Ia seorang pakar
ekonomi politik yang disegani yang sejak 2001 menjadi pengajar di Johns
Hopkins University, Baltimore, dikenal luas akan pemikirannya tentang perubahan
sosial dan modal sosial, yang kemudian
menjadi salah satu diskursus global. Francis Fukuyama membahas bagaimana guncangan besar, the great disruption, yang terjadi
ketika sistem kapitalisme meluas, mengakibatkan erosi pada modal sosial.
Kepercayaan, trust, manusia pada
manusia lainnya menipis, kecurigaan dan ketidak-jujuran merebak, pelanggaran
hukum meningkat; proses kerjasama dalam masyarakat berubah menjadi proses
saling memakan dan saling merugikan.
Apa kaitan
pemikiran Fukuyama ini dengan gonjang-ganjing kerusakan lingkungan dunia?
Seakan-akan memang tidak berhubungan atau berkaitan. Namun apabila kita
renungkan, akan semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa perubahan substansial
hubungan antar manusia yang dimaksudkan oleh Fukuyama, juga akhirnya berdampak
pada lingkungan hidup manusia secara luas. Sejarah kerusakan lingkungan hidup
dunia tidak dapat dilepaskan dari peranan (baca: keserakahan) manusia, dalam
berbagai bentuknya. Manusia yang ingin menguasai dan alam. Inilah yang dikenal
dengan pandangan yang didasari oleh
Etika Antroposentrisme. Etika antroposentrisme yang dilatarbelakangi oleh
tradisi pemikiran barat yang liberal. Dalam etika ini manusia diposisikan
sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai,
sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan
kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar; di atas dan terpisah
dari alam. Bahkan, manusia difahami sebagai penguasa atas alam yang boleh
melakukan apa saja. Menurut Keraf (2002), cara pandang inilah yang melahirkan
sikap dan perilaku eksploitatif. Sementara itu, para pakar menyatakan bahwa
nilai kayu hanya kurang dari 5% nilai keseluruhan sumberdaya hutan itu. Nilai
total sumberdaya hutan tidak pernah diperhitungkan dalam kalkulasi ekonomi
nasional. Hutan tropis dataran rendah di Pulau Jawa habis dalam tempo 100 tahun
(Abad 18-19), sementara itu hutan hujan tropis dataran rendah di Pulau Sumatera
lenyap hanya dalam hitungan 30 tahun. Terbukti bukan bahwa manusia melalap alam
dengan ganasnya, dengan tingkatan 10 kali
lebih cepat, dengan dampaknya sudah kita
rasakan saat ini: penurunan kualitas lingkungan hidup yang luar biasa besar dan
dengan demikian tentunya akan berdampak langsung pada kualitas manusianya yang
harus hidup dalam kondisi lingkungan hidupnya yang rusak parah. Ekonomi yang
digerakkan oleh pengurasan sumberdaya alam ini, digambarkan dengan sangat tepat
oleh Kenneth Boulding dalam Korten (2001), sebagai “ekonomi koboi”. Visi
ekonomi koboi adalah dunia yang bisa dilukiskan sebagai padang terbuka tanpa
batas yang menyediakan sumberdaya dan jasa pelayanan pembuangan limbah tanpa
batas. Ekonomi koboi diarahkan untuk menggali sumberdaya-sumberdaya yang paling
mudah tersedia dari lingkungan hidupnya dan mengubahnya menjadi produk apa saja
untuk memenuhi kebutuhannya.
Pertanyaan
lanjutannya adalah siapa yang bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan
hidup ini. Banyak pihak menuding bahwa dalam hal kerusakan hutan, maka negara
(baca:pemerintah) sebagai pihak yang paling bertanggungjawab, melalui berbagai
instrukem kebijakannya yang seringkali kontradiktif. Kebijakan yang dengan
instrumen perijinan pengelolaan (baca: eksploitasi) sumberdaya hutan, telah
membawa petakan yang berkepanjangan. Kembali dipertanyakan, benarkah pemerintah
merupakan satu-satunya pihak yang paling bertanggungjawab? Satu pertanyaan yang
menggantung dan menyisakan ketidakpastian ke depan.
Fukuyama menyatakan
bahwa organisasi ke depan akan lebih
bersadarkan pada kemampuan membangun jaringan, sebagai modal sosial. Dalam
pandangan ini, jaringan ialah hubungan saling percaya yang berdasarkan moral. Jaringan
berbeda dengan hierarki karena jaringan didasarkan pada norma bersama yang
bersifat infomal, bukan atas hubungan kekuasaan formal.
Dalam konteks
pengelolaan lingkungan hidup, maka diperlukan organisasi atau lembaga yang berbasiskan
pada mekanisme hierarki dan mekanisme yang berdasarkan jaringan. Pengalaman di
Indonesia, membuktikan bahwa pemerintah dengan model organisasi modern menurut
Max Weber, yang menggantikan wewenang informal menjadi wewenang yang
berlandaskan hukum dan lembaga-lembaga yang transparan, telah terbukti gagal
mengemban mandat mengelola lingkungan (baca: dalam hal ini sumberdaya hutan).
Kita lupakan bahwa sumberdaya hutan, merupakan sumberdaya yang masuk ke dalam
kategori common pool resource. Suatu
sumberdaya yang akan sangat mahal untuk dikelola secara eksklusif. Sementara
itu, sumberdaya hutan yang dikelola secara berjaringan, dengan modal sosialnya,
berupa lembaga-lembaga adat, malahan terbukti lebih mampu menunjukkan
pengelolaan yang bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan azas-azas kelestarian.
Tentu saja pada skala dimana jumlah penduduk, intervensi pasar, dan kebijakan
pemerintah masih cukup stabil dan kondusif. Pengelolaan hutan-hutan adat yang
lestari akan hancur dengan kebijakan eksploitasi hutan yang dapat menebang
1.000 Ha per tahun, misalnya.
Pertanyaan terakhir
adalah bagaimana kemudian peranan organisasi dan lembaga-lembaga yang concern pada pengelolaan lingkungan
hidup di Indonesia. Bagaimana peran pemerintah ke depan dalam mengelola sumberdaya
hutan, dalam mengelola taman-taman nasional dan kawasan konservasi lainnya.
Bukti empiris menunjukkan bahwa pemerintah harus melakukan reposisi perannya,
agar tidak terjebak ke dalam pola hierarki yang kaku tetapi harus pula
mengembangkan ruang-ruang di mana jaringan dapat dibangun atas dasar trust. Sementara itu, berbagai lembaga
swadaya masyarakat juga seharusnya melakukan reposisi perannya tidak sekedar
“menyerang” pemerintah, tetapi juga perlu memulai duduk bersama pemerintah
dalam mencari ruang-ruang kebersamaan yang saling menguatkan, saling
menguntungkan, dan saling menghargai. Diskursus peran kelembagaan konservasi
ini akan masih terus bergulir dan sudah selayaknya kita menyambutnya dengan
antusias, untuk mendapatkan pembelajaran dari proses-proses perubahan
kelembagaan pemerintah di era otonomi, yang sedang gencar-gencarnya digagas di
hampir seluruh pelosok Indonesia.***