Kerja ilmiah pada
dasarnya adalah politik pembebasan dari doktrin dan dogma. (Goenawan Muhamad, Catatan Pinggir 4 Februari 2018: Daoed Joesoef).
Siapa yang dimaksud dengan manusia-manusia unggul?
Apabila dikaitkan dengan manusia-manusia yang bergerak di bidang pengelolaan
dan penyelamatan lingkungan, akan sangat menarik membicarakan jenis manusia
ini. Berbagai pakar menyampaikan mendapatnya, sebagaimana diuraikan dalam
artikel dan pemikiran ringkas di bawah ini.
Pertama. Manusia unggul adalah
pribadi-pribadi yang selalu berusaha mengisi setiap jengkal kerja konservasi
dengan spirit yang tinggi. Sebagai pegawai negeri, mereka bekerja beyond tupoksi tugas pokok dan fungsi, “working with their heart and passion” - dengan
hati, dengan semangat. Bukan sekedar memenuhi target laporan kegiatan fisik,
target laporan keuangan administrasi. Mereka biasa bekerja di luar batas-batas
legal-formal seperti itu. Mereka tidak puas hanya sekedar melaksanakan
pekerjaan konservasi yang dituangkan dalam tugas-tugas formalnya. Mereka
inginkan adanya perubahan (change)
terjadi di mana mereka bekerja. Mereka ingin merespon perubahan yang cepat
dengan respon yang setara.
Uraian Herry Tjahjono dalam bukunya: Manusia Matahari (2012), dikatakan
bahwa bekerja saja tidak cukup. Jadilah ‘Manusia Matahari’ adalah manusia yang
bekerja dengan antusias, bukan hanya bekerja dengan keras dan cerdas. Ia
memberikan hati dan jiwa dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Antusias
berasal dari kata “entheos” , yang berarti “Tuhan di dalam” atau
“Tuhan bersama kita”. Sehingga apabila manusia memiliki “entheos”, maka ia akan mempunyai energi istimewa yang meluap
melalui jiwa raganya. Antusiasme mempunyai pengaruh yang luar biasa bukan hanya
terhadap diri kita, tetapi juga kepada orang yang ada di sekitar kita. Hasil
kerja ‘manusia matahari’ sudah layak disebut sebagai “karya”, dan bukan sekedar
output atau outcome. Mungkin manusia-manusia unggul yang bekerja luar biasa di
bidang konservasi alam itu adalah manusia sebagaimana yang digambarkan oleh
Herry Tjahjono tersebut.
Eckhart Tolle (2005) dikutip oleh Wiratno (2011), dalam bukunya A New Earth – Awakening to Your Life’s
Purpose, memperluas pendapat Herry Tjahjono, bahwa kalau ingin tersambung
ke ‘atas’, sebaiknya bekerja bukan hanya secara antusias atau ‘entheos’ (enthusism), tetapi juga harus memiliki sikap mental acceptance atau ikhlas dan bisa selalu menikmati atau enjoyment dalam proses membangun karyanya itu.
Dalam teori tentang “Growth
Mindset” (Hiring for Attitude oleh
Eilen Rachman & Emilia Jakob, Kompas 26 Maret 2016) dinyatakan bahwa mereka
yang memiliki ‘growth mindset’ akan
memfokuskan energi positif mereka dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk mengatasi keterbatasan mereka. Mereka tidak takut bangun lebih pagi,
berjalan lebih jauh, berusaha dua kali lipat dibandingkan dengan rekan-rekannya
dan bahkan bangun lagi dengan cepat bilamana mereka mengalami kegagalan. Mereka
yang memiliki ‘growth mindset’ bukanlah
mereka yang tidak pernah merasa takut akan keterbatasan mereka, akan tetapi
semata-mata lebih karena mereka tidak membiarkan rasa takut itu menguasai
mereka. Nelson Mandela mengatakan,“I
learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The
brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”.
Kedua. Manusia unggul adalah
jenis manusia dengan kemampuan membangun jaringan atau network. Selanjutnya memelihara jejaring tersebut dalam bentuk
komunikasi asertif yang mencerahkan, memerdekakan, dan membuat lahirnya
nilai-nilai baru berjaringan, bekerja sama, kolaborasi, dan dalam bergotong
royong menegakkan modal sosial bersama. Kepribadiannya yang terbuka bagi setiap
orang dan kesempatan baru untuk maju, berkembang, dan membuatnya dapat masuk ke
dalam wilayah-wilayah pengalaman baru yang luar biasa dan sering kali
mencengangkan. Membicarakan networking tidak
dapat dilepaskan dari pembahasan kelahiran ‘Generasi C’ atau ‘Gen-C’.
Rhenald Kasali menguraikan dalam bukunya berjudul “Cracking Zone” (2010), bagaimana sikap
kita dalam mengelola lingkungan hidup dalam dunia yang sudah berubah dengan
cepat, dimana lahir generasi yang disebutnya sebagai ‘Gen-C’, istilah yang
pertama kali diperkenalkan oleh seorang peneliti dari Australia, Dan Pankraz.
Gen ‘C’ dapat berarti content, connected,
digital creative, cocreation, customize, curiousity, dan cyborg. C bisa berarti juga cyber, cracker, dan chameleon atau bunglon. Saya ingin memperluas interpretasi ‘Gen-C’
juga dapat disebut sebagai carrier,
sang pembawa pesan yang didalamnya mengandung sifat-sifat tertentu yang berisi
kesadaran tertentu akan pentingnya melindungi lingkungan, pola hidup hemat dan
berbagai macam sikap mental yang pro-lingkungan menjadi content yang ditularkan dan disebarkan dengan sangat cepat, yang
akhirnya mempengaruhi sikap mental, cara berpikir dan berperilaku yang
mencerminkan kepeduliannya akan kelestarian habitat manusia di bumi, dalam arti
seluas-luasnya.
Gen-C adalah generasi yang lahir di era teknologi
informasi super canggih atau teknologi 4.0. Kasali menguraikan bahwa menurut
survei Yahoo!, penggunanya di Indonesia pada akhir tahun 2008 telah mencapai
24,5 juta orang dan 15 juta di antaranya mengakses lewat mobile device. Sekarang ketika handset
dapat digunakan untuk mengakses dan menggunakan internat, pengguna internet
bertambah berlipat-lipat. Operator XL sepanjang tahun 2009, pengguna internet broadband meningkat 269%; Telkomsel
melonjak 165% dan Indosat naik 100%. Pada akhir tahun 2009, Indonesia menempati
urutan ke-5 dunia pengguna Facebook dan blog. Pada bulan Agustus 2010, pengguna
Facebook di Indonesia telah naik di posisi ketiga, menggeser Prancis dan
Italia. Blogger Indonesia berjumlah
600 ribu di tahun 2008 dan kini telah mencapai 1 juta. Saat ini pengguna smartphone diperkirakan 170 juta orang
di seluruh Indonesia, dengan tren baru penggunaan Instagram dan Line selain
Facebook dan Twitter, sejak 2013 sampai dengan saat ini.
Namun demikian, networking di
antara manusia-manusia unggul konservasi bukan saja perlu dikaitkan dengan
‘Gen-C’ yang serba cepat, digital-minded,
dan globally connected itu. Ini juga
soal koneksitas secara emosional-spiritual. Koneksi di antara mereka karena
satu “koridor frekuensi”, satu visi, satu impian, satu harapan. Setiap simpul
manusia unggul itu, menyimpan knowledge dan
experiences yang sangat kental,
sangat spesifik dan tersimpan dalam memori DNA-nya tentang tematik tertentu.
Mereka tersimpan di dalam apa yang penulis sebut berada di ‘knowledge bank’ di kepala mereka masing-masing. Syukur apabila
mereka sudah menuliskannya dalam blog, Twitter, Facebook atau dalam bentuk
buku. Namun, tetap saja spirit utamanya ada di dalam isi kepala dan memori
pelaku-pelaku tersebut. Oleh karena itu, membangun network dengan manusia-manusia unggul seperti ini secara personal
menjadi suatu prioritas.
Ketiga. Manusia unggul pada umumnya
memiliki panggilan hidup yang relatif sama, yaitu apa yang disebut dalam bahasa
Jawa sebagai“ memayu hayuning bawana” -
mempercantik bumi atau alam yang sudah cantik ini. Untuk memiliki panggilan
hidup ini, mereka itu bekerja berdasarkan ‘kesadaran’ - bekerja dengan ‘sadar’.
Seseorang yang sadar akan sangkan paraning dumadi, sadar akan asal
usulnya, niscaya punya semangat progresif untuk melakukan sesuatu melampaui
egonya. Ia berkarya untuk kepentingan bersama. Hidup bukan hanya proses
memurnikan jiwa tetapi juga merealisasikan talenta untuk menghasilkan
mahakarya. Tubuh kita menjadi sarana Sang Suwung untuk membangun peradaban yang
harmonis dan indah (Dewantoro, 2017).
Konsep yang digali dari khazanah kebudayaan Jawa ini
selaras dengan manusia matahari, dan manusia yang memiliki sikap mental yang
diuraikan oleh Echart Tolle, yang bekerja berdasarkan keikhlasan, semangat dan
bisa menikmati menjiwai setiap proses pekerjaannya dalam menghasilkan karya
untuk kepentingan bersama, untuk peradaban manusia.***
Bahan
Rujukan.
Dewantoro, Setyo H. 2017. Suwung: Ajaran Rahasia Leluhur
Jawa.Javanica.
Kasali, Rhenald, 2010. Cracking Zone. Jakarta: Rumah Perubahan dan Gramedia
Rachman Eilen & Emilia J, 2016. “Growth Mindset”. Hiring for Attitude. Dalam Kompas 26 Maret 2016.
Jakarta.
Wiratno, 2011. Solusi Jalan Tengah: Esai esai Konservasi
Alam. Direktorat Konservasi Kawasan.
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar