan Leuser yang aman dan lestari.
Mandi bersama gajah di Tangkahan (@bisro) |
Tangkahan merupakan contoh nyata. Apabila kebijakan
pengelolaan kawasan konservasi melibatkan masyarakat desa di sekitarnya, maka
berbagai peluang ekonomi berupa ekowisata, hasil hutan bukan kayu, dan jasa lingkungan,
dapat dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat untuk menggerakkan ekonomi
setempat. Pendampingan yang konsisten dari Balai (Besar) TN Gunung Leuser,
beserta mitra kunci, terutama FFI menjadi salah satu faktor yang membantu
keberhasilan Tangkahan.
Pekerjaan
Rumah ke Depan
Di tingkat lapangan, program perhutanan sosial, termasuk di
hutan konservasi ini tidak berjalan dengan mulus. Masih banyak pekerjaan rumah
yang seharusnya dapat dikerjakan bersama secara terpadu berkesinambungan.
Pertama, berbagai persoalan muncul ketika program tidak kena
sasaran, yaitu mereka yang memang memerlukan lahan. Pemasaran produk yang
dikuasai oleh pengijon, persoalan hama- penyakit, pupuk, pasca panen, lemahnya
pendampingan dari penyuluh maupun dari LSM, baik sejak pengusulan sampai pasca
menerima izin, menjadi pekerjaan rumah yang masih terjadi di berbagai daerah.
Kedua, dukungan pemerintah kabupaten dan provinsi, pihak
swasta, perguruan tinggi setempat, kerjasama lintas kementerian, terutama
dengan kementerian terkait, misalnya Kemendes dan Kemendagri, masih memerlukan
dorongan dan dan kerja bareng yang sinergis. Persoalan perambahan di taman
nasional atau kawasan konservasi lainnya, dapat diselesaikan melalui kemitraan
masyarakat dengan pengelola kawasan tersebut. Intinya adalah memberikan akses
kelola kepada masyarakat yang memang memerlukannya.
Ketiga, penegakan hukum hanya ditujukan kepada aktor
intelektual dan pemodalnya, agar dapat memberikan efek jera. Sinisme yang
berkembang di publik tentang ‘hukum tumpul ke atas tajam ke bawah’ tidak
berlaku dalam konteks pelaksanaan program perhutanan sosial ini. Hukum tajam ke
atas seharusnya ditujukan bagi para cukong, pemodal, dan aktor intelektual; ke
bawah masyarakat miskin yang terpaksa menggarap lahan di kawasan hutan negara
justru dirangkul untuk turut serta menjaga dan mendapatkan manfaatnya dengan
tetap berpegang pada prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, sosial, dan
ekonomi.
Keempat, kunci keberhasilan program ini terletak pada proses
pendampingan dari hulu sampai ke hilir diprosesing hasil panen dan
pemasarannya. Oleh karena itu sangat penting untuk membangun keterpaduan
program, yaitu antara pemerintah dengan lembaga swadaya masyarakat, pihak
swasta, tokoh masyarakat atau local champion
seperti Ritno Kurniawan, seorang sarjana pertanian lulusan UGM yang kembali ke
kampung dan membangun gerakan wisata alam dengan melibatkan masyarakat yang
semula menjadi perambah hutan atau penebang liar di Hutan Nagari Lubuk Alung,
Sumatera Barat (Sosok, Kompas, 11/10/16). Puluhan local
champion telah lahir dan melahirkan gerakan akar rumput di seluruh
Indonesia, melalui pelaksanaan hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman
rakyat, hutan adat, kemitraan kehutanan, dan ke depan kemitraan di kawasan
konservasi.
Kelima, perhutanan sosial diharapkan menjadi gerakan baru
pembangunan kehutanan dari pinggiran, termasuk di hutan konservasi, bukan hanya
tugasnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja, tetapi menjadi tugas
lintas Kementerian/KL, pemerintahan di provinsi dan di kabupaten, dalam
mewujudkan kehadiran negara di pinggir-pinggir hutan negara, mendorong
terciptanya model kelola hutan secara damai, memandirikan, dan mendorong
meningkatnya perekonomian lokal berupa hasil hutan kayu, hasil hutan bukan
kayu, jasa lingkungan, dan wisata alam.
Penutup
Kita diingatkan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya berjudul
"Memperkuat Negara" (2005). Ia menyatakan bahwa: "Suatu negara
yang kuat ditandai dengan kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang
dilahirkannya ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan,
dan kecemasan berlebihan. Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah
otoritas yang efektif dan terlembaga".
Program Perhutanan Sosial ini semoga dapat memenuhi harapan
akan perwujudan dari Nawacita Presiden Joko Widodo, tentang kehadiran Negara di
tingkat akar rumput. Untuk itu diperlukan kapasitas leadership
dan komitmen para pihak di semua level, mulai dari ‘Jakarta’, provinsi,
kabupaten. Negara yang kuat, seperti digambarkan oleh Francis Fukuyama, rasanya
tepat untuk memenuhi harapan tentang model kelola hutan Indonesia, yang
diselenggarakan secara damai dan memenuhi rasa keadilan masyarakat desa-desa
pinggir hutan.***
Referensi:
Anonim. 2017. Zona
Tradisional dalam Taman Nasional di Indonesia. Direktorat Pusat Informasi
Konservasi Alam, Ditjen KSDAE.
FAO, 2014. State of The World's Forest 2014. Enhancing the
Socioeconomic Benefits from Forest. FAO, Rome.
Fukuyama. 2005.
Memperkuat Negara. Gramedia Kompas.
Wiratno. 2013. Dari
Penebang Hutan Liar ke Konservasi Leuser. YOSL-OIC, dan UNESCO Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar